Share

Bab 3

<span;>Langit masih gelap ketika Fara terjaga dari tidurnya. Dia mendapati Ivan yang sedang duduk di sampingnya sambil menatap telepon genggamnya dengan wajah yang kecewa. Sesaat Fara memperhatikan. Suaminya itu tampak kecewa dengan apa yang dia lihat atau dia baca di layar hpnya. Tapi dengan siapakah suaminya berkomunikasi di pagi buta seperti ini? Dengan kekasih hatinya itukah?

<span;>"Mas," panggil Fara pelan.

<span;>Ivan pun terkejut. Sepertinya dia tidak tahu jika Fara telah bangun. Dengan gugup dia seperti hendak menyembunyikan ponselnya itu dari Fara. Tapi Fara telah melihatnya. Termasuk melihat dengan jelas kegugupan suaminya itu yang bertingkah seperti seseorang yang baru saja berbuat salah.

<span;>"Jangan mengejutkan aku seperti itu, Fara," protes Ivan tak suka.

<span;>"Mas terkejut? Padahal aku cuma memanggil saja," kata Fara menyahuti.

<span;>"Aku pikir kamu masih tidur."

<span;>Fara diam. Dia memperhatikan ponsel yang Ivan genggam di tangannya.

<span;>"Sedang chat dengan siapa?" tanya Fara.

<span;>"Teman," sahut Ivan pendek.

<span;>"Pada jam segini?"

<span;>"Apa tidak boleh?"

<span;>"Tentu saja boleh. Hanya saja, tidak biasa orang ngobrol dengan teman pada pagi buta seperti ini. Apa membicarakan sesuatu yang penting?"

<span;>Ivan pun menoleh dengan wajah yang cemberut. "Kenapa kamu terus bertanya, Fara?" tanya Ivan tak senang.

<span;>"Apa tidak boleh?" Fara balik bertanya.

<span;>Ivan menggeleng. "Kamu tidak boleh mencampuri semua urusanku. Kamu memang istriku. Tapi tidak berarti kamu bisa mengawasi aku seperti itu. Aku punya kehidupan pribadi yang tidak boleh kamu campuri, Fara."

<span;>"Kenapa begitu?" tanya Fara cepat.

<span;>"Karena aku tidak suka jika kamu mencampuri semua urusanku. Aku akan bertanggungjawab sebagai seorang suami untukmu. Aku akan memberikan nafkah lahir dan batin yang cukup. Tapi jangan pernah campuri urusanku. Sebagai seorang laki-laki, aku punya dunia sendiri yang tak perlu kamu tahu."

<span;>Fara tercekat mendengar kata-kata Ivan itu. Begitukah? Jadi laki-laki punya dunia sendiri yang tak perlu istrinya tahu? Bukannya di antara suami istri itu tidak boleh ada yang dirahasiakan?

<span;>"Pasti perempuan itu, kan? Kekasih Mas Ivan itu?" tanya Fara dengan hati yang perih.

<span;>Ivan menaruh ponselnya di atas nakas. Lalu dengan ekspresi wajah yang dingin dia menjawab pertanyaan Fara barusan. "Kenapa harus kamu tanyakan kalau jawabannya akan membuat hatimu sakit?"

<span;>Sekali lagi Fara tercekat. Bola matanya nanar menatap Ivan. "Jadi benar itu dia? Mas Ivan sedang ngobrol dengan dia barusan?"

<span;>Ivan pun menghela napas panjang. "Dasar perempuan. Sudah dibilang jangan bertanya, masih juga bertanya. Memang sukanya menyakiti diri sendiri."

<span;>Fara merasakan hatinya perih mendengar kata-kata Ivan itu. Kata-kata yang secara tak langsung mengakui bahwa memang dengan kekasihnya itulah barusan dia berbincang. Dan entah apa yang ditulis perempuan itu dalam chat-nya hingga Ivan nampak begitu kecewa. Mungkin luapan emosi karena Ivan kini menikah dengannya. Ya, Fara tahu perempuan itu pasti marah dan cemburu. Tapi sebagai istri sah Ivan, Fara pun merasa cemburu jika suaminya masih terus menjalin hubungan dengan perempuan itu. Meski menikah tanpa cinta, tapi toh tetap rasa cemburu itu ada. Sebab tak ada seorang pun istri yang rela jika suaminya dimiliki oleh perempuan lain. Begitu pun Fara, meski belum memiliki hati Ivan sebagai suaminya.

<span;>Fara terisak pelan. Ivan pun segera menoleh, menatap istrinya itu dengan ekspresi wajah yang datar.

<span;>"Hobimu menangis, ya?" tanya Ivan.

<span;>"Istri mana pun pasti akan menangis jika suaminya menyimpan perempuan lain dalam hatinya," sahut Fara kesal.

<span;>"Kan, aku sudah bilang jangan bertanya kalau kamu tahu jawabannya itu akan melukai hatimu, Fara. Tapi kenapa kamu malah memikirkannya dan membuat luka hatimu sendiri?"

<span;>"Aku tidak bisa untuk tidak memikirkannya! Mas Ivan suamiku! Hatiku sakit jika Mas Ivan memikirkan perempuan lain!" seru Fara sambil terus menangis.

<span;>Ivan tak menyahut. Dia cuma diam sambil terus menatap Fara yang menangis.

<span;>"Kenapa diam?" tanya Fara kemudian.

<span;>"Memangnya aku harus bicara apa? Kamu yang tadi bertanya. Kamu juga yang memikirkan semua itu. Lalu kamu menangis karenanya. Ku pikir, kamu memang hobi menangis, Fara. Dari semalam kerjamu cuma menangis. Lagi pula kan aku sudah bilang kalau aku tidak bisa menjadi suami yang baik untukmu. Sebagai suami aku akan bertanggungjawab. Tapi jangan meminta lebih dariku. Jadi biasakanlah dirimu untuk hidup bersama dengan suami seperti aku. Dan satu hal lagi harus kamu tahu, aku tidak suka dengan perempuan yang cengeng!"

<span;>Fara pun reflek memukulkan guling yang sedang dipegangnya ke badan Ivan. Dia benar-benar kesal mendengar kata-kata suaminya itu. Kemudian Fara menutup wajahnya dengan selimut dan menumpahkan tangisnya di sana.

<span;>"Tidak boleh seorang istri berbuat kasar seperti ini pada suaminya, Fara. Apa kamu tidak tahu itu?" tanya Ivan tanpa bernada emosi.

<span;>Fara tak menyahut. Dia terus tersedu di bawah selimut. Kenapa ada laki-laki yang menyebalkan seperti Ivan, suaminya? Sikapnya begitu dingin dan santai, seolah dia tak merasa bersalah atas perbuatannya itu. Bahkan emosi Fara pun ditanggapinya dengan santai.

<span;>"Istri yang baik harus bisa bersikap manis pada suaminya. Kamu seorang perempuan dewasa. Kamu pasti tahu bagaimana caranya menjadi istri yang baik," lanjut Ivan hingga membuat Fara menjadi semakin kesal.

<span;>"Aku tidak tahu!" cetus Fara di sela tangisnya.

<span;>"Haruskah aku mendidikmu? Tapi aku tidak punya banyak waktu," kata Ivan menyahuti.

<span;>Fara menghentakkan kakinya karena kesal. Ivan pun menghela napas panjang melihat tingkah istrinya itu.

<span;>"Jangan ngambek seperti anak kecil, Fara. Kamu terlalu cengeng. Aku tidak suka jika harus membujukmu."

<span;>"Aku tidak minta mas bujuk!" sahut Fara segera.

<span;>"Kalau begitu berhentilah merajuk seperti itu. Kamu membuatku pusing!"

<span;>Fara pun kembali menghentakkan kakinya. Rasa jengkelnya pada Ivan seperti memuncak. Tapi tak ada yang bisa dia lakukan untuk meluapkan kekesalannya pada suaminya itu. Fara hanya bisa menangis dan menghentakkan kakinya seperti itu sebagai tanda jika dia merasa marah.

<span;>"Hei, Fara," panggil Ivan setelah beberapa saat kemudian.

<span;>Fara diam. Ivan pun menarik selimut yang menutupi wajah Fara perlahan. Kemudian ditatapnya wajah Fara yang basah dengan air mata.

<span;>"Berhentilah menangis dan layani aku," pinta Ivan membuat Fara terkejut.

<span;>"Huh?" Fara balas menatap Ivan dengan wajah bingung. Dia memintaku untuk melayaninya setelah dia membuatku merasa jengkel seperti ini? Apakah dia tidak tahu jika aku sedang merasa kesal padanya?

<span;>"Kenapa bengong begitu? Apa kamu tidak mau melayani suamimu?"

<span;>"Apa harus sekarang? Aku sedang kesal sama Mas Ivan!" sahut Fara cemberut.

<span;>Seolah tak peduli pada amarah Fara, Ivan segera mendekap istrinya itu dan mendaratkan kecupan penuh gairah di wajah Fara yang masih bersimbah air mata.

<span;>"Aku tidak peduli kamu sedang kesal atau sedang sayang padaku. Aku hanya ingin kamu melayaniku dengan baik," kata Ivan dengan napas yang menggebu.

<span;>"Apa harus sekarang?" tanya Fara lagi.

<span;>"Ya, Fara. Kamu harus tahu jika setiap pagi aku selalu bergairah. Kamu istriku, kan? Kamu yang harus melayani aku. Apa harus aku memintanya pada perempuan lain?"

<span;>Fara pun membelalakkan matanya menatap Ivan. Apa dia sengaja membuatku marah?

<span;>"Apa Mas Ivan ingin meminta pada perempuan lain?" tanya Fara sambil menekan emosinya.

<span;>"Apa kamu mengizinkan?"

<span;>Mendengar kata-kata Ivan yang menjengkelkan itu, Fara pun kembali menghentakkan kakinya dengan marah.

<span;>"Makanya jangan suka bertanya yang macam-macam. Kamu kesal sendiri kan jadinya?"

<span;>Fara terus cemberut. Tapi Ivan tak peduli. Dibukanya selimut yang menutupi tubuh polos Fara. Lalu mulai dicumbunya tiap senti tubuh istrinya itu dengan penuh gairah. Setelah melakukan malam pertama semalam, mereka memang sama tidur dalam keadaan yang polos. Ivan merasa senang karena tak harus bersusah payah meminta Fara untuk membuka gaun tidurnya seperti semalam. Istrinya yang masih malu-malu itu membuat Ivan merasa tak sabar.

<span;>Seperti semalam, Fara kembali merasakan sakit ketika Ivan menghujam dan menghentak dengan keras. Seperti semalam pula, Ivan seperti tak peduli pada rintih kesakitan Fara. Dia terus asyik dengan gairahnya. Terus bersemangat meraih puncak kenikmatannya.

<span;>Dia satu-satunya laki-laki yang menyentuhku. Tapi dia tak memberikan aku kenikmatan yang kudambakan selama ini, keluh hati Fara sedih.

<span;>"Jangan khawatir, Fara. Lama-lama kamu pun akan bisa menikmatinya," kata Ivan ketika dilihatnya Fara meringis menahan sakit.

<span;>Lain kali maukah kamu melakukannya dengan lembut? Fara bertanya dalam hati. Sementara itu Ivan terus asyik menuju puncaknya. Dan dia mengerang panjang ketika berhasil meraihnya.

<span;>Fara pun kembali menelan rasa kecewanya. Ternyata Ivan memang tak bisa melakukannya dengan lembut. Luapan gairahnya seperti tak bisa terbendung. Dan Fara tak bisa mengikuti permainannya itu. Karena Fara menginginkan sentuhan yang lembut. Yang membakar gairahnya secara perlahan hingga dia bisa menikmatinya.

<span;>Yang kubayangkan selama ini begitu indah. Tapi dua kali dia melakukan itu, dua kali pula aku merasa terkoyak....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status