<span;>Ivan duduk bersama tiga orang teman dekatnya. Hentakkan musik mengalahkan suara mereka yang sedang asyik bercanda dan berbincang tentang masalah perempuan. Tapi Ivan tak banyak bicara. Dia hanya menimpali sesekali saja obrolan teman-temannya itu. Pikirannya sebagian masih terpusat pada Adelia. Belum bisa mengalihkan pikirannya dari gadis terkasih itu meski dia terus mencoba. Jika candaan temannya terdengar lucu, Ivan pun ikut tertawa lepas. Tapi setelah itu pikirannya kembali bercabang. Mengarah sebagian pada Adelia yang kini pergi menghilang.
<span;>"Kamu lagi ada masalah, ya?" tanya Dito pada Ivan.<span;>"Kok, tahu?" sahut Ivan pendek.<span;>"Kelihatan dari wajahmu yang murung itu. Lagi pula, kalau ada pengantin baru yang lebih memilih nongkrong di sini dari pada menikmati waktu berdua dengan istrinya, bisa dipastikan dia sedang ada masalah," kata Dito menebak.<span;>Ivan pun mengangguk membenarkan.<span;>"Dengan istrimu?" tanya Dito lagi.<span;>Ivan menggeleng. "Dengan Adelia," jawabnya.<span;>"Adelia? Apa kamu masih melanjutkan hubunganmu dengannya setelah pernikahanmu kemarin?"<span;>Ivan menghela napas panjang. Wajahnya kembali terlihat gundah. "Adelia memutuskan hubungan kami, To."<span;>"Loh, ya wajar, dong. Kamu kan sekarang sudah menikah. Dia tidak bisa lagi mengharapkanmu untuk jadi teman hidupnya. Jadi wajar kalau dia memilih pergi untuk mencari laki-laki lain yang bisa memberikannya masa depan yang pasti."<span;>"Mungkin Ivan ingin memiliki keduanya. Fara dan Adelia," celetuk Reza menimpali.<span;>"Ah, jangan begitu. Kalau pasangan yang serius, cukup satu saja. Dan berhubung kamu telah menikahi Fara, ya berarti kamu tidak bisa lagi menikahi Adelia. Tidak bisa kamu miliki kedua-duanya, Van. Istri harus satu, meskipun selingkuhan kita banyak. Iya, kan?" kata Dito menanggapi celetukan Reza barusan.<span;>"Betul, To, aku setuju. Aku pun selingkuh ke sana kemari. Tapi tidak pakai hati. Karena hatiku hanya untuk istriku," kata Doni yang setuju pada kata-kata Dito.<span;>Ivan diam mendengarkan. Jadi kalau bukan dengan istri tidak perlu pakai hati? Bagaimana kalau justru dengan istilah yang tidak pakai hati? <span;>"Sudahlah, tidak usah mempertahankan apa yang tidak bisa kamu pertahankan. Relakan Adelia pergi. Toh, kamu sudah menikahi Fara," nasihat Dito.<span;>Ivan menghela napas panjang. Hatinya masih tak tenang. Menukar Adelia dengan Fara? Rasanya sungguh tak sebanding. Adelia dengan bentuk fisik yang sangat sempurna dengan Fara yang biasa-biasa saja. Rasanya seperti menukar sebongkah batu permata dengan batu biasa. Terlalu jauh perbedaannya.<span;>Setelah itu obrolan terhenti. Doni tampak tertarik perhatiannya pada sekelompok perempuan yang duduk tak jauh dari mereka. Gadis-gadis itu pun menggoda Doni untuk menghampiri hingga laki-laki muda itu pun mendatangi mereka. Tak lama Doni kembali dan mengajak Dito, Reza dan Ivan untuk ikut bergabung dengan gadis-gadis itu. Dito dan Reza langsung setuju sementara Ivan menolak. Dia memilih untuk tetap duduk di sana. Dia tidak tertarik untuk bergabung dengan gadis-gadis cantik itu.<span;>"Ya sudah, kamu tunggu saja di sini. Sebentar kami kembali," kata Dito.<span;>"Tidak usah terburu-buru. Nikmati saja waktu kalian," sahut Ivan.<span;>Ketiga temannya pun pergi meninggalkan Ivan sendirian. Ivan mengikuti langkah mereka dengan pandangan matanya. Dia memperhatikan mereka bergabung dengan para gadis cantik itu. Hm, Ivan tak tertarik. Malam ini dia hanya butuh teman untuk berbincang, bukan untuk bersenang-senang.<span;>Sepuluh menit berlalu. Ivan lewati dalam diam. Hanya duduk menikmati suasana yang semakin ramai. Tapi tak apa, pikir Ivan. Cukup menghibur dari pada harus pulang dan menghadapi kecengengan Fara.<span;>Tiba-tiba seorang gadis datang menghampiri dengan senyum yang mengembang. Ivan pun menatap dengan bingung. Ivan tak mengenalnya. Tapi wajah gadis itu seperti tak asing baginya. Hm, dimanakah dia pernah bertemu dengan gadis ini? Ivan mencoba mengingat tapi tak berhasil. Dia tetap tak bisa mengingat dimana dia pernah melihat gadis itu hingga wajah cantiknya itu menjadi tak asing baginya.<span;>"Mas Ivan?" sapa gadis itu dengan senyuman yang ramah.<span;>Ivan pun semakin bingung karena gadis cantik itu tahu namanya. Berarti mereka saling kenal?<span;>"Ya?" Ivan menyahuti.<span;>"Mas Ivan tidak ingat saya?" tanya gadis itu yang sepertinya bisa menangkap rasa bingung Ivan.<span;>"Maaf, saya lupa. Dimana kita pernah bertemu sebelumnya?" Ivan berkata dengan jujur.<span;>"Tidak apa, saya maklum jika Mas Ivan lupa. Kita memang baru satu kali bertemu. Jadi rasanya wajar jika Mas Ivan tidak ingat pada saya," sahut gadis itu masih dengan senyuman ramahnya.<span;>"Tapi kamu ingat saya," kata Ivan menyahuti.<span;>Senyum gadis itu pun melebar. "Siapa pun pasti akan ingat pada wajah tampan Mas Ivan," candanya.<span;>Ivan tersenyum mendengar canda gadis itu. Sungguh itu adalah satu candaan yang sudah sering sekali Ivan dengar dari gadis-gadis yang dikenalnya. Ivan menyadari wajahnya memang tampan di atas rata-rata. Tak sedikit gadis yang mencoba untuk bisa menjadi kekasihnya. Tapi selama ini hati Ivan telah terikat pada Adelia. Jadi tak ada satu pun dari gadis-gadis itu yang dia jadikan teman istimewa. Hanya sebatas teman biasa, tak lebih.<span;>"Maaf, boleh saya duduk?" tanya gadis cantik itu sambil menunjuk pada kursi di samping Ivan yang kosong.<span;>Ivan mengangguk. "Ya, silakan," jawabnya.<span;>Gadis itu pun duduk di samping Ivan. Ivan memperhatikan. Gadis itu begitu seksi. Bentuk tubuhnya sangat menggoda. Apa lagi pakaiannya dengan belahan dada yang sedikit rendah membuat dada indahnya itu bisa terlihat sebagian. Begitu padat dan menantang.<span;>"Apa masih tetap tidak ingat pada saya?" tanya gadis itu setelah duduk di samping Ivan.<span;>Ivan menggeleng. "Maaf, saya benar-benar tidak ingat."<span;>"Saya Lusy, sahabat Fara. Kita bertemu di acara pernikahan Mas Ivan dan Fara minggu lalu." Gadis yang bernama Lusy itu mengingatkan Ivan dimanakah mereka pernah bertemu.<span;>"Lusy? Sahabat Fara?" Ivan mencoba mengingat. "Ah, iya! Ya, saya ingat! Kamu yang datang berdua dengan sahabat Fara yang lainnya...."<span;>"Riska. Saya datang berdua dengan Riska. Ya, kami yang kemarin memperkenalkan diri sebagai sahabat Fara. Syukurlah kalau Mas Ivan masih ingat," kata Lusy senang.<span;>Ivan pun tersenyum. Sikapnya kini hangat menyambut Lusy. Ya, Ivan memang baru ingat kalau di pesta pernikahannya waktu itu dia berkenalan dengan dua orang sahabat Fara. Lusy dan Riska. Kedua perempuan itu bahkan hampir seharian berada di pesta itu. Hanya saja, Ivan kurang memperhatikan karena sebagian pikirannya sedang terpusat pada Adelia.<span;>"Kok, Mas Ivan ada di sini? Apa bersama Fara?" tanya Lusy sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling.<span;>"Tidak, Fara ada di rumah. Saya kemari cuma untuk berkumpul bersama teman-teman. Tapi ternyata mereka dapat kenalan baru," jawab Ivan sambil menunjuk ke arah teman-temannya yang sedang asyik bersama gadis-gadis tadi.<span;>Lusy pun mengikuti arah yang ditunjuk oleh Ivan. "Mas Ivan tidak ikut gabung dengan mereka? Kenapa malah menyendiri di sini?"<span;>"Malas. Lebih enak santai di sini."<span;>"Kalau begitu, boleh saya temani?"<span;>Ivan mengangguk. "Kamu sendirian?"<span;>"Bersama beberapa teman. Tapi tidak apa. Toh, mereka pun tidak akan merasa kehilangan kalau saya menemani Mas Ivan di sini,"<span;>"Bersama Riska?"<span;>Lusy menggeleng. "Riska dan Fara tidak suka tempat seperti ini. Kami memang bersahabat. Tapi kalau sedang ingin bersenang-senang di sini, saya tidak bisa mengajak mereka karena mereka tidak suka. Mereka lebih suka nongkrong di cafe atau di mal," katanya menjelaskan.<span;>"Jadi Fara tidak suka datang ke club malam seperti ini?"<span;>Lusy mengangguk. "Dia tidak suka. Tapi saya heran kenapa dia mengizinkan Mas Ivan untuk datang ke sini sendirian?"<span;>"Fara tidak tahu," jawab Ivan jujur.<span;>"Oh, berarti pertemuan ini rahasia?" Lusy tersenyum mengerti.<span;>"Ya, rahasia. Bisa menjaga rahasia, kan?"<span;>"Tentu saja bisa. Tapi saya temani, ya?"<span;>Ivan pun kembali tersenyum dan mengangguk. Tak apa ditemani gadis secantik Lusy, dari pada cuma bengong sendirian, pikir Ivan. Lusy gadis yang menyenangkan. Dia ramah dan pandai membuat Ivan tertawa. Ivan pun jadi merasa terhibur. Waktu yang berlalu jadi terasa menyenangkan dan hangat. Sesaat Ivan bisa menepiskan kesedihan hatinya. Lusy sungguh-sungguh bisa menghibur hingga Ivan merasa beban di hatinya sedikit berkurang.<span;>"Turun, yuk!" ajak Lusy sambil menggerak-gerakan badannya mengikuti irama musik yang menghentak.<span;>Ivan menggeleng. "Lagi malas," tolaknya.<span;>"Jadi mau duduk di sini saja?" tanya Lusy sambil menghentikan gerakan badannya. Gadis itu pun menggeser duduknya mendekati Ivan. Sikap gadis itu mulai lebih berani.<span;>Ivan membiarkan. Dia tahu Lusy merasa tertarik padanya. Tapi bukankah Lusy sahabat Fara? Hm, mungkin tak apa. Sekadar selingan untuk menghalau kesedihan. Lagi pula tak perlu terlalu memikirkan Fara. Yang penting penuhi saja segala kebutuhannya. Setelah itu aku bisa bebas dengan duniaku sendiri.<span;>"Lebih asyik di sini saja, kan?" bisik Ivan di telinga Lusy.<span;>Lusy tersenyum penuh arti. Dan entah siapa yang memulai, bibir mereka pun akhirnya saling bertautan. Ivan melumat dan menyesap bibir indah Lusy dengan penuh gairah. Lusy terlena. Dengan cepat dia membalas hingga Ivan pun merasakan gairahnya mulai naik perlahan. Sampai akhirnya kecupan itu berakhir saat mereka merasa telah kehabisan napas.<span;>"Kamu perempuan yang sangat menarik, Lusy," bisik Ivan lagi.<span;>"Tapi Fara...."<span;>"Tidak ada Fara di sini. Di sini saya laki-laki bebas. Saya bukan milik siapa-siapa," kata Ivan segera.<span;>Lusy pun tersenyum senang. Dia merasa tak salah jika tertarik pada Ivan. Sebab Ivan begitu sempurna. Perempuan mana pun pasti akan langsung tertarik jika melihat laki-laki setampan suami sahabatnya itu. Bahkan sejak pertamakali melihat Ivan pun sesungguhnya dia telah tertarik. Dia merasa sedikit iri pada keberuntungan Fara, sahabatnya. Ketika itu Lusy hanya bisa menatap Ivan yang sedang bersanding dengan Fara di pelaminan, sambil sesekali melepas khayalan dan berharap jika dia pun bisa memiliki laki-laki setampan dan segagah Ivan. Siapa yang menyangka jika malam ini dia bisa bersama dengan Ivan di sini? Dan siapa yang menyangka jika ternyata Ivan tak menolak dirinya? Hanya sekadar membuka obrolan dengan hangat, dan pintu untuknya pun terbuka.<span;>"Jadi Mas Ivan bukan milik siapa-siapa?" tanya Lusy senang.<span;>Ivan menggeleng.<span;>"Boleh jika malam ini saya yang memiliki?" Lusy menggoda dengan berani.<span;>"Kamu ingin bersama saya malam ini?" Ivan bertanya tanpa basa-basi lagi. Dia tahu perempuan cantik itu menginginkannya.<span;>Lusy pun segera mengangguk. Ivan mengerti apa yang harus dia lakukan. Dia segera menggandeng tangan Lusy dan pergi dari sana. Tujuannya cuma satu. Apartemennya. Di sana dia bisa melepaskan beban hatinya dengan bersenang-senang bersama Lusy. Ditepiskannya niatnya semula yang hanya ingin berkumpul bersama teman. Jika bisa melepaskan kesedihan dengan cara yang menyenangkan, kenapa tidak? Yang penting semua ini tetap jadi rahasia hingga tak perlu ada hati yang terluka.<span;>Fara terjaga dari tidurnya karena dirasakannya ada seseorang yang naik ke tempat tidur. Dengan cepat dia menoleh. Didapatinya Ivan yang sedang berbaring hendak tidur. Suaminya itu pun tampak acuh, seperti tak peduli pada Fara yang terkejut. <span;>"Mas Ivan?!" Fara pun cepat melihat pada jam mungil yang ada di atas nakas. Pukul setengah lima pagi. "Mas Ivan baru pulang?" <span;>"Bangunkan aku jam enam," pinta Ivan tanpa menjawab pertanyaan Fara barusan. <span;>"Kenapa Mas Ivan baru pulang?" Fara melanjutkan pertanyaannya. <span;>"Bertanyanya nanti saja, Fara. Sekarang aku ngantuk, ingin tidur," sahut Ivan sambil terus terpejam. <span;>"Aku tunggu Mas Ivan semalaman. Janjinya mau pulang sebelum tengah malam. Tapi ternyata malah pulang pagi. Keterlaluan!" kata Fara kesal. <span;>Ivan pun membuka matanya dan menoleh pada Fara. Ekspresi wajahnya datar seolah dia tak m
<span;>Fara duduk termenung sendirian di kamar. Ini baru lewat jam makan siang. Belum satu harian dia menjalani waktunya di rumah mertuanya ini. Tapi rasa jenuh sudah mengurungnya sejak tadi. Fara tak tahu harus melakukan apa. Bu Elsa, ibu mertuanya sudah keluar rumah sejak tadi. Ada arisan katanya. Sedangkan Fiona, adik Ivan, sampai hari ini masih berada di luar kota untuk urusan pekerjaan. Fara pun kesepian. Kalau saja sebelum pernikahan Ivan tidak memintanya berhenti bekerja, tentulah saat ini Fara tak kan mengalami kejenuhan seperti ini. Tapi Ivan bilang, dia ingin punya istri perempuan yang diam di rumah, bukan wanita karier yang sibuk bekerja. Karena itulah kedua orangtua Fara langsung meminta Fara berhenti bekerja agar bisa menjadi ibu rumah tangga seperti yang Ivan inginkan. Fara pun menurut. Toh, menjadi ibu rumah tangga juga satu hal yang menyenangkan. Mengurus suami dan anak-anak adalah kebahagiaan yang tak ternilai bagi seorang perempuan. Tapi sekarang, kenyataanny
<span;>Malam itu Fara mendapat telepon dari seorang teman. <span;>"Pesta ulang tahun?" tanya Fara ceria. <span;>"Nggak, kok. Cuma sekadar kumpul teman-teman lama saja. Temu kangen sekalian makan-makan di rumahku. Kamu mau datang kan, Far?" tanya temannya di seberang sana. <span;>"Aku pasti mau, dong. Nanti aku datang bersama Riska dan Lusy, ya!" janji Fara. <span;>"Oke, kalau begitu aku tunggu, ya!" sahut temannya senang. <span;>Setelah itu pembicaraan pun selesai. Fara yang saat itu sedang duduk di atas tempat tidur menghadap ke jendela kamarnya, tak tahu jika Ivan sudah masuk dan berdiri di pintu kamar mendengarkan obrolannya barusan. Dan ketika Fara menoleh, dia pun terpekik kaget. <span;>"Mas Ivan?!" serunya terkejut. <span;>"Kenapa terkejut seperti itu?" tanya Ivan dengan ekspresi wajah yang dingin seperti biasanya. <span;>"Mas Iv
<span;>“Sedang teleponan sama siapa?” Suara Ivan yang bertanya mengejutkan Fara. Ketika itu Ivan yang baru saja masuk ke kamarnya, mendapati Fara sedang duduk santai di atas tempat tidur sambil berbicara dengan seseorang di telepon. <span;>Fara pun menoleh cepat. “Kenapa Mas Ivan selalu membuatku terkejut?” <span;>“Terkejut? Apa sedang membicarakan tentang sesuatu yang rahasia?” Ivan bertanya sambil mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Kemudian dia duduk di sofa yang ada di depan jendela dan mulai asyik memainkan ponselnya di sana. <span;>“Rahasia? Rahasia apa? Aku cuma bicara dengan Riska,” kata Fara segera. <span;>“Riska sahabatmu itu?” tanya Ivan tanpa menoleh. <span;>“Ya. Jadi mas masih ingat pada sahabatku itu?” <span;>“Tentu saja ingat. Apa kamu pikir aku sudah pikun?” ketus
<span;>Ivan tak ikut dalam obrolan ketiga perempuan itu. Dia hanya duduk diam di antara mereka sambil sesekali tersenyum sebagai tanda kalau dia ikut mendengarkan canda mereka. Ivan pun berusaha untuk tidak merasa jenuh. Dia memusatkan perhatiannya pada Lusy yang duduk di hadapannya. Lusy pun tersenyum. Dia tahu jika mata suami sahabatnya itu terpusat padanya. Lalu dengan bahasa tubuhnya dia segera berusaha menggoda Ivan yang memang sudah tertarik pada kemolekan tubuhnya. <span;>Ivan yang mengerti bahasa tubuh Lusy itu pun tersenyum penuh arti. Dia menikmati setiap gerakan yang Lusy buat lewat pandangan matanya. Namun begitu, Ivan tetap pandai menjaga sikap. Dia harus tetap terlihat sebagai seorang yang baik, terutama di depan Riska. Sebab dia harus selalu tampil sebagai laki-laki yang sempurna. Tak boleh ada seorang pun yang tahu keburukannya. Termasuk Riska, sahabat istrinya. <span;>"Wah, minumannya sudah habis. Biar aku buatkan lagi," kat
<span;>"Kok, main hp terus? Sudah malam, Mas Ivan tidak tidur?" tanya Fara yang malam itu melihat Ivan asyik dengan ponselnya sambil duduk santai di dekat jendela kamar. <span;>"Aku bukan anak kecil yang diwajibkan tidur sore, kan?" Ivan balik bertanya tanpa menoleh. <span;>"Ini sudah jam sepuluh. Sudah malam, mas," kata Fara lagi sambil masuk ke dalam selimut hangatnya. <span;>"Jam sepuluh itu masih sore. Sudahlah jangan cerewet, Fara. Jangan bilang kalau kamu minta dikeloni. Seperti anak kecil saja," gerutu Ivan tanpa mengalihkan mata dari ponselnya. <span;>"Siapa yang minta dikeloni?" Fara menyahut cepat. <span;>"Malam ini aku sedang tidak ingin. Jadi sebaiknya kamu tidur saja," kata Ivan lagi hingga Fara pun menoleh cepat padanya. <span;>"Aku tidak minta itu, mas!" <span;>"Oh ya? Baguslah kalau begitu. Karena malam ini aku tidak bisa. Aku mau ketemu
<span;>Dentuman alunan musik terdengar menghentak keras memenuhi ruangan. Suasana riuh dan ceria seolah mengajak semua yang hadir di sana untuk bersemangat. Ruangan yang dipadati oleh para pengunjung itu pun jadi terasa hidup. Malam tak hening di sini. Malam begitu hingar bingar. Mereka seolah merubahnya menjadi siang, hingga mereka tak lagi merasa jika sesungguhnya malam adalah waktunya bagi tubuh mereka untuk beristirahat. <span;>Ivan berjalan pelan menghampiri seorang perempuan cantik yang sedang duduk sendirian menunggunya. Dan ketika melihat kedatangannya, perempuan itu pun tersenyum dan berdiri menyambutnya. Lalu segera dia memeluk Ivan dan bersandar manja di dadanya. <span;>"Kenapa lama? Aku sudah satu jam menunggu di sini," kata perempuan yang adalah Lusy, melontarkan sedikit protes. <span;>Ivan pun melihat pada jam tangannya. "Ini baru tengah malam, cantik. Aku datang tepat waktu," katanya sambil mendaratkan sebuah
<span;>Minggu siang itu Fara baru saja selesai memasak. Dia belajar memasak makanan kesukaan Ivan dari ibu mertuanya. Sebab orang bilang, istri yang pintar memasak itu akan disayang suami. Meski pun Fara ragu jika Ivan akan mencintainya jika dia bisa menyuguhkan makanan kesukaan suaminya itu. Tapi tak ada salahnya mencoba. Toh, hati Ivan bukan terbuat dari batu, kan? Jadi sekeras-keras hati suaminya itu, Fara yakin dia masih bisa untuk melunakkannya. Apa lagi selama ini Ivan selalu meminta Fara untuk membuatkan sarapan dan kopi untuknya. Jadi jika di hari Minggu seperti ini Fara menyajikan makan siang, mungkin saja Ivan akan senang dan bisa melihat kesungguhan Fara untuk menjadi seorang istri yang baik. <span;>Selesai memasak, Fara pun bergegas ke kamar untuk mandi. Sebab Fara merasa badannya lengket oleh keringat dan juga bau bumbu masakan. Dan ketika dia masuk ke dalam kamar, dilihatnya Ivan sedang duduk santai di dekat jendela sambil memainkan ponselnya. F