Siang mulai condong. Sinar mentari tak secerah tadi pagi, tapi cukup hangat menyentuh kulit. Anak-anak sudah pulang sejak sepuluh menit lalu, tapi aku masih duduk di pojok ruangan, hanya memandangi papan tulis kosong dan sisa-sisa coretan yang belum sempat aku hapus.
Bukan karena lelah. Bukan pula karena malas pulang ke rumah. Tapi lebih kepada perasaan ganjil yang terus mengusik. Sejak beberapa hari terakhir, rumah yang biasa kuanggap tempat paling nyaman, terasa begitu asing. Terlalu banyak sandiwara. Terlalu banyak batas yang seolah dikaburkan dengan alasan baik-baik saja.
Aku menghela napas pelan dan melirik jam di tangan. Sudah cukup. Tak mungkin aku berlama-lama di sini hanya untuk lari dari kenyataan. Aku bangkit, memungut tas, dan melangkah menuju pintu depan.
Tapi begitu keluar pagar TPA, langkahku terhenti. Jantungku seperti ikut menahan gerak saat mataku menangkap sosok yang sama sekali tak kuharapkan muncul siang ini.
Mas Afnan.
Dia ber
Beberapa hari berlalu seperti gerimis yang tak lekas reda. Ada jarak yang menggantung di antara kami bertiga. Aku, Mas Afnan, dan Sarah. Tapi pagi ini, ada udara yang berbeda. Lebih sunyi. Lebih ringan. Lebih mengakhiri.Sarah berdiri di dekat koper kecilnya yang sudah tertata rapi. Wajahnya tertunduk, dan langkahnya pelan saat akhirnya menghampiriku. Aku hanya bisa menatapnya tanpa banyak kata.“Kak,” ucapnya lirih.Aku mengangkat wajah dan menunggu kelanjutannya.“Maaf, ya,” lanjut Sarah. Suaranya bergetar. “Aku sadar aku udah buat Kakak nggak nyaman selama tinggal di sini.”Aku tetap diam. Sekilas, aku menoleh ke arah Mas Afnan yang berdiri tak jauh dariku. Lelaki itu hanya menatap kami santai. Seolah semuanya memang sudah diatur sejak awal. Aku tidak tahu harus menanggapi dengan cara seperti apa.Sarah menggigit bibir bawahnya, lalu berkata lagi, “Aku juga mau minta maaf karena udah undang teman-
Aku masih berdiri di depan cermin dan menyisir rambut perlahan sambil sesekali melirik pantulan wajahku sendiri. Ini malam terakhir kami di Hotel ini. Dan jujur, aku belum siap kembali ke kenyataan rumah yang--ah, mungkin saja masih terasa asing karena keberadaan dia.Tak lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara Mas Afnan dari dalam kamar mandi. “Saf, ambilin handuk dong. Lupa aku bawa masuk.”Aku memutar bola mata. Bisa-bisanya Mas lupa, batinku. Tapi ya sudahlah. Dengan langkah pelan, aku mengambil handuk yang tergantung di rak dan berjalan ke pintu kamar mandi.“Ini, Mas,” ucapku sambil menyodorkan handuk lewat celah pintu yang sedikit terbuka.Tetapi, belum sempat aku menarik kembali tanganku, jemari Mas Afnan justru meraih dan menarikku masuk ke dalam. Aku nyaris kehilangan keseimbangan.“Mas! Astagfirullah!” Aku mengerjap panik saat mendapati tubuhku kini berdiri tepat di bawah shower yang masih menya
“Mas,” bisikku hampir tak terdengar karena suaraku tercekat oleh emosi.Dia hanya menatapku. Tak berkata-kata lagi seolah tak perlu. Tatapannya saja sudah cukup untuk membuatku tahu bahwa aku begitu istimewa baginya.Aku mengangkat kedua tanganku dan melingkarkannya di leher Mas Afnan. Aku memeluknya dengan pelan tapi erat. “Terima kasih,” bisikku di dekat telinganya. “Mas nggak tahu betapa besar artinya ini buat aku.”“Justru aku tahu, Saf,” sahutnya pelan sambil membalas pelukanku. “Karena itu aku lakuin.”Ketika kami perlahan saling melepaskan, dahi Mas Afnan menyentuh dahiku. Bibirnya melukis senyum kecil yang membuat dadaku terasa hangat.“Aku sayang kamu, Saf,” bisiknya.Aku tersenyum dengan mata menatap lekat padanya, lalu menjawab pelan, “Aku juga, Mas. Sangat.”Aku memeluk Mas Afnan lagi. Tanpa ragu dan tanpa jeda. Pelukan yang mungkin terliha
Aku tak tahu harus menebak apa lagi dari rencana Mas Afnan malam ini. Setelah kamar hotel yang nyaman, sekarang dia menggandengku keluar lagi. Menuju lantai paling atas. “Mas, kita ke mana lagi sih?” tanyaku yang masih setengah bingung, tapi langkahku terus mengikuti langkah panjangnya.Mas Afnan hanya menoleh dan tersenyum kecil. Tanpa menjawab.Sampai akhirnya kami tiba di rooftop.Begitu pintu terbuka, aku langsung terdiam di ambang. Helaan napasku tertahan di tenggorokan. Penerangan temaram dari lilin-lilin kecil yang diletakkan di sepanjang tepian rooftop berpadu manis dengan lampu gantung berwarna keemasan. Ada meja makan bundar kecil untuk dua orang, dihiasi bunga-bunga segar dan kelopak mawar merah muda yang berserakan indah di atas permukaannya. Di salah satu sudut, ada karpet bulu tebal dengan dua bantal empuk dan selimut rajut berwarna pastel.Langit malam terbentang luas di atas sana. Bintang-bintang seolah ikut berkonspirasi malam
Siang mulai condong. Sinar mentari tak secerah tadi pagi, tapi cukup hangat menyentuh kulit. Anak-anak sudah pulang sejak sepuluh menit lalu, tapi aku masih duduk di pojok ruangan, hanya memandangi papan tulis kosong dan sisa-sisa coretan yang belum sempat aku hapus.Bukan karena lelah. Bukan pula karena malas pulang ke rumah. Tapi lebih kepada perasaan ganjil yang terus mengusik. Sejak beberapa hari terakhir, rumah yang biasa kuanggap tempat paling nyaman, terasa begitu asing. Terlalu banyak sandiwara. Terlalu banyak batas yang seolah dikaburkan dengan alasan baik-baik saja.Aku menghela napas pelan dan melirik jam di tangan. Sudah cukup. Tak mungkin aku berlama-lama di sini hanya untuk lari dari kenyataan. Aku bangkit, memungut tas, dan melangkah menuju pintu depan.Tapi begitu keluar pagar TPA, langkahku terhenti. Jantungku seperti ikut menahan gerak saat mataku menangkap sosok yang sama sekali tak kuharapkan muncul siang ini.Mas Afnan.Dia ber
Sudah beberapa hari berlalu sejak malam itu. Sejak aku berniat menyampaikan semuanya pada Mas Afnan—tentang Sarah, tentang batas yang mulai dilanggar, tentang perasaanku yang perlahan mulai sesak. Tapi sampai hari ini, aku belum juga mendapat kesempatan untuk benar-benar bicara.Karena selalu saja ada Sarah di sela kami. Di antara ruang kami. Di tengah-tengah hal-hal kecil yang seharusnya hanya milik kami berdua.Pagi tadi contohnya. Saat Mas Afnan baru saja hendak berangkat ke kantor dan aku ingin berbicara sejenak sebelum ia pergi, Sarah tiba-tiba keluar dari kamarnya dengan tergesa.“Kak Afnan, nanti bisa antar aku nggak ke posko? Aku buru-buru banget, tapi belum sempet pesan ojek,” ucapnya sambil mengangkat tas selempangnya.Mas Afnan menatapku sekilas, lalu ke arah Sarah. “Sarah, kamu ‘kan biasanya naik ojek. Biar aku pesanin aja, ya?”“Jangan, Kak!” Sarah memotong dengan cepat. “Aku nggak