Share

Bab 5 Terbayang

Ika tertawa getir di dalam hatinya. Bagaimana bisa ini terjadi lagi? Apakah ayahnya pikir dia akan mau jatuh ke lubang yang sama lagi? Tidak. Dulu dia masih sangat muda, dia terpaksa melakukannya karena iming-iming ayahnya. Tapi sekarang, dia sudah tahu kalau dia menerima ini, berarti dia sangat bodoh sekali. Harus ada alasan yang sangat kuat untuknya menerima ini lagi. Ika tidak habis pikir, kenapa orang ingin menjodohkan anak mereka hanya untuk urusan bisnis. Pernikahan bukan untuk main-main.

"Bagaimana Ika?" Ayahnya meminta jawaban.

"Tidak." Ika sangat tegas dalam hal ini.

Ayah memahami itu, dia tidak bertanya lagi.

"Mereka akan datang ke rumah ini besok malam untuk membicarakan hal itu. Kita harus bersiap-siap. Ika, keputusanmu akan sangat menentukan nasib keluarga kita.  Kalau kau ingin menolak, harus ada alasan yang tepat."

"Dengan siapa perjodohan ini akan dilakukan?" Mamanya bertanya penasaran.

"Keponakan Pak Hartama, namanya Davin."

"Apakah Diana memungkinkan Pa?"

"Apa Mama bercanda?" Ika langsung emosi mendengar itu.

"Ika, bayangkan bagaimana kalau kita menolak, Mama takut mereka melakukan yang tidak-tidak. Kenyataan bahwa mereka dengan gampang menginginkan perjodohan, berarti mereka sangat ingin membungkam kita. Mereka juga terancam. Kita harus memanfaatkan itu."

"Bukan Ma, bagi mereka kita bukan ancaman. Sangat mudah bagi mereka menyingkirkan kita. Aku rasa mereka menjadikan kita umpan untuk rencana yang lebih besar. Mereka perlu kita untuk memuluskan rencana besar mereka."

"Lalu apa yang harus kita lakukan Pa?"

"Saat ini kita harus mengikuti arus saja. Kita tidak mungkin melawan perusahaan besar, kita hanya keluarga kecil yang tidak punya kekuatan apa-apa."

"Tidak ada yang tidak mungkin yah." Ika menimpali.

"Perbuatan mereka yang seperti itu, menghalalkan segala cara, melakukan kejahatan, menyakiti orang yang tidak bersalah. Mereka mengantarkan diri mereka sendiri pada kehancuran. Kita tidak boleh takut. Kalau kita tidak punya kekuatan, pasti ada yang akan menolong kita." Ika berusaha tetap positif.

"Ya, Mama juga berharap ada yang membantu kita." Mama sudah kelihatan tenang sekarang. Kami bisa melewati ini. Kami harus bisa melewati ini. Ika akan berusaha melindungi keluarganya sebaik mungkin.

"Baiklah. Kita lihat dulu apa yang akan terjadi besok malam. Setelah itu kita akan memikirkan lagi apa yang harus kita lakukan." Ayah mengakhiri percakapan serius ini.

Mereka beranjak menuju kamar masing-masing. Ika menghempaskan diri di kasur. Dia terdiam. Pikirannya berkelana ke masa lalu.

_________________

Radhy tiba di rumah mamanya sekitar jam delapan malam. Mama memeluknya dengan penuh rasa haru melihat putra satu-satunya sudah kembali dan akan tinggal di kota ini. Dia bisa langsung menemui anaknya jika rindu. Mama membawa Radhy ke kamar tidur lamanya.

Ruangan itu sudah sangat berubah. Sekarang terlihat lebih luas. Selain ranjang dan kamar mandi, hanya ada ruang kerja kecil di sudut dan rak buku besar.

"Mama merombak kamarku?"

"Iya, katanya kau susah tidur. Ruangan yang lapang akan membuat lebih nyaman."

Radhy berjalan-jalan melihat sekeliling kamarnya. Mama memperhatikan dari pintu kamar. Ketika Radhy membuka jendela kamar, Mama berkata, "Bagaimana hari ini di kantor?"

Radhy memalingkan muka ke arah Mama yang terlihat serius.

"Kau bertemu seseorang?"

"Mama tahu?"

"Ya, kakek memberitahu." Mama menghampirinya. Dia memegang tangan Radhy.

"Nak, kau bertemu dengan Ika?"

"Ya, dia mengantarkan bunga masuk ke ruanganku."

"Bagaimana reaksinya?"

"Dia terkejut dan langsung keluar."

"Kau mengerti kan kenapa kakekmu melakukan ini?"

"Tidak, aku tidak mengerti Ma. Kenapa kalian membuat kami bertemu di kantor? Banyak mata yang mengawasi. Bisa timbul rumor dan lain sebagainya."

"Mama yakin tidak ada yang akan mengenalnya. Ika sudah sangat berubah sekarang. Dia hanya seorang pengantar bunga, jadi jangan khawatir, nak!"

"Mama pernah bertemu dengannya?"

"Hanya melihat dari jauh. Dia terlihat mandiri, sedernaha dan lebih cantik. Mama senang Ika bisa bertahan dan tidak terpuruk dengan kondisi keluarganya sekarang."

Radhy terdiam. Mamanya sangat menyayangi Ika dulu.

"Berbaikanlah dengannya nak."

"Ma, aku tidak ingin dia terlibat lagi dengan keluarga kita. Jangan memaksaku melakukan hal yang tidak aku suka!"

"Tidak perlu melibatkan dia dengan bisnis, hanya berteman saja! Kau harus meminta maaf atas kejadian lima tahun lalu. Kalau kalian mau berbaikan, mama akan lebih leluasa bertemu dengannya di luar. Itu juga yang kakekmu inginkan, kalau kalian berhenti saling menghindari kemudian saling memaafkan, akan lebih mudah bertemu dengannya." Mamanya membujuk.

"Kalian lebih menyayangi dia daripada aku?"

"Benar, kau keberatan?"

"Tidak." Radhy tersenyum miris.

"Baiklah, aku akan mempertimbangkan itu, tapi jangan memaksakan hal yang tidak masuk akal. Dan aku tidak akan berteman dengannya!"

"Benar, laki-laki dan perempuan tidak bisa berteman, berbaikan saja!"

"Jangan terlalu berharap. Sekarang lepaskan tanganku Ma!"

"Kau mau kemana?"

Radhy tersenyum lagi, seorang ibu memang mengejutkan dan tidak terduga, mereka punya insting luar biasa.

"Bertemu teman. Aku akan mandi dulu." Radhy bergegas ke kamar mandi.

"Katanya tadi mau kerja di rumah, kenapa jadinya main?"

"Baru ingat Ma, ada yang ngajak ketemuan."

"Jangan main perempuan ya nak? Jangan mabuk-mabukan! Jangan berjudi juga! Mengerti Radhy?" Maman memperingatkan dengan tegas.

"Oke Ma." Radhy berlalu masuk ke kamar mandi.

Mamanya meninggalkan ruangan itu sambil ngedumel, "Awas saja kalau dia macam-macam di luar sana! Dunia anak muda sekarang mengerikan, mereka tidak tahu batas. Mudah-mudahan anakku dijauhkan dari yang buruk-buruk."

Malam itu Radhy menghubungi temannya Andi. Mereka akan bertemu di sebuah cafe untuk minum sambil mengobrol. Andi juga menghubungi teman-temannya yang lain. Mereka dulu berteman sebelum Radhy pergi ke luar negeri. Jadi, ini reuni pertama mereka setelah lima tahun.

Radhy tiba duluan di tempat itu. Cukup lama dia menunggu akhirnya Andi datang.

"Maaf bro, telat. Biasalah, macet. Udah lama disini?"

"Tidak, baru lima belas menitan."

"Wow, si bos memang tepat waktu! Masih sama seperti dulu."

"Begitulah."

"Dimas dan Vani masih dalam perjalanan, tadi mereka menghubungi."

"Hmm..."

"Hei bro! Ini baru awal, kau harus lebih berbaur. Jangan jadi bos kaku disini!"

"Kau tahu aku memang seperti ini."

"Kenapa tidak ada yang berubah selama lima tahun? Aku heran." Andi tergelak.

"Kalau mereka tidak datang dalam lima belas menit lagi, aku pulang!"

"Ayolah, kita bisa menunggu sambil minum. Aku juga punya kenalan perempuan disini." Andi menaikkan alisnya.

Radhy menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, memberikan tatapan tidak percaya pada Andi.

"Aduh! Temanku ini tidak tahu cara bersenang-senang. Jangan bilang kau tidak suka minum dan perempuan?"

"Kau juga tidak berubah sama seperti dulu." Radhy tersenyum. "Kau bisa bersenang-senang, tidak usah hiraukan aku!"

"Jadi kenapa kau datang disini?"

"Hanya mengisi otak agar tidak kosong. Menghindari pikiran yang tidak perlu."

"Ya sudahlah, kau tidak tertolong lagi."

Beberapa menit kemudian Dimas dan Vani tiba.

"Hai, semua! Udah lama nunggu ya?" Sapa Dimas. Mereka berdua duduk.

"Hai, Radhy." Vani menyapa dengan suara menggoda. Radhy hanya mengangguk.

"Aman bro! Kami bahkan belum mulai." Andi menimpali. Mereka memesan minuman dan cemilan kemudian berbincang-bincang.

"Bagaimana hari pertamamu Radhy?" Tanya Dimas.

"Seperti biasa, berjalan lancar." Radhy menjawab datar.

"Widih, mana semangatmu Radhy? Reuni ini untuk menyambutmu, ayolah kawan! Sedikit bersenang-senang ya? Biar kita makin akrab." Dimas menyodorkan minuman beralkohol.

"Tidak, aku tidak minum. Maaf."

"Kenapa? Aku akan menuangkan untukmu." Vani menggoda lagi.

"Kalian bisa menikmatinya. Aku hanya ingin mendengarkan kebisingan saja."

"Baiklah bos! Kami akan membuat suasana lebih meriah lagi." Andi memberi kode pada seseorang disana.

Musik mulai diputar di kafe itu, dengan suara menghentak yang memekakkan telinga. Sementara temannya bersenang-senang, Radhy hanya diam dengan tangan menyilang di dada, menyandar di kursinya dan memejamkan mata.

_____________________

Radhy pulang tengah malam. Kepalanya sedikit pusing karena hiruk pikuk yang menghantam gendang telinganya. Setelah semua yang dialami malam ini, dia bahkan tidak mengantuk. Pria itu masuk ke kamar, mengambil sesuatu dari tas kerjanya, kemudian menelan benda itu. Obat. Radhy berbaring di kasurnya sambil memejamkan mata. Dia butuh tidur. Besok banyak pekerjaan menanti.

Radhy tidak langsung tertidur. Obat yang dimakannya tidak memberikan efek spontan. Terdengar suara gerimis di luar. Hujan lagi. Suara gerimis membawa pikirannya ke tempat yang tidak seharusnya. Dia mencoba membuyarkan pikiran itu. Inilah kenapa keheningan tidak disukainya.

Radhy selalu menyibukkan diri selama lima tahun belakangan. Jika tidak ada pekerjaan, ingatan yang tidak diinginkan bisa tiba dengan sendirinya. Dia tahu, setelah kembali pulang, ia akan selalu merasa terganggu dan tersiksa dengan pikirannya sendiri. Tapi pria itu menerimanya. Anggap saja ini adalah hukuman untuknya.

Obat mulai bekerja. Terbayang dipikiran Radhy, wajah seorang gadis yang berdiri kaget melihatnya. Matanya basah, kemudian terpejam. Titik air jatuh dari matanya. Dan diapun tertidur.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status