Share

6. Gagal Mengusir

last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-25 11:38:05

"Hah?"

Istrinya?

Radit sudah membungkuk-bungkuk menahan tawa mendengar pernyataan polos gadis perawat itu, sementara Gara sendiri terbelalak dengan wajah merah padam.

"Pak, saya serius. Ibu harus dibawa ke rumah sakit segera. Memangnya Bapak nggak khawatir kah? Kasihan Ibu, Pak."

"Hahaha ... " Tawa Radit meledak tanpa bisa dihentikan. "Istri anda kasihan loh, Bapak."

"Terserah. Kalau kamu mau, bawa aja sana sendiri. Dan lo bisa diem nggak, Dit?"

Masih dengan wajah kesal setengah mati, Gara berlalu meninggalkan ruangan apartemennya tanpa menoleh lagi. Meninggalkan sosok lemah yang sesekali masih merintih, mengatakan 'jangan pergi' berulang-ulang.

Dan kenyataannya, Sagara justru melewati hari ini dengan buruk. Selain meeting evaluasi yang sarat kritikan pedas dari sang Direktur Utama dan berlangsung selama berjam-jam, Gara sama sekali tidak bisa fokus dengan pekerjaannya.

Akhirnya, sebelum jarum jam menunjuk angka tiga sore, pria dua puluh delapan tahun itu sudah beranjak dari ruangannya untuk pulang.

"Pak, masih ada beberapa file yang perlu diperiksa. Serius Pak Gara mau pulang?" cegat Radit tepat di depan pintu ruangan.

Gara menghela napas. "Kirim ke e-mail saya aja. Sisanya tolong kamu bereskan dulu, saya harus pergi sekarang."

Radit hanya melongo, menatap punggung Gara yang menjauh. Mereka berdua tengah berada di depan ruangan kubikel yang masih penuh dengan karyawan sekarang, jadi harus bersikap layaknya bawahan dan atasan. Radit hanya mengangkat bahu seraya berbalik menjauhi pintu ruangan Gara.

"Bos tampan mau ke mana, Pak Radit?" celetuk salah satu karyawan perempuan yang paling dekat, disambut kikik tawa geli dari yang lain.

"Ketemu calon istrinya," jawab Radit asal.

"Yah, Pak Gara udah ada calon?"

Radit melirik lagi dengan sebal. "Mau nikah bulan depan."

Segera saja desah kecewa memenuhi ruangan yang berisi mayoritas karyawan perempuan itu. Membuat Radit berdecih lagi.

Sementara itu, Sagara sudah memacu sedan hitamnya keluar dari basement kantor, menuju apartemen. Gara benci mengakuinya, tapi tak bisa memungkiri. Dia khawatir kepada gadis yang ditinggalkannya dalam kondisi demam tinggi tadi pagi. Yah, bagaimanapun kan Gara yang sudah menabraknya sampai terluka semalam.

"Tumben masih siang sudah pulang, Pak?"

Gara hanya melambaikan tangan, mengabaikan sapaan sekuriti di lobby apartemen. Ia buru-buru masuk lift dan menekan angka empat.

Ketika akhirnya pintu apartemennya terbuka, tanpa sadar lelaki itu menghela napas lega. Si gadis sedang duduk diam di atas sofa.

Nah, setidaknya dia masih hidup dan bisa duduk.

"Bapak sudah pulang?" sambut gadis perawat yang tadi pagi.

Gara mengangguk. "Gimana keadaan dia?"

"Oh, Ibu baik-baik saja, Pak. Demamnya sudah turun, kok. Barusan sudah minum obat." Dengan senyum sumringah, gadis itu menjelaskan.

"Nggak perlu dibawa ke rumah sakit?"

"Enggak, Pak. Dokter juga sudah bilang, kan. Ibu hanya shock, nggak ada patah tulang atau sesuatu." Rupanya gadis perawat itu masih kekeuh menganggap Carissa adalah si nyonya rumah.

"Oke, kamu boleh pulang sekarang," pungkas Gara, yang segera diangguki oleh si perawat.

Gara kembali melayangkan pandang ke arah sofa, tampak gadis itu sedang memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong sekarang. Gara mendekat dengan langkah senyap, namun si gadis tetap sedikit terlonjak kala menyadari kehadirannya.

"Kamu kelihatan sudah lebih baik," ujar Gara datar.

Carissa mengangguk kecil.

"Mau pulang kapan? Biar aku antar."

Nah, sekarang gadis itu kembali diam menunduk. Membuat Gara berdecak tidak sabar. "Sebenernya, aku yang lebih banyak dirugikan di sini. Tapi karena aku nggak suka ribet, jadi aku batal minta ganti rugi dari kamu. Kamu bisa pergi aja tanpa bayar apapun secepatnya."

Dalam keadaan normal, Carissa pasti tidak terima mendapatkan perkataan seperti itu. Namun, sekarang keadaan sedang tidak normal. Gadis itu untuk sementara kehilangan kemampuan untuk berpikir dengan cepat. Ia lagi-lagi hanya menunduk sembari meremas pinggiran selimut yang menutupi kakinya.

"Nona?"

"T-tolong ... " akhirnya, suara lirih itu menjawab.

"Ya?" Gara mengangkat sebelah alis.

"Bolehkah ... a-aku tinggal sebentar lagi?" Carissa menggigit bibir bawahnya, berusaha mencegah dirinya sendiri untuk tidak terisak lagi.

"Maaf?" Tapi kerutan dalam tercetak di dahi Gara. "Apa maksud kamu mau tinggal sebentar lagi? Aku udah cukup bertanggung jawab, kan? Aku bawa kamu pulang dan panggil dokter pribadi buat meriksa, dan kamu sudah dipastikan baik-baik aja. Kamu mau apa? Mau minta uang?"

Carissa bergeming.

"Aku jadi curiga kamu ngelakuin ini hanya modus. Pura-pura ketabrak biar bisa minta uang ganti rugi. Kalau iya, sorry, kamu sedang berhadapan dengan orang yang salah. Aku nggak akan tertipu sama drama picisan macam itu."

Dua butir air mata gagal ditahan dan luruh lagi dari sudut netra yang sudah sangat sembab itu. Carissa tidak lagi memiliki kekuatan untuk membela diri. Ia menarik napas berkali-kali untuk menenangkan dirinya sebelum bangkit perlahan dari atas sofa putih itu.

"Maaf aku udah merepotkan," ujarnya dengan suara parau. "Aku bukan penipu seperti yang kamu bilang. Aku akan pergi sekarang."

Gara tetap pada posisinya, berdiri bersandar pada sekat pemisah ruangan dengan tangan terlipat di dada. Memandang tajam pada Carissa yang tertatih-tatih menyeret kopernya menuju pintu keluar.

"Makasih udah ijinin aku bermalam di sini." Carissa menambahkan sebelum berlalu di balik pintu.

Gara sebenarnya kasihan, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia sama sekali tidak mengetahui asal muasal gadis itu, pun tertarik untuk mengetahuinya. Lelaki tampan itu hanya mengangkat bahu sebelum berlalu ke dalam kamarnya untuk menukar baju.

Namun, belum lagi jemarinya menyentuh handle lemari, suara denting bel yang seperti ditekan dengan tidak sabar membuatnya terpaksa kembali ke ruang depan. Agak sedikit kesal, Gara membuka pintu dan menemukan pemandangan yang membuat kepalanya mendadak kena serangan pusing.

"Pak Gara!" Sekuriti di lobby bawah berdiri di depan pintunya dengan napas terengah-engah. Tangannya membopong sosok yang terkulai tak sadarkan diri. "Pak, ini temennya pingsan di lobby!"

"Hah?"

  

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yanti
berapa sih umurnya ? 28 atau 29 ? jangan² di bab selanjutnya jadi 27
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Bukan Pernikahan Palsu   Extra Part 2

    **Sagara berlari kencang menyusuri deretan kursi-kursi ruang tunggu bandara. Ia menerabas palang pintu dan tiba tepat sebelum gate keberangkatan akan ditutup. Dengan napas memburu, pria itu menyerahkan boarding pass-nya kepada pramugari yang menatap tak habis pikir. Meski demikian, pramugari cantik itu tidak mengatakan apapun dan memilih bekerja dalam diam sebab tahu bahwa penumpang yang ini bukanlah orang sembarangan. Ia hanya menampakkan seulas senyum kecut.“Silakan duduk di tempat yang sudah anda reservasi, Pak,” ucap si pramugari, mempersilahkan Gara masuk, sebelum kemudian menyudahi proses check-in terakhir. Menghela napas lega, Gara kemudian melangkah masuk dan menghempaskan tubuh berkeringatnya di kursi penumpang yang berada di samping jendela pesawat. Menata napasnya yang tadi sempat terputus-putus.“Rissa, tunggu sebentar ya, Sayang. Aku pulang,” bisiknya sembari memejamkan mata. Jantungnya menderu seperti suara mesin pesawat yang sudah menyala. Ia merapalkan doa, semoga ma

  • Bukan Pernikahan Palsu   Extra Part

    **Abian tersenyum saat meletakkan sebuah foto ke dalam kotak besar bersama bermacam-macam benda lain di dalamnya. Boneka, buku diary, baju, dan semacam itu. Ia pandangi baik-baik foto tersebut dengan senyum yang belum lindap.“Maaf dan terimakasih,” bisiknya bermonolog sementara masih menatap lekat fotonya. “Kamu selalu akan jadi kenangan indah buat aku, Ris. Kamu perempuan terbaik yang pernah aku miliki, tapi Sagara adalah pria terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu.” Abian mengusap foto dirinya dan Rissa itu dengan sayang. “Berbahagialah selalu. Terimakasih masih menjadi bagian dari keluargaku meski kamu nggak bersamaku. Tetaplah hidup bahagia, menjadi pendamping kakakku, ya. Aku tahu dengan lembutnya tutur kata dan tindakanmu, hati batu manusia satu itu pasti bisa meleleh.”Abian menutup kotak tersebut. Kotak yang berisi barang-barang kenangannya dengan sang mantan kekasih.“Nggak ada lagi yang perlu disesalkan sesudah ini. Aku dan Rissa sudah hidup sendiri-sendiri dengan baik. Dia

  • Bukan Pernikahan Palsu   233. Everything's Gonna Be Okay

    **Matahari bersinar dengan cerah saat Rissa menarik terbuka tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuatnya tersenyum. Para maid berlalu lalang di bawah, menata meja dan kursi serta dekorasi cantik di tengah halaman belakang mansion. Sepertinya akan ada acara di sana.Suara derit pintu yang terbuka membuat Rissa mengalihkan atensi. Sagara datang sembari menggendong putri kecilnya.“Good morning, Mama,” ucapnya disertai senyum manis. Sementara Stella seketika mengoceh sembari menggapai-gapaikan tangan mungilnya begitu melihat sang ibu.“Good morning my angels.” Rissa melangkah mendekat. Ia ulurkan tangan, menyambut putri kecilnya yang melonjak-lonjak senang.“Tidur nyenyak, Sayang?” Gara memberikan kening istrinya kecupan kecil.“Banget. Maaf kamu jadi bangun duluan dan ngurus Stella pagi-pagi ya, Kak?”“Aku kan ayahnya Stella, jadi ya memang sudah kewajibanku ngurus dia. She is our child, not only yours or mine, Rissa. Kita bikin berdua, j

  • Bukan Pernikahan Palsu   232. Prasangka Yang Salah

    **Carissa sudah tenang saat Sagara kembali ke ruangan di mana ia dirawat. Seorang suster yang menemani mohon diri untuk keluar dengan menyembunyikan pipinya yang merona begitu pria rupawan itu masuk. Benar, walau kini Gara sudah bukan lagi bujangan, sudah memiliki seorang istri dan putri kecil yang cantik, namun pesonanya justru bertambah-tambah. Seringkali membuat Rissa jengkel sebab para perempuan itu seperti tak sungkan-sungkan menunjukkan rasa ketertarikan mereka kepada suaminya.“Jangan cemberut begitu, Sayang,” kata Gara, yang seperti biasa, sangat peka melihat perubahan raut wajah istrinya.“Makanya kamu biasa aja, nggak usah seramah itu,” cetus Rissa, semakin cemberut.Gara terkekeh pelan sembari melangkah mendekat kepada wanitanya yang duduk di atas ranjang. “Ya masa orang senyum nggak disenyumin balik. Itu namanya kan sombong.”“Mending dianggap sombong daripada kamu baperin anak orang begitu. Pura-pura nggak tahu apa gimana kalau pemilik sahnya ada di sini?”Tawa Gara kian

  • Bukan Pernikahan Palsu   231. Freddy Fernandez

    **Freddy Fernandez.Carissa belum pernah bertemu muka dengan orang ini, jadi ia tidak tahu siapakah gerangan pria berusia sekitar lima atau enam puluh tahun yang memiliki paras begitu menawan itu. Hanya saja dari gerak-geriknya, bisa ditebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Terlebih ditinjau dari barang-barang branded mewah yang menempel di sekujur tubuhnya. Mulai dari suit berwarna abu-abu gelap yang ia kenakan, hingga jam tangan seharga sebuah unit apartemen eksklusif di ibukota. Golongan old money yang mungkin berada satu tingkat di atas strata sosial keluarga Aditama.Meski demikian, Sagara sama sekali tidak repot-repot menampakkan raut segan atau sesuatu. Ia justru melayangkan tatapan tajam kepada si pria setengah baya yang masih diam di ambang pintu. Dan saat itulah Rissa baru menyadari bahwa pria itu dikawal oleh banyak bodyguard di belakangnya.“Selamat sore, Sagara,” ucapnya dengan nada tegas. Suaranya dalam dan berwibawa, sangat mencerminkan sebesar apa dirinya be

  • Bukan Pernikahan Palsu   230. Rumah Sakit Lagi

    **Carissa merasa kesadarannya timbul dan tenggelam. Ia mengerjap perlahan, berusaha membuka kelopak matanya yang terasa perih sekali. Saat atensinya pelan-pelan mulai jelas, ia menyadari bahwa ini adalah tempat yang asing. Kembali, rasa trauma akan tempat asing seperti membuatnya nyaris kembali pingsan. Terlebih lagi, rasa sakit yang hebat di dada seperti mencekik lehernya saat ia bergerak. Pada saat-saat demikian, tanpa sadar perempuan itu menyebut nama satu-satunya sosok yang melekat dalam ingatannya.“Kak Gara ….”Carissa tidak berharap apapun sebab berpikir Aldric masih menyekap dirinya. Ya, itu adalah hal terakhir yang perempuan itu ingat. Namun kemudian, sebuah suara menjawab rintihannya, membuat kesadarannya seperti seketika dijejalkan dengan paksa ke dalam raganya yang remuk redam.“Sayang? Sayang, kamu bangun? Ini aku, aku. Kamu bisa lihat aku, kan?”Rissa menoleh dengan terkejut, mendapati wajah Sagara yang berada sangat dekat. Ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuh waja

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status