Share

Bab 2

<span;>Ivan membuka lilitan handuk di pinggangnya. Lalu dengan sembarangan laki-laki tampan itu menghempaskan handuk itu ke lantai. Fara yang melihat itu pun tertegun. Dia hampir tak bisa bergerak dengan jantung yang berdegup kencang. Bagi Fara, inilah kali pertama dia melihat secara langsung seorang laki-laki yang polos tanpa busana berdiri di hadapannya. Fara merasa malu. Dia pun menundukkan kepalanya setelah melihat milik Ivan yang sesungguhnya telah menjadi suaminya. Fara merasa bingung, tak tahu apa yang harus dia lakukan.

<span;>"Kenapa menunduk begitu? Kamu tidak suka melihatnya?" tanya Ivan sambil mengangkat dagu Fara.

<span;>"Huh?" Fara tak bisa menjawabnya. Dia hanya bisa menatap wajah Ivan yang juga sedang menatapnya dengan sorot mata yang mendebarkan.

<span;>"Jangan bilang kalau kamu belum pernah melihatnya, Fara," kata Ivan lagi.

<span;>"Tidak jika berhadapan seperti ini," sahut Fara lugu.

<span;>Ivan tersenyum tipis. "Tapi tahu harus berbuat apa, kan?"

<span;>Jantung Fara semakin berdegup kencang mendengar pertanyaan dari Ivan itu. Harus berbuat apa? Ya, sepertinya Fara tahu harus berbuat apa. Tapi sungguh dia malu untuk melakukannya. Fara pun tak bergerak dari tempatnya dan mengalihkan matanya dari tubuh polos Ivan.

<span;>Tiba-tiba tangan Ivan menyentuh gaun tidur yang dikenakan Fara. Seketika Fara tersentak terkejut.

<span;>"Buka," pinta Ivan.

<span;>Fara pun reflek menyilangkan tangannya di dada, seolah dia tak mau melepaskan gaunnya tidurnya.

<span;>"Kamu tidak ingin membukanya?"

<span;>Fara kembali terdiam, tak bisa menjawab pertanyaan Ivan. Jadi seperti ini? Langsung pada pokoknya tanpa basa-basi terlebih dahulu? Mungkin sekadar obrolan santai? Berbincang ringan yang membuat suasana jadi sedikit lebih santai dan menyenangkan. Atau memang sudah seharusnya seperti ini? Ah, Fara tak tahu apakah gadis-gadis yang lain pun merasakan gelisah yang sama seperti yang dia rasakan sekarang. Tapi yang jelas, Fara merasa risih untuk membuka gaun tidurnya di hadapan Ivan.

<span;>Fara terus menyilangkan tangannya di dada. Dia seperti orang yang ingin melindungi dirinya dari Ivan, suaminya. Sementara kini Ivan berdiri di hadapannya dengan wajah yang cemberut. Suaminya itu tampak tak sabar.

<span;>"Buka, Fara. Tidak perlu kamu malu seperti itu. Aku ini suamimu. Kamu yang menginginkan pernikahan ini, kan? Sekarang lakukan tugas pertamamu sebagai istriku," kata Ivan sedikit kesal.

<span;>"Tapi kita bisa ngobrol-ngobrol dulu, kan?" tanya Fara pelan.

<span;>"Ngobrol? Untuk apa kita harus ngobrol? Aku tidak ingin ngobrol denganmu. Aku hanya ingin kamu melayaniku," sahut Ivan segera. Dari nada suaranya tampak jika dia mulai tak sabar menghadapi sikap Fara.

<span;>Kemudian Ivan pun berjalan ke arah ranjang dan duduk di tepinya. Lalu dia menoleh pada Fara dan bicara dengan nada yang tegas. "Buka gaun tidurmu dan lekas naik kemari. Aku tidak suka menunggu!"

<span;>Fara tahu malam ini dia memang harus melayani Ivan sebagai suaminya. Dia tak boleh menolak. Ini kewajibannya sebagai seorang istri. Tapi perintah Ivan yang bernada tegas membuat Fara merasa tidak sedang diajak melakukan malam pertama oleh suaminya itu. Tidak ada sikap yang romantis. Tidak ada kata-kata yang lembut yang merayu. Yang Ivan berikan adalah sebuah perintah. Tak seperti sikap seorang suami terhadap istrinya.

<span;>"Fara!" Ivan sedikit membentak.

<span;>Akhirnya Fara pun menurut. Dilakukannya juga apa yang Ivan inginkan. Dia melepas gaun tidurnya dan perlahan naik ke atas ranjang. Fara berbaring dengan degup jantung yang tak beraturan. Dia menunggu Ivan yang masih tetap duduk di tempatnya. Dan ketika Ivan menoleh dan mulai mendekatinya, Fara merasa seluruh bulu kuduknya meremang.

<span;>Ivan menyentuh Fara. Menyerang ganas bagai singa lapar yang memainkan tubuh mangsanya sebelum dia koyak. Fara mengaduh pelan tapi Ivan seolah tak mempedulikan. Dia tetap asyik menikmati permainannya sendiri. Dia menyentuh, meremas kuat bahkan menghentak sesuka hatinya. Fara hanya bisa mengeluh pelan. Tak dapat dinikmatinya permainan Ivan. Yang bisa dia rasakan hanya sakit oleh hentakan Ivan yang sedikit kasar.

<span;>Hilang sudah malam pertama indah yang dulu selalu Fara khayalkan. Dimana suaminya akan melakukannya dengan lembut dan membawanya ke surga dunia. Ternyata Ivan bukanlah laki-laki yang seperti itu. Bukan pangeran impian yang selama ini Fara dambakan. Laki-laki itu berbuat sesuka hatinya. Dia tak peduli meski Fara tak bisa menikmati malam pertama mereka. Bagi Ivan yang penting dia bisa menikmatinya dan mencapai puncak dengan sempurna.

<span;>Semua sungguh diluar bayangan Fara tentang malam pertama yang akan dilaluinya. Dia pun mengeluh kecewa dalam hati. Ternyata laki-laki ini tak memiliki sifat romantis, bisik hati Fara. Atau mungkin karena dia melakukannya bersamaku, perempuan yang tidak dia inginkan? Tapi jika dia tak menginginkan aku, kenapa dia begitu bergairah? Kenapa dia begitu menggebu berusaha meraih puncaknya? Aku bisa merasakan luapan gairahnya itu. Dan aku tahu dia begitu menikmatinya. Hanya saja dia terlalu egois untuk bertanya apakah aku juga bisa menikmati permainannya itu. Yang kurasakan cuma sakit. Dia mengoyakku tanpa ampun.

<span;>Ketika Ivan telah berhasil meraih puncaknya, dia pun tergolek dengan wajah puas di samping Fara. Sedang Fara hanya diam, menelan rasa kecewanya sendirian. Malam pertama impian akan selamanya jadi impian. Ivan telah menghancurkannya tanpa perasaan. Sebagai seorang suami, dia tak peduli pada apa yang Farra rasakan. Mungkin dia memang tak cinta. Tapi seharusnya dia bisa menimbang rasa.

<span;>Uh! Fara mengeluh pelan saat dia merasakan sakit pada bagian intinya. Ivan pun menoleh. "Kenapa?" tanyanya.

<span;>"Sakit," keluh Fara menyahuti.

<span;>"Sakit? Ah!" decak Ivan tak suka.

<span;>"Mengapa mas marah seperti itu?" tanya Fara pelan.

<span;>"Kenapa kamu mengeluh seperti itu? Apa kamu mau bilang kalau aku telah menyakitimu?"

<span;>"Aku tidak bilang seperti itu, Mas Ivan. Tapi yang aku rasakan memang sakit."

<span;>"Jadi kamu tidak suka dengan permainanku? Kamu tidak suka melayaniku?"

<span;>"Aku tidak bilang seperti itu, mas."

<span;>Ivan mendengus kesal. "Kalau kamu tidak suka dengan permainanku, itu urusanmu. Salahmu sendiri kenapa memilih aku untuk jadi suamimu!"

<span;>Fara memejamkan matanya menahan rasa perih di hatinya. Jadi dia benar-benar tak peduli pada perasaanku? Dia masih terus menyalahkan aku atas pernikahan ini. Tak bisakah dia menerima kenyataan yang telah terjadi? Sebegitu burukkah aku di matanya hingga dia tak bisa menerima aku sebagai istrinya? Mungkin aku memang tak cantik. Bukan pula istri impiannya. Tapi tak harus dia menyiksaku dengan sikap dinginnya ini.

<span;>"Mungkin pernikahan kita ini adalah kesalahanku. Tapi ku mohon janganlah terus menyalahkan aku, mas. Aku pun tak punya pilihan lain. Aku hanya ingin membahagiakan bapak. Bapak sedang sakit. Aku tak mungkin menolak keinginannya."

<span;>Sekali lagi Ivan mendengus kesal. "Kalau begitu jangan mengeluh. Kamu nikmati saja pernikahan ini. Tapi seperti yang aku bilang tadi, aku tak bisa menjadi suami yang baik untukmu. Kamu harus bisa terima aku apa adanya atau kamu cari cara supaya kita bisa bercerai."

<span;>Air mata Fara pun kembali mengalir. "Kenapa Mas begitu membenciku?" tanyanya sedih.

<span;>"Aku tak membencimu. Yang aku benci pernikahan ini. Karena gara-gara pernikahan ini aku harus kehilangan gadis yang sangat kucintai." Kata-kata Ivan begitu menyakitkan.

<span;>Air mata Fara pun mengalir semakin deras. Kata-kata Ivan seperti sebuah pisau tajam yang menyayat hati. Jadi karena itukah dia begitu membenci pernikahan ini? Karena ternyata dia telah kehilangan gadis yang dicintainya dan kini terpaksa terikat denganku dalam pernikahan yang tak diinginkannya?

<span;>"Jadi karena itukah Mas Ivan membenci pernikahan kita ini?" tanya Fara di sela isak tangisnya.

<span;>"Sudahlah, tidak perlu kita bahas lagi. Percuma. Pernikahan ini sudah terjadi dan aku tak lagi bisa berbuat apa-apa. Kita jalani saja meski tak indah."

<span;>"Ya, memang tak indah," gumam Fara pelan.

<span;>Ivan menarik selimut dan menutupi tubuhnya yang masih polos. Dia pun memunggungi Fara yang masih terisak pelan.

<span;>"Sudahlah, Fara. Jangan menangis terus. Sebaiknya sekarang kamu tidur. Istirahat. Aku ingin kamu selalu segar. Agar jika aku menginginkanmu, kamu bisa melayaniku dengan baik."

<span;>"Begitukah?" tanya Fara dengan hati terluka.

<span;>"Kamu istriku, kan? Kamu wajib melayaniku dengan baik."

<span;>Fara mendesah pelan. Ya, aku adalah istrimu. Karena itulah seharusnya kau bisa memperlakukan aku dengan baik.

<span;>Tak lama terdengar dengkuran lembut Ivan. Rupanya dia sudah terlelap. Tinggallah kini Fara yang sibuk menata hatinya sendirian. Dia tak ingin menyesali keputusannya untuk menerima perjodohan dengan Ivan. Sebab Fara menyadari jika sesal tak akan merubah apapun dari kenyataan yang harus dihadapinya sekarang. Ivan akan tetap jadi suaminya dan dia akan tetap harus mendampingi Ivan dengan segala sikap dinginnya itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status