Share

Kebohongan Safa

Author: Catatan_Sajak
last update Last Updated: 2025-04-25 13:00:52

Aku mendengus kesal karena Nilam yang sudah ngotot membawaku ke puskesmas. Dan kekesalanku itu semakin menjadi-jadi karena Nilam juga mengabari soal aku yang mual-mual tadi pada Nenek dan juga Mas Afnan.

Lalu setelah melaporkan keadaanku pada mereka berdua, gadis itu malah berpamitan pergi. Menyebalkan! Awas saja nanti.

Binar bahagia di wajah Nenek langsung terbit saja saat aku berkata alasan aku dibawa ke Puskesmas ini. “Masyaa Allah, Safa. jangan-jangan kamu hamil, Nak,” ujarnya yang membuat aku tercengang.

Hamil? Tidak mungkinlah! Aku dan Mas Afnan belum pernah bermalam bersama. Jangankan hal-hal ekstrim begitu. Sekedar berpelukan yang murni tulus dari hati pun tak pernah.

 Justru, kalau aku hamil, akan menjadi masalah besar. Mas Afnan bisa-bisa mengira aku selingkuh.

Tetapi, bagaimana caranya ya aku menjelaskan pada Nenek? Nenek sudah terlanjur sangat bahagia begitu. Aku jadi tak tega dan merasa bersalah.

Apa aku bilang

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Bukan Pernikahan impian   Tamu Tak Terduga

    Mentari siang mulai condong ke barat saat aku menutup lembar hafalan anak-anak, menandai berakhirnya sesi mengajar hari ini. Suasana TPA mulai lengang. Beberapa anak sudah dijemput orang tuanya. Sebagian lagi duduk di pojokan sambil menunggu waktu pulang.Aku menghela nafas panjang dan mengusap keringat tipis di pelipis. Hari ini cukup melelahkan, tapi ada rasa lega yang mengalir saat melihat semangat anak-anak menghafal ayat demi ayat. Belum sempat kubereskan semuanya, ponselku bergetar. Kubuka layar dan sebaris pesan masuk membuat dahiku langsung berkerut. Dari Sarah.“Aku udah di rumah Kakak. Aku tunggu ya.”Aku mematung sejenak. Sarah di rumahku? Kenapa dia bisa ada di sana? Dan buat apa?Perasaan tidak nyaman langsung menyusup ke dada. Ada pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa kutahan, tapi tak juga bisa kutemukan jawabannya.“Safa, mau langsung pulang?” suara Nilam membuyarkan lamunanku.Aku menoleh, buru

  • Bukan Pernikahan impian   Suami Penuh Pesona

    Udara pagi di desa memang selalu membawa damai yang aneh. Angin semilir menyapu hijabku saat motornya berhenti di depan gerbang TPA. Aku menoleh dan melihat wajahnya yang masih tampak segar meski pasti kurang tidur.“Kayaknya hari ini Mas bakal pulang telat deh,” ucapnya tiba-tiba.Aku mengerutkan dahi. “Jam berapa, Mas?”“Mungkin agak maleman,” jawabnya sambil menurunkan standar motor. “Soalnya harus ngatur acara juga. Banyak yang belum beres.”Aku mengangguk pelan. “Oh, iya. Paham.”Mas Afnan menoleh padaku lagi. “Nanti kalau lewat Isya Mas belum pulang, kamu langsung tidur aja ya.”“Emang selama itu?” ucapku cepat dan sedikit kaget.Dia tertawa kecil. Nada suaranya genit. “Kenapa? Takut kangen ya?”Aku mendengus dan berpaling ke arah gerbang. “Nggak juga.”Tapi pipiku malah panas. Aku tahu wajahku memerah, dan M

  • Bukan Pernikahan impian   Waktunya Pulang

    Sudah beberapa hari sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di rumah ini, dan pagi ini suasana terasa jauh lebih ramai. Sarah akhirnya diperbolehkan pulang dari Rumah Sakit.Dengan langkah ringan dan suara yang penuh semangat, ia masuk ke rumah sambil menyerukan satu nama yang langsung membuat dadaku ikut menegang pelan.“Kak Afnan mana?”Tak lama, Mas Afnan muncul dari arah ruang tengah. Ia mengenakan kemeja santai dan celana kain. “Kamu udah pulang? Alhamdulillah,” ucapnya sembari tersenyum.Sarapan pun dimulai dengan formasi yang tak asing lagi. Aku di sebelah Mas Afnan, Mama dan Papa di sisi berseberangan, dan Sarah duduk agak merapat ke sisi lain Afnan. Entah kenapa aku mulai merasa seperti sedang menyaksikan sesuatu yang ganjil tapi belum bisa kupastikan.Di tengah menyuapkan sesendok nasi ke mulutku, Mas Afnan tiba-tiba membuka suara.“Hari ini, aku dan Safa akan kembali ke desa.”Sontak sendo

  • Bukan Pernikahan impian   Kecupan Penenang

    Aku tahu mungkin malam ini Mas Afnan akan pergi lagi ke Rumah Sakit menemani Sarah. Sementara Papa, baru akan pulang esok pagi. Dan di rumah besar ini, hanya ada kami berdua.Tetapi, bukan berarti aku ingin menghabiskan malam ini dengan diam dan rasa curiga.Aku memilih diam di dapur dan memotong buah-buahan untuk camilan, serta menyiapkan makan malam yang sederhana, tapi hangat.Tanganku sibuk mencuci buah anggur di bawah air mengalir, tapi fikiranku entah di mana. Mengembara ke wajah Mas Afnan yang beberapa jam ini jarang kutatap lama-lama. Karena aku takut dia akan membaca resah yang tengah kurasakan sekarang.Tak lama kemudian, aku mendengar langkah kaki dari belakang. Langkah itu berat, tapi tenang. Tanpa perlu menoleh, aku tahu betul itu pasti Mas Afnan.“Saf .…”Suaranya pelan. Tapi cukup untuk membuat jantungku terasa bergetar. Aku menoleh dan memaksakan senyum yang kuusahakan terlihat tulus. “Hmm? Ayo makan ma

  • Bukan Pernikahan impian   Memilih Tetap Bungkam

    Usai menunaikan shalat Zuhur, aku baru saja melipat sajadah ketika suara ketukan lembut terdengar dari arah pintu utama.Aku bangkit dan melangkah cepat ke depan seraya mencoba menenangkan hatiku yang entah kenapa malah jadi deg-degan. Saat membuka pintu, aku tertegun.“Mas.”Dia berdiri di sana. Wajahnya terlihat lelah tapi senyumnya tetap hangat. Tangan besarnya terulur mengusap puncak kepalaku dengan gerakan yang lembut. Aku berusaha tetap tenang dan menjaga rautku tetap netral. Jangan sampai air mata yang sempat hampir pecah tadi pagi bocor di hadapannya sekarang.Aku mencium punggung tangannya seperti biasa dan berucap, “Kamu mau makan? Nanti aku siap—”“Enggak perlu ya, Saf,” potongnya dengan suara rendah. “Aku mau tidur dulu sebentar aja. Ngantuk banget semalaman jaga Sarah.”“Oh, iya, Mas,” jawabku singkat dan seperlunya. Tapi di baliknya, ada gelombang kecewa yang men

  • Bukan Pernikahan impian   Butuh Diyakinkan

    Pagi itu begitu membuka mata, hal pertama yang kulakukan adalah meraih ponsel di nakas. Aku mengecek layar. Tidak ada pesan masuk. Tidak ada panggilan tak terjawab.Dengan jari yang masih agak kaku karena dingin pagi, aku menekan ikon telepon dan menghubungi Mas Afnan. Sekali. Tidak diangkat.Kutahan nafasku sejenak dan mencoba menahan rasa khawatir yang tiba-tiba menyelusup. Mungkin dia sedang shalat. Atau baru tertidur setelah semalaman jaga Sarah.Kuputuskan untuk mencoba lagi. Dua kali. Masih sama, sunyi. Kucoba lagi untuk ketiga kalinya. Kali ini sambungan langsung terputus. Entah karena ditolak atau memang sinyal buruk.Aku menarik nafas panjang, mencoba menenangkan hatiku yang mulai tidak karuan. “Safa, jangan mikir yang aneh-aneh,” gumamku lirih. “Mas Afnan bukan tipe orang yang ninggalin tanpa kabar.”Kutepis semua fikiran negatif yang mulai merayap, lalu bangkit dari tempat tidur. Setelah mencuci muka dan merapikan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status