Share

Bab 8

<span;>Ivan duduk bersama tiga orang teman dekatnya. Hentakkan musik mengalahkan suara mereka yang sedang asyik bercanda dan berbincang tentang masalah perempuan. Tapi Ivan tak banyak bicara. Dia hanya menimpali sesekali saja obrolan teman-temannya itu. Pikirannya sebagian masih terpusat pada Adelia. Belum bisa mengalihkan pikirannya dari gadis terkasih itu meski dia terus mencoba. Jika candaan temannya terdengar lucu, Ivan pun ikut tertawa lepas. Tapi setelah itu pikirannya kembali bercabang. Mengarah sebagian pada Adelia yang kini pergi menghilang.

<span;>"Kamu lagi ada masalah, ya?" tanya Dito pada Ivan.

<span;>"Kok, tahu?" sahut Ivan pendek.

<span;>"Kelihatan dari wajahmu yang murung itu. Lagi pula, kalau ada pengantin baru yang lebih memilih nongkrong di sini dari pada menikmati waktu berdua dengan istrinya, bisa dipastikan dia sedang ada masalah," kata Dito menebak.

<span;>Ivan pun mengangguk membenarkan.

<span;>"Dengan istrimu?" tanya Dito lagi.

<span;>Ivan menggeleng. "Dengan Adelia," jawabnya.

<span;>"Adelia? Apa kamu masih melanjutkan hubunganmu dengannya setelah pernikahanmu kemarin?"

<span;>Ivan menghela napas panjang. Wajahnya kembali terlihat gundah. "Adelia memutuskan hubungan kami, To."

<span;>"Loh, ya wajar, dong. Kamu kan sekarang sudah menikah. Dia tidak bisa lagi mengharapkanmu untuk jadi teman hidupnya. Jadi wajar kalau dia memilih pergi untuk mencari laki-laki lain yang bisa memberikannya masa depan yang pasti."

<span;>"Mungkin Ivan ingin memiliki keduanya. Fara dan Adelia," celetuk Reza menimpali.

<span;>"Ah, jangan begitu. Kalau pasangan yang serius, cukup satu saja. Dan berhubung kamu telah menikahi Fara, ya berarti kamu tidak bisa lagi menikahi Adelia. Tidak bisa kamu miliki kedua-duanya, Van. Istri harus satu, meskipun selingkuhan kita banyak. Iya, kan?" kata Dito menanggapi celetukan Reza barusan.

<span;>"Betul, To, aku setuju. Aku pun selingkuh ke sana kemari. Tapi tidak pakai hati. Karena hatiku hanya untuk istriku," kata Doni yang setuju pada kata-kata Dito.

<span;>Ivan diam mendengarkan. Jadi kalau bukan dengan istri tidak perlu pakai hati? Bagaimana kalau justru dengan istilah yang tidak pakai hati? 

<span;>"Sudahlah, tidak usah mempertahankan apa yang tidak bisa kamu pertahankan. Relakan Adelia pergi. Toh, kamu sudah menikahi Fara," nasihat Dito.

<span;>Ivan menghela napas panjang. Hatinya masih tak tenang. Menukar Adelia dengan Fara? Rasanya sungguh tak sebanding. Adelia dengan bentuk fisik yang sangat sempurna dengan Fara yang biasa-biasa saja. Rasanya seperti menukar sebongkah batu permata dengan batu biasa. Terlalu jauh perbedaannya.

<span;>Setelah itu obrolan terhenti. Doni tampak tertarik perhatiannya pada sekelompok perempuan yang duduk tak jauh dari mereka. Gadis-gadis itu pun menggoda Doni untuk menghampiri hingga laki-laki muda itu pun mendatangi mereka. Tak lama Doni kembali dan mengajak Dito, Reza dan Ivan untuk ikut bergabung dengan gadis-gadis itu. Dito dan Reza langsung setuju sementara Ivan menolak. Dia memilih untuk tetap duduk di sana. Dia tidak tertarik untuk bergabung dengan gadis-gadis cantik itu.

<span;>"Ya sudah, kamu tunggu saja di sini. Sebentar kami kembali," kata Dito.

<span;>"Tidak usah terburu-buru. Nikmati saja waktu kalian," sahut Ivan.

<span;>Ketiga temannya pun pergi meninggalkan Ivan sendirian. Ivan mengikuti langkah mereka dengan pandangan matanya. Dia memperhatikan mereka bergabung dengan para gadis cantik itu. Hm, Ivan tak tertarik. Malam ini dia hanya butuh teman untuk berbincang, bukan untuk bersenang-senang.

<span;>Sepuluh menit berlalu. Ivan lewati dalam diam. Hanya duduk menikmati suasana yang semakin ramai. Tapi tak apa, pikir Ivan. Cukup menghibur dari pada harus pulang dan menghadapi kecengengan Fara.

<span;>Tiba-tiba seorang gadis datang menghampiri dengan senyum yang mengembang. Ivan pun menatap dengan bingung. Ivan tak mengenalnya. Tapi wajah gadis itu seperti tak asing baginya. Hm, dimanakah dia pernah bertemu dengan gadis ini? Ivan mencoba mengingat tapi tak berhasil. Dia tetap tak bisa mengingat dimana dia pernah melihat gadis itu hingga wajah cantiknya itu menjadi tak asing baginya.

<span;>"Mas Ivan?" sapa gadis itu dengan senyuman yang ramah.

<span;>Ivan pun semakin bingung karena gadis cantik itu tahu namanya. Berarti mereka saling kenal?

<span;>"Ya?" Ivan menyahuti.

<span;>"Mas Ivan tidak ingat saya?" tanya gadis itu yang sepertinya bisa menangkap rasa bingung Ivan.

<span;>"Maaf, saya lupa. Dimana kita pernah bertemu sebelumnya?" Ivan berkata dengan jujur.

<span;>"Tidak apa, saya maklum jika Mas Ivan lupa. Kita memang baru satu kali bertemu. Jadi rasanya wajar jika Mas Ivan tidak ingat pada saya," sahut gadis itu masih dengan senyuman ramahnya.

<span;>"Tapi kamu ingat saya," kata Ivan menyahuti.

<span;>Senyum gadis itu pun melebar. "Siapa pun pasti akan ingat pada wajah tampan Mas Ivan," candanya.

<span;>Ivan tersenyum mendengar canda gadis itu. Sungguh itu adalah satu candaan yang sudah sering sekali Ivan dengar dari gadis-gadis yang dikenalnya. Ivan menyadari wajahnya memang tampan di atas rata-rata. Tak sedikit gadis yang mencoba untuk bisa menjadi kekasihnya. Tapi selama ini hati Ivan telah terikat pada Adelia. Jadi tak ada satu pun dari gadis-gadis itu yang dia jadikan teman istimewa. Hanya sebatas teman biasa, tak lebih.

<span;>"Maaf, boleh saya duduk?" tanya gadis cantik itu sambil menunjuk pada kursi di samping Ivan yang kosong.

<span;>Ivan mengangguk. "Ya, silakan," jawabnya.

<span;>Gadis itu pun duduk di samping Ivan. Ivan memperhatikan. Gadis itu begitu seksi. Bentuk tubuhnya sangat menggoda. Apa lagi pakaiannya dengan belahan dada yang sedikit rendah membuat dada indahnya itu bisa terlihat sebagian. Begitu padat dan menantang.

<span;>"Apa masih tetap tidak ingat pada saya?" tanya gadis itu setelah duduk di samping Ivan.

<span;>Ivan menggeleng. "Maaf, saya benar-benar tidak ingat."

<span;>"Saya Lusy, sahabat Fara. Kita bertemu di acara pernikahan Mas Ivan dan Fara minggu lalu." Gadis yang bernama Lusy itu mengingatkan Ivan dimanakah mereka pernah bertemu.

<span;>"Lusy? Sahabat Fara?" Ivan mencoba mengingat. "Ah, iya! Ya, saya ingat! Kamu yang datang berdua dengan sahabat Fara yang lainnya...."

<span;>"Riska. Saya datang berdua dengan Riska. Ya, kami yang kemarin memperkenalkan diri sebagai sahabat Fara. Syukurlah kalau Mas Ivan masih ingat," kata Lusy senang.

<span;>Ivan pun tersenyum. Sikapnya kini hangat menyambut Lusy. Ya, Ivan memang baru ingat kalau di pesta pernikahannya waktu itu dia berkenalan dengan dua orang sahabat Fara. Lusy dan Riska. Kedua perempuan itu bahkan hampir seharian berada di pesta itu. Hanya saja, Ivan kurang memperhatikan karena sebagian pikirannya sedang terpusat pada Adelia.

<span;>"Kok, Mas Ivan ada di sini? Apa bersama Fara?" tanya Lusy sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

<span;>"Tidak, Fara ada di rumah. Saya kemari cuma untuk berkumpul bersama teman-teman. Tapi ternyata mereka dapat kenalan baru," jawab Ivan sambil menunjuk ke arah teman-temannya yang sedang asyik bersama gadis-gadis tadi.

<span;>Lusy pun mengikuti arah yang ditunjuk oleh Ivan. "Mas Ivan tidak ikut gabung dengan mereka? Kenapa malah menyendiri di sini?"

<span;>"Malas. Lebih enak santai di sini."

<span;>"Kalau begitu, boleh saya temani?"

<span;>Ivan mengangguk. "Kamu sendirian?"

<span;>"Bersama beberapa teman. Tapi tidak apa. Toh, mereka pun tidak akan merasa kehilangan kalau saya menemani Mas Ivan di sini,"

<span;>"Bersama Riska?"

<span;>Lusy menggeleng. "Riska dan Fara tidak suka tempat seperti ini. Kami memang bersahabat. Tapi kalau sedang ingin bersenang-senang di sini, saya tidak bisa mengajak mereka karena mereka tidak suka. Mereka lebih suka nongkrong di cafe atau di mal," katanya menjelaskan.

<span;>"Jadi Fara tidak suka datang ke club malam seperti ini?"

<span;>Lusy mengangguk. "Dia tidak suka. Tapi saya heran kenapa dia mengizinkan Mas Ivan untuk datang ke sini sendirian?"

<span;>"Fara tidak tahu," jawab Ivan jujur.

<span;>"Oh, berarti pertemuan ini rahasia?" Lusy tersenyum mengerti.

<span;>"Ya, rahasia. Bisa menjaga rahasia, kan?"

<span;>"Tentu saja bisa. Tapi saya temani, ya?"

<span;>Ivan pun kembali tersenyum dan mengangguk. Tak apa ditemani gadis secantik Lusy, dari pada cuma bengong sendirian, pikir Ivan. Lusy gadis yang menyenangkan. Dia ramah dan pandai membuat Ivan tertawa. Ivan pun jadi merasa terhibur. Waktu yang berlalu jadi terasa menyenangkan dan hangat. Sesaat Ivan bisa menepiskan kesedihan hatinya. Lusy sungguh-sungguh bisa menghibur hingga Ivan merasa beban di hatinya sedikit berkurang.

<span;>"Turun, yuk!" ajak Lusy sambil menggerak-gerakan badannya mengikuti irama musik yang menghentak.

<span;>Ivan menggeleng. "Lagi malas," tolaknya.

<span;>"Jadi mau duduk di sini saja?" tanya Lusy sambil menghentikan gerakan badannya. Gadis itu pun menggeser duduknya mendekati Ivan. Sikap gadis itu mulai lebih berani.

<span;>Ivan membiarkan. Dia tahu Lusy merasa tertarik padanya. Tapi bukankah Lusy sahabat Fara? Hm, mungkin tak apa. Sekadar selingan untuk menghalau kesedihan. Lagi pula tak perlu terlalu memikirkan Fara. Yang penting penuhi saja segala kebutuhannya. Setelah itu aku bisa bebas dengan duniaku sendiri.

<span;>"Lebih asyik di sini saja, kan?" bisik Ivan di telinga Lusy.

<span;>Lusy tersenyum penuh arti. Dan entah siapa yang memulai, bibir mereka pun akhirnya saling bertautan. Ivan melumat dan menyesap bibir indah Lusy dengan penuh gairah. Lusy terlena. Dengan cepat dia membalas hingga Ivan pun merasakan gairahnya mulai naik perlahan. Sampai akhirnya kecupan itu berakhir saat mereka merasa telah kehabisan napas.

<span;>"Kamu perempuan yang sangat menarik, Lusy," bisik Ivan lagi.

<span;>"Tapi Fara...."

<span;>"Tidak ada Fara di sini. Di sini saya laki-laki bebas. Saya bukan milik siapa-siapa," kata Ivan segera.

<span;>Lusy pun tersenyum senang. Dia merasa tak salah jika tertarik pada Ivan. Sebab Ivan begitu sempurna. Perempuan mana pun pasti akan langsung tertarik jika melihat laki-laki setampan suami sahabatnya itu. Bahkan sejak pertamakali melihat Ivan pun sesungguhnya dia telah tertarik. Dia merasa sedikit iri pada keberuntungan Fara, sahabatnya. Ketika itu Lusy hanya bisa menatap Ivan yang sedang bersanding dengan Fara di pelaminan, sambil sesekali melepas khayalan dan berharap jika dia pun bisa memiliki laki-laki setampan dan segagah Ivan. Siapa yang menyangka jika malam ini dia bisa bersama dengan Ivan di sini? Dan siapa yang menyangka jika ternyata Ivan tak menolak dirinya? Hanya sekadar membuka obrolan dengan hangat, dan pintu untuknya pun terbuka.

<span;>"Jadi Mas Ivan bukan milik siapa-siapa?" tanya Lusy senang.

<span;>Ivan menggeleng.

<span;>"Boleh jika malam ini saya yang memiliki?" Lusy menggoda dengan berani.

<span;>"Kamu ingin bersama saya malam ini?" Ivan bertanya tanpa basa-basi lagi. Dia tahu perempuan cantik itu menginginkannya.

<span;>Lusy pun segera mengangguk. Ivan mengerti apa yang harus dia lakukan. Dia segera menggandeng tangan Lusy dan pergi dari sana. Tujuannya cuma satu. Apartemennya. Di sana dia bisa melepaskan beban hatinya dengan bersenang-senang bersama Lusy. Ditepiskannya niatnya semula yang hanya ingin berkumpul bersama teman. Jika bisa melepaskan kesedihan dengan cara yang menyenangkan, kenapa tidak? Yang penting semua ini tetap jadi rahasia hingga tak perlu ada hati yang terluka.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Lie Miang
lelaki brengsek
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status