Share

Bab 3 Rasa Bersalah

Radhy tiba di ruangan kakeknya, dia mengetuk pintu dan langsung masuk. Kakeknya sedang duduk sambil menatapnya. Tanpa basa-basi Radhy bertanya,

"Apa yang Kakek lakukan?"

"Tenang dulu..." Kakek menatapnya dengan wajah santai.

"Ini rencana Kakek? Mempertemukan kami disini? Di hari pertamaku?"

"Iya, benar. Kakek sengaja melakukannya."

"Kenapa?"

"Karena kalian harus bertemu, membicarakan banyak hal. Menyelesaikan semua masalah dan berbaikan."

Radhy tersenyum miris, "Aku tidak mau melibatkan gadis itu lagi, aku tidak ingin mengganggunya lagi! Semua sudah selesai, kenapa kakek malah membuat masalah baru lagi?"

"Kau yang pertama kali membuat dia terlibat Radhy! Kau tidak ingat?" Kakek mulai emosi.

Radhy terdiam.

"Kalaupun bukan kita, orang lain akan menyeretnya kembali. Dia masih anak ayahnya. Dan ayahnya akan segera kembali."

Radhy mengepalkan tangannya, "Biarkan orang lain menyeretnya, tapi aku tidak!"

"Nak," Kakek membujuknya.

"Jangan sekali-kali membuat aku berurusan dengan dia lagi, Kek! Hari ini kami bertemu di kantor, bagaimana kalau ada yang melihat? Orang bisa berpikir kalau kami masih berhubungan."

"Kakek hanya membuat peluang. Bagus sekali kalian bisa bertemu." Kakek berjalan ke arah Radhy, "Istirahatlah dulu, kau perlu berpikir. Kakek tahu dirimu kaget bertemu dengan Ika tiba-tiba. Kalau kakek suruh langsung kau tidak akan mau. Karena itu kakek mengatur ini. Suka tidak suka kalian akan bertemu lagi nanti. Lebih cepat lebih baik kan?"

Radhy menatap kakeknya dengan marah. Dia tidak menyangka kakek merencanakan ini tanpa memberitahunya. Radhy kemudian berbalik menuju ruangannya.

Radhy terdiam, terduduk lesu di meja kerjanya. Kenapa dia sangat terganggu dengan kejadian pagi ini? Radhy mencoba membuka berkas-berkas pekerjaannya, berusaha melupakan hal-hal yang mengganggu.

"Sial, aku tidak bisa fokus!"

Radhy menatap ke depan, tempat dimana Ika tadinya berdiri. Terbayang olehnya bagaimana gadis itu sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya. Penampilannya sudah sangat berubah, gadis itu memakai jilbab dengan pakaian warna gelap dan wajah yang sudah bertambah dewasa. Dia bukan lagi gadis ceria dan polos seperti dulu, sudah banyak hal yang dilaluinya.

Mata Radhy beralih pada buket bunga yang berantakan. Ika mungkin lupa menyusunnya karena buru-buru keluar. Dia melangkah kesana dan merapikan buket tersebut. Dia masih tidak menyangka, gadis yang seharusnya menjauhinya malah datang ke ruangannya membawa bunga. Mungkin sekarang dia menyesal sudah datang kesini.

Gadis itu, bahkan sedikitpun dia tidak melihat ke arahku. Sangat mengganggu sekali.

________________

Ika duduk termenung di depan buket bunga yang sudah disusunnya. Raut mukanya terlihat cemas. Shani menyadari kegalauan temannya. Dia duduk dihadapan Ika dan menatapnya dengan serius.

"Ika, kau mau cerita tentang kejadian tadi?"

Ika hanya diam.

"Kau terlihat sangat emosional tadi, apa sekarang sudah baik-baik saja?"

"Tidak, ini tidak baik Shani." Ika balas menatapnya.

"Apa yang kau rasakan?"

"Rasanya tidak tenang, cemas dan takut."

"Apa yang kau takutkan? Menurutku wajar saja kalau tiba-tiba kita ketemu mantan. Dunia memang sempit."

"Aku punya firasat buruk, kalau aku tahu aku tidak akan pergi kesana."

Shani terdiam. Sepertinya masalahnya lebih rumit dari yang dia pikirkan.

"Kenapa aku tadi tidak melihat dulu? Namanya tertulis di buket itu tapi aku tidak sadar. Kenapa tadi kau tidak memberitahuku kita akan pergi kemana?" sesal Ika.

"Itu karena tadi kita buru-buru, Ika."

Ika menghela napas menyadari kekhilafannya. Rasa cemasnya sekarang menjadi rasa kesal. Ika meletakkan dahinya ke atas meja.

"Sudah, tidak perlu kesal apalagi khawatir. Mungkin memang takdirnya kalian bertemu. Kita tidak bisa memutar waktu kan? Terima saja." Shani menepuk bahu Ika sambil tersenyum.

Ika mengangkat wajahnya dan mengangguk membenarkan perkataan Shani.

"Sekarang kau sudah merasa lebih baik?"

"Sudah," jawab Ika sambil tersenyum tipis.

"Oke. Kalau begitu aku ingin bertanya. Ada yang membuatku penasaran."

Ika mengangguk.

"Aku melihatmu setengah berlari keluar gedung, menembus hujan sampai ke seberang jalan. Apa dia mengatakan sesuatu padamu? Dia tidak melakukan yang aneh-aneh kan?"

"Tidak."

"Lalu?"

"Aku hanya kaget dan sedikit emosional. Hari hujan dan kami hanya berdua di ruangan itu, jadi aku melarikan diri."

"Apa masa lalumu dengannya buruk?"

"Tidak semua."

"Ika, aku bertanya serius sekarang!"

"Dari tadi kan serius."

"Tidak, maksudku, apa kau menyukai laki-laki itu?"

"Dulu iya."

Shani terperanjat, "Dan sampai sekarang masih?"

"Tidak lagi."

"Lalu kenapa tadi kau seperti ingin menangis? Itu artinya ada yang tidak selesai di antara kalian kan?"

"Benar. Ada yang belum selesai."

"Apa itu?"

"Aku melakukan hal buruk padanya, dan aku sangat merasa bersalah. Mungkin itu yang membuat aku terlihat menyedihkan tadi."

"Oke baiklah, dengarkan aku ya, Ika," ucap Shani dengan tegas.

"Apapun yang terjadi di masa lalu, semuanya sudah berlalu kan? Berarti yang tinggal di masa sekarang cuma rasa bersalah saja. Jadi menurutku, kau harus menyelesaikan rasa bersalah itu. Setelah itu baru  kau bisa move on."

"Be-tul sih." Ika tersenyum karena Shani menyimpulkan masalahnya dengan sangat realistis.

"Aku memang belum pernah pacaran, tapi menurutku logikanya seperti itu. Kalau ada kesalahan harus diselesaikan baik-baik misalnya dengan cara meminta maaf. Jadi tidak perlu pusing dan emosional, nanti stres lho."

Ika tertawa dengan kepolosan temannya. Itu mengingatkannya pada dirinya yang dulu. Gadis kecil yang sangat rasional.

"Lho, kenapa? Benar kan?"

"Iya Shani, teorimu benar. Harusnya seperti itu. Tapi ...." Ika berusaha menghentikan gelaknya, "Tidak semudah itu, Fernandes."

"Ya sudah, kalau yang rumit-rumit, aku gak ikutan deh, mumet nanti."

Ika langsung pindah duduk ke samping Shani dan memeluknya. "Pokoknya, lain kali kalau kita ngantar pesanan lagi kasih tahu alamatnya ya, biar aku tidak salah tempat lagi."

"Iya, iya. Bahaya juga nanti kalau tetiba ada yang kabur ninggalin kerjaan kan?"

Tiba-tiba Ika teringat sesuatu.

"Ya ampun bos, aku lupa nyusun buketnya tadi."

"Oalah, kok bisa?"

"Maaf bos. Jangan marah ya bos."

"Ouh, tidak semudah itu Ferdinand."

Mereka tergelak. Sejenak Ika melupakan masalahnya karena ada Shani yang menghiburnya. Senang sekali punya teman yang pengertian dan mau mendengarkan. Ika sangat beruntung. Shani juga senang bisa menghilangkan kemuraman temannya.

Suara pintu dibuka menghentikan tawa mereka. Shani langsung sigap menyambut pelanggan dan melayaninya cukup lama.

Ika sendirian lagi. Kejadian tadi mau tidak mau hadir kembali.

Ika teringat bagaimana mereka berdiri berhadapan. Di ruangan itu hanya ada suara hujan, pria itu, dirinya dan pintu yang terbuka. Dia ingin segera keluar tapi sulit untuk membalikkan badan. Dia tahu, kalau dia berlama-lama disana, mungkin akan ada masalah yang menyusahkan pria di depannya. Pria itu marah karena keberadaannya, kemudian menutup pintu. Mungkin dia takut akan muncul rumor-rumor aneh jika ada yang melihat dan mengenalinya. Ika memilih untuk keluar dari sana secepat mungkin, karena dia takut pria itu melihat air matanya yang menggenang.

Shani benar. Dia harus segera menyelesaikan masalah ini. Rasanya seperti ada tumpukan dalam hati yang ingin dia keluarkan setelah tertimbun begitu lama. Tidak mungkin dia menyimpannya terus-menerus. Tapi banyak hal yang harus dia pertimbangkan, agar tidak terjadi lagi kesalahan seperti lima tahun yang lalu. Ika harus menemukan timing dan metode yang tepat.

Satu hal yang mengganggunya, kenapa mereka harus bertemu hari ini? Sore ini Ika akan menjemput ayahnya dan mengajaknya pulang. Ika takut firasat buruknya menjadi kenyataan.

Sudah lima tahun berlalu. Hari ini Radhy kembali ke Pekanbaru. Hari ini juga ayah Ika keluar dari penjara.

***

Jangan lupa like dan komen ya teman-teman

Kritik dan saran dari kalian sangat ditunggu..

Terima kasih

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status