Share

Goblin

Author: Bintang Perak
last update Last Updated: 2024-04-24 20:48:53

"Aww! Sakit, Sialan!" Art menarik diri dari tangan yang tengah mengobati pelipisnya dengan kapas dan alkohol.

"Hhh." Pria itu mencebik. "Kukira spesies macam dirimu anti rasa sakit."

Art memanggilnya Daichi, pria 37 tahun asal Jepang yang hampir tiga tahun ini menjadi partner kerjanya.

"Kau kira aku batu?!" hardik Art.

"Kau hantu." Daichi membalas dengan nada rendah. Sehelai plester dibalutkannya ke pelipis Art yang sedikit terluka saat bertarung melawan anak-anak buah Erica di gallery lukis.

Saat ini Art berada di kediaman Daichi.

Sebuah rumah tinggal yang berada di dalam gedung tua terbengkalai belasan tahun di sudut kota. Entahlah, tidak ada yang bisa menjelaskan kenapa dia memilih tinggal di sana di saat orang lain termakan rumor tentang hantu-hantu penunggu gedung tersebut.

Daichi memang sekonyol itu.

Kotak P3K ditaruh Daichi kembali ke tempatnya di dalam sebuah nakas rendah yang ada di belakang Art.

"Banyak surel yang masuk," celetuk pria sipit itu tiba-tiba. Salah satu dari sekian banyak komputer yang berjejer dihampiri lalu dinyalakannya. Dia menduduki kursi yang terlihat lumayan nyaman. "Permintaan mereka beragam. Uang yang ditawarkan juga lumayan."

Art mendesah kasar mendengar itu. Kepalanya dia sandarkan ke lengan sofa. Melepas lelah karena tenaganya lumayan banyak terbuang sejak semalam. "Aku sedang tidak semangat mengambil misi. Energiku cukup terkuras dua hari ini."

Daichi tak ingin banyak bertanya. Terkadang yang dilakukan Art bukanlah hal yang bisa dia campuri.

"Aku mengerti," kata Daichi tanpa mengalihkan pandang dari layar komputer. "Tapi yang satu ini, kurasa kau akan tertarik."

ΩΩΩΩ

Sepasang kaki beralas sepatu lars, mendarat sempurna di atas tanah setelah melompat dari sebuah pohon yang cukup tinggi di balik pagar.

Wajahnya mendongak ke ketinggian lantai dua dimana jendela yang tadi dia bobol masih menganga.

“Satu!” Dia mula menghitung. “Dua ... tiga!”

“PENCURIIII! TOLOOOONG! RUMAHKU DIBOBOL PENCURI!”

Seringai tipis tercetak di wajahnya yang arogan. Sirat vivid kemenangan tergambar sinis.

“Aku pamit," katanya kemudian dengan gestur seolah memberi hormat. Langsung mencelat menuju mobil hitam yang menunggu dengan siaga, terparkir tak cukup jauh dari sana.

Harus segera pergi sebelum orang-orang berdatangan dan menangkapnya. Tapi tak akan terjadi, kaki panjang miliknya cukup hebat untuk dipakai melarikan diri.

Jalanan lengang di angka jam sebelas malam dilewati mobil hitam itu seperti pusaran angin.

Delapan kilometer berlalu hanya dengan waktu lima belas menit.

Dia sampai di sebuah bangunan panjang dengan banyak pintu berjejer. Rangkaian huruf bertuliskan; PANTI ASUHAN MONTE RIDDA, mengisi sebilah plang tinggi di dekat pagar.

Pasang kakinya melenggang turun dari dalam mobil, menginjak bebatuan yang mengukir jalanan menuju sebuah pintu. Map biru terayun gusar di tangan kiri.

Diketuknya pintu itu dengan hati-hati karena waktu yang tak sepantasnya untuk bertandang.

Ketukan ketiga, pintu terbuka dan menyembulkan seorang wanita paruh baya yang sepertinya memang masih terjaga.

“Anda siapa?” tanya wanita itu dengan kernyitan heran. Dia tak mengenali tamu tanpa undangan di hadapannya sama sekali.

Seorang pria tinggi. Hoodie hitam menutupi kepala lengkap dengan masker serupa gelap.

Si wanita paruh baya perlahan menggerakkan pintu, ingin menutupnya kembali karena mulai merasa ngeri dengan tamu misteriusnya, namun tertahan karena ucapan pria itu di saat yang sama, “Aku sudah mengambil benda yang dirampas orang itu dari tanganmu.” Map biru yang tadi dipegang si pria disodorkan ke hadapannya. “Ini."

Nyalak melebar mata wanita itu. Ditatap dan diamatinya map yang kini ada di tangan. “Sertifikat tanah dan bangunan panti.”

“Ya! Jaga baik-baik, jangan sampai ada orang yang mengambilnya lagi."

Kini si wanita ingat. "Kau ... apakah kau ... Goblin?" Jantungnya berdentam keras mengingat dia pernah mengirim permintaan tolong melalui email Goblin dengan harapan tipis akan direspon. Ditambah, uang yang dia tawarkan tak cukup banyak.

"Hmm."

Jawaban itu semakin mengejutkan wanita itu.

"Oh, Tuhan." Dia menutup mulut, masih tidak percaya. Dia pikir Goblin yang ramai dibicarakan hanya fiksi atau bualan, tapi saat ini dia benar-benar diselamatkan oleh hal yang tidak dia yakini.

"Spesial untukmu dan anak-anak di panti ini, aku menggratiskan jasaku. Permisi, Nyonya."

Wanita itu masih tersihir, dan sadar di lima detik kemudian.

"Heyyy! Aku belum berterima kasih. Setidaknya kau minum teh buatanku dulu, Nak!"

Sayangnya Goblin sudah lenyap ditelan kegelapan malam.

____

"Membobol rumah orang selalu jadi hal yang mengesankan," Art bergumam seraya melepas masker dan menurunkan hoodie di kepalanya. Tangannya masih sibuk mengemudi, kali ini dengan kecepatan biasa saja.

Kelokan di depan sana ditatap sesaat, lalu tidak peduli dan melewatinya. Itu adalah jalan menuju kediaman Daichi. Demikian berarti dia akan pergi ke tempat lain.

Sampai setengah jam kemudian ....

“Segelas air putih dengan potongan lemon.”

Wanita dengan kemeja putih ketat dan apron hitam di depan perut itu melengak, berhenti sejenak dari aktifitasnya yang tengah memotong apel, lalu mendengus setelah melihat siapa mpunya suara. “Hh, seniman sialan," dengusnya. "Jadi kapan kau akan mencoba cocktail juara buatanku?”

Ximena, dulunya seorang DJ kelab malam, tapi berhenti dan memilih mengelola kafe 24 jam milik ayahnya.

“Sebelum musim dingin tahun ini," jawab pria itu--Art.

“Kenapa tidak sekalian saat kau mati saja.” Air putih lemon tetap juga dia sodorkan ke hadapan Art yang merupakan langganan kafe-nya sejak dua tahun lalu.

“Thanks!” Art mana peduli.

“Ckk! Keparat ini!"

Di sela obrolan santai itu, seorang gadis datang mendekat.

“Tampan! Boleh aku duduk di sini?”

Art dan Ximena menoleh bersamaan.

Rambutnya pirang sebahu dengan penampilan lucu, t-shirt crop dan rok hitam di atas paha, persis tokoh anime, berdiri di samping Art seraya menunjuk bangku kosong di sebelahnya.

Ximena melempar senyuman kecut pada Art lalu menggeleng. “Kuharap kau tak akan menggadaikan ketampananmu setelah ini.”

Art tak menimpal ocehan sahabatnya, memilih beralih pada gadis yang diperkirakan usianya kurang dari dua puluh tahunan itu. “Duduklah.”

Dengan girang gadis itu duduk. Senyum senang di wajahnya terus bertahan. “Jadi, siapa namamu?”

Art tersenyum, "Panggil saja Art."

Gadis itu semakin kegirangan mendapat sambutan semanis gula. "Namamu keren sekali!" pujinya degan nada over-excited. "Aku Irena." Dia mengulurkan tangan dan Art menerimanya dengan kecupan sekilas. Membuat wajah merah gadis itu semakin matang.

Terdengar erangan dari mulut Ximena. "Bedebah gila."

Belum berlanjut perkenalan mereka, ponsel di saku hoodie Art berdering. Pria itu merogohkan tangan ke dalam saku lalu melihat layar ponselnya, nama seseorang terpampang di sana.

Art mengangkat panggilan itu. Gadis di sampingnya memerhatikan tanpa menyela.

“Baiklah. Aku ke sana," kata Art di akhir obrolan. Ponsel dimasukkan lagi ke tempat asal. “Aku harus pergi."

"Kau baru saja sampai," ujar Ximena.

"Ini darurat."

"Baiklah, lakukan sesukamu. Tapi jangan lupa bayar jasaku." Ximena mendengus lagi.

"Akan kuganti dengan satu keranjang lemon."

Art berdiri, tapi tangannya ditahan Irena yang juga ikut berdiri “Kau mau kemana? Kita bahkan belum mengobrol. Bisa minta nomor teleponmu?”

Disikapi Art kembali dengan senyuman. Tangan si gadis dilepas dari tangannya secara lembut. Namun gerakan berikutnya membuat gadis itu membeku diam, lalu terdengar jeritan iri banyak gadis lainnya di sekitaran.

“Kau akan dapatkan nanti," kata Art lalu melenggang pergi setelah kurang lebih lima detik lamanya mengecup bibir gadis itu tak tahu malu.

Ximena tak habis pikir dan geleng-geleng. “Akan kulaporkan kelakuanmu pada Hanna. Mati kau, Bedebah.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Pengawal Biasa   Chapter 35

    Perkelahian sengit terjadi di bawah terowongan rel kereta api, pukul sembilan waktu setempat. Satu lawan empat. “JANGAN LARI KAU, BEDEBAH!!!” Satu meneriaki dengan suara keras, lalu mengejar. “KEMBALIKAN TAS ITU PADA KAMI!” Lawan tunggalnya terus berlari menembus gelap tak peduli suara-suara rusuh di belakangnya. Sebuah tas hitam berukuran 30x20 senti ikut berjoged di tangan kanan, terayun terombang-ambing namun tetap dipertahankan. “Ck! Kemana larinya sialan itu?!” Dua dari empat orang yang tersisa berkeliling badan mengedar tempat, setelah dua lainnya pingsan lebih dulu habis dihajar musuh yang hanya satu. Tak mereka dapati orang yang sedang mereka kejar, tiba-tiba saja menghilang entah kemana. Namun detik berikutnya .... HAPP! DUGG! Setungkai kaki panjang entah dari mana munculnya menendang dua orang tadi sekaligus. Keduanya tersungkur sampai ke tengah rel. Ternyata orang itu bersembunyi, menunggu lawannya lengah. “Keparat!” teriak salah satunya seraya mengusap cairan mera

  • Bukan Pengawal Biasa   Chapter 34

    “Apa alasan Anda begitu percaya pada anak itu, Ketua?” Sargas bertanya pada Jared, ingin tahu. Saat di markas besar Phantom, Jared bukan lagi seorang presiden, melainkan ketua Phantom, itulah alasan panggilan Sargas sesaat lalu. Acara sarapan pagi baru saja usai. Ternyata tidak ada pembahasan penting apa pun seperti yang dikatakan Jared. Art hanya diperkenalkan dengan Awan Ketujuh--lantai ajaib Phantom. Dan anak itu baru saja berlalu dari ruangan bersama Demian Goon. Jared tersenyum, dia sudah paham benar apa yang ada dalam pikiran dan pandangan Sargas terhadap Art. Pria kacamata itu belum bisa mempercayai, terlebih Art hanya anggota baru yang bahkan belum genap enam bulan bergabung dengan Phantom Security. “Dia pelindung putriku. Aku hanya menghargai pekerjaannya,” jawab Jared, masih santai. “Dengan mempersembahkan Awan Ketujuh?” sergah Sargas, keberatan. “Ya,” jawab Jared. “Dia pantas mendapatkan penghargaan ini.” “Tapi, Ketua--” “Berulang kali putriku dicelakai musuh, berul

  • Bukan Pengawal Biasa   Chapter 33

    Menyadari dirinya melewati batas, Art segera menjauhkan diri. Baju depan Krystal yang kancingnya sudah dibuka tiga oleh tangannya, dia rapikan lagi.“Maaf, aku hanya terbawa suasana, aku tidak bermaksud begitu,” ujarnya menyesali. Mulanya dia berniat bangkit, berjalan-jalan untuk setidaknya membuang keinginan kuat dari kelelakiannya, namun ....“Art!”Krystal menahan tangannya.Mereka bersitatap lagi.“Aku tidak keberatan!” kata Krystal, lalu menelan ludah setelahnya, merasa ganjil menyikapi dirinya sendiri.Art mengerut kening. “Maksudmu?”Sesaat Krystal terdiam. Bibirnya bergerak-gerak, ragu untuk berkata. Napas dipautnya sebentar, modal mendorong diri dan suaranya agar keluar. Sampai kemudian .... “Aku tidak keberatan melakukan hal yang tadi. Bukankah kita ....” Rasa ragu itu muncul lagi, namun tak lama .... “suami istri?” tandasnya.Demi apa pun Art terkejut, tak menyangka dia akan mendengar itu dari mulut seorang Krystal yang dasarnya begitu takut dengan hubungan demikian dengan

  • Bukan Pengawal Biasa   Chapter 32

    “Bagaimana bisa ada ular sebesar itu di dalam mobil?” Art berkicau tak habis pikir.Saat ini dia dan Krystal sudah berada di dalam kendaraan yang sama, mulai melaju meninggalkan area danau.“Mungkin terjatuh dari pohon.”Menanggapi asumsi Krystal, pikiran Art bergerak mundur ke pemandangan tempat di mana mobil dia parkirkan tadi.“Tidak mungkin!” sanggahnya setelah dengan jelas meraih ingatan, hanya berlangsung tujuh detik saja. “Pohon sekurus itu tidak akan mungkin menampung ular sebesar tadi. Jika dari danau, tidak ada bekas di rerumputan pergerakannya.”Ukuran phyton itu sebesar betisnya, panjang dan bertenaga, sementara pohon yang disebut Krystal terlihat tak memungkinkan. Daunnya saja hampir botak. Pohon lain lebih sehat bahkan berjauhan jarak.“Huh, lebih jelasnya ular itu sedang berjemur!” sungut Art, kesal sendiri.Krystal terkekeh tanpa suara.Art sempat kesulitan menyingkirkannya karena sang reptil terus berontak dan berusaha ingin melilit. Beruntung dia punya banyak cara. S

  • Bukan Pengawal Biasa   Chapter 31

    Selepas dari kegiatan mengunjungi anak-anak di panti asuhan siang ini, Krystal meminta Art berbelok ke suatu arah di mana ada hamparan Danau Biru menguasai sebuah wilayah di timur Arvis.“Kenapa tiba-tiba ingin ke sini?” tanya Art, ingin tahu. Dia menurunkan tubuh, ikut duduk seperti Krystal di bawah pohon tepian danau.“Udara segar di sini membuatku tenang,” jawab Krystal tanpa mengalihkan tatapan dari depan. “Saat kecil aku sering ke sini bersama Ibu.” Bibirnya menarik senyum, membayangkan masa-masa berkesan itu.Dia sudah bisa mengatur perasaan di hadapan Art. Lebih tenang dan biasa tanpa ada letupan di dalam dada.Art mengangguk sekali sebagai tanggapan. “Sayang sekali kita tidak membawa makanan, minuman, buah-buahan dan alas duduk.”“Kau benar. Andai mereka ada, ini akan terlihat seperti piknik sungguhan.” Krystal sependapat.“Memang sungguhan," sanggah Art. “Hanya makan minum dan alas duduk yang membedakan.”Krystal tersenyum sedikit lebih lebar kali ini.Dalam beberapa saat ked

  • Bukan Pengawal Biasa   Chapter 30

    Selang dua hari kemudian ....Suara derap langkah kaki milik Mesach Shiloh menggema di sebuah lahan sepi jauh dari pedesaan Nadav, kemudian melambat, kaku dan membelalak setelah penglihatannya dikuasai sesuatu beberapa meter di depan sana.Beberapa saat Shiloh membeku, sementara isi kepala terus mencerna keadaan.Pohon yang hanya berdiameter kurang lebih tiga puluh senti beberapa jarak di depan, mengekang seseorang dengan seutas ikatan di batang induk berserat kasar.“Dia benar-benar menepati janjinya,” gumam Shiloh, takjub, juga sedikit masih tidak percaya.Dia yang dimaksudnya tentu adalah Art.Orang itu, pria yang diikat di badan pohon itu ... adalah orang yang telah membuat putri Shiloh menetap di rumah sakit jiwa hingga sekarang. Dia adalah si perampok sekaligus pemerkosa yang sudah tiga tahun ini buron, selalu beruntung dan lolos dari kejaran polisi.Tapi Art ... semudah ini anak itu menangkapnya. Bagaimana bisa?“Tuhan memberkati melalui tanganmu, Anak Muda.”Ponsel di saku Shi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status