Share

Sebuah Perjanjian

Bab 3) Sebuah Perjanjian

Athar tidak menjawab, malah beranjak menuju meja nakas, menarik laci di bawahnya dan mengambil sebuah map. 

"Kamu baca ini, Aira," ujar Athar datar.

Aira mengangguk. Dia membuka map dengan hati berdebar-debar.

"Jadi kamu ingin kita bercerai setelah aku menemukan orang lain sebagai tambatan hati. Perjanjian macam apa ini?" Tubuh Aira seketika gemetar. Hampir saja map yang dipegangnya jatuh. Sudah sebegitu tak berhargakah dirinya, sehingga Athar sama sekali tak ada itikad untuk berjuang mempertahankan pernikahan ini. Ini pernikahan, sesuatu yang suci, bukan lelucon!

Aira menggeleng keras. Dadanya penuh sesak. Sakit hatinya bagaikan di tusuk-tusuk, merasa terhina.

Athar menatap iba gadis itu. "Aku pikir ini adalah yang terbaik. Kalau kamu memang ingin berpisah dariku, silahkan tanda tangan. Jika kamu tanda tangan, maka saat itu juga jatuh talakku atas dirimu," ujar Athar.

"Kamu tidak sungguh-sungguh dengan pernikahan ini, Athar?" Aira memberanikan diri menatap suaminya.

"Aku hanya ingin realistis, Aira. Aku tidak pernah merendahkan dirimu atau menganggapmu sebagai pengantin pengganti, tetapi untuk melanjutkan rumah tangga ini kurasa akan sulit. Kamu tidak mencintaiku, begitupun juga sebaliknya. Bahkan aku mencintai adikmu. Sesulit ini, Aira. Aku mohon mengertilah." Suara lelaki itu terdengar memelas, bernada keputusasaan.

"Katakan apa yang menjadi keinginanmu. Aku akan berusaha memenuhinya." Lelaki itu tersentak seketika, saat menyadari butiran air bening jatuh dari sudut mata gadis itu. Athar mengulurkan tangan mengusap pipi yang basah.

"Aku tidak bermaksud menyakitimu, Aira. Aku hanya ingin memberi solusi."

"Aku sangat mengerti," sahut Aira mengibaskan tangan lelaki itu dari pipinya. Dia sangat benci di kasihani. "Kupikir memang kita tidak perlu berharap terlalu banyak dari pernikahan ini. Ini bukan pernikahan yang kamu inginkan, kan?"

"Aku hanya berusaha mencari jalan tengah, Aira. Aku tidak mau memaksamu untuk menjalani pernikahan ini dan juga memaksa diriku sendiri. Keberadaan Kiara saja kita belum tahu. Entah dimana dia sekarang." Athar menghela nafas. 

Sesak rasanya mengingat sikap Kiara yang kabur begitu saja, setelah ia berpura-pura jatuh bangkrut. Oh, sampai sebegitu takutkah Kiara jatuh miskin, sehingga tega mengorbankan dirinya dan rencana pernikahan mereka yang sudah fix 100%?

"Kamu sangat mencintai Kiara?" cicit Aira.

"Sejujurnya iya, walaupun dia sudah menyakitiku. Rasanya sesakit ini, Aira." Athar memejamkan mata sejenak, menarik tangan gadis itu lalu mencium punggung tangannya dengan lembut. 

"Aku berharap kita bisa menjadi sahabat yang baik. Aku harap kamu bisa mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dariku. Jikalau kamu sudah menemukannya, segeralah tanda tangan surat perjanjian ini dan kamu bebas detik itu juga."

Aira menatap nanar kalimat demi kalimat yang tertera di lembaran kertas itu. Hatinya luar biasa perih. Namun Aira tidak punya pilihan kecuali menurut. Athar betul. Mereka tidak mungkin memaksakan diri untuk menjalani pernikahan ini seperti orang normal. 

Gadis itu segera beranjak menuju tas besarnya yang teronggok di salah satu sudut ruang, kemudian memasukkan map itu ke dalamnya.

"Ini seperti pernikahan kontrak saja." Aira bermonolong.

Malam pertama yang biasanya dihabiskan oleh sepasang pengantin baru dengan penuh kemesraan tidak berlaku bagi Athar dan Aira. Athar memilih tidur di sofa dan Aira di pembaringan. Lelaki itu menepati janjinya dengan tidak menyentuh Aira sedikitpun.

Malam semakin larut. Meskipun terasa kurang nyaman, tapi nyatanya lelaki itu bisa tertidur dengan pulas. Aira memiringkan tubuhnya. Dari ranjang tempatnya berbaring, ia mengamati lelaki itu. Gurat lelah begitu kentara di wajahnya. Aira menghembuskan nafasnya. Bukan hanya dia, lelaki itu pun juga dalam keadaan tidak baik-baik saja. Takdir begitu kejam menjungkirbalikkan hidup mereka. 

*****

Aira menghabiskan waktu tiga hari di hotel dengan berselancar di dunia maya. Sementara Athar pun juga melakukan hal yang sama. Bedanya lelaki itu sibuk melakukan beberapa pekerjaan. Memang ini adalah masa cutinya, tetapi tetap saja lelaki itu terlihat sibuk, bahkan berkali-kali menghubungi asisten pribadi dan sekretarisnya. Hanya raganya yang berada di kamar hotel. Namun otaknya berada di kantor.

Pagi ini setelah sarapan, mereka check out dari hotel. Tak ada pembicaraan di antara mereka. Aira memilih memainkan ponsel dan Athar menyetir mobil. 

Perjalanan dari hotel menuju kediaman Athar dan Rani memakan waktu sekitar satu jam lebih. Gadis itu berdecak kagum saat mobil memasuki pekarangan rumah yang sangat luas. Tidak pernah ia melihat halaman rumah seluas itu. Rumah di hadapannya itu pun sangat megah, mirip istana kecil.

"Selamat datang di rumah ini, Aira. Turunlah." Suara lelaki itu membuyarkan lamunan Aira. Aira turun dari mobil. Athar bersikap sangat manis dengan membukakan pintu mobil untuknya.

Seorang wanita setengah baya berlari kecil menghampiri mereka.

"Pagi sekali kalian datang. Mommy tidak menyangka. Mommy pikir kalian masih betah berada di kamar hotel. Maklum...." Rani tak melanjutkan ucapannya, melainkan mencium kedua belah pipi Aira. 

Rani merangkul gadis itu, membawanya masuk ke dalam rumah. Aira berdecak kagum dengan pemandangan di sekelilingnya. Ruang tamu yang sangat luas penuh dengan barang-barang mewah. Seumur hidup ia tidak pernah masuk ke ruangan seindah ini.

"Semoga kamu bisa betah di rumah ini, Aira," ujar Rani.

Langkah mereka tak berhenti di ruang tamu. Rani menunjukkan kepada Aira seluruh ruangan yang ada di rumah ini, sampai akhirnya Athar berinisiatif untuk membawa Aira ke dalam kamarnya.

"Kamu terlihat lelah. Istirahatlah. Ini adalah kamarku." Athar menutup pintu kamarnya, lalu menunjuk tempat tidur.

"Kita tidur di kamar yang sama?" Aira menatap bingung lelaki itu.

"Akan sangat kentara jika kita terang-terangan tidur di kamar yang berbeda. Tapi kamu tenang saja. Kamu akan tidur di kamarku dan aku tidur di ruang kerja. Antara kamar tidur dan ruang kerja dipisahkan oleh pintu penghubung." Athar menunjuk sebuah pintu di ruangan ini.

"Aku sudah membuatmu repot. Tidak seharusnya kamu melakukan hal sejauh ini," ucap Aira.

"Kita sama-sama direpotkan dengan pernikahan ini. Anggap saja kita berbagi kerepotan bersama." Lelaki itu tertawa hambar. Tangannya terulur. Dia menautkan jari kelingkingnya ke jari kelingking Aira. 

"Tak perlu merasa tidak enak. Laki-laki bisa tidur di mana saja. Lagi pula pekerjaanku cukup banyak, bahkan sebelum ini pun aku seringkali tertidur di ruang kerja. No problem," imbuhnya.

"Bagaimana, Aira? Are you oke?" Athar menatap lekat gadis itu.

"Baiklah. Aku mengerti." Aira menyeret tas besarnya. Athar menunjukkan sebuah almari dan menyuruh Aira memasukkan semua barang-barangnya.

Sesudah itu, Athar pun menghilang di balik pintu penghubung. Entah apa yang ia lakukan di sana.

Aira membuka tas dan segera memindahkan isinya ke dalam lemari. Sepasang matanya yang indah mengerjap mendapati map berwarna biru. Map berisi selembar kertas tempat nasibnya di gantungkan. Aira tersenyum miris.

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status