Bab 2) Pertukaran Pengantin
"Ah, tidak apa-apa." Mendadak Rani salah tingkah.
"Sebaiknya kamu bersiap-siap untuk acara besok. Sebentar lagi mungkin Tuan Hendra akan segera menghubungi kita. Mereka akan memberitahukan pertukaran pengantin...." Rani mengibaskan tangannya, berusaha menetralkan rasa gugup dalam diri, karena ini bukan waktu yang tepat bagi Athar mengetahui soal kebenarannya.
"Dan aku tidak suka itu, Mom. Aku hanya ingin menikah dengan Kiara bukan Aira. Lebih baik kita batalkan saja, Mom. Jangan pernah mempermainkan pernikahan...."
"Dan setelah ini kamu akan menarik kembali dana yang sudah kamu berikan untuk restoran Tuan Hendra. Iya, kan?" tebak Rani.
"Dari mana Mommy tahu?"
Wanita berumur setengah abad yang masih nampak cantik jelita itu hanya tersenyum.
"Itu memang yang ada di dalam pikiranku sekarang, Mom." Nafas Athar turun naik mengingat ulah Kiara yang menginjak-injak harga dirinya sebagai seorang lelaki dan calon suami. "Aku pastikan setelah ini mereka akan jatuh miskin!"
"No, no. Jangan lakukan itu, Nak. Tidak boleh keras kepala seperti itu. Ingat, nama baik kita juga dipertaruhkan disini. Kamu tidak mau, kan reputasi Bumi Berkah Group tercoreng oleh kegagalan pernikahanmu?" Rani mengingatkan.
"Terimalah Aira sebagai istrimu!" imbuh Rani.
"Aku tidak mencintainya, Mom. Aku mencintai Kiara!" Suara Athar terdengar memelas.
"Kalian semua memaksaku untuk berada di posisi sulit." Lelaki itu menyugar rambutnya. Dia frustasi. Matanya nyalang menatap pintu depan rumah mereka. Tak ada siapa-siapa yang berada di depan pintu, hanya saja dadanya selalu berdegup kencang, berharap Kiara akan segera datang kembali dan melanjutkan rencana pernikahan mereka.
"Mommy hanya ingin kamu bersikap realistis, Athar. Kenyataannya Kiara pergi setelah kamu bilang bahwa Bumi Berkah Group akan segera bangkrut. Kamu paham itu artinya apa?" geram Rani menghampiri putranya. Dia mengguncang bahu laki-laki muda itu.
"Aku mengerti, Mom, tapi aku mencintai Kiara. Harus berapa kali aku mengatakan ini kepada Mommy?"
"Jangan bodoh, Athar! Biarkan saja Kiara pergi. Untuk apa kamu memikirkan seorang gadis yang tidak mencintaimu dengan tulus, hanya menginginkan hartamu saja? Makan itu cinta!" omel Rani. Dia benar-benar gemas, Tak habis pikir dengan putranya yang malah bucin akut dengan Kiara, gadis ambisius yang diam-diam tak disukai oleh Rani.
"Pergilah ke kamarmu dan segera beristirahat. Mommy tidak mau tahu. Besok pagi kamu harus siap untuk menjalani akad nikah, menikah dengan Aira, bukan Kiara!"
Sebelum Athar sempat menyahut, ponsel Rani keburu berdering. Sebuah nama menghiasi layar ponsel yang berkedap-kedip, membuat perempuan setengah tua itu tersenyum. Dia sudah menunggu telepon ini sejak tadi
Dia adalah Hendra, lelaki setengah baya yang akan segera menjadi besannya. Rani hanya tersenyum mendengar semua keluhan Hendra tentang kehilangan putri tirinya.
*****
"Sah! Sah!" Orang-orang berseru di tengah ruangan yang cukup luas di sebuah hotel berbintang lima.Aira pasrah dengan nasibnya. Dia memilih menikah dengan Athar, menggantikan Kiara yang sampai pagi ini tak juga muncul di rumah mereka, Padahal papanya sudah mengerahkan beberapa orang kepercayaan untuk mencari Kiara.
Aira tak bisa mendeskripsikan perasaannya saat ini, kecuali hanya berharap semua berjalan baik-baik saja. Aira sama sekali tidak mengenal Athar. Dia juga heran kenapa lelaki itu mau saja menikahi dirinya.
Bukankah Athar dan Kiara saling mencintai? Sementara dalam pandangan Aira, pertukaran pengantin ini terlihat begitu mudah, bahkan Rani, ibu kandung Athar, wajahnya begitu sumringah. Tidak terlihat sedikitpun gurat kesedihan.
Akad nikah yang dilanjutkan dengan resepsi membuat Aira merasa bosan. Ini bukan pernikahan impiannya, meskipun akad nikah dan resepsi dirancang dengan begitu mewah.
Salah satu sisi hati Aira mengakui kebenaran ucapan Kalina. Jikalau ia menolak pernikahan ini, bisa dipastikan semua akan menanggung malu. Sudahlah. Biarlah ia berkorban untuk kali ini. Dia hanya berharap selanjutnya bisa menjalani hidupnya dengan tenang tanpa banyak drama lagi. Sudah cukup ia mengalami banyak hal selama 15 tahun terakhir, setelah Alia, ibunya meninggal dunia dan Kalina menggantikan posisi ibu kandungnya sebagai istri papanya.
Sembari menyambut uluran tangan para tamu, pikiran Aira melayang ke mana-mana, tentang apa yang seharusnya ia lakukan dan itulah yang menjadi pikirannya. Bukankah ia sudah sah menjadi istri Athar? Ah, pasti lelaki itu akan meminta haknya. Tanpa sadar Aira bergidik. Jujur ia belum siap menjalani semua itu.
Hari beranjak siang dan semuanya usai. Aira memasuki sebuah kamar hotel yang sangat mewah. Begitu memasuki kamar itu, hidungnya mengendus bau harum semerbak. Pipi gadis itu bersemu merah melihat ranjang dengan sprei berwarna putih susu serta taburan bunga-bunga mawar yang membentuk hati di tengah-tengahnya.
"Nyaris tidak bisa dipercaya aku akan menikah semendadak ini," gumam Aira seraya mengurut dadanya yang terasa sedikit sesak.
"Seharusnya aku menikah dengan lelaki yang kucintai, tetapi kenapa jodohku seperti ini. Ahh...." Gadis itu mengeluh.
Aira duduk di meja rias menatap pantulan wajah dan tubuhnya di cermin. Sungguh sangat cantik. Kulitnya yang putih bersih, make up sempurna dengan sebuah mahkota kecil yang membuat penampilannya seperti seorang ratu. Aira memang sangat cantik, cantik alami, berbeda jauh dengan Kiara yang lebih pandai memoles wajahnya dengan berbagai kosmetik.
"Kamu cantik." Tiba-tiba suara maskulin terdengar, membuyarkan lamunan Aira. Gadis itu menoleh. Athar berdiri dengan tangan terlipat di dada.
"Athar!" Gadis itu akan memekik, tetapi buru-buru ia menutup mulutnya.
"Tidak apa-apa. Aku akan membantumu melepas mahkota itu." Athar mendekat, berdiri di belakang Aira dan dengan hati-hati melepas mahkota yang melekat di kepala sang istri.
"Nah, sudah. Sebaiknya segeralah membersihkan diri. Aku menunggumu di sini untuk berbicara tentang kita," titahnya.
Seperti kerbau dicocok hidungnya, Aira menurut. Aira beranjak melangkah menuju almari dan mengambil baju ganti serta selembar handuk, kemudian melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi.
*****"Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Aira. Kini mereka duduk berhadapan di lantai yang hanya beralasan selembar karpet."Maaf, jika harus melibatkanmu dalam hal ini." Wajah Athar sedikit murung saat mengucapkan kata-kata itu.
"Apa maksudmu?" potong Aira tak sabar.
"Aku mencintai Kiara, adikmu," cetus Athar terus terang.
"Aku tahu. Aku hanya pengantin pengganti untuk menutupi rasa malu dari dua keluarga." Aira menelan ludah demi membasahi tenggorokannya yang mendadak terasa kering.
"Aku berjanji akan memperlakukanmu dengan baik semampuku, karena aku tahu pernikahan ini juga berat untukmu. Apa kamu sudah memiliki seorang kekasih sebelumnya?" tanya Athar.
Spontan Aira menggeleng. "Aku tidak pernah memiliki seorang kekasih seumur hidupku."
"Syukurlah. Kalau begitu aku tidak perlu merasa bersalah karena sudah merebut kekasih orang lain." Athar menghela nafas lega.
"Kalaupun aku sudah memiliki kekasih, aku pun akan tetap menyetujui pernikahan ini, karena bagaimanapun keluargaku sudah berhutang budi kepadamu. Bukankah kamu sudah menginvestasikan uang sejumlah dua miliar untuk pengembangan restoran papa?"
"Aku tidak sejahat itu, Aira!" sergah Athar. Wajahnya terlihat marah padam.
"Aku tahu pernikahan ini sangat berat bagimu dan juga bagiku, karena itu aku tidak mau memberatkanmu, menekanmu dengan sejumlah keinginan. Untuk itulah kita harus membicarakan ini, membuat kesepakatan agar kedepannya kita bisa menjalani hidup masing-masing dengan benar...."
"Menjalani hidup masing-masing? Apa maksudmu?" Dada Aira berdebar.
Sampai segitukah Athar kepadanya, sehingga di malam pertama pernikahan mereka, lelaki ini sudah membicarakan soal perceraian?
Bab 3) Sebuah PerjanjianAthar tidak menjawab, malah beranjak menuju meja nakas, menarik laci di bawahnya dan mengambil sebuah map. "Kamu baca ini, Aira," ujar Athar datar.Aira mengangguk. Dia membuka map dengan hati berdebar-debar."Jadi kamu ingin kita bercerai setelah aku menemukan orang lain sebagai tambatan hati. Perjanjian macam apa ini?" Tubuh Aira seketika gemetar. Hampir saja map yang dipegangnya jatuh. Sudah sebegitu tak berhargakah dirinya, sehingga Athar sama sekali tak ada itikad untuk berjuang mempertahankan pernikahan ini. Ini pernikahan, sesuatu yang suci, bukan lelucon!Aira menggeleng keras. Dadanya penuh sesak. Sakit hatinya bagaikan di tusuk-tusuk, merasa terhina.Athar menatap iba gadis itu. "Aku pikir ini adalah yang terbaik. Kalau kamu memang ingin berpisah dariku, silahkan tanda tangan. Jika kamu tanda tangan, maka saat itu juga jatuh talakku atas dirimu," ujar Athar."Kamu tidak sungguh-sungguh dengan pernikahan ini, Athar?" Aira memberanikan diri menatap su
Bab 4) Hadiah PernikahanTak ada yang istimewa dengan menu sarapan pagi ini, hanya roti ditemani segelas susu hangat. Aira mengambil roti dan mengolesinya dengan selai nanas, lalu memberikannya kepada Athar"Terima kasih, Sayang." Lelaki itu tersenyum manis sekali yang dibalas Aira dengan sebuah anggukan. Sandiwara yang sungguh sempurna. Berpura-pura saling jatuh cinta agar jangan ada pertanyaan soal hubungan yang tengah mereka jalani. Tidak perlu seisi rumah apalagi perusahaan tahu yang sebenarnya terjadi, cukup mereka berdua saja.Athar memakan rotinya dengan cepat, kemudian meneguk susu hingga isi gelas tandas."Aku berangkat dulu ya, Sayang. Nicko sudah menungguku di luar," pamit lelaki itu."Kok buru-buru sih? Mommy masih ingin ngobrol sama kamu. Kalian kan baru menikah. Banyak yang harus Mommy bicarakan sama kamu," keluh Rani. Dia bahkan mengangkat sebelah tangannya demi mencegah Athar yang sudah beranjak dari kursi tempat duduknya."Kita bisa mengobrol lain kali, Mom. Aku haru
Bab 5) Kedatangan Kiara"Kamu? Apa urusannya denganmu?" tuding Kiara dengan sepasang netranya. Dia sangat terkejut, meskipun itu tak menyurutkan niatnya untuk melepaskan diri dari kungkungan Alvino. Kiara lelah. Dia sudah tak punya waktu lagi untuk melayani Alvino dengan segala argumentasinya.Hanya perlu sekali sentakan menggunakan sikunya untuk memukul dada lelaki itu, Alvino mengaduh dan pelukannya pun terlepas. Kiara berlari kecil menuju kamarnya, mengambil tas kemudian segera pergi dari apartemen itu, tidak peduli dengan teriakan Alvino yang memanggil-manggil namanya. Kiara masuk ke dalam lift dan segera menutupnya. Dia bermaksud turun ke lantai dasar dan dengan menggunakan ponselnya, Kiara memesan taksi yang akan ia gunakan untuk menuju gedung pusat berkah Bumi Group.Tidak lama berselang, taksi pesanannya datang. Kiara segera masuk ke dalam dan mobil pun meluncur. Sepanjang perjalanan, gadis itu masih tetap bermain ponsel. Dia mencermati beberapa data tentang perusahaan mili
Bab 6) Merebut Athar?"Athar!" Suara pekik tertahan disertai dengan benda yang jatuh ke lantai.Athar buru-buru melepas pelukannya terhadap Kiara. Dia pun terpekik melihat Aira yang berdiri gemetar dari jarak kurang lebih sepuluh langkah dari tempatnya sekarang."Aira...." Lelaki itu mendekat. Matanya memicing melihat sebuah kotak makanan yang tergeletak di lantai."Aira, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Maaf." Lelaki itu menunduk, mengambil kotak makanan, lalu meraih tangan Aira, menggandengnya menuju sofa tempat Kiara duduk.Namun Kiara justru berdiri dan bertepuk tangan. "Bagus ya! Katanya kamu tidak mencintai Aira, tetapi kenapa perlakuanmu padanya begitu manis? Bahkan di saat kamu ketahuan memelukku, seakan-akan itu adalah sebuah kesalahan!" bentak Kiara. "Ya, tentu saja itu salah. Aira adalah istriku, bagaimanapun caranya kami menikah. Aku menghargai Aira sebagai wanita yang sudah kunikahi. Dan apa yang kita lakukan barusan adalah sebuah kesalahan," balas Athar.Tangannya
Bab 7) Ini Bukan Lelocun, Kiara!"Maaf," lirih Aira saat berhasil menegakkan tubuhnya kembali. Dia melepaskan diri dari tangan kokoh itu. Rasanya teramat malu menyadari dirinya berada di dalam pelukan seorang lelaki padahal ia telah bersuami, walaupun itu bukan berdasarkan kesengajaan. Namun tak dapat di sangkal, debaran di dadanya menyergap. Ini untuk pertama kalinya ia berada di pelukan seorang lelaki, lantaran sampai sejauh ini, Athar belum pernah menyentuhnya. Hubungan Aira dan Athar lebih mirip sepasang sahabat, bukan suami istri.Aira menghela nafas, mendorong tubuh tinggi besar itu kemudian segera menutup pintu lift. Aira memijat tombol yang akan membawanya menuju lantai dasar.Sementara itu, lelaki itu masih saja berdiri terpaku membayangkan wajah wanita yang barusan tanpa sengaja dipeluknya. Wajah wanita yang terasa begitu familiar. Dia merasa sangat mengenal sosok wanita yang barusan ia peluk, tapi dimana ia mengenalnya? Otaknya terus berusaha untuk mengingat-ingat."Pera
Bab 8) Siapa Dia?Mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi membuat nyali Aira menciut, sehingga akhirnya ia mengurangi kecepatan laju mobilnya. Apalagi ia baru beberapa hari ini kembali berurusan dengan mobil. Selama tinggal bersama papa dan mama tirinya, Aira jarang sekali menyetir sendirian. Waktunya habis untuk mengurusi rumah dan dapur, bahkan dia tidak sempat menginjakkan kaki di bangku perkuliahan, padahal papanya adalah orang berada.Entahlah, Aira juga tidak habis pikir. Laki-laki setengah tua itu mau saja menurut perkataan istri keduanya yang mengatakan bahwa Aira lebih cocok di rumah saja dan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi."Daripada suntuk, sebaiknya aku ke restoran Papa saja. Benar-benar ya, Kiara sudah merusak moodku. Apa haknya meminta Athar kembali kepadanya? Memangnya Athar itu barang?" Meskipun sembari menggerutu, matanya tetap awas menatap ke depan. Perjalanan menuju restoran papanya memakan waktu sekitar 30 menit.Alia Resto and Cafe. Itulah nama restoran papany
Bab 9) Ancaman Hendra"Apa yang terjadi, Aira?" Hendra menatap wajah putrinya dalam-dalam. Gurat kesedihan jelas terlihat dari wajahnya yang jelita. Lelaki setengah baya itu berdiri menghampiri Aira yang hanya bisa tertunduk. Wanita muda itu memandangi gelang yang melingkar di lengannya. Gelang pemberian mommy Rani sebagai salah satu hadiah pernikahannya. Ah, untung saja gelang itu tidak rusak setelah aksi rebutan dengan Kiara barusan. Aira menghela nafas berat."Kiara tadi datang ke kantor Athar, Pa," adu Aira."Apa?" pekik Hendra sangat terkejut. Sampai saat ini putri tirinya itu belum menginjakkan kakinya kembali ke rumah mereka, tetapi dia sudah menyambangi kantor Athar yang sekarang sudah menjadi suaminya Aira."Kiara? Mama tidak salah dengar?" sela Kalina serius. Dia sama sekali tidak terkejut, karena barusan Kiara mengirimkan pesan di ponselnya dan mengabarkan soal itu."Betul, Ma. Dan tahukah Mama, apa yang putri kesayanganmu itu lakukan?" ujar Aira. Gadis itu bangkit dan ber
Bab 10) Layu Sebelum BerkembangAira mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dia sudah tidak peduli dengan apapun. Hatinya sakit. Masih terngiang-ngiang ucapan mama Kalina yang memintanya untuk bercerai dari Athar, kemudian pertengkaran kedua orang tua itu. "Aku dan Athar bukan barang yang bisa kalian pisahkan seenaknya. Aku dan Athar sudah menikah dan aku harus melaksanakan amanah mommy Rani untuk menjaga pernikahanku. Kenapa sih Mama Kalina dan Kiara tidak mau mengerti? Kiara yang memutuskan untuk tidak mau menikah dengan Athar, tetapi kenapa setelah beberapa hari, mendadak dia datang lagi dan minta untuk kembali?"Aira merasa seperti dipermainkan oleh takdir. Hanya dalam beberapa hari hidupnya serasa jungkir balik. Tentu saja Aira tidak tahu alasan adik tirinya melakukan hal itu, karena gadis itu bukan sebangsa Kiara yang memandang seseorang dari materi. Dia menerima Athar apa adanya, tanpa syarat apapun, walaupun ada perjanjian di antara mereka. Mungkin saat ini ia belu