<span;>Ivan membuka lilitan handuk di pinggangnya. Lalu dengan sembarangan laki-laki tampan itu menghempaskan handuk itu ke lantai. Fara yang melihat itu pun tertegun. Dia hampir tak bisa bergerak dengan jantung yang berdegup kencang. Bagi Fara, inilah kali pertama dia melihat secara langsung seorang laki-laki yang polos tanpa busana berdiri di hadapannya. Fara merasa malu. Dia pun menundukkan kepalanya setelah melihat milik Ivan yang sesungguhnya telah menjadi suaminya. Fara merasa bingung, tak tahu apa yang harus dia lakukan.
<span;>"Kenapa menunduk begitu? Kamu tidak suka melihatnya?" tanya Ivan sambil mengangkat dagu Fara.<span;>"Huh?" Fara tak bisa menjawabnya. Dia hanya bisa menatap wajah Ivan yang juga sedang menatapnya dengan sorot mata yang mendebarkan.<span;>"Jangan bilang kalau kamu belum pernah melihatnya, Fara," kata Ivan lagi.<span;>"Tidak jika berhadapan seperti ini," sahut Fara lugu.<span;>Ivan tersenyum tipis. "Tapi tahu harus berbuat apa, kan?"<span;>Jantung Fara semakin berdegup kencang mendengar pertanyaan dari Ivan itu. Harus berbuat apa? Ya, sepertinya Fara tahu harus berbuat apa. Tapi sungguh dia malu untuk melakukannya. Fara pun tak bergerak dari tempatnya dan mengalihkan matanya dari tubuh polos Ivan.<span;>Tiba-tiba tangan Ivan menyentuh gaun tidur yang dikenakan Fara. Seketika Fara tersentak terkejut.<span;>"Buka," pinta Ivan.<span;>Fara pun reflek menyilangkan tangannya di dada, seolah dia tak mau melepaskan gaunnya tidurnya.<span;>"Kamu tidak ingin membukanya?"<span;>Fara kembali terdiam, tak bisa menjawab pertanyaan Ivan. Jadi seperti ini? Langsung pada pokoknya tanpa basa-basi terlebih dahulu? Mungkin sekadar obrolan santai? Berbincang ringan yang membuat suasana jadi sedikit lebih santai dan menyenangkan. Atau memang sudah seharusnya seperti ini? Ah, Fara tak tahu apakah gadis-gadis yang lain pun merasakan gelisah yang sama seperti yang dia rasakan sekarang. Tapi yang jelas, Fara merasa risih untuk membuka gaun tidurnya di hadapan Ivan.<span;>Fara terus menyilangkan tangannya di dada. Dia seperti orang yang ingin melindungi dirinya dari Ivan, suaminya. Sementara kini Ivan berdiri di hadapannya dengan wajah yang cemberut. Suaminya itu tampak tak sabar.<span;>"Buka, Fara. Tidak perlu kamu malu seperti itu. Aku ini suamimu. Kamu yang menginginkan pernikahan ini, kan? Sekarang lakukan tugas pertamamu sebagai istriku," kata Ivan sedikit kesal.<span;>"Tapi kita bisa ngobrol-ngobrol dulu, kan?" tanya Fara pelan.<span;>"Ngobrol? Untuk apa kita harus ngobrol? Aku tidak ingin ngobrol denganmu. Aku hanya ingin kamu melayaniku," sahut Ivan segera. Dari nada suaranya tampak jika dia mulai tak sabar menghadapi sikap Fara.<span;>Kemudian Ivan pun berjalan ke arah ranjang dan duduk di tepinya. Lalu dia menoleh pada Fara dan bicara dengan nada yang tegas. "Buka gaun tidurmu dan lekas naik kemari. Aku tidak suka menunggu!"<span;>Fara tahu malam ini dia memang harus melayani Ivan sebagai suaminya. Dia tak boleh menolak. Ini kewajibannya sebagai seorang istri. Tapi perintah Ivan yang bernada tegas membuat Fara merasa tidak sedang diajak melakukan malam pertama oleh suaminya itu. Tidak ada sikap yang romantis. Tidak ada kata-kata yang lembut yang merayu. Yang Ivan berikan adalah sebuah perintah. Tak seperti sikap seorang suami terhadap istrinya.<span;>"Fara!" Ivan sedikit membentak.<span;>Akhirnya Fara pun menurut. Dilakukannya juga apa yang Ivan inginkan. Dia melepas gaun tidurnya dan perlahan naik ke atas ranjang. Fara berbaring dengan degup jantung yang tak beraturan. Dia menunggu Ivan yang masih tetap duduk di tempatnya. Dan ketika Ivan menoleh dan mulai mendekatinya, Fara merasa seluruh bulu kuduknya meremang.<span;>Ivan menyentuh Fara. Menyerang ganas bagai singa lapar yang memainkan tubuh mangsanya sebelum dia koyak. Fara mengaduh pelan tapi Ivan seolah tak mempedulikan. Dia tetap asyik menikmati permainannya sendiri. Dia menyentuh, meremas kuat bahkan menghentak sesuka hatinya. Fara hanya bisa mengeluh pelan. Tak dapat dinikmatinya permainan Ivan. Yang bisa dia rasakan hanya sakit oleh hentakan Ivan yang sedikit kasar.<span;>Hilang sudah malam pertama indah yang dulu selalu Fara khayalkan. Dimana suaminya akan melakukannya dengan lembut dan membawanya ke surga dunia. Ternyata Ivan bukanlah laki-laki yang seperti itu. Bukan pangeran impian yang selama ini Fara dambakan. Laki-laki itu berbuat sesuka hatinya. Dia tak peduli meski Fara tak bisa menikmati malam pertama mereka. Bagi Ivan yang penting dia bisa menikmatinya dan mencapai puncak dengan sempurna.<span;>Semua sungguh diluar bayangan Fara tentang malam pertama yang akan dilaluinya. Dia pun mengeluh kecewa dalam hati. Ternyata laki-laki ini tak memiliki sifat romantis, bisik hati Fara. Atau mungkin karena dia melakukannya bersamaku, perempuan yang tidak dia inginkan? Tapi jika dia tak menginginkan aku, kenapa dia begitu bergairah? Kenapa dia begitu menggebu berusaha meraih puncaknya? Aku bisa merasakan luapan gairahnya itu. Dan aku tahu dia begitu menikmatinya. Hanya saja dia terlalu egois untuk bertanya apakah aku juga bisa menikmati permainannya itu. Yang kurasakan cuma sakit. Dia mengoyakku tanpa ampun.<span;>Ketika Ivan telah berhasil meraih puncaknya, dia pun tergolek dengan wajah puas di samping Fara. Sedang Fara hanya diam, menelan rasa kecewanya sendirian. Malam pertama impian akan selamanya jadi impian. Ivan telah menghancurkannya tanpa perasaan. Sebagai seorang suami, dia tak peduli pada apa yang Farra rasakan. Mungkin dia memang tak cinta. Tapi seharusnya dia bisa menimbang rasa.<span;>Uh! Fara mengeluh pelan saat dia merasakan sakit pada bagian intinya. Ivan pun menoleh. "Kenapa?" tanyanya.<span;>"Sakit," keluh Fara menyahuti.<span;>"Sakit? Ah!" decak Ivan tak suka.<span;>"Mengapa mas marah seperti itu?" tanya Fara pelan.<span;>"Kenapa kamu mengeluh seperti itu? Apa kamu mau bilang kalau aku telah menyakitimu?"<span;>"Aku tidak bilang seperti itu, Mas Ivan. Tapi yang aku rasakan memang sakit."<span;>"Jadi kamu tidak suka dengan permainanku? Kamu tidak suka melayaniku?"<span;>"Aku tidak bilang seperti itu, mas."<span;>Ivan mendengus kesal. "Kalau kamu tidak suka dengan permainanku, itu urusanmu. Salahmu sendiri kenapa memilih aku untuk jadi suamimu!"<span;>Fara memejamkan matanya menahan rasa perih di hatinya. Jadi dia benar-benar tak peduli pada perasaanku? Dia masih terus menyalahkan aku atas pernikahan ini. Tak bisakah dia menerima kenyataan yang telah terjadi? Sebegitu burukkah aku di matanya hingga dia tak bisa menerima aku sebagai istrinya? Mungkin aku memang tak cantik. Bukan pula istri impiannya. Tapi tak harus dia menyiksaku dengan sikap dinginnya ini.<span;>"Mungkin pernikahan kita ini adalah kesalahanku. Tapi ku mohon janganlah terus menyalahkan aku, mas. Aku pun tak punya pilihan lain. Aku hanya ingin membahagiakan bapak. Bapak sedang sakit. Aku tak mungkin menolak keinginannya."<span;>Sekali lagi Ivan mendengus kesal. "Kalau begitu jangan mengeluh. Kamu nikmati saja pernikahan ini. Tapi seperti yang aku bilang tadi, aku tak bisa menjadi suami yang baik untukmu. Kamu harus bisa terima aku apa adanya atau kamu cari cara supaya kita bisa bercerai."<span;>Air mata Fara pun kembali mengalir. "Kenapa Mas begitu membenciku?" tanyanya sedih.<span;>"Aku tak membencimu. Yang aku benci pernikahan ini. Karena gara-gara pernikahan ini aku harus kehilangan gadis yang sangat kucintai." Kata-kata Ivan begitu menyakitkan.<span;>Air mata Fara pun mengalir semakin deras. Kata-kata Ivan seperti sebuah pisau tajam yang menyayat hati. Jadi karena itukah dia begitu membenci pernikahan ini? Karena ternyata dia telah kehilangan gadis yang dicintainya dan kini terpaksa terikat denganku dalam pernikahan yang tak diinginkannya?<span;>"Jadi karena itukah Mas Ivan membenci pernikahan kita ini?" tanya Fara di sela isak tangisnya.<span;>"Sudahlah, tidak perlu kita bahas lagi. Percuma. Pernikahan ini sudah terjadi dan aku tak lagi bisa berbuat apa-apa. Kita jalani saja meski tak indah."<span;>"Ya, memang tak indah," gumam Fara pelan.<span;>Ivan menarik selimut dan menutupi tubuhnya yang masih polos. Dia pun memunggungi Fara yang masih terisak pelan.<span;>"Sudahlah, Fara. Jangan menangis terus. Sebaiknya sekarang kamu tidur. Istirahat. Aku ingin kamu selalu segar. Agar jika aku menginginkanmu, kamu bisa melayaniku dengan baik."<span;>"Begitukah?" tanya Fara dengan hati terluka.<span;>"Kamu istriku, kan? Kamu wajib melayaniku dengan baik."<span;>Fara mendesah pelan. Ya, aku adalah istrimu. Karena itulah seharusnya kau bisa memperlakukan aku dengan baik.<span;>Tak lama terdengar dengkuran lembut Ivan. Rupanya dia sudah terlelap. Tinggallah kini Fara yang sibuk menata hatinya sendirian. Dia tak ingin menyesali keputusannya untuk menerima perjodohan dengan Ivan. Sebab Fara menyadari jika sesal tak akan merubah apapun dari kenyataan yang harus dihadapinya sekarang. Ivan akan tetap jadi suaminya dan dia akan tetap harus mendampingi Ivan dengan segala sikap dinginnya itu.<span;>Langit masih gelap ketika Fara terjaga dari tidurnya. Dia mendapati Ivan yang sedang duduk di sampingnya sambil menatap telepon genggamnya dengan wajah yang kecewa. Sesaat Fara memperhatikan. Suaminya itu tampak kecewa dengan apa yang dia lihat atau dia baca di layar hpnya. Tapi dengan siapakah suaminya berkomunikasi di pagi buta seperti ini? Dengan kekasih hatinya itukah? <span;>"Mas," panggil Fara pelan. <span;>Ivan pun terkejut. Sepertinya dia tidak tahu jika Fara telah bangun. Dengan gugup dia seperti hendak menyembunyikan ponselnya itu dari Fara. Tapi Fara telah melihatnya. Termasuk melihat dengan jelas kegugupan suaminya itu yang bertingkah seperti seseorang yang baru saja berbuat salah. <span;>"Jangan mengejutkan aku seperti itu, Fara," protes Ivan tak suka. <span;>"Mas terkejut? Padahal aku cuma memanggil saja," kata Fara menyahuti. <span;>"Aku pikir kamu masih tidur."
<span;>Ivan menatap Fara yang baru saja keluar dari kamar mandi. Keningnya berkerut dan wajahnya cemberut hingga membuat Fara menjadi kikuk. Fara tak mengerti kenapa Ivan menatapnya seperti itu. Dia merasa sikap Ivan itu begitu aneh. Karena tanpa alasan yang jelas dia seolah menatap Fara dengan kesal. <span;>"Ada apa?" tanya Fara bingung. <span;>"Matamu bengkak." sahut Ivan cemberut. <span;>Huh? Fara pun cepat mengusap matanya. "Ini karena aku habis menangis." <span;>"Siapa yang menyuruhmu menangis?" tanya Ivan dengan nada marah. <span;>Huh? Fara melongo menatap suaminya yang masih terus menatapnya dengan wajah yang cemberut. <span;>"Aku sudah bilang jangan kelewat cengeng. Sekarang matamu bengkak begini bagaimana kamu bisa keluar dan bertemu orang-orang? Mereka pasti bertanya kenapa matamu sampai bengkak begitu? Terus aku harus jawab apa? Apa tidak mungkin jika nanti me
<span;>Seminggu sudah mereka tinggal di rumah orangtua Fara. Hari ini mereka berencana untuk pindah ke rumah orangtua Ivan dan menetap di sana seperti rencana mereka semula. Karena itulah sejak pagi Fara sibuk berkemas, memilih pakaian dan barang-barang lainnya yang akan dia bawa. <span;>Sebuah tas besar telah penuh oleh pakaiannya. Lalu satu tas lainnya akan dia isi dengan berbagai macam barang keperluannya. Fara berpikir sekiranya barang apa saja yang akan dibawanya. Fara pun mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar. Dia melihat deretan buku bacaan koleksinya yang tersusun rapi di lemari kecil. Juga koleksi parfum dan sepatunya. Hm, Fara bingung karena seakan tak rela berpisah dengan semua barang koleksinya itu. Tapi tadi Ivan telah berpesan dengan tegas supaya Fara tidak membawa banyak barang yang akan memenuhi kamarnya nanti. Padahal rasanya Fara ingin membawa semuanya. Terutama koleksi buku- bukunya yang selama ini selalu setia menemaninya disaat sepi.
<span;>Mereka tiba di rumah orangtua Ivan ketika langit hampir gelap. Memang hanya butuh waktu satu jam perjalanan saja untuk bisa sampai ke sana. Tapi itu pun kalau tak terjebak dalam kemacetan lalu lintas yang parah. Karena sore itu arus kendaraan tidak terlalu padat, maka mereka pun bisa sampai sebelum malam. Sedikit lebih cepat dari yang Ivan perkirakan. <span;>Ketika mereka sampai, rupanya kedua orangtua Ivan sudah menunggu kedatangan mereka. Pak Arifin dan Bu Elsa langsung menyambut mereka dengan hangat. Sepertinya mereka memang sangat senang karena anak dan menantu mereka mau tinggal bersama dengan mereka di sana. <span;>"Hanya ini barang yang kamu bawa, Fara?" tanya Bu Elsa ketika dilihatnya tas yang dibawa Fara. <span;>"Iya, ma. Kata Mas Ivan tidak usah membawa banyak-banyak," sahut Fara. <span;>"Ah, Ivan tidak mengerti kalau perempuan itu pasti memiliki banyak barang," kata Bu Elsa sambil melirik
<span;>Kita kembali ke malam hari di saat Ivan baru saja keluar dari rumahnya. <span;>Laki-laki tampan itu bergegas mengendarai mobilnya memecah kepadatan lalu lintas malam itu demi untuk menemui seseorang yang sangat dirindukannya. Mereka memang telah merencanakan pertemuan ini. Dan Ivan berharap masih ada setitik harapan baginya untuk bisa meraih kembali cintanya. Lantas bagaimana dengan Fara? Ivan berpikir tak apa jika dia bisa merahasiakannya dari istrinya itu. Jika dia tak tahu, berarti dia tak kan terluka, kan? Ivan merasa mampu untuk memenuhi kebutuhan dua istri. Jadi dia bisa tetap menjalani rumah tangganya bersama Fara sesuai dengan keinginan orangtuanya tanpa harus kehilangan cintanya. <span;>Adelia, adalah perempuan cantik yang telah dipacarinya selama lima tahun ini. Mereka bertemu di acara ulang tahun seorang teman. Dan dari pertemuan itulah tumbuh benih-benih cinta yang semakin hari semakin bermekaran. <span;>
<span;>Ivan duduk bersama tiga orang teman dekatnya. Hentakkan musik mengalahkan suara mereka yang sedang asyik bercanda dan berbincang tentang masalah perempuan. Tapi Ivan tak banyak bicara. Dia hanya menimpali sesekali saja obrolan teman-temannya itu. Pikirannya sebagian masih terpusat pada Adelia. Belum bisa mengalihkan pikirannya dari gadis terkasih itu meski dia terus mencoba. Jika candaan temannya terdengar lucu, Ivan pun ikut tertawa lepas. Tapi setelah itu pikirannya kembali bercabang. Mengarah sebagian pada Adelia yang kini pergi menghilang. <span;>"Kamu lagi ada masalah, ya?" tanya Dito pada Ivan. <span;>"Kok, tahu?" sahut Ivan pendek. <span;>"Kelihatan dari wajahmu yang murung itu. Lagi pula, kalau ada pengantin baru yang lebih memilih nongkrong di sini dari pada menikmati waktu berdua dengan istrinya, bisa dipastikan dia sedang ada masalah," kata Dito menebak. <span;>Ivan pun mengangguk membena
<span;>Fara terjaga dari tidurnya karena dirasakannya ada seseorang yang naik ke tempat tidur. Dengan cepat dia menoleh. Didapatinya Ivan yang sedang berbaring hendak tidur. Suaminya itu pun tampak acuh, seperti tak peduli pada Fara yang terkejut. <span;>"Mas Ivan?!" Fara pun cepat melihat pada jam mungil yang ada di atas nakas. Pukul setengah lima pagi. "Mas Ivan baru pulang?" <span;>"Bangunkan aku jam enam," pinta Ivan tanpa menjawab pertanyaan Fara barusan. <span;>"Kenapa Mas Ivan baru pulang?" Fara melanjutkan pertanyaannya. <span;>"Bertanyanya nanti saja, Fara. Sekarang aku ngantuk, ingin tidur," sahut Ivan sambil terus terpejam. <span;>"Aku tunggu Mas Ivan semalaman. Janjinya mau pulang sebelum tengah malam. Tapi ternyata malah pulang pagi. Keterlaluan!" kata Fara kesal. <span;>Ivan pun membuka matanya dan menoleh pada Fara. Ekspresi wajahnya datar seolah dia tak m
<span;>Fara duduk termenung sendirian di kamar. Ini baru lewat jam makan siang. Belum satu harian dia menjalani waktunya di rumah mertuanya ini. Tapi rasa jenuh sudah mengurungnya sejak tadi. Fara tak tahu harus melakukan apa. Bu Elsa, ibu mertuanya sudah keluar rumah sejak tadi. Ada arisan katanya. Sedangkan Fiona, adik Ivan, sampai hari ini masih berada di luar kota untuk urusan pekerjaan. Fara pun kesepian. Kalau saja sebelum pernikahan Ivan tidak memintanya berhenti bekerja, tentulah saat ini Fara tak kan mengalami kejenuhan seperti ini. Tapi Ivan bilang, dia ingin punya istri perempuan yang diam di rumah, bukan wanita karier yang sibuk bekerja. Karena itulah kedua orangtua Fara langsung meminta Fara berhenti bekerja agar bisa menjadi ibu rumah tangga seperti yang Ivan inginkan. Fara pun menurut. Toh, menjadi ibu rumah tangga juga satu hal yang menyenangkan. Mengurus suami dan anak-anak adalah kebahagiaan yang tak ternilai bagi seorang perempuan. Tapi sekarang, kenyataanny