<span;>Langit masih gelap ketika Fara terjaga dari tidurnya. Dia mendapati Ivan yang sedang duduk di sampingnya sambil menatap telepon genggamnya dengan wajah yang kecewa. Sesaat Fara memperhatikan. Suaminya itu tampak kecewa dengan apa yang dia lihat atau dia baca di layar hpnya. Tapi dengan siapakah suaminya berkomunikasi di pagi buta seperti ini? Dengan kekasih hatinya itukah?
<span;>"Mas," panggil Fara pelan.<span;>Ivan pun terkejut. Sepertinya dia tidak tahu jika Fara telah bangun. Dengan gugup dia seperti hendak menyembunyikan ponselnya itu dari Fara. Tapi Fara telah melihatnya. Termasuk melihat dengan jelas kegugupan suaminya itu yang bertingkah seperti seseorang yang baru saja berbuat salah.<span;>"Jangan mengejutkan aku seperti itu, Fara," protes Ivan tak suka.<span;>"Mas terkejut? Padahal aku cuma memanggil saja," kata Fara menyahuti.<span;>"Aku pikir kamu masih tidur."<span;>Fara diam. Dia memperhatikan ponsel yang Ivan genggam di tangannya.<span;>"Sedang chat dengan siapa?" tanya Fara.<span;>"Teman," sahut Ivan pendek.<span;>"Pada jam segini?"<span;>"Apa tidak boleh?"<span;>"Tentu saja boleh. Hanya saja, tidak biasa orang ngobrol dengan teman pada pagi buta seperti ini. Apa membicarakan sesuatu yang penting?"<span;>Ivan pun menoleh dengan wajah yang cemberut. "Kenapa kamu terus bertanya, Fara?" tanya Ivan tak senang.<span;>"Apa tidak boleh?" Fara balik bertanya.<span;>Ivan menggeleng. "Kamu tidak boleh mencampuri semua urusanku. Kamu memang istriku. Tapi tidak berarti kamu bisa mengawasi aku seperti itu. Aku punya kehidupan pribadi yang tidak boleh kamu campuri, Fara."<span;>"Kenapa begitu?" tanya Fara cepat.<span;>"Karena aku tidak suka jika kamu mencampuri semua urusanku. Aku akan bertanggungjawab sebagai seorang suami untukmu. Aku akan memberikan nafkah lahir dan batin yang cukup. Tapi jangan pernah campuri urusanku. Sebagai seorang laki-laki, aku punya dunia sendiri yang tak perlu kamu tahu."<span;>Fara tercekat mendengar kata-kata Ivan itu. Begitukah? Jadi laki-laki punya dunia sendiri yang tak perlu istrinya tahu? Bukannya di antara suami istri itu tidak boleh ada yang dirahasiakan?<span;>"Pasti perempuan itu, kan? Kekasih Mas Ivan itu?" tanya Fara dengan hati yang perih.<span;>Ivan menaruh ponselnya di atas nakas. Lalu dengan ekspresi wajah yang dingin dia menjawab pertanyaan Fara barusan. "Kenapa harus kamu tanyakan kalau jawabannya akan membuat hatimu sakit?"<span;>Sekali lagi Fara tercekat. Bola matanya nanar menatap Ivan. "Jadi benar itu dia? Mas Ivan sedang ngobrol dengan dia barusan?"<span;>Ivan pun menghela napas panjang. "Dasar perempuan. Sudah dibilang jangan bertanya, masih juga bertanya. Memang sukanya menyakiti diri sendiri."<span;>Fara merasakan hatinya perih mendengar kata-kata Ivan itu. Kata-kata yang secara tak langsung mengakui bahwa memang dengan kekasihnya itulah barusan dia berbincang. Dan entah apa yang ditulis perempuan itu dalam chat-nya hingga Ivan nampak begitu kecewa. Mungkin luapan emosi karena Ivan kini menikah dengannya. Ya, Fara tahu perempuan itu pasti marah dan cemburu. Tapi sebagai istri sah Ivan, Fara pun merasa cemburu jika suaminya masih terus menjalin hubungan dengan perempuan itu. Meski menikah tanpa cinta, tapi toh tetap rasa cemburu itu ada. Sebab tak ada seorang pun istri yang rela jika suaminya dimiliki oleh perempuan lain. Begitu pun Fara, meski belum memiliki hati Ivan sebagai suaminya.<span;>Fara terisak pelan. Ivan pun segera menoleh, menatap istrinya itu dengan ekspresi wajah yang datar.<span;>"Hobimu menangis, ya?" tanya Ivan.<span;>"Istri mana pun pasti akan menangis jika suaminya menyimpan perempuan lain dalam hatinya," sahut Fara kesal.<span;>"Kan, aku sudah bilang jangan bertanya kalau kamu tahu jawabannya itu akan melukai hatimu, Fara. Tapi kenapa kamu malah memikirkannya dan membuat luka hatimu sendiri?"<span;>"Aku tidak bisa untuk tidak memikirkannya! Mas Ivan suamiku! Hatiku sakit jika Mas Ivan memikirkan perempuan lain!" seru Fara sambil terus menangis.<span;>Ivan tak menyahut. Dia cuma diam sambil terus menatap Fara yang menangis.<span;>"Kenapa diam?" tanya Fara kemudian.<span;>"Memangnya aku harus bicara apa? Kamu yang tadi bertanya. Kamu juga yang memikirkan semua itu. Lalu kamu menangis karenanya. Ku pikir, kamu memang hobi menangis, Fara. Dari semalam kerjamu cuma menangis. Lagi pula kan aku sudah bilang kalau aku tidak bisa menjadi suami yang baik untukmu. Sebagai suami aku akan bertanggungjawab. Tapi jangan meminta lebih dariku. Jadi biasakanlah dirimu untuk hidup bersama dengan suami seperti aku. Dan satu hal lagi harus kamu tahu, aku tidak suka dengan perempuan yang cengeng!"<span;>Fara pun reflek memukulkan guling yang sedang dipegangnya ke badan Ivan. Dia benar-benar kesal mendengar kata-kata suaminya itu. Kemudian Fara menutup wajahnya dengan selimut dan menumpahkan tangisnya di sana.<span;>"Tidak boleh seorang istri berbuat kasar seperti ini pada suaminya, Fara. Apa kamu tidak tahu itu?" tanya Ivan tanpa bernada emosi.<span;>Fara tak menyahut. Dia terus tersedu di bawah selimut. Kenapa ada laki-laki yang menyebalkan seperti Ivan, suaminya? Sikapnya begitu dingin dan santai, seolah dia tak merasa bersalah atas perbuatannya itu. Bahkan emosi Fara pun ditanggapinya dengan santai.<span;>"Istri yang baik harus bisa bersikap manis pada suaminya. Kamu seorang perempuan dewasa. Kamu pasti tahu bagaimana caranya menjadi istri yang baik," lanjut Ivan hingga membuat Fara menjadi semakin kesal.<span;>"Aku tidak tahu!" cetus Fara di sela tangisnya.<span;>"Haruskah aku mendidikmu? Tapi aku tidak punya banyak waktu," kata Ivan menyahuti.<span;>Fara menghentakkan kakinya karena kesal. Ivan pun menghela napas panjang melihat tingkah istrinya itu.<span;>"Jangan ngambek seperti anak kecil, Fara. Kamu terlalu cengeng. Aku tidak suka jika harus membujukmu."<span;>"Aku tidak minta mas bujuk!" sahut Fara segera.<span;>"Kalau begitu berhentilah merajuk seperti itu. Kamu membuatku pusing!"<span;>Fara pun kembali menghentakkan kakinya. Rasa jengkelnya pada Ivan seperti memuncak. Tapi tak ada yang bisa dia lakukan untuk meluapkan kekesalannya pada suaminya itu. Fara hanya bisa menangis dan menghentakkan kakinya seperti itu sebagai tanda jika dia merasa marah.<span;>"Hei, Fara," panggil Ivan setelah beberapa saat kemudian.<span;>Fara diam. Ivan pun menarik selimut yang menutupi wajah Fara perlahan. Kemudian ditatapnya wajah Fara yang basah dengan air mata.<span;>"Berhentilah menangis dan layani aku," pinta Ivan membuat Fara terkejut.<span;>"Huh?" Fara balas menatap Ivan dengan wajah bingung. Dia memintaku untuk melayaninya setelah dia membuatku merasa jengkel seperti ini? Apakah dia tidak tahu jika aku sedang merasa kesal padanya?<span;>"Kenapa bengong begitu? Apa kamu tidak mau melayani suamimu?"<span;>"Apa harus sekarang? Aku sedang kesal sama Mas Ivan!" sahut Fara cemberut.<span;>Seolah tak peduli pada amarah Fara, Ivan segera mendekap istrinya itu dan mendaratkan kecupan penuh gairah di wajah Fara yang masih bersimbah air mata.<span;>"Aku tidak peduli kamu sedang kesal atau sedang sayang padaku. Aku hanya ingin kamu melayaniku dengan baik," kata Ivan dengan napas yang menggebu.<span;>"Apa harus sekarang?" tanya Fara lagi.<span;>"Ya, Fara. Kamu harus tahu jika setiap pagi aku selalu bergairah. Kamu istriku, kan? Kamu yang harus melayani aku. Apa harus aku memintanya pada perempuan lain?"<span;>Fara pun membelalakkan matanya menatap Ivan. Apa dia sengaja membuatku marah?<span;>"Apa Mas Ivan ingin meminta pada perempuan lain?" tanya Fara sambil menekan emosinya.<span;>"Apa kamu mengizinkan?"<span;>Mendengar kata-kata Ivan yang menjengkelkan itu, Fara pun kembali menghentakkan kakinya dengan marah.<span;>"Makanya jangan suka bertanya yang macam-macam. Kamu kesal sendiri kan jadinya?"<span;>Fara terus cemberut. Tapi Ivan tak peduli. Dibukanya selimut yang menutupi tubuh polos Fara. Lalu mulai dicumbunya tiap senti tubuh istrinya itu dengan penuh gairah. Setelah melakukan malam pertama semalam, mereka memang sama tidur dalam keadaan yang polos. Ivan merasa senang karena tak harus bersusah payah meminta Fara untuk membuka gaun tidurnya seperti semalam. Istrinya yang masih malu-malu itu membuat Ivan merasa tak sabar.<span;>Seperti semalam, Fara kembali merasakan sakit ketika Ivan menghujam dan menghentak dengan keras. Seperti semalam pula, Ivan seperti tak peduli pada rintih kesakitan Fara. Dia terus asyik dengan gairahnya. Terus bersemangat meraih puncak kenikmatannya.<span;>Dia satu-satunya laki-laki yang menyentuhku. Tapi dia tak memberikan aku kenikmatan yang kudambakan selama ini, keluh hati Fara sedih.<span;>"Jangan khawatir, Fara. Lama-lama kamu pun akan bisa menikmatinya," kata Ivan ketika dilihatnya Fara meringis menahan sakit.<span;>Lain kali maukah kamu melakukannya dengan lembut? Fara bertanya dalam hati. Sementara itu Ivan terus asyik menuju puncaknya. Dan dia mengerang panjang ketika berhasil meraihnya.<span;>Fara pun kembali menelan rasa kecewanya. Ternyata Ivan memang tak bisa melakukannya dengan lembut. Luapan gairahnya seperti tak bisa terbendung. Dan Fara tak bisa mengikuti permainannya itu. Karena Fara menginginkan sentuhan yang lembut. Yang membakar gairahnya secara perlahan hingga dia bisa menikmatinya.<span;>Yang kubayangkan selama ini begitu indah. Tapi dua kali dia melakukan itu, dua kali pula aku merasa terkoyak...."Sungguhkah kamu dan Mas Ivan telah bersatu lagi, Fara?" tanya Gilang dengan raut wajah kecewa yang tidak bisa dia sembunyikan. "Ya, aku dan Mas Ivan telah bersatu lagi. Lusy telah mengakui kebohongannya. Dan itu berarti tidak ada lagi yang menghalangi kami untuk kembali bersatu," jawab Fara jujur. "Maafkan aku," sambungnya. "Kamu tidak bersalah. Mungkin itulah jalan terbaik yang telah tuhan gariskan untuk kalian berdua," sahut Gilang tulus. "Kamu tidak marah?" tanya Fara. "Marah? Kenapa aku harus marah?" sahut Gilang lembut. "Karena aku telah mengecewakan dan membuatmu terluka." "Tidak, bukan kamu yang membuatku terluka. Tapi cintakulah yang telah membuatku terluka. Aku tidak ingin menyalahkanmu, Fara. Dan aku tidak akan pernah menyalahkanmu." "Jadi sekarang kamu telah bisa mengerti?" Gilang mengangguk. "Aku harus bisa mengerti. Aku tidak ingin rasa kecewaku membuatku terluka semakin dalam. Selama ini aku telah menunggumu dengan sabar. Tapi ternyata keputusan terakhirmu tetap
Lusy berdiri kaku di hadapan semua orang. Wajahnya tampak pucat. Betapa terkejutnya dia ketika melihat Rudy ada di sana. Dia langsung bisa menerka apa yang telah terjadi. Rudy pasti telah membongkar kebohongannya. Sebab tidak mungkin Rudy ada di sana dengan alasan berkunjung. Rudy bukan teman Ivan. Bukan pula orang yang kenal dengan keluarganya. Jadi kunjungan Rudy ke rumah ini pasti ada maksud tertentu yang ingin dia sampaikan. Dan tentu saja itu masalah tentang bayinya. Rudy pasti telah menceritakan cerita yang sebenarnya. Dan sekarang tentulah mereka semua ingin agar dia mengakui semuanya. "Duduk!" perintah Bu Elsa dingin. Tak ada setitik pun raut yang ramah terpancar di wajahnya. Perempuan paruh baya itu sepertinya enggan untuk berbasa-basi dengan Lusy. Dia bicara dengan nada yang tegas dan ekspresi wajah yang kaku. Tanpa bisa menolak, Lusy pun segera duduk. Tak ada yang bicara untuk beberapa saat. Suasana terasa hening tak mengenakkan. Tapi Lusy masih bisa berusaha untuk bersik
"Ku dengar Lusy akan segera menikah dengan Ivan," kata Rudy pada Riska yang duduk di hadapannya. Siang itu Rudy memang sengaja meminta Riska untuk menemuinya di sebuah cafe. Rudy ingin menceritakan tentang rahasia yang sebenarnya pada Riska. Sebab Rudy tak tahan terus didera oleh perasaan bersalah karena telah membiarkan Lusy melakukan rencana busuknya. Karena itulah akhirnya Rudy memutuskan untuk bercerita pada Riska dan meminta pendapat Riska mengenai rencana Lusy itu. Riska yang mendengar kata-kata Rudy itu pun mengangguk dengan ekspresi wajah yang sedih. "Ya. Kasihan Fara. Di saat dia dan Mas Ivan ingin memperbaiki kembali rumah tangga mereka, Lusy kembali datang dan mengacaukan semuanya." Rudy menghela napas panjang seolah hatinya gundah mendengar kata-kata Riska itu. Kemudian dia pun menatap Riska dengan wajah yang serius. "Jadi kamu juga percaya kalau bayi yang dikandung Lusy itu anak Ivan, suami Fara?" tanyanya. "Maksudmu?" Riska mengerutkan keningnya karena merasa bingung
Ivan kembali ke rumah orangtuanya. Pupus sudah harapan untuk memperbaiki rumah tangganya bersama Fara. Kini Fara tak mungkin lagi mau menerima dia sebagai teman hidupnya. Kehamilan Lusy benar-benar mengacaukan semua yang telah Ivan perjuangkan untuk kembali pada Fara. Tak ada yang bisa Ivan lakukan kini. Mau tidak mau dia harus rela berpisah dengan Fara dan menikahi Lusy. Ketika keluarganya mengetahui tentang kehamilan Lusy, mereka pun sangat terkejut. Bahkan Bu Elsa seperti tidak bisa menerimanya. Dia tidak rela jika putranya menikahi Lusy dan membawa perempuan itu masuk ke dalam keluarga mereka. "Ini semua salahmu, Ivan!" seru Bu Elsa marah. "Mama dan papa sudah memilihkan seorang perempuan yang baik dan pantas untuk menjadi istrimu! Tapi malah kamu sia-siakan dia dan kamu jatuh cinta pada perempuan brengsek itu! Sekarang kita terpaksa harus menerima dia menjadi anggota keluarga kita! Oh, mama tidak rela, Van! Sungguh mama tidak rela!" "Saya pun menyesal, ma," ucap Ivan lirih. "
Lusy duduk diam di atas tempat tidurnya dengan wajah yang cemberut. Pikirannya sedang kacau saat ini. Dia merasa kesal dengan keadaan dirinya. Dan kekesalannya itu sejak tadi dia tumpahkan pada Rudy yang duduk tak jauh darinya. "Mestinya ini tidak perlu terjadi padaku! Sekarang aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan!" geramnya kesal. Rudy pun menoleh padanya. "Yang harus kamu lakukan adalah menerima kehamilanmu ini lalu kita menikah! Sudah berulangkali aku katakan padamu kalau aku akan bertanggungjawab pada kehamilanmu ini, Lusy! Sebab bayi yang kamu kandung itu adalah anakku! Darah dagingku! Dan aku tidak seburuk yang kamu kira! Aku tidak akan menelantarkan darah dagingku sendiri! Aku pasti bertanggungjawab!" "Kamu? Bertanggungjawab? Hah!" dengus Lusy diiringi dengan tertawa mengejek. "Apa yang bisa aku harapkan dari laki-laki sepertimu, Rudy? Kamu laki-laki bebas yang tidak mungkin bisa terikat pada pernikahan! Jadi jangan bujuk aku lagi untuk menikah denganmu! Karena aku
Fara jatuh sakit. Beban persoalan yang membelitnya saat ini membuatnya terkapar tak berdaya di atas tempat tidur. Badannya demam dan kepalanya sakit bukan kepalang. Obat pereda sakit kepala yang diminumnya seakan tak meredakan sakitnya sama sekali. Demamnya tetap tinggi dan kepalanya tetap berdenyut seakan hampir meledak. Sebetulnya kedua orangtuanya sudah berulangkali mengajaknya untuk pergi berobat. Tapi Fara tidak mau. Sebab dia merasa dokter manapun tidak akan ada yang bisa mengobati sakitnya ini. Sakit yang disebabkan oleh masalah yang tengah dihadapinya ini tak kan sembuh dengan obat manapun. Cara satu-satunya untuk sembuh adalah dengan menenangkan hati dan pikirannya. Biarkan semua mengalir seperti yang seharusnya. Dan jika ada yang terluka, mungkin itu bukanlah kesalahannya. Sebab dia tak kan mungkin bisa membahagiakan keduanya. Tak kan mungkin memilih dua cinta yang ada di hadapannya. Hanya satu. Dan harus melepas yang satu meski sakit rasanya. Fara pun terus berusaha untuk
"Pulanglah, mas," pinta Fara dengan suara yang bernada lembut. Entah mengapa sesungguhnya hatinya tak tega untuk mengusir Ivan dengan tegas. Meski Ivan telah menyakiti hatinya, tapi Fara tak mampu untuk bersikap kasar pada suaminya itu. Ada luka yang dalam terpancar lewat tatapan Ivan yang dapat Fara lihat dengan jelas tiapkali mereka beradu pandang. Luka? Sungguhkah dia terluka dengan perpisahan ini? Ah, hati Fara bertanya ragu. "Pulanglah." Fara mengulangi kata-katanya karena Ivan tak juga beranjak dari tempatnya berdiri. Ivan menggeleng. "Tidak sebelum aku mendengar jawaban 'ya' darimu." Fara menghela napas panjang. Dia bingung tak tahu lagi harus berkata apa pada suaminya itu. Mestinya Ivan bisa mengerti kalau Fara bersungguh-sungguh menginginkan perceraian mereka. Bukankah tiapkali dia datang Fara selalu menolaknya? Tapi kenapa suaminya itu malah semakin gencar berusaha membujuknya untuk mau kembali? Bahkan suaminya itu seperti mengenyampingkan harga dirinya yang dulu selalu d
Seperti biasa sepulang dari bekerja Ivan melajukan mobilnya menuju ke rumah Fara. Tapi kali ini dia menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang agak jauh dari rumah istrinya itu. Sebab dia melihat ada motor Gilang terparkir di sana. Dengan perasaan cemburu Ivan memperhatikan tanpa kedip. Tapi pemuda yang menjadi saingannya itu tak terlihat sama sekali. Tembok pagar rumah Fara menghalangi pandangan Ivan untuk memantau apa yang sedang dilakukan oleh pemuda itu di sana. Pikiran Ivan pun melayang membentuk gambar-gambar yang membuat rasa cemburunya semakin menggelora. Pasti pemuda ingusan itu sedang duduk bersama Fara, pikir Ivan kesal. Pasti dia sedang melancarkan rayuan gombalnya pada Fara! Oh, apakah Fara bahagia mendengar rayuannya? Apakah dia tersipu malu? Brengsek betul aku tidak dapat melihat mereka dari sini! Tapi aku yakin! Aku yakin kalau pemuda itu sedang merayu istriku! Berani betul dia merayu Fara! Fara masih istriku! Aku dan dia belum resmi bercerai! Kurangajar! Betul-betul
Lusy berjalan terhuyung memasuki rumahnya lalu terjatuh di atas sofa. Saat itu pukul dua malam. Seorang teman mengantarkannya pulang karena Lusy telah terlalu mabuk untuk dibiarkan pulang sendirian. Temannya itu bernama Rudy. Seorang laki-laki gagah berkulit coklat yang cukup menawan. Lusy mengenalnya sudah cukup lama. Mereka bertemu di sebuah acara pesta ulang tahun seorang teman. Kebetulan saat itu Lusy datang bersama dengan Fara dan Riska. Dan Riska yang ternyata telah mengenal Rudy pun memperkenalkannya pada Lusy dan Fara. Sejak saat itu pertemanan antara Lusy dan Rudy pun terjalin. Mereka jadi semakin akrab karena ternyata mereka sama-sama suka nongkrong di club malam untuk menghabiskan waktu yang kosong. Mereka sama-sama orang yang menyukai kebebasan. Tidak suka peraturan dan tidak suka terikat. Karena itulah Rudy merasa kaget ketika dalam mabuknya tadi Lusy meracau tentang keinginannya untuk menikah. Tapi sayangnya pernikahannya itu gagal karena sang calon suami kembali pada i