“Ini kopinya, Bu,” ucap Tya sembari meletakkan mug kopi di atas meja sang bos.
Sebagai asisten yang sudah bekerja dengan Kirana selama bertahun-tahun, Tya memag sudah memahami kebiasaan serta semua hal yang Kirana sukai atau tidak sukai. Karena itulah, Tya tahu jika saat ini Kirana memerlukan asupan kafein untuk menemani lemburnya. Sebenarnya, terlalu sering lembur memang tidak baik. Namun, kini mereka semua tengah sibuk. Apalagi pernikahan antara Kaivan dan calon istrinya yang misterius tinggal menghitung hari. Mereka semua harus fokus untuk mengerjakan pesanan.
“Terima kasih,” ucap Kirana sembari merenggangkan tubuhnya yang terasa begitu pegal.
“Oh, iya, Tya bisa langsung pulang setelah membereskan lantai satu. Pastikan jika kau mengunci pintu dengan benar,” tambah Kirana.
Tyan mengangguk. “Terima kasih, Bu,” jawab Tya lalu turun untuk membereskan dan membersihkan lantai satu.
Sementara Kirana menyesap kopi yang sudah dibuatkan oleh Tya, untuk membuatnya terjaga. Hari ini, ia harus kembali lembur karena hari H pernikahan Kaivan dan kekasihnya semakin dekat. Sebenarnya, semuanya sudah selesai. Hanya saja Kirana perlu melakukan penyesuaian dan menunggu kabar dari Kaivan mengenai sesi fitting baru. Kirana benar-benar berharap jika mempelai wanita bersedia melakukan fitting, karena itu sangat dibutuhkan untuk memastikan semuanya sesuai.
Kirana sendiri agak jengkel, jika sampai kekasih Kaivan kembali tidak mau melakukan fitting. Karena itu jelas menyulitkan baginya sebagai seorang desainer yang dipercaya oleh mereka untuk merancangkan pakaian untuk hari penting mereka. Apa mungkin Kaivan dengan kekasihnya itu tidak berpikir bahwa tindakan mereka ini hanya menyulitkan orang lain? Sepertinya orang kaya memang memiliki sifat seperti itu.
Kirana menguap lebar. Ia merasa sangat lelah, karena selama beberapa hari ini dirinya terus lembur. Siang harinya ia juga sangat sibuk, karena ada beberapa pesanan dank lien baru yang masuk. Setelah ia selesai dengan pesanan Kaivan, sepertinya Kirana bisa sedikit bersantai. Ia juga harus mencari pekerja baru untuk membantu Tya, karena sepertinya ini memang sudah waktunya bagi Kirana untuk mencari pekerja baru. Untuk kesekian kalinya, Kirana menguap lebar. Ia mengambil bolpoint dan kembali menatap pekerjaannya.
Sayangnya, rasa lelah dan kantuk yang ia rasakan sama sekali tidak berpengaruh baginya. Pada akhirnya, Kirana pun tertidur dengan posisi terduduk di kursi kerjanya. Tentu saja tidur dengan posisi tersebut sama sekali tidak nyaman dan pasti akan membuatnya merasa sakit di sekujur tubuhnya keesokan harinya, kerena tidak tidur dengan posisi yang benar. Terlalu lelap, Kirana bahkan hampir jatuh dari kursinya. Untungnya, seseorang menahan tubuh Kirana dengan sigap. Saat itu pula Kirana membuka matanya lebar-lebar dan tersentak berdiri, hingga keningnya membentur sesuatu dengan keras. Disusul dengan erangan tertahan.
“Ugh!”
Kirana mematung saat melihat Kaivan yang tengah meringis dan mengusap dagunya yang sepertinya tadi terbentur kepala Kirana. Tentu saja Kirana terlihat kebingungan. Namun beberapa saat kemudian, ekspresi bingungnya berubah menjadi ekspresi panik ketika ia menyadari sesuatu yang janggal di sana. “Ba, Bagaimana kau bisa masuk?!” tanya Kirana dengan nada tinggi dengan pikiran macam-macam.
Kirana yang masih setengah mengantuk terlihat panik. Bagaimana mungkin dirinya tidak panik, jika saat ini seseorang yang tidak seharusnya berada di dalam butiknya, malah masuk dengan leluasa seperti ini. Karena ia yakin, pintu butik sudah dikunci rapat, mengingat Tya sudah pulang. Secara alami, tentunya Kirana saat ini merasa sangat terancam. Karena berpikir Kaivan menyusup masuk ke dalam butiknya.
Kaivan hanya mendengkus kasar, dan beranjak untuk duduk di sofa sembari mengusap dagunya yang masih terlihat memerah. Belum sempat Kirana memaki Kaivan yang benar-benar memaki Kaivan, Tya sudah muncul dengan membawakan teh yang terlihat masih mengepul. “Ibu sudah bangun? Maaf tadi Pak Kaivan saya persilakan masuk karena berkata sudah memiliki janji dengan Ibu,” ucap Tya terlihat begitu menyesal.
Kirana yang mendengar hal itu pun mengernyit. Seingat Kirana, ia tidak memiliki janji apa pun dengan Kaivan. Namun, Kirana memilih untuk beranjak mencari ponselnyam sementara Tyan menyajikan teh untuk Kaivan. Saat memeriksanya, Kirana pun sadar bahwa ia memang melewatkan pesan dari Kaivan yang memang berkata ia akan datang untuk melakukan fitting baju. Kirana menghela napas dan berkata, “Aku permisi ke kamar kecil dulu.”
Kirana perlu mencuci muka untuk menyadarkan dirinya. Karena harus berhadapan dengan klien, tentu saja Kirana harus memastikan jika dirinya benar-benar fokus. Setelah mendapatkan kesadaran sepenuhnya, Kirana kembali ke ruang kerjanya. Dan di sana Tya sudah merapikan sepasang pakaian adat sunda bernuansa serba putih dengan bagian bawah berupa kain batik yang memiliki arti mendalam. Biasanya, motif tersebut memang digunakan oleh para pasangan pengantin, sebagai doa bahwa pernikahan mereka akan langgeng dan dipenuhi oleh kasih sayang yang berlanjut hingga kakek nenek nanti.
“Ini indah,” ucap Kaivan saat menyadari kedatangan Kirana.
Suasana hati Kirana membaik dengan cepat. Tentu saja hal tersebut tidak terlepas karena pujian yang ia terima mengenai karya yang telah ia buat dengan sepenuh hati. Ia mengulum senyum dan menjawab, “Terima kasih, Tuan. Aku membuatnya dengan sepenuh hati.”
“Aku bisa melihat hal itu,” ucap Kaivan seakan-akan bisa memahami apa yang dimaksud.
Kirana pun bertanya, “Jadi, di mana mempelai wanita kita?”
“Aku ingin mencobanya dulu,” jawab Kaivan sembari menatap manekin yang memang mengenakan pakaian yang disiapkan untuk Kaivan.
Meskipun merasa jika pertanyaannya diabaikan, Kirana memilih untuk melepaskan semua pakaian pada manekin. Ia memberikan pakaian dasar pada Kaivan, dan membiarkan pria itu berganti pakaian sendiri di ruang ganti. Setelah Kaivan ke luar, Kirana dengan terampil membantu Kaivan untuk menggunakan bagian pakaian yang lain. Setelah lengkap. Kirana merasa jika Kaivan semakin tampan saja. Pria yang memiliki netra berwarna cokelat terang dan rambut kecokelatannya terlihat sangat cocok dengan pakaian adat sunda yang ia kenakan. Sepertinya, wanita mana pun yang melihatnya, pasti mau ditarik ke depan penghulu untuk menikah saat itu juga.
Di hari pernikahan Kaivan dan kekasihnya nanti, pasti akan menjadi hari patah hati nasional bagi para wanita. Mengigat Kaivan yang mereka dambakan sudah resmi menjadi milik orang lain. Kehebohannya pasti akan menyaingi kehebohan saat Raisa dan Isyana menikah. Akan ada hari patah hati nasional versi para wanita yang dtinggal sosok Kaivan yang sempurna. Membayangkannya saja sudah menarik.
Kirana berdeham untuk mengenyahkan pemikiran anehnya dan berkata, “Semuanya sudah pas. Sepertinya tidak dibutuhkan perbaikan apa pun lagi.”
“Kalau begitu, segera coba kebayanya,” ucap Kaivan sembari mematut dirinya di depan cermin.
Kirana yang mendengar hal itu tentu saja bingung. “Ya? Tapi calon mempelai wanita tidak ada di sini, Tuan,” ucap Kirana merasa jika Kaivan minum air mineral.
Kaivan menatap Kirana dan berkata, “Memang tidak ada. Jadi, kau yang harus mengenakannya. Aku ingin melihat kebaya itu dipakai oleh seseorang.”
Tentu saja Kirana dan Tya yang mendengar hal itu saling berpandangan. Kirana pun berkata, “Itu tentu saja tidak bisa aku lakukan. Kebaya ini dibuat khusus untuk calon istri Tuan. Bagaimana mungkin aku mencobanya?”
“Tidak ada masalah. Cobalah, sekarang. Aku ingin melihat pakaian itu digunakan oleh manusia sesungguhnya. Jika hanya dipakai oleh manekin, tidak akan terlihat bernyawa,” ucap Kaivan bersikukuh.
Kirana tentu saja tidak mau menuruti keinginan Kaivan begitu saja. Selain tidak mau karena tidak terasa pantas, itu juga terasa sangat menjengkelkan sebab Kaivan jelas-jelas tengah memaksakan keinginannya. Saat Kirana akan menolak kembali, Tya menahannya dan berbisik, “Bu, kalau begini terus, sepertinya tidak akan berakhir. Lebih baik Ibu coba saja. Toh, ukurannya memang cocok dengan Ibu, bukan?”
Karena memikirkan bawahannya yang tidak bisa pulang cepat jika dirinya terus menolak, pada akhirnya Kirana pun memilih untuk menuruti apa yang diminta oleh Kaivan. Ia meminta Tya untuk membantunya mengenakan kebaya tersebut. Kaivan sendiri memilih untuk duduk dengan nyaman dan memainkan ponselnya. Ia tampak memeriksa email dan beberapa pesan penting lainnya untuk mengisi waktu. Hingga, Kirana pun ke luar dari ruang ganti bersama dengan Tya.
Kaivan yang melihat hal tersebut tampak terpaku. Kirana yang memiliki rambut hitam dan tebal, tampak begitu cocok dengan kebaya putih yang ia kenakan. Kebaya yang terlihat seperti dirancang dan dibuat khusus untuknya. Seperti apa yang pernah Kirana katakan sebelumnya, menggunakan kebaya bisa membuat penggunanya menjadi terbawa anggun. Seperti dirinya saat ini. Ia benar-benar cocok menggunakan kebaya tersebut. Siapa pun yang melihat Kirana saat ini pasti berpikir, jika Kirana memanglah calon pengantin yang siap untuk menikah.
Kaivan bangkit dari posisinya dan berdiri di hadapan Kirana yang terlihat memasang tampang masam, jelas tidak senang dengan situasi yang tengah terjadi. Lalu, Kaivan berkata, “Kau terlihat cantik dengan kebaya itu. Sepertinya, pengantinku juga akan terlihat cantik seperti ini.”
Kirana merasakan pelipisnya berkedut karena emosinya yang hampir meluap. Namun, Kirana berhasil mengendalikan diri. Ia memasang senyuman manis dan berkata, “Tentu saja. Pengantin Tuan pasti akan terlihat sangat cantik. Kalian akan menjadi raja dan ratu sehari.”
Kaivan menggeleng. Ia menatap Kirana dengan tatapan dalam, sebelum berkata, “Tidak, pengantinku tidak akan menjadi ratu sehari. Dia akan menjadi ratu selamanya dalam hidupku.”
Tya memerah, karena merasa jika perkataan Kaivan terdengar sangat manis. Ia berpikir jika calon istri Kaivan yang misterius akan sangat beruntung memiliki suami seperti Kaivan. Namun, Kirana terlihat agak canggung. Karena entah mengapa dirinya merasakan perkataan Kaivan agak aneh. Kaivan pun mengulurkan tangannya dan berkata, “Ayo, berdiri di depan cermin. Aku ingin melihat tampilan kita saat berdiri berdampingan.”
Dengan enggan, Kirana menerima uluran tangan tersebut dan melangkah menuju cermin yang bisa memuat penampilan mereka dari ujung kepala hingga ujung kaki. Saat itulah Kirana merasa sangat terkejut, karena ia melihat tampilannya yang benar-benar selayaknya seorang pengantin. Padahal, Kirana tidak pernah membayangkan jika dirinya akan mengenakan kebaya indah seperti ini, apalagi kebaya ini adalah kebaya yang ia buat untuk kliennya. Kaivan sendiri sama kagumnya, ia pun bergumam, “Kita benar-benar terlihat seperti pasangan pengantin.”
“Sampai akhir pun masih tetap dirahasiakan rupanya,” gumam Kirana saat melihat undangan yang diberikan padanya.Undangan tersebut tentu saja untuk pernikahan Kaivan dan kekasihnya yang ternyata memiliki inisial yang sama. Kirana pikir jika undangan pernikahan Kaivan pada akhirnya akan menunjukkan identitas sang calon istri, tetapi pada akhirnya Kirana harus menelan kekecewaan. Setelah tidak bisa melakukan fitting baju sama sekali pada mempelai wanita, hingga H-1 pernikahan pun, Kirana bahkan tidak mengetahui siapa klien wanitanya. Memangnya apa yang membuat Kaivan merahasiakan identitas calon istrinya hingga seperti ini? Kirana tidak bisa memahaminya.“Bu, semuanya sudah siap,” ucap Tya melaporkan pada Kirana.Kirana yang mendengar hal itu pun mengangguk. “Kalau begitu ayo. Tya tolong menyetir ya, aku terlalu lelah. Bisa gawat jika aku yang menyetir,” ucap Kirana sembari memberikan kunci mobilnya pada Tya.“Siap,
“Sah!”Tamu undangan berseru dengan kompak, mengesahkan pernikahan yang sangat menarik perhatian khlayak umum tersebut. Pernikahan mana lagi jika bukan pernikahan Kaivan Prayata Mahaswara, seorang pengusaha muda yang tampan, yang telah dinobatkan sebagai salah satu orang muda terkaya di Asia. Selain itu, Kaivan juga dikenal sebagai seorang pewaris tunggal dari keluarga konglomerat yang kabarnya masih memiliki keturunan kebangsawanan. Kaivan sendiri adalah putra dari Rama Gavriel Mahaswara yang berdarah Jawa kental, lalu menikah dengan seorang perempuan berdarah asing, bernama Helga Magd yang sudah mengantongi kewarganegaraan Indonesia.Benar, hal tersebutlah yang membuat sosok Kaivan menjadi lebih menawan. Ia memiliki darah campuran, Jawa dan Jerman yang membuatnya memiliki pesona yang lain daripada yang lain. Tubuh tinggi dan tegap, wajah yang rupawan, hingga pembawaan dingin yang penuh ketenangan, adalah gen yang diturunkan ol
Kirana mengerjap pelan saat dirinya berhasil membuka kedua matanya yang terasa begitu menempel dengan eratnya. Namun begitu dirinya bisa melihat dengan jelas, Kirana tersentak dan menjerit tanpa suara saat melihat seorang pria tampan yang tidur satu ranjang dengannya. Kirana secara refleks tentu saja segera memeriksa pakaiannya, dan terkejut jika saat ini pakaian yang tengah membalut tubuh rampingnya tak lain adalah sebuah gaun tidur yang tidak ia kenali. Itu jelas-jelas bukan pakaian miliknya. Karena Kirana tidak memiliki pakaian seperti itu.Di tengah kepanikan Kirana, ia pun memilih untuk segera turun dari ranjang luas yang rasanya sangat nyaman lebih nyaman daripada ranjang miliknya sendiri di butik. Meskipun merasa tubuhnya lelah bukan main, Kirana pun beranjak turun dari ranjang tersebut. Walau pada dasarnya Kirana tidak tahu di mana dan apa yang sudah terjadi, hal yang paling penting saat ini adalah segera pergi dari tempat tersebut. Namun begitu berdiri dan berniat melangkah,
“Berikan tanda tutup di pintu butik kita, Tya,” ucap Kirana sembari mengurut pelipisnya dengan frustasi.Tya tentu saja segera berlari untuk mengerjakan perintah sang bos. Sementara para pekerja baru, diam-diam masuk ke dalam ruang istirahat yang memang disediakan untuk para pekerja. Sekarang Kirana memang sudah menambah pekerja baru, yang akan membantu dirinya dan Tya mengatur butik dan membantu pengerjaan pesanan yang memang membludak setelah kabar pernikahan Kirana dan Kaivan tersebar. Gintari Butik menjadi butik yang benar-benar menjadi pusat mode kalangan sosialita ibu kota.Namanya menjadi semakin dikenal oleh orang-orang dan menarik begitu banyak klien begitu dibuka setelah Kirana kembali bekerja. Semua orang berebut untuk bertemu dengan Kirana dan mendapatkan karya terbaik dari Kirana. Mereka juga datang tidak dengan tangan kosong. Mereka jelas-jelas ingin menunjukan bahwa mereka ingin menjalin hubungan baik dengan Kirana. Kirana menghela napas. Sayangnya, semua itu merasa tid
“Wah ternyata aku punya menantu yang pintar memasak,” ucap Helga memuji kemampuan memasak Kirana.Saat ini, Kirana memang tengah membantu Helga untuk menyiapkan makan malam. Karena selama ini Kirana tinggal sendirian, setelah kedua orang tuanya meninggal, Kirana mendesak dirinya sendiri untuk memiliki kemampuan untuk bertahan sendiri. Termasuk dalam hal makanan. Dulu, saat dirinya masih menjadi seorang mahasiswi, ia harus mengatur keuangannya yang sangat tidak stabil dengan baik. Memasak makanannya sendiri adalah hal terbaik untuk memastikan jika uangnya bisa ia manfaatkan semaksimal mungkin.“Ibu terlalu memuji,” ucap Kirana, jelas karena Helga memang memiliki kemampuan memasak yang lebih baik daripada dirinya.Sebenarnya, Kirana tidak mau tinggal di kediaman keluarga Mahaswara ini. Meskipun mewah dan nyaman, tetapi bagi Kirana tidak ada tempat yang lebih nyaman dari rumahnya sendiri. Apalagi, dirinya harus selalu bersandiwara menjadi pasangan yang saling mencintai dengan Kaivan yang
“Bu?”Kirana yang mendengar panggilan Tya, menoleh dan melepaskan kacamata baca yang akhir-akhir ini Kirana butuhkan saat dirinya bekerja terlalu lama di hadapan layar komputer. “Ya? Ada apa?” tanya Kirana.Tya mendekat dan berkata, “Ini sudah waktunya butik tutup.”Kirana yang mendengar hal itu terkejut. Ia pun melihat jam pada monitor komputernya dan terkejut jika ternyata ini memang sudah tiba waktunya butik tutup dan para pekerja pulang. Kirana pun berkata, “Pulanglah setelah membereskan lantai satu. Seperti biasanya tutup dan kunci pintunya.”Tya yang mendengar hal itu pun mengernyitkan keningnya. “Apa Ibu akan lembur?” tanya Tya.Sebenarnya, bukan hal yang aneh bahwa Kirana lembur. Itu hal yang biasa. Hanya saja, sekarang Kirana sudah menikah. Untuk lembur, pasti dia perlu untuk meminta izin pada suaminya, walaupun Tya sendiri tahu jika keduanya menikah bukan karena rasa cinta, akan tetapi dipaksa oleh situasi. Namun, Tya rasa sepertinya baik Kavian maupun Kirana sama-sama berus
Kirana terlihat begitu gelisah. Kini dirinya sudah berbaring dia atas ranjang, di tengah kamar yang memang sudah dibuat gelap karena baik dirinya maupun Kaivan sama-sama tidak bisa tidur saat kamar dalam keadaan terang. Namun, kali in Kirana merasa begitu gelisah, mengingat dirinya harus berbagi ranjang dengan Kaivan. Sebenarnya, ini bukan kali pertama mereka berbagi ranjang atau tidur bersama. Sebelumnya, keduanya selalu tidur bersama. Hanya saja, hari ini terasa sangat berbeda.Selain karena mereka tengah dalam masa bulan madu, Kirana juga masih terkena efek pembicaraannya dengan Kaivan tadi pagi. Kaivan berhasil menyentuh hati Kirana dengan perkataannya yang tulus. Kaivan benar-benar menganggapnya sebagai seorang istri dan memperlakukannya selayaknya seorang istri yang sesungguhnya. Kirana sendiri sadar bahwa Kaivan tidak hanya berkata-kata saja. Apa yang ia katakan memang benar adanya. Karena selama ini dirinya mendapatkan perlakuan penuh perhatian dan lembut dari Kaivan.Saat men
“Selamat datang,” ucap Rama dan Helga secara bersamaan. Keduanya menyambut kepulangan putra serta menantu mereka yang baru saja tiba setelah liburan bulan madu yang menghabiskan waktu hampir satu bulan penuh tersebut. Setelah mencium tangan kedua orang tua mereka, Kirana dan Kaivan tersenyum menatap keduanya.Meskipun tidak menanyakan apa pun, tetapi sebagai orang tua, Rama dan Helga tahu jika ada yang sudah terjadi antara keduanya. Dalam arti lain, rencana bulan madu yang keduanya susun memang berhasil bagi pasangan muda itu. Bisa saja, keinginan mereka untuk menimang cucu akan segera dikabulkan oleh menantu mereka. Namun, karena mereka tidak ingin sampai Kirana merasa tertekan, keduanya memilih untuk tidak membicarakan hal seperti itu.“Ayo sekarang masuk dulu. Ibu sudah menyiapkan minuman segar untuk kalian, pasti perjalanan terasa sangat melelahkan,” ucap Helga lalu menggandeng menantunya dengan suasana hati yang sangat baik.Sementara Rama menatap putranya yang terlihat begitu sa