Share

Bab 4

<span;>Ivan menatap Fara yang baru saja keluar dari kamar mandi. Keningnya berkerut dan wajahnya cemberut hingga membuat Fara menjadi kikuk. Fara tak mengerti kenapa Ivan menatapnya seperti itu. Dia merasa sikap Ivan itu begitu aneh. Karena tanpa alasan yang jelas dia seolah menatap Fara dengan kesal.

<span;>"Ada apa?" tanya Fara bingung.

<span;>"Matamu bengkak." sahut Ivan cemberut.

<span;>Huh? Fara pun cepat mengusap matanya. "Ini karena aku habis menangis."

<span;>"Siapa yang menyuruhmu menangis?" tanya Ivan dengan nada marah.

<span;>Huh? Fara melongo menatap suaminya yang masih terus menatapnya dengan wajah yang cemberut.

<span;>"Aku sudah bilang jangan kelewat cengeng. Sekarang matamu bengkak begini bagaimana kamu bisa keluar dan bertemu orang-orang? Mereka pasti bertanya kenapa matamu sampai bengkak begitu? Terus aku harus jawab apa? Apa tidak mungkin jika nanti mereka berpikir kalau aku sudah menyakitimu, Fara?" omel Ivan. Wajah tampannya terlihat galak hingga Fara takut untuk menatapnya.

<span;>"Aku akan menutupinya dengan riasan wajah," sahut Fara menunduk.

<span;>"Cuci lagi mukamu!" perintah Ivan.

<span;>"Tapi aku sudah cuci muka tadi. Aku kan baru selesai mandi," kata Fara menyahuti.

<span;>"Cuci lagi aku bilang! Cuci sampai hilang bengkak matamu itu! Aku tidak mau kalau orang-orang sampai mengira aku telah menyakitimu! Mana ada orang yang habis melakukan malam pertama matanya bengkak-bengkak seperti itu? Bikin malu!"

<span;>Fara pun menurut. Dia kembali masuk ke kamar mandi dan mencuci mukanya seraya memijit-mijit kelopak matanya yang bengkak. Setelah dirasa cukup, dia keluar dari kamar mandi dan segera bercermin. Ah, ternyata masih tetap terlihat bengkak. Rasanya memang butuh waktu untuk menghilangkan bengkak itu. Tak kan bisa hilang cuma dengan mencuci muka saja.

<span;>Ivan ikut memperhatikan. Kemudian dia pun berdecak kesal. "Masih terlihat jelas," gerutunya.

<span;>"Aku tidak mau kalau harus cuci muka lagi," kata Fara segera.

<span;>"Tidak perlu. Percuma, tidak akan hilang. Tutupi saja dengan riasanmu."

<span;>"Dari tadi pun aku bilang begitu," kata Fara pelan.

<span;>"Tidak usah menyahut. Kerjakan saja apa yang aku perintahkan. Kamu yang salah karena terlalu cengeng. Sekarang aku yang akan mendapatkan pertanyaan dari orang-orang. Kamu membuatku susah!"

<span;>Fara diam. Dia malas berdebat dengan Ivan. Suaminya itu pasti tak akan mau mengalah. Dia akan tetap berpendapat kalau Fara menangis karena cengeng. Dia tak akan mengakui kesalahannya. Jika terus berdebat, pasti akan berujung pada pertengkaran. Jadi rasanya lebih baik diam dan lakukan saja apa yang suaminya itu perintahkan.

<span;>Fara pun mengeringkan tubuhnya. Lalu dia memakai pakaian dan duduk di depan meja riasnya mencoba untuk menutupi bengkak di kelopak matanya dengan riasan wajah. Tidak seperti biasanya, kini sedikit lebih tebal Fara mengoleskan riasan di matanya itu. Tak apa meski dia tak suka. Yang penting orang-orang tak lagi bisa melihat tanda bekas dia menangis.

<span;>Ivan cemberut memperhatikan. "Sebetulnya aku tidak suka melihatmu memakai riasan setebal itu. Tapi apa boleh buat, yang penting bisa menutupi kelopak matamu yang bengkak itu dari orang-orang. Lain kali aku tidak mau melihatmu cengeng seperti itu. Kamu harus selalu kelihatan ceria di depan semua orang. Aku tidak mau dibilang suami yang tidak baik."

<span;>"Ya, Mas Ivan memang suami yang baik," sahut Fara pelan.

<span;>"Jangan menyindir seperti itu, Fara. Aku tahu, aku memang bukanlah seorang suami yang baik. Tapi setidaknya aku tidak menyakitimu, kan?"

<span;>Fara tak menyahuti. Dia cuma menatap Ivan lewat pantulan cermin di hadapannya. Suami tampannya itu tampak berdiri di belakangnya dengan wajah yang kaku.

<span;>"Kita keluar sekarang?" tanya Fara kemudian.

<span;>Ivan mengangguk. Lalu digandengnya Fara dengan mesra. Fara tahu jika suaminya itu ingin menunjukkan di depan semua orang kalau dia adalah seorang suami yang baik. Mungkin dia terbiasa dipandang sempurna. Dan kini dia pun ingin dipandang orang sebagai suami yang sempurna.

<span;>Mereka pun bergandengan menuju ruang depan yang ramai. Beberapa orang keluarga Fara memang masih menginap di sana. Mungkin masih ingin menikmati kebersamaan dalam momen yang indah ini. Apa lagi beberapa dari mereka tinggal diluar kota. Jadi pastinya kebersamaan seperti ini tak mudah untuk mereka lakukan.

<span;>Kedua orangtua Ivan pun ikut menginap di sana. Sebab keluarga besar Fara, adalah keluarga besar ayah Ivan juga. Karena dulu ayah Ivan besar dan tumbuh bersama mereka. Acara pernikahan Ivan dan Fara pun jadi seperti Acara reuni keluarga. Mereka berkumpul, menyatukan dua keluarga yang sesungguhnya telah menyatu.

<span;>"Hei, pengantin baru sudah keluar dari kamar!" seru Tante Nin, adik bungsu ayah Fara, ketika dia melihat Ivan dan Fara berjalan bergandengan menghampiri mereka.

<span;>Ivan dan Fara pun tersenyum. "Kami ingin sarapan bersama, tante," ucap Ivan.

<span;>"Kenapa tidak sarapan di kamar saja? Biar suruh si bibik yang antarkan makanan nanti. Namanya pengantin baru, pasti ingin selalu berdua," goda Tante Nin.

<span;>"Ah, tante, masih banyak waktu bagi kami untuk menghabiskan waktu bersama," sahut Ivan hingga memancing derai tawa orang yang mendengarnya.

<span;>"Tidak sangka, ternyata jodoh mereka tidak jauh-jauh. Mas Arifin dan Mas Surya akhirnya menjadi besan. Kalau tahu begini, kenapa tidak sejak dulu saja mereka kita nikahkan? Biar mereka tidak perlu berpetualang ke sana kemari dengan orang yang tidak jelas," kata Tante Nin lagi.

<span;>"Mungkin jodohnya memang baru datang sekarang, tante. Tuhan baru menyatukan kami sekarang," sahut Ivan dengan suara yang manis.

<span;>Sementara Fara hanya tersenyum menanggapi sambil menahan perasaan dongkol melihat sandiwara suaminya itu.

<span;>"Senangnya melihat kalian langsung cocok seperti ini," kata Pak Surya, ayah Fara, dengan gembira.

 "Ya sudah pasti Ivan merasa cocok dengan Fara, Dik Surya. Fara itu gadis yang baik. Kami pun senang mendapat menantu seperti Fara," sahut Bu Elsa menimpali.

<span;>Fara menatap ayahnya yang sedang duduk bersandar di sofa. Hatinya sedih. Dia tahu, dia harus menutup rapat-rapat tentang keadaan rumah tangganya yang sesungguhnya dari semua orang, terutama ayahnya. Fara terharu melihat kebahagiaan yang terpancar di mata ayahnya saat melihat dia berdampingan dengan mesra bersama Ivan, suaminya. Sorot bahagia itu tak boleh hilang, tekat Fara. Biarlah dia ikhlas menjalani rumah tangga bersama dengan laki-laki yang menyebalkan seperti Ivan. Yang penting ayahnya merasa bahagia dan bisa segera sembuh dari sakitnya.

<span;>Fara pun berjalan menghampiri ayahnya yang sedang menatapnya dengan bahagia. Lalu dia duduk dan mendaratkan sebuah kecupan sayang di pipi ayahnya itu. Pak Surya tersenyum. Dia mengerti jika putrinya itu tak akan bisa menghilangkan kebiasaan manjanya. Fara yang anak satu-satunya memang masih selalu manja pada ayahnya. Maklumlah, sejak kecil ayahnya memang selalu memanjakannya dengan kasih sayang yang berlebih.

<span;>Kini ayahnya sakit. Dan keinginan ayahnya adalah melihat dia menikah dan berumah tangga. Memiliki suami dan anak-anak lucu sebagai penghias hidupnya. Dan menurut ayahnya, Ivan adalah laki-laki terbaik untuknya. Laki-laki bertanggungjawab dan bisa dipercaya. Ayahnya tak pernah tahu bagaimana Ivan yang sesungguhnya. Biarlah. Fara pun tak ingin jika ayahnya sampai mengetahuinya.

<span;>"Sekarang sudah punya suami, masa masih manja juga sama bapak?" goda Pak Surya tersenyum.

<span;>"Apa tidak boleh? Fara kan tetap anak kesayangan bapak?" kata Fara menyahuti.

<span;>"Sampai kapan pun kamu akan tetap menjadi anak kesayangan bapak. Anak bapak kan cuma satu. Kalau tidak menyayangi kamu, lantas bapak harus menyayangi siapa?" kata Pak Surya sambil memeluk Fara dengan sayang.

<span;>"Makanya cepat-cepat kasih cucuk untuk bapakmu. Jangan cuma satu. Tapi yang banyak sekalian," celetuk tante Nin menimpali.

<span;>"Sabar, tante. Kami ingin menikmati bulan madu dulu." Ivan cepat menyahut.

<span;>"Jangan lama-lama. Mama dan papa menunggu," sambar Bu Elsa menimpali kata-kata putranya. "Karena itu mama dan papa ingin kalian tinggal bersama kami. Supaya nanti kami tidak perlu jauh-jauh kalau ingin bertemu dengan cucu."

<span;>"Jadi benar nanti mereka akan tinggal bersama Mbak Elsa dan Mas Arifin?" tanya Tante Nin pada Bu Elsa.

<span;>Bu Elsa pun mengangguk. "Rumah kami terlalu besar untuk kami tempati berdua. Itulah makanya Ivan dan Fiona tidak kami izinkan untuk pindah. Sampai akhirnya Fiona bercerai dengan suaminya pun dia tetap tinggal bersama kami."

<span;>Fiona adalah adik perempuan Ivan satu-satunya. Usianya lima tahun di bawah Fara. Dia seorang janda tanpa anak. Pernikahannya kandas satu tahun yang lalu karena keegoisannya sebagai seorang perempuan. Sifatnya yang keras kepala seringkali menciptakan keributan dalam rumah tangganya. Karena itulah akhirnya dia dan suaminya memutuskan untuk bercerai. Namun begitu sesungguhnya Fiona adalah seorang yang baik. Sikapnya periang dan mudah bergaul. Fara pun senang jika berbincang dengan adik suaminya itu. Fiona pandai membuat suasana menjadi hangat.

<span;>"Ya tidak apa jika Ivan dan Fara nanti tinggal di rumah Mbak Elsa. Rumah kalian besar sekali, toh? Memang akan terlalu sepi jika hanya kalian tempati berdua," kata Pak Surya.

<span;>"Syukurlah kalau Dik Surya dan Dewi setuju jika anak-anak kita nanti tinggal bersama kami."

<span;>"Tentu saja kami setuju, Mbak Elsa. Lagi pula Fara kan harus ikut kemana suaminya membawa dia. Kalau mereka tinggal bersama Mbak Elsa, kami malah merasa tenang melepasnya," kata Bu Dewi, ibunda Fara.

<span;>Fara hanya diam mendengarkan orangtua dan mertuanya membahas semua itu. Dia merasa mungkin itu memang yang terbaik untuknya. Karena setidaknya dia akan tinggal bersama mertua yang selama ini memang sudah dia kenal dengan sangat baik.

<span;>Mereka pun terus asyik berbincang sambil menikmati sarapan bersama. Untuk sejenak Fara bisa melupakan tentang rumah tangganya yang tak indah bersama Ivan. Masalah itu, biar tinggalkan dulu. Fara sedang ingin melihat kebahagiaan orangtuanya atas pernikahannya ini. Senyum cerah ayah ibunya membuat Fara semakin yakin bahwa dia memang harus bertahan dengan rumah tangganya.

<span;>Sementara itu Ivan terus sibuk bersikap manis di depan semua orang. Dia memperlihatkan betapa dia adalah laki-laki impian. Hingga beberapa orang ada yang berucap kalau Fara sangatlah beruntung karena telah menjadi istrinya. Fara tak bisa membantah kata-kata itu meskipun dia merasa kesal mendengarnya. Fara cuma bisa menebar senyum menanggapi semua perkataan mereka tentang pernikahan Ivan dan dirinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status