"Vin.... Udah dong, nangisnya!" Abra hampir frustasi, melihat Vina yang tak berhenti menangis. Padahal sudah lebih dari satu jam, sejak Vina masuk kamar. Abra yang melihat saja capek. Emang Vina enggak, apa? "Katanya dulu cewek tomboi, hobi berantem, hobi manjat pohon. Masak denger omongan gitu aja, nangis?" Abra berusaha melucu, dengan mengingatkan tentang kenangan masa kecilnya. Tapi Vina bergeming, dia tetap terisak-isak. Tak peduli walau bibir Abra sudah berbusa-busa mencoba menghibur dirinya. "Ayolah, Sayang. Ucapan Mama jangan dimasukin hati, mungkin Mama lagi error. Anggap saja Mama lagi ngelawak." Abra terus berusaha membujuk istrinya. Abra tahu, mamanya sudah keterlaluan. Pernikahan mereka belum genap empat bulan, masih dini untuk dituntut memiliki keturunan. Tapi Maya ngotot, Vina harus segera hamil. "Pokoknya, kalau dalam setahun ini Vina nggak hamil juga. Mama bakal geser posisinya, dengan Tessa. Kalau dilihat dari bentuk pinggulnya yang lebar, Mama yakin dia itu subur
Infertil 15Vina menatap nanar Abra yang sudah terkapar, dengkuran halusnya terdengar. Pertanda pria itu tengah berkelana ke alam mimpi. Tubuh pria itu bahkan masih polos, hanya tertutup selimut. Berpakaian pun Abra tak sanggup, saking lemasnya dia. Akhirnya mereka berdua berhasil menjadi suami istri seutuhnya. Keduanya telah melalui malam pertama, sebagai mana pasangan lainnya. Namun sayangnya malam pertama mereka tak seperti ekspektasi Vina. Abra hanya bertahan sesaat, lalu mengakhiri pendakian, sebelum Vina sempat melayang.Rasanya Vina ingin menangis sejadinya, meluapkan kekecewaan yang kini menguasai hati dan pikirannya. Abra benar-benar membuatnya kecewa, malam pertama yang sudah dia nanti sejak lama berakhir begitu saja. Abra tidak perkasa. Tidak hanya kecewa, tapi juga terluka. Itu yang Vina alami sekarang, walau berbadan atletis dan terlihat begitu jantan. Nyatanya, Abra tak bisa memuaskan Vina. Meski sudah dibantu obat kuat sekalipun, pria itu tetap mlehoi. "Ya, setidakny
"Saya harus bagaimana, Dok?" Tanya Vina dengan air mata yang mengambang di pelupuk mata. Kilasan malam pertama yang jauh dari ekspektasinya kembali membayang, membuat hatinya kembali menelan pil pahit kekecewaan. Vina sudah menceritakan semua yang terjadi malam tadi, mulai dari Abra yang dia paksa minum obat kuat, hingga Abra yang baru masuk langsung keluar dan tepar. "Yang jelas kamu masih harus bersabar, Vin. Ini pengalaman pertama Abra, wajar kalau dia secepat itu. Grogi, tidak percaya diri dan kurang jam terbang yang memicu ejakulasi dini itu terjadi. Tapi kamu tenang, ini tidak permanen, kok. Seiring perjalanan waktu, performa Abra di atas ranjang akan mengalami peningkatan," tutur Dokter Fitria dengan lembut dan sabar, membuat Vina merasa sedikit lega. Akhirnya Vina memutuskan konsul dengan Dokter Fitria, melaporkan perkembangan Abra sekaligus mencurahkan isi hatinya. Tak mungkin dia cerita pada mertua, atau mamanya sendiri, apalagi pada sahabatnya lebih tidak mungkin lagi. S
Infertil 17Abra dan Vina berpegangan tangan, saling menguatkan satu sama lain. Hati mereka ketar ketir sejak pembantu rumah itu memberi tahu, bahwa Maya sudah menunggu mereka di meja makan. 'Ada hal penting yang ingin dibicarakan', begitu kata pembantu itu. Vina dan Abra tentu sudah tahu, hal penting itu apa. Tentu saja Maya akan menagih mereka berdua. Menagih kehamilan Vina. Waktu setahun yang diberikan Maya hampir tiba. "Sudah setahun kalian menikah, tapi Mama lihat Vina belum ada tanda-tanda hamil." Nah, kan bener. Ucapan Maya membuat Vina dan Abra saling pandang. Kalau kemarin-kemarin mereka bisa beralasan menunggu Vina selesai skripsi, atau selesai wisuda. Biar nggak kerepotan, kasihan kalau harus wara wiri dengan perut besar. Sekarang urusan kuliah Vina sudah selesai semua, apalagi yang akan mereka jadikan alasan?"Vina, Abra? Kenapa kalian hanya diam? Kalian nggak child free, kan?" Suara Maya naik satu oktaf. "Nggak, Ma. Kami juga ingin punya anak secepatnya, tapi memang be
Infertil 18"Hasil pemeriksaan Nyonya Vina semuanya baik, kondisi rahimnya juga sehat. Sangat memungkinkan untuk dibuahi, dan mengandung. Ini saya lihat tak ada masalah yang berarti yang menganggu kesuburan," ucap wanita cantik bersneli panjang itu, sambil melihat medical record yang dia pegang. Sementara Vina dan Abra serius menyimak. "Apa itu artinya istrinya saya ---" Abra tak sanggup melanjutkan kalimatnya, saking bahagianya. "Nyonya Vina subur, Pak. Kans untuk hamil sangat besar. Jadi Bapak dan Ibu tidak perlu khawatir. Soal kapan diberi, itu semua ketetapan yang Di Atas, ya, Pak. Kita hanya bisa menunggu, sambil berusaha dan berdoa," jawab dokter Adriana bijak. "Sekarang giliran Pak Abraham, yang menjalani tes kesuburan. Saya rujuk ke poli andrologi, ya, Pak. Silahkan Bapak bawa kartu ini! Di sana nanti akan bertemu dokter Anwar." Hati Abra mencelos, tiba-tiba gelisah melanda. Kalau hasil pemeriksaan Vina menyatakan, bahwa istrinya itu dalam kondisi sehat, dan subur. Bagaiman
"Mas, kenapa?" Tanya Vina begitu menyadari Abra berubah sikap. Abra yang tengah terpaku menatap ponselnya itu bergeming, panggilan Vina tak didengarnya. Padahal jarak mereka begitu dekat. "Mas! Siapa yang WA?" Tentu Vina penasaran, dengan sikap Abra yang tiba-tiba berubah. Tadi dia baik-baik saja, kok. Abra menanggapi candaan Vina seperti biasa, meksipun sejak di klinik tadi Abra sering tergagap. Abra masih bergeming, dia menatap nanar layar ponselnya. Dia masih tidak percaya dengan apa yang terpampang di sana. Dari awal Abra sudah mengkhawatirkan hasil tes kesuburan nya, dia khawatir kalau ternyata hasilnya tak sesuai harapan. Dan benar, kan. Abra dinyatakan infertil. Begitu isi surat yang Antoni foto, dan kirim ke Abra.Antoni bahkan menulis pesan yang berisi kalimat penyemangat. "Jangan putus asa, Bra. Tanpa anak bukan berarti kita tidak bisa bahagia."Masalahnya ini bukan hanya tentang Abra, tapi juga istri dan mamanya. Maya menuntut cucu darinya, hingga berfikir untuk menggan
Vina membaca sekali lagi pesan yang Antoni kirim ke nomor Abra, berharap dia salah baca, berharap tulisan itu berubah. Tapi harapan tinggal lah harapan, tulisan itu sama sekali tak berubah. Dalam surat itu, dinyatakan sperma Abra hanya berisi mani, tidak mengandung sperma sama sekali. Yang artinya sperma Abra tidak mungkin membuahi sel telur, yang bisa menyebabkan kehamilan. Alias tidak subur atau mandul. Infertil bahasa kerennya. Tangis Vina pecah seketika, sekarang dia bingung harus bagaimana. Syok, sedih, kaget dan tak percaya. Mengapa ini terjadi pada mereka berdua? Itu yang ingin Vina tanyakan, andai bisa bertemu Tuhan. Vina ingin protes sudah begitu kejam dan tidak adil? Itu yang Vina rasakan sekarang. "Mas! Jadi, hasilnya ...." Vina tak sanggup melanjutkan ucapannya, tenggorakannya bagai tercekik. Tak pernah terlintas dalam benak Vina, akan mengalami nasib seperti ini. Dia menatap Abra dengan mata berkaca-kaca, berharap yang dia baca itu salah. Abra mengangguk lemah, membena
Tiga bulan kemudian. "Waktu kalian sudah habis, Mama tidak mau mendengar alasan apapun. Kalau minggu depan hasil tes pack Vina masih negatif, maka kalian harus bercerai!" Ucap Maya penuh penekanan. Mereka sedang berada di ruang makan, tengah menikmati makan malam, yang tidak nikmat untuk Vina dan Abra. Abra dan Vina kompak saling pandang. Bercerai? Bagi Vina itu lebih baik, dia bisa lepas dari tekanan sang Mama mertua. Soal kehidupannya dan keluarganya nanti, itu bisa diatur. Toh Vina sudah lulus kuliah, sudah bisa cari kerja. Meski nanti harus hidup prihatin, karena penghasilan Vina tentu jauh dari nafkah yang diberikan Abra. Itu tak jadi masalah, yang penting hidup bebas tanpa beban. Tapi bagi Abra, itu pertanda kiamat. Mau menikah dengan siapapun, istri Abra nanti tidak akan hamil. Hasil tes kesuburan sudah menyatakan, kalau Abra Infertil, sudah tidak bisa diubah lagi. "Ma, tolong jangan berkata seperti itu. Punya anak atau tidak punya anak, aku hanya hidup bersama Vina, Ma.