Lalu sebuah tarikan di tangan membuat cekalanku mengendur pada baju Talita.
"Sudah, Bu Mayang. Jangan bar-bar begini! Nggak enak dilihat orang-orang." Fira memegangi tanganku. Pandanganku menyapu keadaan sekeliling. Beberapa orang yang berada di sekitar toko menatap dengan heran.
Akhirnya aku melepaskan cekalan dengan kasar. Membuat tubuh gadis itu terhuyung ke belakang.
"Dengarkan saya dulu, Mbak. Saya datang ke sini hanya ingin meminta maaf sama Mbak. Nggak ada maksud lain. Lagi pula setelah keluar dari penjara, baru kali ini saya datang ke sini." Talita berucap dengan tangan memegangi lehernya. Ada bekas kemerahan di sana. Mungkin karena cengkeramanku terlalu kuat.
"Saya tidak butuh maafmu! Tunggu saja sampai saya dapatkan bukti tentang kejahatanmu lagi!" Aku menunjuk-nunjuk wajah munafiknya.
"Fir, jangan pernah biarkan orang ini berkeliaran di toko. Besok saya akan carikan sa
"Mencari buktinya ke mana? Udahlah. Nanti kalau ada orang macam-macam lagi, kita bisa awasi dari CCTV. Masalah orang yang mengaku keracunan itu biarkan saja. Nanti kalau diperpanjang, justru tokomu yang akan tercoreng namanya."Dia menepuk kepalaku beberapa kali, lalu beranjak berdiri."Ayo makan siang dulu. Kamu belum makan, kan?" Dia mengulurkan tangan. Berniat membantuku bangun.Aku mendongak. Kuterima uluran tangannya. Tangan kiriku lalu menepuk-nepuk belakang celana. Siapa tahu kotor karena baru saja duduk lesehan."Belum, sih. Tapi nggak nafsu makan sekarang." Aku mengeluh, sementara tangan bergelayut manja di lengannya."Aku suapi nanti. Ayo!"**Begitu banyak suara di sini. Suara sendok yang beradu dengan piring, suara kendaraan berlalu lalang di jalanan, juga suara percakapan pengunjung warung yang sedang makan.&nbs
Perasaanku campur aduk. Ada rasa takut, marah, kesal, dan perasaan entah lainnya saat melihat sosok perempuan di sana.Aku melangkah cepat menghampiri mereka. Tanpa basa-basi kutarik rambut perempuan itu hingga si empunya memekik kesakitan. Sontak saja suasana di rumah menjadi kacau. Papa, Mama, dan Rafael berteriak memintaku untuk melepaskan tarikan pada rambut Talita."Mau apa lagi ke sini? Mau mencari gara-gara lagi, iya?" Aku bertanya nyalang. Tarikan di rambutnya makin kupererat. Dia semakin memekik sembari memegangi tanganku."Mbak, dengar dulu penjelasan saya. Saya ke sini bukan untuk mencari masalah sama Mbak dan keluarga. Saya hanya ingin minta maaf," jelasnya dengan bibir sesekali mendesis kesakitan.Aku tak peduli. Tarikan tidak kukendorkan sama sekali meski Rafael bersusah payah memintaku berhenti."Sudah, May. Kasihan dia." Mama menegur."Hentikan, Mayang. Niatnya datang ke sini baik. Dengarkan dia dulu." Papa pun ikut membela Talita."Sayang, please! Jangan main tangan s
"Ta, lebih baik kamu pergi. Aku nggak mau lihat kamu ada di sini. Pergilah!" Rafael bersuara setelah lama diam. Mungkin dia memberi ruang bagiku untuk meluapkan semua kekesalan selama ini. Padahal jika bisa, aku ingin menjambak rambutnya sampai botak."Ya sudah kalau begitu. Saya permisi semuanya. Terima kasih Om dan Tante sudah mengizinkan saya masuk." Talita berdiri, melangkah perlahan meninggalkan rumah kami.Aku mendengkus. Kusandarkan punggung di sofa. Rasanya tenggorokan sampai sakit karena menahan emosi yang seharusnya kuledakkan."Apa dia sudah lama berada di sini?" tanyaku pada Papa dan Mama. Aku menatap mereka secara bergantian."Mungkin ada sekitar setengah jam, May. Tapi kalau menurut Mama, sih, dia benar-benar minta maaf dengan tulus. Dia benar-benar merasa bersalah."Sudut bibirku terangkat sebelah. "Orang seperti dia bisa berganti topeng kapan saja, Ma. Kapan harus baik, kapan harus licik, dia sudah lihai." Kutatap semua orang dengan tajam. "Jangan pernah menerima kehad
"Dah siap! Dah rapi." Aku meletakkan kembali sisir ke atas meja.Dia memerhatikan hasil ikatakan rambut di kepalanya dengan seksama melalui cermin rias. Lalu lelaki itu manggut-manggut puas."Lumayan lah. Cewek, kan, memang pinter, ya, soal ikat mengikat."Aku meraih baju kantor yang tadi kulempar asal ke atas ranjang. "Ya lah.""Ya udah, aku ke kamar Ibu dulu mau pamit. Nanti aku tunggu kamu di luar." Dia beranjak keluar. Aku hanya menyahut 'oke' sembari mengganti baju.**Mobil mulai memasuki pelataran toko. Keadaan masih sepi. Sepertinya ini efek dari ulah tiga orang yang ngamuk kemarin.Aku menghela napas usai melepas seatbelt. Belum sempat membuka pintu, sebuah mobil mewah terlihat memasuki halaman toko juga. Seingatku itu mobil milik Ammar. Mau bertemu istrinya lagi pasti.Aku mengurungkan niat untuk turun. Menunggu mereka selesai kangen-kangenan.Sosok laki-laki keren dengan tampilan modis keluar dari mobil. Sembari berjalan, dia melepas kacamata hitamnya.Kuamati dari sini, Fi
"Dia mengajak Chika bermain di pinggir kolam renang. Saat Chika tak sengaja terpeleset, Fira hanya diam mengamati. Sama sekali tidak ada niatan untuk menolong," jelasnya."Siapa tahu dia memang nggak bisa berenang. Jangan terlalu melebih-lebihkan, Mar. Fira itu istrimu. Dia memang dari keluarga sederhana, tapi jangan menghakimi dia seperti itu.""Dia punya mulut, kan? Dia bisa teriak, kan, untuk meminta pertolongan pada orang lain? Kalau saja aku tidak datang, entah apa yang akan terjadi pada Chika." Ammar tampak kesal."Dari mana kamu tahu dia nggak meminta pertolongan? Memang kamu lihat sendiri kalau dia diam saja?" Aku masih berusaha membela Fira. Kalau kupikir, ini hanya kesalahpahaman saja."Ya. Aku melihatnya sendiri dengan kedua mataku dari kamera CCTV. Aku sedang di ruang kerja pada saat itu. Dan terlihat jelas Fira tidak berniat menolong Chika sedikit pun."Aku terdiam. Keningku berkerut dalam. Masih mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Sepertinya ini semua hanya kesalah
Kubuka pintu kamar Ibu perlahan. Benar kata Mama. Alvin sudah tidur."May? Ini Alvin udah bobok." Ibu berucap lirih saat melihatku. Aku melangkah masuk dan duduk di tepi ranjang beliau."Alvin jangan dipindah, ya. Biarin aja tidur di sini sama Ibu."Baru saja aku ingin membawa bocah itu pergi, Ibu sudah bicara lebih dulu."Nanti kalau dia ganggu tidur Ibu gimana?""Nggak papa. Lagian Ibu juga sudah bisa jalan. Ibu sudah sembuh."Akhirnya karena Ibu ngotot, aku batal memindahkan Alvin. Aku kembali lagi ke kamar sendiri untuk segera tidur."Gimana? Udah bobok?" tanya Rafael begitu aku masuk kamar."Udah." Aku naik ke ranjang, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh sebatas pinggang."Minta jatah nggak?" tanyaku pada suami menggemaskan."Pengertian banget. Tapi aku lagi capek. Besok aja, ya. Sekarang kita tidur. Sini aku peluk." Rafael menarik tubuhku agar lebih mendekat padanya. Ah, rasanya hangat mepet-mepet begini. Sama suami sendiri pula.***"Bunda berangkat, ya, Nak. Baik-baik sa
Sial sekali! Mulai hari ini, aku akan sering-sering bertemu Ammar. Bahkan mengerjakan proyek bersama dengan dia."Proyek kita ini bertempat di luar kota. Nanti malam kita berangkat. Kira-kira kita berada di sana sekitar satu minggu. Jadi persiapkan diri dengan baik." Klien-ku menjelaskan.Satu minggu?Ah, kurasa aku bisa gila berada jauh dari Rafael selama itu."Apa ini bisa diwakilkan, Pak? Sama asisten saya mungkin?" Aku menawar."Ya nggak bisa lah, Bu Mayang. Harus Ibu sendiri yang menggarapnya."Aku mendengkus.Saat jam istirahat makan siang, aku menghubungi Rafael."Hei! Kenapa mukanya lemes begitu?" Dia menyapa dengan wajah riang di sana."Mood aku lagi buruk banget, Mas. Masa nanti malam aku berangkat ke luar kota? Udah gitu selama satu minggu pula menetapnya. Dan yang bikin aku kesel, aku bersama Ammar juga."Wajah riang dari wajahnya seketika terurai. Lihatlah! Dia pasti cemburu."Sama Ammar? Memangnya nggak bisa nyuruh orang lain aja yang pergi?""Ya nggak bisa, Mas. Harus a
Kami tiba di lokasi pada jam delapan malam. Ah, badanku rasanya remuk. Perjalanan jauh membuat bokongku rasanya tepos seketika.Kamarku dan Ammar ternyata bersebelahan. Sebelum masuk, dia masih sempat melirikku. Aku melengos. Buru-buru masuk ke dalam kamar dan menguncinya.Kuempaskan tubuh ke ranjang. Rasanya nyaman sekali. Badan yang lelah dipadukan dengan ranjang yang empuk. Sungguh sempurna.Aku menoleh ke samping. Ponselku mencuat keluar dari dalam tas. Aku meraihnya. Nomor Rafael adalah yang pertama aku hubungi. Siapa lagi kalau bukan dia?Tidak membutuhkan waktu lama, wajahnya sudah muncul di layar sekarang. Aku sangat merindukannya. Padahal baru saja sampai. Masih ada sekitar enam hari lagi yang harus kami lalui tanpa satu sama lain.Jantungku bahkan berdebar kencang sata melihat wajahnya."Udah nyampek?" tanyanya. Aku merubah posisi menjadi telungkup."Udah. Aku kangen," keluhku."Baru juga nyampek." Dia terlihat baru saja mandi. Tangan kirinya mengeringkan rambut menggunakan