Carissa tersedu-sedan dengan isak tangis yang terdengar perih. Kedua tangannya meremas selimut putih yang menutupi sebagian tubuhnya di atas sofa. Beberapa plester tampak menempel di tangan itu.
Sagara di hadapannya. Bersandar pada sekat ruangan yang memisahkan ruang tengah dengan dapur. Hastanya terlipat di depan dada dengan kedua netra kelam menyorot tajam. Menghujam gadis terisak yang hanya mampu menunduk dalam itu, dengan tatapan kesal."Bagaimana, mau pergi sekarang?"Carissa tidak bisa menjawab."Pintu terbuka lebar-lebar. Juga kalau kamu masih mau mati saja, aku nggak akan mencegah. Silakan berangkat sendiri, sana!"Masih tidak bisa menjawab."Jangan nggak tahu terimakasih begitu, makanya. Kamu pikir aku senang tertimpa musibah seperti ini?"Sapaan saya-anda yang tadi ia gunakan itu, sudah terhempas jauh. Sagara sebenarnya mau menggunakan lo-gue seperti ketika ia sedang bersama Radit, tapi menurutnya itu justru mengurangi wibawa. Maka begitulah sekarang. Setelah lelaki itu puas melayangkan berbagai hardikan pedas, Carissa berakhir diam seribu bahasa dengan hanya air mata yang menetes-netes."Aku mau tidur. Kalau kamu masih berani ganggu dengan suara tangismu itu, aku nggak akan segan-segan lempar kamu ke luar. Kalau mau pergi nggak perlu pamitan segala. Ngerti?"Tanpa menunggu kata-kata jawaban, lelaki dua puluh sembilan tahun itu membalikkan badan dan bergegas memasuki kamarnya, lantas menutup dan menguncinya dari dalam. Meninggalkan Carissa yang tenggelam sendirian dalam lautan duka dan putus asa.Carissa kembali tergugu, teringat sebagian besar uang tabungannya yang sudah habis untuk persiapan pernikahan itu. Bahkan untuk menyewa rumah saja sepertinya tidak cukup. Ke mana harus pergi sekarang, dalam kondisi mental dan fisik babak belur seperti ini?Hanya ada saudara jauh, dan Rissa terlampau malu untuk meminta bantuan, sebab selama ini pun jarang berkomunikasi. Sementara ia sudah resign beberapa waktu yang lampau dari kantor tempatnya bekerja, sebab dipikirnya akan menjadi ibu rumah tangga saja pasca menikah.Carissa merasa seperti seluruh dunia dan isinya ambruk menimpa dirinya sekaligus.*Sagara terbangun esok paginya dengan pusing yang sudah banyak berkurang. Ia melirik jam digital di atas nakas. Pukul enam pagi, sekarang. Gara tidak perlu menggunakan alarm untuk membuat dirinya bangun, karena tubuhnya seperti sudah tersetting untuk terjaga selalu pada jam sekian.Diam sesaat di atas ranjang, ia mencoba mengingat segala yang dialaminya malam tadi, dan berharap sepenuh hati semua itu hanyalah mimpi semata.Gadis basah itu."Cuma mimpi," gumam Gara seraya mengangguk yakin. "Cuma mimpi. Aku yakin banget."Lelaki itu menyibak bedcover dan beranjak dari atas ranjangnya. Langkahnya ia seret malas-malasan menuju kamar mandi. Mengingat hari ini ada jadwal meeting evaluasi yang mungkin akan dihadiri direktur utama Mellifluous Corp —perusahaan yang berada di bawah pimpinannya— yaitu Maminya yang cerewet, Gara mengeluh panjang.Tapi belum juga setengah jalan, ekor matanya yang tanpa sengaja melirik ruang tengah, terbelalak lebar."Bukan mimpi!" serunya panik. "Ah, sial! Sial! Ternyata bukan mimpi. Itu cewek masih di sana. Bukannya kemaren dia bilang katanya nggak pengen hidup lagi? Pengennya mati aja?" Gara menggumam seraya mengawasi sosok yang masih meringkuk terbungkus selimut di atas sofa itu."Hei, kenapa masih di sini?" Gara menyentuh selimutnya sedikit seraya berdehem. Berusaha membuat gadis itu terbangun. "Katanya udah nggak mau hidup? Kok belum pergi juga?"Tak ada jawaban, bahkan pergerakan apapun. Gara perhatikan baik-baik, wajahnya kelihatan pucat pasi dengan bibir sedikit terbuka. Kedua pipinya merona dengan hela napas terdengar pendek-pendek. Oh, sial lagi!Benar, kan? Ketika Gara sentuh kening di bawah surai cokelat itu, ia berjengit. Rasa panas menyengat telapak tangannya. Gadis itu demam tinggi.Dengan decak kesal lagi, Gara meraih ponselnya untuk menghubungi Radit. Karena lelaki yang satu tahun lebih tua darinya itu tidak hanya menjabat sebagai sekretaris, namun juga General Affair Assistant alias pembantu segala macam urusan yang lebih sering mengurus hal-hal di luar nalar akibat perbuatan Sagara seperti ini."Lo kemarin sempet ngatain gue manusia kelebihan hormon gara-gara liat gue kencan sama cewek di bar, dan sekarang perbuatan lo malah kaya gini? Oh, Man!" jerit Radit heboh begitu melihat penampakan di atas sofa ruang tengah Gara, setengah jam kemudian."Bukan–""Sampe ceweknya nggak bisa bangun? Ya Tuhan, Gar! Lo bener-bener addict!"PLAK!"Aw!""Dengerin dulu penjelasan gue, kampret! Gue kemarin nggak sengaja nabrak dia pas pulang. Karena gue takut dia mati, jadilah gue bawa ke sini. Gue juga nggak tau dia siapa."Radit cengengesan sembari menggusak kepalanya yang dipukul Sagara. Ia yang sebenarnya tadi hanya pura-pura kaget karena sangat tahu bosnya ini lelaki seperti apa, mendadak kaget betulan setelah mendengar penjelasan panjang dari lelaki itu."Dan lo biarin aja dia meringkuk di sini semalaman, nggak lo kasih makan, obat atau sesuatu, gitu?""Ya gue bingung, Dit. Mana gue lagi mabok, kan?""Dia bukannya mati karena lo tabrak, tapi mati karena lo telantarin, Gar! Bisa-bisanya, ya!""Terus gimana ini? Gue aja gantiin baju dia semalam sambil tutup mata.""Ah, elah cemen amat! Muka aja lo sangar, nyali lo ciut kaya gang sebelah!""Bacot. Keburu mati ini dia. Buruan bantuin, gue nggak mau telat ngantor!"Setelah seperempat jam habis untuk perdebatan tak berfaedah itu, Gara akhirnya menelepon dokter pribadi keluarganya dan meminta seorang perawat perempuan untuk menemani. Disertai perjanjian pelik supaya sang Dokter tutup mulut dulu kepada Nyonya Besar perihal masalah ini. Tidak, Sagara belum mau dibantai ibunya karena ketahuan menyelundupkan seorang gadis ke dalam apartemen. Meskipun itu hanyalah sebuah kecelakaan."Saya harus segera berangkat ke kantor," tutur Gara beberapa saat kemudian. Dokternya sudah datang memeriksa dan memastikan keadaan si gadis hanya demam biasa. Sekarang, seorang perawat yang masih sangat muda tinggal di sana untuk menemani."Saya titip dia sampai jam pulang kantor nanti, oke?" ujar Gara kepada gadis perawat itu, sembari menengok arloji di pergelangan tangannya. Ia bisa terlambat sampai di kantor jika tidak segera berangkat."Baik, Pak.""Kamu–""Jangan ... pergi ... tolong ... "Tiga pasang mata yang berada di sana sontak menoleh kepada sosok lemah yang sedang terkulai di atas sofa, kala rintihan lirihnya terdengar begitu memelas."Pak, sebaiknya Bapak nggak pergi." Gadis perawat itu berkata dengan sungguh-sungguh. "Saya kok khawatir, ya. Sepertinya kita harus bawa istri Bapak ke rumah sakit.""Hah?"**Sagara berlari kencang menyusuri deretan kursi-kursi ruang tunggu bandara. Ia menerabas palang pintu dan tiba tepat sebelum gate keberangkatan akan ditutup. Dengan napas memburu, pria itu menyerahkan boarding pass-nya kepada pramugari yang menatap tak habis pikir. Meski demikian, pramugari cantik itu tidak mengatakan apapun dan memilih bekerja dalam diam sebab tahu bahwa penumpang yang ini bukanlah orang sembarangan. Ia hanya menampakkan seulas senyum kecut.“Silakan duduk di tempat yang sudah anda reservasi, Pak,” ucap si pramugari, mempersilahkan Gara masuk, sebelum kemudian menyudahi proses check-in terakhir. Menghela napas lega, Gara kemudian melangkah masuk dan menghempaskan tubuh berkeringatnya di kursi penumpang yang berada di samping jendela pesawat. Menata napasnya yang tadi sempat terputus-putus.“Rissa, tunggu sebentar ya, Sayang. Aku pulang,” bisiknya sembari memejamkan mata. Jantungnya menderu seperti suara mesin pesawat yang sudah menyala. Ia merapalkan doa, semoga ma
**Abian tersenyum saat meletakkan sebuah foto ke dalam kotak besar bersama bermacam-macam benda lain di dalamnya. Boneka, buku diary, baju, dan semacam itu. Ia pandangi baik-baik foto tersebut dengan senyum yang belum lindap.“Maaf dan terimakasih,” bisiknya bermonolog sementara masih menatap lekat fotonya. “Kamu selalu akan jadi kenangan indah buat aku, Ris. Kamu perempuan terbaik yang pernah aku miliki, tapi Sagara adalah pria terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu.” Abian mengusap foto dirinya dan Rissa itu dengan sayang. “Berbahagialah selalu. Terimakasih masih menjadi bagian dari keluargaku meski kamu nggak bersamaku. Tetaplah hidup bahagia, menjadi pendamping kakakku, ya. Aku tahu dengan lembutnya tutur kata dan tindakanmu, hati batu manusia satu itu pasti bisa meleleh.”Abian menutup kotak tersebut. Kotak yang berisi barang-barang kenangannya dengan sang mantan kekasih.“Nggak ada lagi yang perlu disesalkan sesudah ini. Aku dan Rissa sudah hidup sendiri-sendiri dengan baik. Dia
**Matahari bersinar dengan cerah saat Rissa menarik terbuka tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuatnya tersenyum. Para maid berlalu lalang di bawah, menata meja dan kursi serta dekorasi cantik di tengah halaman belakang mansion. Sepertinya akan ada acara di sana.Suara derit pintu yang terbuka membuat Rissa mengalihkan atensi. Sagara datang sembari menggendong putri kecilnya.“Good morning, Mama,” ucapnya disertai senyum manis. Sementara Stella seketika mengoceh sembari menggapai-gapaikan tangan mungilnya begitu melihat sang ibu.“Good morning my angels.” Rissa melangkah mendekat. Ia ulurkan tangan, menyambut putri kecilnya yang melonjak-lonjak senang.“Tidur nyenyak, Sayang?” Gara memberikan kening istrinya kecupan kecil.“Banget. Maaf kamu jadi bangun duluan dan ngurus Stella pagi-pagi ya, Kak?”“Aku kan ayahnya Stella, jadi ya memang sudah kewajibanku ngurus dia. She is our child, not only yours or mine, Rissa. Kita bikin berdua, j
**Carissa sudah tenang saat Sagara kembali ke ruangan di mana ia dirawat. Seorang suster yang menemani mohon diri untuk keluar dengan menyembunyikan pipinya yang merona begitu pria rupawan itu masuk. Benar, walau kini Gara sudah bukan lagi bujangan, sudah memiliki seorang istri dan putri kecil yang cantik, namun pesonanya justru bertambah-tambah. Seringkali membuat Rissa jengkel sebab para perempuan itu seperti tak sungkan-sungkan menunjukkan rasa ketertarikan mereka kepada suaminya.“Jangan cemberut begitu, Sayang,” kata Gara, yang seperti biasa, sangat peka melihat perubahan raut wajah istrinya.“Makanya kamu biasa aja, nggak usah seramah itu,” cetus Rissa, semakin cemberut.Gara terkekeh pelan sembari melangkah mendekat kepada wanitanya yang duduk di atas ranjang. “Ya masa orang senyum nggak disenyumin balik. Itu namanya kan sombong.”“Mending dianggap sombong daripada kamu baperin anak orang begitu. Pura-pura nggak tahu apa gimana kalau pemilik sahnya ada di sini?”Tawa Gara kian
**Freddy Fernandez.Carissa belum pernah bertemu muka dengan orang ini, jadi ia tidak tahu siapakah gerangan pria berusia sekitar lima atau enam puluh tahun yang memiliki paras begitu menawan itu. Hanya saja dari gerak-geriknya, bisa ditebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Terlebih ditinjau dari barang-barang branded mewah yang menempel di sekujur tubuhnya. Mulai dari suit berwarna abu-abu gelap yang ia kenakan, hingga jam tangan seharga sebuah unit apartemen eksklusif di ibukota. Golongan old money yang mungkin berada satu tingkat di atas strata sosial keluarga Aditama.Meski demikian, Sagara sama sekali tidak repot-repot menampakkan raut segan atau sesuatu. Ia justru melayangkan tatapan tajam kepada si pria setengah baya yang masih diam di ambang pintu. Dan saat itulah Rissa baru menyadari bahwa pria itu dikawal oleh banyak bodyguard di belakangnya.“Selamat sore, Sagara,” ucapnya dengan nada tegas. Suaranya dalam dan berwibawa, sangat mencerminkan sebesar apa dirinya be
**Carissa merasa kesadarannya timbul dan tenggelam. Ia mengerjap perlahan, berusaha membuka kelopak matanya yang terasa perih sekali. Saat atensinya pelan-pelan mulai jelas, ia menyadari bahwa ini adalah tempat yang asing. Kembali, rasa trauma akan tempat asing seperti membuatnya nyaris kembali pingsan. Terlebih lagi, rasa sakit yang hebat di dada seperti mencekik lehernya saat ia bergerak. Pada saat-saat demikian, tanpa sadar perempuan itu menyebut nama satu-satunya sosok yang melekat dalam ingatannya.“Kak Gara ….”Carissa tidak berharap apapun sebab berpikir Aldric masih menyekap dirinya. Ya, itu adalah hal terakhir yang perempuan itu ingat. Namun kemudian, sebuah suara menjawab rintihannya, membuat kesadarannya seperti seketika dijejalkan dengan paksa ke dalam raganya yang remuk redam.“Sayang? Sayang, kamu bangun? Ini aku, aku. Kamu bisa lihat aku, kan?”Rissa menoleh dengan terkejut, mendapati wajah Sagara yang berada sangat dekat. Ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuh waja