Share

Bab 7

Daniel mendengus pelan. Ia menutup pintu kamar Alvaro, lalu ikut duduk bersama adiknya.

"Andai saja aku punya wewenang besar di rumah ini, mungkin aku bisa menunda keberangkatanmu," ucap Daniel menepuk bahu Alvaro.

"Aku benar-benar berat meninggalkannya sendiri dalam kesedihan dan kesusahannya," ucap Alvaro lagi. Daniel memicingkan mata menatap adiknya dari samping.

"Jadi, kau seperti ini karena kekasihmu? Bukan karena kakakmu ini yang baru bertemu denganmu beberapa hari?" ucap Daniel heran membuat Alvaro tersenyum samar.

"Aku juga merindukanmu, Kak," ucap Alvaro beralih memeluk Daniel dan berakhir memanggilnya Kak. Membuat Daniel sedikit heran mendengarnya.

"Wah, sebuah kejutan bagiku, kau mau memanggilku Kak. Apa aku sedang bermimpi?" ledek Daniel membuat Alvaro segera melepas pelukannya.

"Sudahlah. Aku tak mau mendengar suara Kakek berteriak memanggilku lagi," ucap Alvaro berdiri dan menarik kopernya.

Daniel tersenyum menatap adiknya. Lalu mereka pergi ke Bandara.

Sanjaya berdiri dengan tongkatnya. Ia menunggu cucunya yang akan segera berangkat.

"Apa Kakek yakin dan tidak berubah pikiran? Kakek akan sangat merindukanku nanti? Aku akan sangat jauh dari jangkauan Kakek," rengek Alvaro berusaha merayu kakeknya.

"Aku sudah menugaskan seorang pengawal di sana. Jadi kau tak perlu takut sendirian di negeri orang," ucap Sanjaya tegas membuat Alvaro menghela nafas kasar.

"Seharusnya Kakek memberiku waktu lebih dulu, untuk mempersiapkan semuanya," lirih Alvaro lagi.

"Semua sudah siap. Apa yang kurang?" tambah Sanjaya lagi membuat Alvaro kembali mendengus.

Sedangkan Daniel menahan tawa melihat kelakuan adiknya. Sebenarnya, ia juga merasa kasihan. Namun, ia pun tak bisa membantah keputusan Kakeknya.

"Attention, please. This is the final boarding call for passengers Alvaro Sebastian Abyakta, booked on flight 405 to Zurich. Please pass on to gate A-3 immediately...."

"Ini panggilan terakhirmu! Jika sampai kau menggagalkan penerbangan ini, kau akan tahu akibatnya!" ucap Sanjaya dingin menatap cucunya. Dan setelahnya ia berbalik meninggalkan kedua cucunya.

Daniel mendengus kesal melihat kakeknya.

"Pergilah, aku akan sering menghubungimu," ucap Daniel memeluk adiknya dan menepuk-nepuk bahunya pelan.

"Sebenarnya aku ingin meminta bantuanmu," ucap Alvaro.

"Apa?"

"Ayah, dia yang sudah menabrak kedua orang tua kekasihku. Dan menyebabkan Ayahnya meninggal dan..."

"Kau tidak bisa menceritakan hal itu di sini, Al!" bisik Daniel memperingatkan sembari menoleh keadaan sekitar. Alvaro mendengus kasar. Lalu berbalik pergi meninggalkan Daniel di sana.

Padahal dirinya ingin meminta tolong pada Kakaknya agar ia membantu Selena, sebagai ganti karena Ayahnya telah membuat keluarga Selena celaka.

Alvaro menatap foto-fotonya bersama Selena. Seminggu terakhir yang ia habiskan bersama Selena sungguh membuatnya rindu sekarang.

"Aku mencintaimu. Tunggu aku. Aku akan segera kembali," tulis Alvaro pada pesan singkatnya pada Selena yang diakhiri emoticon love dan kiss.

Ia tak bisa menghubungi Selena dalam sebuah panggilan. Karena hal itu hanya akan membuatnya semakin sedih.

"Aku akan sangat merindukanmu, Selena," gumam Alvaro menatap foto Selena untuk terakhir kalinya. Lalu setelahnya ia mematikan ponsel, karena pesawat akan segera lepas landas.

*****

Semerbak wangi maskulin memenuhi ruangan bernuansa putih berukuran 10x10 meter.

Setelan jas berwarna navy dengan kemeja biru muda di dalamnya sudah melekat pas serta di lengkapi dasi navy yang bercorak garis garis, menambah ketampanan seorang Daniel Sagara Abyakta.

Dia adalah cucu pertama dari Sanjaya Abyakta yang akan mewarisi sebagian harta Kakeknya serta calon penerus perusahaan perhotelan, Starlight Hotel and Resort, milik Sanjaya Abyakta.

Kini, sudah tiba saatnya ia ke kantor untuk mengikuti rapat umum pemegang saham. Serta untuk memberhentikan Ayahnya dari jabatan presiden direktur di Starlight Hotel and Resort.

Berulang kali Daniel menarik napas panjang. Bukan karena ia nervous perihal rapat yang akan dihadirinya, melainkan ia tak ingin mendengar pertanyaan Kakeknya soal menikah.

Ah, rasanya ia lebih baik bergulung selimut di dalam kamarnya, daripada harus mendengarkan ocehan sang Kakek yang selalu menanyakan tentang calon istri kepadanya.

"Wah, wah, wah! Coba lihat! Siapa ini?! Ternyata anakku sudah dewasa dan sekarang ia akan menggantikan posisi Ayahnya di kantor," ucap Arkanta datang melihat Daniel yang sedang bercermin di kamarnya.

Daniel mendengus kasar lalu menatap tajam ke arah Ayahnya.

"Ini semua tak akan terjadi, jika kau tidak membuat ulah!" geram Daniel.

Arkanta hanya mengedikkan bahunya sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana.

"Bukankah, lebih baik seperti ini. Kau juga tak akan melihat Ayahmu akan berulah lagi. Mungkin, ini yang kau harapkan, agar Ayahmu tak lagi memiliki posisi di perusahaan Kakekmu itu," sindir Arkanta dengan senyum miringnya.

Daniel hanya menghela napas panjang, lalu ia segera bersiap hendak pergi ke kantor.

"Setelah kau menduduki jabatan itu, yakinlah! Kau akan merasa ingin memiliki semua yang ada di hadapanmu, Boy!" ucap Arkanta membuat Daniel menatap sinis ke arahnya.

"Aku bukan kamu yang gila harta dan wanita!" geram Daniel.

"Hahahaha! Kau hanya belum pernah merasakannya. Jika kau pernah merasakannya, rasanya kau tidak akan puas, Nak!" ejek Arkanta membuat Daniel semakin terbakar emosi. Tangannya mengepal erat, namun ia tahan sebisa mungkin.

"Jangan lagi bicara padaku! Enyahlah kau dari hadapanku! Mengerti?! Kau menjijikan!" geram Daniel lalu beranjak pergi meninggalkan Ayahnya yang sudah membuatnya emosi di pagi hari.

"Baiklah! Bekerjalah dengan giat dan hasilkan uang yang banyak untuk Ayahmu ini, mengerti?!" teriak Arkanta dengan tawanya meski Daniel sudah pergi menuruni tangga.

Daniel merasa geram mendengar ucapan Ayahnya. Rasanya ia ingin marah dan membanting apapun juga. Tapi, ia juga tak mau membuat masalah dengan Kakeknya.

"Kau sudah siap?" tanya Kakeknya yang ternyata sudah menunggunya di bawah.

"Naiklah! Kita berangkat bersama," ucap Sanjaya yang hendak masuk ke dalam mobil lebih dulu.

"Tidak, Kek. Aku berangkat sendiri saja," ucap Daniel lalu membungkukkan badan dan pergi melewati Kakeknya.

Sanjaya menghela napas panjang. Kemudian ia segera masuk mobil dan berangkat.

Dalam perjalanannya, Daniel masih memikirkan ucapan Ayahnya yang membuat emosi. Ia menghela napas lagi saat ia menghentikan mobil pada saat lampu merah.

Dikala hatinya sedang merasa emosi, tiba-tiba saja ia melihat sebuah pemandangan yang membuat hatinya sedikit sejuk. Senyum mengembang begitu saja, saat ia melihat di depannya ada seorang gadis sedang menolong kucing kecil yang berjalan pelan dan seakan sedikit takut dengan kebisingan jalan raya.

Gadis itu menggendong kucing dan membawa ke pinggir jalan. Lalu memberinya makan dan mengelus kepala kucing itu.

Aneh, sungguh aneh. Rasanya lampu merah ini berubah menjadi sangat lama. Seolah membiarkan Daniel memperhatikan gadis itu.

"Cantik," lirih Daniel menatap gadis itu dari seberang jalan. Sang gadis sedang mengoceh dan terus tersenyum mengelus kucing yang ia tolong.

Tin ... Tin ... Tin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status