"Sepagi ini kau mau kemana?" Art baru meraih kesadarannya setelah terlelap hampir enam jam di atas sofa apartemen Hanna.
Saat ini Hanna sudah nampak rapi dengan setelan seperti biasa. Harum parfum dari tubuhnya menyeruak ke sekitaran."Aku akan bekerja. Sarapan sudah kusiapkan di meja," jawab Hanna. Dia mengambil posisi duduk di tepi sofa yang direbahi Art. Wajah pria itu dibelainya seraya tersenyum manis. "Banyak pertanyaan yang ingin kuajukan padamu tentang apa yang kau lakukan semalam, tapi ...." Ditengoknya jam di pergelangan tangan, lalu kembali menatap Art. "... Waktuku akan tersita karena itu."Art mendengus, "Padahal aku menantikannya. Kau selalu seperti itu. Aku jadi kekurangan perhatian."Dan Hanna selalu tersenyum menyikapi sikap manja Art yang tak tahu malu, seperti semua itu adalah makanan kesukaannya. Sepasang telapak tangan dia rangkumkan ke wajah pria yang selalu membuatnya tak pernah berhenti untuk mencinta. "Setelah kita menikah, semua waktuku milikmu," katanya, lalu mengecup sekilas bibir kekasihnya yang masih kering itu.Godaan yang manis."Hey, aku belum gosok gigi. Kita bisa melakukannya lebih lama setelah itu."Sayangnya Hanna sudah melanting pergi dengan tawa renyah untuk memperolok kekasihnya. "Jangan lupa mengunci pintu dan titipkan kuncinya pada Bibi Maria!"Art terduduk memberengut, menatap pintu yang tertutup penuh sesalan."Awas saja. Akan kubuat kau lupa bernapas nanti." Dia berjanji pada diri sendiri. Bibir hasil kecupan Hanna diusapnya lagi, kontak dengan pikiran yang mulai kotor. "Ah, sial. Lembutnya bahkan masih terasa." Betapa menyesali semalam tertidur cepat.Satu jam kemudian Art sudah mandi dan rapi, kemudian bersiap meninggalkan apartemen Hanna.Motor di parkiran diambil lalu melaju secepat angin. Art akan pulang ke gallery dan merenung banyak di sana. Bukan lagi tentang bibir manis Hanna yang begitu lembut, melainkan perkara kejadian di rumah Tuan Presiden.Andai Jared Filmore bertanya, jawaban apa yang akan dia lontarkan. Sebagai Art si pelukis yang belum menyempurnakan lukisannya, atau Art yang ikut bertarung sebagai berandal gila?Itu ... sedikit membuat pusing.Pasalnya selama di kota ini, belum ada yang mengetahui jika dirinya pandai bertarung tendang dan kepalan tangan, termasuk Hanna dan teman-temannya yang tak seberapa jumlah. Kecuali mereka yang jauh di sana.Andai tak demi kemanusiaan, dia tak akan rela menunjukkan diri.Tanpa terasa motornya melaju kian mendekat ke arah gallery dan terus semakin mengikis jarak.Tapi belum sempat semua terealisasi, sebuah keadaan mengubah banyak yang Art rencanakan di kepalanya tadi.Motor dibantingnya serampang tanpa terparkir dengan baik. Pemuda itu melanting ke halaman gallery dengan wajah terkejut bukan kepalang. Tubuhnya berkeliling membagi edar.Kebun kecilnya hancur berantakan. Sawi pagoda yang dia rawat dengan sayang, tersebar dan terserak bahkan sampai mengotori sungai kecil yang selalu dia jaga kebersihannya.Tak jauh beda dengan keadaan di dalam rumah. Semua lukisan dirobek dan diacak-acak seperti gumpalan kertas yang tak berharga. Semua kuas patah menjadi remah. Cat-cat terciprat tumpah memberi warna pada lahan dan bagian yang tak punya hak untuk disempurnakan.Art tidak berteriak marah dan menghijau seperti Hulk, tidak bertaring seperti vampir atau lainnya. Amarahnya bertumpuk di dada, kepalan tangan, serta sorot mata yang menajam seperti elang. Seketika banyak pertanyaan mencuat ke kepalanya."Keparat mana yang berani merusak kesenanganku?" Itu salah satunya, dia ingin tahu. Suaranya terdengar menggeram seperti singa. Selebihnya mungkin akan tak baik."Aku!"Jawaban tak diduga itu membuat Art melengak. Raut-raut wajah seketika memenuhi penglihatannya di ambang pintu, lalu menyebar hampir ke semua penjuru ruang.Mereka semua adalah pria-pria berbaju gelap."Siapa kalian?!" tanya Art, terdengar berat dan menekan. Sorot matanya masih setajam tadi, tidak ada takut yang tersirat apalagi ancang-ancang akan berlari. Kakinya kokoh berdiri di tempat seakan siap diterjang."Hahaha!" Mereka semua tertawa membalas pertanyaan Art yang kedengarannya polos seperti anak TK.Art yang sudah marah tentu tak akan membuat tawa-tawa itu mencapai puas. Sebelum melakukan yang seharusnya, dia menyapu satu per satu wajah, entah untuk apa tujuannya.Detik berikutnya, sebuah meja ditendang ke udara lalu mendarat di badan dua orang yang berdekatan. Mereka mengerang sakit dan sisanya mengumpat keras. Suasana seketika berubah gaduh.Perkelahian kembali terjadi, satu lawan banyak. Art sibuk memainkan semua bagian tubuh untuk melawan, dan nyawa adalah taruhannya.Dia tidak akan peduli.Kepalang sudah, gallery yang dibangun Art susah payah dengan ketekunan, kini benar-benar hancur tanpa rupa.Semudah itu orang menghancurkan impian dan usaha orang lainnya. Bagaimana dunia serimba ini?ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ"Apa maksud Anda menariknya ke dalam Phantom, Tuan Presiden?" Goon tidak mengerti dan dia butuh jawaban sekarang juga, sebelum perintah itu disanggupinya.Jared Filmore yang santai duduk di sebuah kursi menatapnya dengan yakin. "Aku ingin dia melindungi Krystal," ungkapnya. "Sesederhana itu, apa kau tidak mengerti?"Goon menelan ludah menyadari kesalahannya terlalu mencolok. "Saya mengerti, Tuan." Cukup satu anggukan dan dia tak ingin bertanya lagi."Lekas bawa dia. Aku sendiri yang akan menginterview-nya. Selain itu, dia juga harus menyelesaikan lukisannya, bukan?"Tidak ada alasan Goon untuk membantah, walau sebenarnya dia tak yakin dengan keputusan presiden yang ingin merekrut seorang pelukis untuk menjadi pengawal putrinya. Selain sebagai seorang seniman dan pintar beradu tinju, seluk beluk pria itu bahkan belum diketahui bibit bebet dan bobotnya.Tapi apa mau dikata, perintah Jared telah turun ke tangannya, dan itu adalah harga mati yang tidak akan bisa ditawar."Baik, Tuan. Segera saya laksanakan."----------------Malam hari di sebuah tempat yang jauh dari keramaian."BODOH! ... KALIAN SEMUA BODOH!"Teriakan Erica Filmore menantang jagat. Wajah merah mengurat kencang, menandakan betapa murkanya dia saat ini.Di hadapannya, para pria yang jumlahnya lebih dari sepuluh berdiri dengan telapak tangan saling mengait di balik punggung. Tak ada yang berani mengangkat wajah."Bagaimana bisa kalian yang banyak ini gagal menangkap satu orang cecunguk saja, huhh?!" Napas Erica kian memburu tak terkendali, dia benar-benar marah."Maafkan kami, Nyonya. Anak itu benar-benar kuat." Husky menjawab dengan wajah merunduk."Kuat katamu?" Erica menatapnya seolah akan menelan. Perlahan dia melangkah mendekat pada pria itu lalu mencengkram dagunya yang berjenggot tipis. "Lalu tubuhmu yang besar ini apa isinya?"Husky berpasrah dan diam saat Erica melayangkan tamparan keras di bagian pipi yang sudah bonyok sebelumnya karena perbuatan Art.Ya. Mereka adalah orang-orang yang datang dan menghancurkan rumah gallery Art siang tadi, mereka bukan bagian dari Phantom.Selain rumah yang berhasil dirusak, tak ada yang berarti. Tujuan utama mereka tak bisa diselesaikan dengan sempurna. Art mampu melawan dan berhasil melarikan diri."Aku tidak mau tahu, bagaimana pun caranya ... kalian harus berhasil menyingkirkan sialan itu!"Perkelahian sengit terjadi di bawah terowongan rel kereta api, pukul sembilan waktu setempat. Satu lawan empat. “JANGAN LARI KAU, BEDEBAH!!!” Satu meneriaki dengan suara keras, lalu mengejar. “KEMBALIKAN TAS ITU PADA KAMI!” Lawan tunggalnya terus berlari menembus gelap tak peduli suara-suara rusuh di belakangnya. Sebuah tas hitam berukuran 30x20 senti ikut berjoged di tangan kanan, terayun terombang-ambing namun tetap dipertahankan. “Ck! Kemana larinya sialan itu?!” Dua dari empat orang yang tersisa berkeliling badan mengedar tempat, setelah dua lainnya pingsan lebih dulu habis dihajar musuh yang hanya satu. Tak mereka dapati orang yang sedang mereka kejar, tiba-tiba saja menghilang entah kemana. Namun detik berikutnya .... HAPP! DUGG! Setungkai kaki panjang entah dari mana munculnya menendang dua orang tadi sekaligus. Keduanya tersungkur sampai ke tengah rel. Ternyata orang itu bersembunyi, menunggu lawannya lengah. “Keparat!” teriak salah satunya seraya mengusap cairan mera
“Apa alasan Anda begitu percaya pada anak itu, Ketua?” Sargas bertanya pada Jared, ingin tahu. Saat di markas besar Phantom, Jared bukan lagi seorang presiden, melainkan ketua Phantom, itulah alasan panggilan Sargas sesaat lalu. Acara sarapan pagi baru saja usai. Ternyata tidak ada pembahasan penting apa pun seperti yang dikatakan Jared. Art hanya diperkenalkan dengan Awan Ketujuh--lantai ajaib Phantom. Dan anak itu baru saja berlalu dari ruangan bersama Demian Goon. Jared tersenyum, dia sudah paham benar apa yang ada dalam pikiran dan pandangan Sargas terhadap Art. Pria kacamata itu belum bisa mempercayai, terlebih Art hanya anggota baru yang bahkan belum genap enam bulan bergabung dengan Phantom Security. “Dia pelindung putriku. Aku hanya menghargai pekerjaannya,” jawab Jared, masih santai. “Dengan mempersembahkan Awan Ketujuh?” sergah Sargas, keberatan. “Ya,” jawab Jared. “Dia pantas mendapatkan penghargaan ini.” “Tapi, Ketua--” “Berulang kali putriku dicelakai musuh, berul
Menyadari dirinya melewati batas, Art segera menjauhkan diri. Baju depan Krystal yang kancingnya sudah dibuka tiga oleh tangannya, dia rapikan lagi.“Maaf, aku hanya terbawa suasana, aku tidak bermaksud begitu,” ujarnya menyesali. Mulanya dia berniat bangkit, berjalan-jalan untuk setidaknya membuang keinginan kuat dari kelelakiannya, namun ....“Art!”Krystal menahan tangannya.Mereka bersitatap lagi.“Aku tidak keberatan!” kata Krystal, lalu menelan ludah setelahnya, merasa ganjil menyikapi dirinya sendiri.Art mengerut kening. “Maksudmu?”Sesaat Krystal terdiam. Bibirnya bergerak-gerak, ragu untuk berkata. Napas dipautnya sebentar, modal mendorong diri dan suaranya agar keluar. Sampai kemudian .... “Aku tidak keberatan melakukan hal yang tadi. Bukankah kita ....” Rasa ragu itu muncul lagi, namun tak lama .... “suami istri?” tandasnya.Demi apa pun Art terkejut, tak menyangka dia akan mendengar itu dari mulut seorang Krystal yang dasarnya begitu takut dengan hubungan demikian dengan
“Bagaimana bisa ada ular sebesar itu di dalam mobil?” Art berkicau tak habis pikir.Saat ini dia dan Krystal sudah berada di dalam kendaraan yang sama, mulai melaju meninggalkan area danau.“Mungkin terjatuh dari pohon.”Menanggapi asumsi Krystal, pikiran Art bergerak mundur ke pemandangan tempat di mana mobil dia parkirkan tadi.“Tidak mungkin!” sanggahnya setelah dengan jelas meraih ingatan, hanya berlangsung tujuh detik saja. “Pohon sekurus itu tidak akan mungkin menampung ular sebesar tadi. Jika dari danau, tidak ada bekas di rerumputan pergerakannya.”Ukuran phyton itu sebesar betisnya, panjang dan bertenaga, sementara pohon yang disebut Krystal terlihat tak memungkinkan. Daunnya saja hampir botak. Pohon lain lebih sehat bahkan berjauhan jarak.“Huh, lebih jelasnya ular itu sedang berjemur!” sungut Art, kesal sendiri.Krystal terkekeh tanpa suara.Art sempat kesulitan menyingkirkannya karena sang reptil terus berontak dan berusaha ingin melilit. Beruntung dia punya banyak cara. S
Selepas dari kegiatan mengunjungi anak-anak di panti asuhan siang ini, Krystal meminta Art berbelok ke suatu arah di mana ada hamparan Danau Biru menguasai sebuah wilayah di timur Arvis.“Kenapa tiba-tiba ingin ke sini?” tanya Art, ingin tahu. Dia menurunkan tubuh, ikut duduk seperti Krystal di bawah pohon tepian danau.“Udara segar di sini membuatku tenang,” jawab Krystal tanpa mengalihkan tatapan dari depan. “Saat kecil aku sering ke sini bersama Ibu.” Bibirnya menarik senyum, membayangkan masa-masa berkesan itu.Dia sudah bisa mengatur perasaan di hadapan Art. Lebih tenang dan biasa tanpa ada letupan di dalam dada.Art mengangguk sekali sebagai tanggapan. “Sayang sekali kita tidak membawa makanan, minuman, buah-buahan dan alas duduk.”“Kau benar. Andai mereka ada, ini akan terlihat seperti piknik sungguhan.” Krystal sependapat.“Memang sungguhan," sanggah Art. “Hanya makan minum dan alas duduk yang membedakan.”Krystal tersenyum sedikit lebih lebar kali ini.Dalam beberapa saat ked
Selang dua hari kemudian ....Suara derap langkah kaki milik Mesach Shiloh menggema di sebuah lahan sepi jauh dari pedesaan Nadav, kemudian melambat, kaku dan membelalak setelah penglihatannya dikuasai sesuatu beberapa meter di depan sana.Beberapa saat Shiloh membeku, sementara isi kepala terus mencerna keadaan.Pohon yang hanya berdiameter kurang lebih tiga puluh senti beberapa jarak di depan, mengekang seseorang dengan seutas ikatan di batang induk berserat kasar.“Dia benar-benar menepati janjinya,” gumam Shiloh, takjub, juga sedikit masih tidak percaya.Dia yang dimaksudnya tentu adalah Art.Orang itu, pria yang diikat di badan pohon itu ... adalah orang yang telah membuat putri Shiloh menetap di rumah sakit jiwa hingga sekarang. Dia adalah si perampok sekaligus pemerkosa yang sudah tiga tahun ini buron, selalu beruntung dan lolos dari kejaran polisi.Tapi Art ... semudah ini anak itu menangkapnya. Bagaimana bisa?“Tuhan memberkati melalui tanganmu, Anak Muda.”Ponsel di saku Shi