Share

4. Gadis Basah

Astaga!

Gara menoleh pelan. Selama beberapa saat, ia merasa tubuhnya membeku. Hingga ketika disadarinya siapa yang mengetuk dari balik kaca jendela itu, napasnya berhembus keras tanpa sadar.

Itu sekuriti apartemen yang sudah ia kenal baik. Gara buru-buru menurunkan kaca jendela mobilnya.

"Pak Gara!"

"Ngagetin aja!" sembur Gara kesal.

"Kok lama banget nggak keluar-keluar? Pak Gara nggak apa-apa?" Pria berseragam itu memandang penuh perhatian. Ia bahkan sudah hapal kelakuan Tuan Muda satu ini jika pulang kemari pada larut malam seperti sekarang ; sudah pasti sedang mabuk!

"Habis minum lagi, ya?" tebaknya, tepat sasaran.

"Emm ... "

"Mau saya bantu ke atas? Pak Gara sama sekali nggak bisa jalan, kah?"

Gara menggeleng pelan. Ia melirik dengan ekor mata ke arah kursi belakang mobilnya. Berpikir-pikir apakah pria sekuriti ini bisa menyimpan rahasia? Bagaimana reaksinya ketika mendapati Gara membawa pulang seorang gadis dalam keadaan tak sadarkan diri dan penuh luka seperti itu?

Ya, Gara tahu lelaki itu adalah orang baik.

"Pak, saya boleh minta tolong, nggak?"

"Lah, dari tadi saya nawarin bantuan, loh."

"Bisa bantu bawa dia ke atas? Saya pusing," tunjuk Gara kepada sosok yang meringkuk di kursi belakang itu, sementara menggeser posisinya sedikit. Membuat sekuriti yang bersangkutan memekik tertahan dengan kedua mata membulat ngeri.

"Astaga, Pak!"

"Kepala saya pusing."

"Bapak apakan dia? D-dia sudah ... ? Pak, saya nggak mau ikut-ikut! Saya nggak–"

"Ssshh!"

"Saya nggak mau dipenjara! Saya nggak–"

"Heh!"

Gara mendelik kesal, membuat pria muda itu kian ketakutan. Bukan salah si sekuriti, pun. Lagipula, siapa yang tidak mengira Gara adalah penjahat jika menemukan kondisi seperti ini? Larut malam membawa pulang anak gadis orang dengan keadaan yang mengenaskan.

"Dia pingsan di tengah jalan, makanya saya tolong. Jangan mikir yang aneh-aneh, deh!"

"Bagaimana? Nolong?"

"Iyalah. Emangnya saya kelihatan mirip penjahat apa? Saya nggak bisa bawa sendiri. Kepala saya beneran pusing ini. Udah cepetan, mobil saya basah semua, tuh!"

"T-tapi, Pak–"

"Nih, buat bapak." Gara menarik dompet dari dashboard dan menarik lima lembar uang merah, kemudian menyorongkan ke tangan lelaki sekuriti itu, yang jelas tidak bisa ditolak. Uang membereskan segala masalah, benar?

Maka dalam waktu singkat saja, tubuh basah gadis tadi sudah berpindah ke atas sofa dalam unit apartemen Gara, lengkap dengan koper besarnya sekalian.

Iya, di atas sofa. Gara tidak mau ranjangnya basah.

"Tapi sofanya juga jadi basah, kan?" Menggerutu lagi. Kedua alis presisi milik lelaki tampan itu bertaut. Sagara Aditama adalah lelaki yang sangat perfeksionis, termasuk masalah kenyamanan tempat tinggalnya. Sofa yang basah jelas bukan ide bagus.

"Nggak ada pilihan lain," sungutnya kesal. "Nanti kalo dia bangun, bisa langsung aku usir sekalian minta ganti rugi. Ah, hari apa sih ini? Kenapa dari pagi sial terus?"

Gara melepas jas dan kemeja kerjanya yang juga basah kuyup, lantas membuka lemari setinggi dua meter yang isinya tersusun sangat rapi. Decak kesalnya terdengar lagi kala dilihatnya hanya ada baju pribadinya yang jelas akan kebesaran dipakai si gadis basah. Lebih daripada itu, benarkah dia yang harus menggantikan baju si gadis?

Lelaki rupawan itu sekali lagi mengerang frustasi.

"Sialan!"

*

Carissa tidak tahu apakah orang mati bisa merasa kesulitan membuka mata seperti ini? Ah, apakah orang mati masih perlu membuka mata? Carissa tidak tahu, tapi ia merasa perlu. Entah dirinya ini benar-benar mati atau tidak.

Gadis itu menggeser posisinya, dan segera saja meringis karena sengatan nyeri terasa hampir di setiap bagian tubuh. Kedua manik cokelatnya mengerjap untuk memperoleh atensi yang lebih baik, dan dia tercengang. Pandangan matanya menyapu seluruh ruangan mewah di sekelilingnya. Nah, apakah ini surga?

Saat suara kecil terdengar dari pintu di seberangnya, ia menoleh pelan dan tercengang untuk kali kedua.

Malaikat?

Wah, jadi dia benar sudah mati dan sedang berada si surga saat ini?

"Sudah bangun?"

Astaga, bahkan suaranya saja tampan.

"S-siapa ... "

"Saya pemilik tempat ini. Kalau anda sudah merasa lebih baik, silakan angkat kaki dari sini segera. Sebenarnya saya tidak menerima tamu dalam bentuk apapun."

Kernyitan dalam tercetak di kening Carissa yang pusing. Jadi maksudnya bagaimana? Seingatnya surga adalah milik semua orang yang beriman dan patuh kepada Tuhan. Bisa-bisanya orang ini mengaku memilikinya secara pribadi.

Tunggu, apa dia ini manusia?

"Di mana ini?" Akhirnya, gadis itu bersuara.

"Apartemen milik saya."

"Apartemen?" Kedua manik cokelat Carissa membola penuh. Raut wajahnya mendadak diselimuti kekecewaan mendalam. Ia diam selama beberapa saat sebelum kembali bersuara lirih. "Jadi ternyata aku nggak mati?"

"Maaf?"

Menggeleng lesu. Carissa mendesah kecil. "Bagaimana saya ada di sini?"

"Hm? Sama sekali nggak ingat?"

"Kenapa saya selamat?" Gadis itu mendongak, menatap pria tampan yang sedang balas memandangnya dengan raut penuh tanya. "Kenapa saya bisa selamat dan nggak mati?"

"Ap–"

"Kenapa anda selamatkan saya? Kenapa anda nggak biarkan saya mati aja?"

"Hei–"

"Saya mau mati! Saya hanya mau mati!!"

"Hei! Hei!"

Sagara yang sempat tercengang itu terburu-buru mendekat. Diraihnya kedua tangan Carissa yang berusaha menjambak rambutnya sendiri.

"Berhenti, hei!"

"Biarkan saya mati! Saya nggak mau hidup, saya mau mati!"

"Nona, jangan begitu–"

"Saya mau mati! Kenapa kamu nggak biarkan saya mati? Kenapa?" Carissa histeris. Gadis itu mencengkeram erat tangan Gara.

"Astaga, demi Tuhan, Nona!" Sagara menyentak, dan itu membuat Carissa bungkam seketika. "Silakan saja kalau mau mati, tapi tolong jangan di sini! Saya nggak peduli apa masalah anda, dan saya sama sekali nggak mau terlibat. Silakan pergi dari sini sekarang juga kalau anda mau mati!"

"Ka-kamu ... "

"Pergi dari sini!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Magdalena Utami
keren bagus ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status