Selagi Mas Alvis sibuk memasukkan barang belanjaanku, Aku sibuk bermain dengan Kanza di ruang tengah. Usianya semakin bertambah membuatku sedikit kewalahan setiap kali dia merengek maunya di manja padahalkan pekerjaanku bukan hanya mengurusnya saja.
“Manja banget sih anak Bunda? Bunda kan mau masak untuk Ayah, Princess. Kalau Kanza-nya maunya di gendong terus, masak untuk ayahnya kapan dong?” tanyaku lesu, tapi tetap bersyukur karena adanya Kanza di antara kami.
Senyumku mengembang saat Mas Alvis mendekat dan mengambil alih Kanza dariku.
“Mas tadi liat teman baruku engga? Dia kece banget tahu Mas, aku jadi iri mau berpenampilan seperti dia. Tapi sadar diri kalau sudah ada Kanza di gendonganku.” Tahu responnya Mas Alvis? Dia malah menertawaiku.
Dasar, aku tidak suka ini.
“Tadi Mas tidak terlalu memperhatikannya karena terlampau sibuk teleponan dengan sekertaris, Mas. Apa penampilannya sangat cantik?”
Aku me
Jariku dengan cepat mengetik nama Austin di laman pencarian internet, hanya saja saat semuanya bermunculan langkah kaki mendekat jadinya aku mengeluarkannya. Tak lupa menghapus jejak pencariannya agar Mas Alvis tidak marah apalagi kecewa karena aku melanggar peraturannya.“Padahal tadi anteng sama ayah kok malah kangen Bunda sih? Harusnya Kanza bilang sama Bunda tidak mau jauh darinya, iyakan Sayang?” Mas Alvis semakin dekat, jariku mengetik asal resep makanan agar mempunyai alasan.“Katanya mau masak kok main hp?”Layar ponselnya kuperlihatkan padanya.“Oh lagi liat resep. Nanti Mas belikan buku resep begitu jadinya kamu engga main ponsel lagi ya? Engga baik bagi Kanza kalau keseringan liat Bundanya main hp.” Maunya menolak tapi nantinya Mas Alvis marah lagi.“Kayaknya ide bagus Mas, aku jadinya punya banyak ide untuk lauk makan kita karena aku melupakan semua resep masakan yang aku tahu dulu.”
Karena ingin memastikan apa yang di dengarnya adalah kebenaran, Xera bergegas kembali ke Bandung menuju makam sahabatnya. Jelas-jelas di batu nisannya tertulis nama Nabhila Pramuditia. Lalu siapa perempuan yang mengaku sebagai Nabhila itu? Dia bahkan memiliki nama anak yang sama seperti nama keponakan sahabatnya itu. "Apa Alvis diam-diam menikah dengan perempuan lain yang bernama Nabhila? Dan dialah yang menjadi ibu sambung untuk Baby Kanza?" Tanyanya pada sendiri. Tidak mungkin perempuan itu adalah Nabhila karena jelas-jelas Nabhila meninggal di tempat. Yang semua orang ragukan hanyalah Nadhila bukan Nabhila. Wajah Nadhila tak bisa dikenali saat ditemukan, bahkan sebagian keluarga besarnya awalnya menyangkal itu adalah model ternama, Nadhila. "Kalau gue tanyanya ke Mak mereka, takutnya malah membuat keadaan menjadi runyam. Tapi kalau gue tampung semuanya, bisa-bisa gue gila sendiri." Xera mirip orang gila sekarang, ia beralih menata
Lagian semua orang terlihat melupakan Nadhila, dari dulu semua mata hanya tertuju pada Nabhila karena jalan hidup yang di pilihnya sesuai kemauan keluarganya sedangkan Nadhi tidak. Nadhila suka membangkang, maunya hidup dengan jalannya sendiri, sahabatnya itu bahkan seringkali berdebat panjang dengan Ayahnya sendiri lalu tak pernah ke rumah utamanya selama berminggu-minggu lamanya. Beberapa orang menganggap Nadhila hanyalah benalu di kehidupan kakak kembarnya itu, mereka bahkan berpikir Nadhi sukses menjadi model karena pengaruh kakaknya saja. "Harusnya sebelum Nadhi meninggal, dia bisa menemukan pria yang membuatnya bahagia, mencintainya dengan tulus dan selalu ada untukmu. Ada baiknya Nadhi meninggal cepat jadinya dia tidak perlu tersiksa memiliki tunangan toxic sepertimu." Setelah mengatakannya, Xera pergi dari sana. Andaikan Nadhi mendengarnya, sahabatnya itu akan merengek tak suka. Nadhi itu sulit di tebak, entah beneran Cinta sama Austin
"Ini adalah barang-barang milik Nadhila selama menjadi model di agency kami. Dia sangat berbakat tapi sepertinya Allah lebih menyayanginya daripada kita." Tepat setelah Pria tua itu mengatakannya, beberapa orang bergiliran masuk membawa figura foto milik Nadhila. "Salah satu syarat darinya selama bekerja dengan kami, baju yang dipakainya harus tertutup dan rapi." Terlihat sekali pria itu teramat bangga mendapatkan Nadhila sebagai modelnya. Fiera yang ada di sana memperhatikan semua foto yang datang, tidak ada satupun foto yang memperlihatkan lengan kanan atas Nadhila. Ini termasuk bukti, bahwasanya Nadhila memang masih hidup di suatu tempat. "Terimakasih atas kedatangannya, padahal anda bisa menyimpannya di studio anda saja sebagai kenang-kenangan." Balas Nada, ibu dari Nadhila. "Bisa saja saya melakukannya, Bu Nada. Tapi ini bukan hak kami, tidak ada yang tau alamat apartemen Nadhila kecuali tunangan dan sahabatnya. Sedangkan foto ini seharus
"Kenapa juga aku ceroboh sekali? Harusnya aku tidak memberinya nama Nabhila melainkan nama baru seperti wajahnya, juga nama anakku yang harus di ganti. Nadh, kamu engga bakal ninggalin aku suatu hari nanti kan?" tanyanya pada selembar foto hitam putih. Di sana, ia dan Nadhi sedang mengenakan seragam batik sekolahan. Baru saja penonton acara pentas sekolah. "Andai kamu engga ninggalin aku terus ke luar negeri, andai persahabatan kita tetap berlanjut dan berakhir sebahagia ini. Mungkin kamu dan aku akan bahagia Nadh, kamu engga bakal merasakan semua ini." di usapnya beberapa kali wajah Cinta pertamanya. "Satu hal yang harus kamu tau, Sayang. Aku sangat mencintaimu, aku bahkan ingin terus mencintaimu. Tolong Cintai aku juga." Tapi bagaimana caranya? Nadhila memiliki sikap pantang menyerah, selama dia menginginkan sesuatu maka dia akan terus mengejarnya sampai dapat. Apalagi beberapa hari lalu, Nadhila sempat mengangkat telepon di ponselnya.
"Jangan asal menuduh Mas begitu Sayang, kamu kan tau kalau Masa mana mungkin membohongi kamu." Mataku menatapnya ragu, tapi beberapa ingatan di kepalaku mengatakan dia berbohong. Padahal kemarin-kemarin, aku begitu mempercayai semua yang Mas Alvis katakan. Kami bak keluarga paling bahagia di dunia ini. "Masalahnya aku bingung Mas, semua yang muncul di ingatanku berbanding terbalik dengan apa yang Mas katakan. Bisa saja kan semua ingatan aneh itu milikku, bukan milik orang lain. Untuk apa aku meny—“"Sayang, Nabhila. Ingat cerita Mas tentang kamu yang begitu memantau kehidupannya adikmu? Bahkan hal sederhana pun kamu pantau. Jadi anggap ini bagian dari sana, iyakan?" Aku menunduk. Tapi kenapa di ingatanku berbeda? Di sana meskipun buram, aku seakan duduk di cafe menikmati banyak makanan lalu tertawa terbahak-bahak. Di sana, sekilas aku melihat diriku duduk di kursi lalu suara kamera menggema. Mana mungkin itu bukan aku?
Malamnya, saat Mas Alvis sibuk di ruang kerjanya. Aku memandang diriku di pantulan cermin, mencoba menggulung rambutku sampai sebatas leher. Akhir-akhir ini aku kurang suka rambut panjang, maunya sih rambut pendek saja jadinya bebas ngapa-ngapain. Tadi sore aku juga sempat bertanya ke Laila, katanya aku memang cocoknya rambut pendek. Ingat Laila kan? Kenalan pertamaku saat pertama kali sampai di Yogya ini. Kami sering bertemu untuk sekedar sharing bagusnya masak apa pas malam. “Tapi Mas Alvis sukanya aku rambut panjang, tapi aku sukanya rambutku pendek. Apa Mas Alvis mau ya menyetujuinya?” gulungannya kulepaskan, memilih memantau Kanza di kamar sebelah. Makin kesini, mukanya Kanza itu berbeda dari kami. Kayaknya beneran ikut ke nenek kakeknya deh, dari pihaknya Mas Alvis. “Kamu kok cantiknya makin engga bisa Bunda gapai sih, Sayang? Bunda sebenarnya kangen kakek nenek cuman bingung bilangnya ke Ayah bagaimana.” Beginilah ibu-ibu, Ses
Jalanan hari ini cukup ramai, aku duduk santai dengan Laila menikmati segelas es buah. Karena Kanza tidak ASI padaku jadinya aku bebas makan apa saja, dia bergantungnya di susu formula saja. “Hari ini Yogya panas sekali, aku bahkan harus minum banyak es agar bisa melegakan tenggorokanku.” Hal menyenangkannya adalah aku mempunyai teman sebaik Laila. Walaupun sebenarnya kangen sama orang asing itu, Xera namanya. “Bener banget.” Balasku membenarkan, kami duduknya dekat jalan masuk kompleks. Kanza mah anteng di stroller, dia suka sekali lihat mobil lewat atau sekedar memantau beberapa pejalan kaki dengan mata coklatnya itu. Dia katanya mirip bule, mungkin keturunan dari keluargaku kali ya? “Kamu endak ada niatan masuk arisan gitu? Kebetulan sekitaran sini ada kelompoknya.” Aku memikirkannya lama, kok aku endak berpikiran sampai ke sana sana? Apa dulu aku pernah ikut arisan? Secara kan aku masuk kategori keluarga berada, Mas Alv