Serena menatap bunga-bunga yang tumbuh di taman sekolahnya. Menghela nafas sejenak. Lalu memilih untuk menatap ke arah seorang laki-laki yang sedang duduk di kursi taman.
Serena tidak mengenal laki-laki itu. Laki-laki itulah yang tiba-tiba saja menariknya dari kantin ke taman sekolah. Serena ingin marah. Namun Serena sadar bahwa tanpa laki-laki itu, pasti kondisi badannya saat ini sudah kotor karena terkena tumpahan jus jambu. "Mau?" tanya Yoshiro menyodorkan roti yang sudah ia gigit sedikit. "Aku tidak bisa memakan makanan sisa," balas Serena. "Makanan sisa? Aku hanya mengingat sedikit di bagian ujungnya. Lagipula ini juga belum dibuang ke tempat sampah. Lalu kenapa kamu menyebutnya sebagai makanan sisa?" "Karena sudah kamu gigit." "Aku tidak akan membagi apa pun lagi padamu setelah ini." Yoshiro mengingat rotinya dengan perasaan kesal. Menguyahnya tanpa kembali memandang ke arah Serena. "Siapa yang menabrakmu?" tanya Yoshiro melirik ke arah kaki Serena. "Entahlah. Tapi yang pasti, dia sudah di penjara dan akan bertahan di sana seumur hidup," balas Serena. "Bagaimana dengan otaknya?" "Otak? Apa yang kamu maksudkan?" "Orang yang menyuruh pelaku. Tidak mungkin ada orang yang tidak mengenalmu, tiba-tiba saja mengarahkan mobilnya ke arahmu. Pasti ada orang yang memerintahkannya dan orang itulah yang memang sejak awal ingin menghilangkan nyawamu." Serena menyipitkan matanya. Ia tidak pernah terpikirkan itu sebelumnya. Karena menurut berkas kejadian perkara, pelaku yang menabraknya dalam kondisi mabuk. Namun mendengar apa yang dikatakan oleh Yoshiro, membuat Serena kembali berpikir apakah memang itu mungkin? "Bagaimana denganmu? Kamu sudah mencari masalah dengan anak penjabat. Sebentar lagi, kehidupanku akan hancur," tanya Serena kembali memandang ke arah taman. "Entahlah. Kehidupanku sudah hancur sejak awal. Hancur sehancur-hancurnya. Sampai di titik di mana dia tidak mungkin dia bisa menghancurkannya lagi. Jadi jangan dipikirkan," balas Yoshiro dengan santainya. "Bersembunyilah. Atau tinggalah di kantor polisi selama sebulan belakangan. Dengan begitu, orang suruhan mereka tidak akan bisa menyentuhmu." "Tidak perlu memikirkan ku. Aku lebih pintar dan kuat darimu." "Aku menyarankan itu karena ingin berterima kasih atas apa yang ingin kamu lakukan tadi." Yoshiro mengangguk pelan. Ia cukup senang karena setidaknya perempuan yang akan ia jaga bukanlah seorang manusia yang lupa cara berterima kasih. "Apakah laki-laki tadi yang kutendang anak dari perdana menteri?" tanya Yoshiro setelah rotinya habis. "Benar," jawab Serena. "Whoa, sepertinya aku salah memilih lawan tadi. Seharusnya aku tidak perlu melakukan tendangan terakhirku." "Benar. Sekarang pergilah dan jangan pernah muncul lagi di hadapannya." "Kenapa kamu selalu memintaku untuk pergi?" "Karena aku tidak suka dengan kehadiranku. Jangan mencoba membodohiku. Aku tau siapa orang yang mengirimmu ke sini." Yoshiro melirik ke arah Serena. Lalu tersenyum kecil. Serena ternyata lebih pintar dari dugaannya. Hanya butuh satu memontum untuk Serena menyadari siapakah Yoshiro. "Aku akan meminta ayahku untuk melepasmu. Pergilah ke tempatmu berasal. Dan jangan pernah menginjakkan kakimu lagi di sini. Tempat ini bukanlah tempatmu," ujar Serena. "Bagaimana aku pergi jika tugasku saja ada di sini?" tanya Yoshiro menyandarkan punggungnya ke kursi taman. "Bagaimana caramu melindungi ku jika kamu saja tidak bisa melindungi dirimu sendiri?" "Siapa yang mengatakan bahwa aku tidak bisa melindungi diriku sendiri? Bukankah tadi aku baru saja melindungimu?" "Itu hanyalah kejadian kecil. Belum serius. Setelah ini, jika kamu masih bertingkah seperti ini, maka sudah dipastikan bahwa nyawamu akan melayang." "Tidak masalah. Selama gajiku dibayarkan, maka itu sudah cukup." Serena heran dengan sikap Yoshiro. Lebih mementingkan uang daripada nyawa. Berani melawan para petinggi negara hanya untuk mendapatkan selembar kertas. "Apakah kamu memang bermusuhan dengan perempuan tadi?" tanya Yoshiro melipat kedua tangannya. "Tidak hanya dia. Semua orang di sekolah ini memusuhiku," balas Serena. "Kenapa?" "Karena aku sering merendahkan mereka. Sama seperti aku merendahkanmu tadi. Aku merasa diriku lebih tinggi dari mereka semua, saat aku masih berpacaran dengan Brian. Dan sekarang kondisi berbalik. Saat ini, di sekolah ini, aku berada di kasta paling bawah." "Kamu seorang perempuan yang suka merundung murid lain. Aku yakin emosimu labil. Lalu bukankah kejadian tadi seharusnya membuatmu sedikit merasa kesal?" "Apa gunanya? Apa yang bisa aku lakukan? Aku tidak bisa melakukan apa pun saat ini. Entah itu dengan kekuasaan ayahku. Atau mungkin dengan kekuatanku sendiri. Sama-sama tidak ada gunanya." "Apakah kamu yakin? Jangan melupakanku. Aku masih menunggu perintahmu saat ini." Serena diam. Menatap ke arah Yoshiro. Laki-laki itu sejak awal memang mengisyaratkan bahwa tidak takut pada apa pun termasuk pas orang-orang yang berdiri di pemerintahan. Namun tidak ia sangka bahwa laki-laki itu sedang menunggu Serena untuk memberikan perintah pembalasan dendam.Sheila menggaruk keningnya saat melihat ada banyak sekali laporan perusahaan yang menumpuk di meja kerjanya. Sheila sudah bergabung dengan perusahaan milik Keluarga Olivia semenjak keberangkatan Yoshiro ke Jepang sebelas tahun lalu.Selama sebelas tahun itu, Yoshiro dan Ivona selalu menyempatkan waktu untuk kembali dan menemui Sheila. Namun satu tahun ke belakangan ini kedua orang itu sama sekali tidak memberikan tanda-tanda bahwa akan kembali. Membuat Sheila sedikit takut jika seandainya ada sesuatu yang buruk terjadi pada mereka.Perhatian Sheila teralihkan saat mendengar ada suara ketukan pintu. Ia merasa malas karena ia yakin itu adalah salah satu bawahannya yang membawa dokumen untuk diperiksa."Masuk," ujar Sheila dengan suara lemas.Pintu terbuka. Namun tidak terlalu lebar. Sheila memandangi pintu itu, bertanya-tanya siapakah orang yang sedang mengerjainya. Serena? Tidak, Sheila yakin itu bukan Serena. Karena pada jam seperti sekarang, Serena masih berada di universitas dan bar
Yoshiro dan Ivona sudah berada di Jepang selama beberapa minggu. Dan mereka lebih sibuk dari biasanya. Bahkan Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di kantor daripada di rumah. Namun semuanya mulai membaik setelah dua minggu berlalu.Ivona sudah mulai bisa bernafas lega dan pulang ke rumah lebih awal. Sedangkan Yoshiro juga sudah mulai berhasil mengikuti lebih banyak kelas di universitas tempatnya berkuliah.Seperti saat ini, Yoshiro dan Ivona sedang berada di cafe kecil. Ivona menikmati kopi hitam. Dan Yoshiro menikmati minuman cokelat hangat."Aku akan mulai menyerahkan tanggung jawab beberapa perusahaan pada CEO yang aku tunjuk mulai minggu depan. Jadi kemungkinan aku akan memimpin satu perusahaan utama dan hotel yang kamu pegang sekarang," ujar Ivona memegang gelas kopinya dengan kedua tangan untuk memastikan seberapa panas kopi itu."Aku rasa tidak masalah jika aku yang masih memimpin hotel itu. Lagipula membiarkanmu bekerja sendiri, itu tidak masuk di akalku. Lebih baik kamu me
Yoshiro menghela nafas sambil memandang ke arah pantai. Ia melepaskan segala penatnya setelah selama seminggu dirinya harus fokus pada ujian akhir sekolahnya. Dan kini ia sudah berhasil melewati itu semua. Hanya sisa pengambilan berkas nilai. Lalu acara kelulusan siswa.Pandangan Yoshiro teralihkan dari ombak pantai saat melihat sebuah mobil putih menuju ke arahnya dan berhenti tepat di hadapan mobilnya. Pemilik mobil itu keluar. Kening Yoshiro mengkerut. Ia mengenal siapa perempuan itu. Yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah kenapa perempuan itu ada di sini? Bukankah seharusnya perempuan itu berada di kantor untuk menyelesaikan tugasnya?Ivona Olivia. Pemimpin Keluarga Olivia yang sebentar lagi akan berpindah ke Jepang untuk membangun beberapa perusahaan baru bersama Yoshiro."Apakah ada masalah?" tanya Yoshiro menghadap Ivona."Tidak ada. Aku sempat melacak mobilmu dan melihatnya menuju ke arah pantai. Aku berpikir bahwa kamu sedang bersama seseorang di sini. Jadi aku ke mari,"
Yoshiro terkejut saat Ivona datang ke kantornya dan masuk ke dalam ruang kerjanya. Perempuan itu masih menggunakan setelan jas berwarna hitam. Menandakan bahwa perempuan itu langsung menemuinya setelah melakukan rapat penting di kantor utama. "Kenapa?" tanya Yoshiro bangkit dari kursi kerjanya."Tidak ada. Aku hanya ingin mengajakmu makan siang. Kita sudah lama tidak makan bersama bukan?" jawab Ivona menutup pintu."Bukankah akan menjadi masalah jika ada orang yang melihat kita bersama?""Kita makan di sini. Aku sudah memesan makanan. Dan akan diantar oleh Yuri.""Kenapa tidak makan nanti setelah pulang dari kantor saja?""Aku ingin makan sekarang. Kenapa? Apakah tidak boleh?""Boleh."Ivona duduk di sofa. Lalu Yoshiro pun duduk di samping Ivona. Ivona merangkul tangan Yoshiro. Dan menyandarkan kepalanya pada bahu Yoshiro."Aku belum membelikanmu hadiah ulang tahun. Kemarin pun tidak sempat merayakannya karena kamu pulang tengah malam," ujar Ivona."Tidak masalah. Kita sudah sama-sam
Yoshiro berjalan mengendap-endap saat memasuki kamar. Karena ia melihat ada tubuh Ivona terbaring di atas kasurnya. Ia tidak mengerti mengapa perempuan itu akhir-akhir ini lebih sering tidur di kamarnya. Namun itu jelas-jelas membuatnya tidak memiliki banyak ruang.Secara hati-hati, Yoshiro melepas jas dan sepatunya. Lalu duduk di kasur secara perlahan supaya tidak membuat kasur bergoyang. Namun tiba-tiba saja tubuh Ivona bangkit dan membuat Yoshiro terkejut."Kenapa kamu baru pulang?!" tanya Ivona dengan nada keras."Aku bertemu dengan teman lamaku. Bukankah aku sudah mengirim pesan tadi?" balas Yoshiro dengan nada lemah karena takut."Kamu hari ini ulang tahun! Kenapa kamu tidak bertemu dengan temanmu besok atau lusa saja?! Seharusnya kamu menghabiskan hari ini bersamaku!""Aku tidak pernah merayakan hari ulang tahunku. Aku pikir tidak ada perayaan spesial hari ini. Dan aku pikir kamu tidak tau. Jadi aku minum bersama temanku sepulang kerja.""Kamu minum?""Sedikit.""Berapa orang?"
Keenan mendatangi club malam yang selalu menjadi tempat berkumpulnya dengan anggota kelompok White Owl. Ia datang bukan untuk bertemu dengan client yang ingin menyewa jasa kelompoknya. Melainkan karena ia mendapatkan kabar bahwa ada seorang laki-laki mengamuk di bar dan menghantam seluruh orang termasuk seluruh anggota White Owl yang sedang asik berdansa di sana.Saat memasuki club, sama sekali tidak ada suara musik terdengar. Bahkan tidak ada suara-suara orang. Benar-benar senyap. Saat Keenan mulai masuk lebih dalam, Keenan bisa melihat ada banyak sekali orang terkapar di lantai dengan luka memar dan beberapa bagian wajah mengeluarkan darah. Di antara semua orang yang jatuh pingsan itu, ada seorang laki-laki menggunakan jas sedang duduk di kursi meja bar. Dengan gelas kecil dan sebotol minuman beralkohol."Apa kamu ke sini untuk membunuhku?" tanya Keenan pada laki-laki itu.Remaja itu memutar badannya. Dan saat itu Keenan bisa melihat jelas sosok laki-laki yang telah mengacaukan mar