Karena waktu baru menunjukkan pukul sebelas siang, dengan terpaksa aku pulang ke rumahku sendiri. Eh, rumah Mas Afnan tepatnya.
Huh, padahal aku berencana untuk tidur siang di rumah Nenek dan baru akan pulang nanti sore. Bosan sekali seharian di rumah, tanpa melakukan apa-apa. Atau aku buat kue saja. Nanti kue itu aku bagikan di TPA besok. Ya, sepertinya itu ide bagus.
Cepat-cepat aku mengayuh sepeda menuju rumah. Sebelum adzan Zuhur berkumandang, aku harus sudah menyiapkan bahan-bahannya. Baru setelah shalat nanti, aku eksekusi semua bahan itu.
Namun, betapa terkejutnya aku ketika baru melangkahkan kaki masuk ke rumah. Mataku membola sempurna melihat Mas Afnan yang ternyata sudah pulang. Kini, lelaki itu sedang fokus menatap ke layar laptopnya.
Aku menelan ludah. Dengan gugup, aku kembali melanjutkan langkah.
“As-assalamu’alaikum.”
Mas Afnan tak menjawab. Ah, jangankan menjawab, sekedar melirikku saja tak dia lakukan. Bena
Aku baru saja selesai mengenakan jilbab dan memeriksa tas berisi buku-buku hafalan anak-anak TPA, ketika suara langkah kaki terdengar di lorong. Pagi masih segar, semoga hati juga bisa tetap segar hari ini.Namun, langkahku terhenti ketika pintu kamar terbuka dan aku berpapasan dengan Sarah. Ia tampak sibuk merapikan kunciran rambutnya dengan tas selempang tergantung di bahu.“Kak,” ucapnya ringan tanpa sadar menambah beban di pundakku. “Meja yang di deket dapur itu kayaknya menuhin tempat deh. Jadi, aku pindahin aja ke belakang.”Aku langsung menoleh. Keningku otomatis mengerut. “Meja yang mana, Sar?” tanyaku. Suaraku lebih tinggi dari biasanya. “Kenapa kamu nggak bilang-bilang dulu?”Sarah terdiam sejenak. Mungkin dia menyadari perubahan nada suaraku. Ia mengatupkan bibir, lalu menjawab pelan, “Maaf, Kak. Aku pikir kakak juga akan setuju. Lagipula, mejanya juga jarang dipakai, kan?”Aku
Aku terbangun oleh suara pintu yang ditutup pelan. Samar-samar, suara langkah kaki Mas Afnan yang baru saja selesai mengambil wudhu terdengar menembus keheningan malam. Sekilas kulirik jam dinding. Pukul dua lewat sedikit. Dini hari yang sunyi. Tapi tidak untuk hatiku.Aku bangkit setengah duduk. “Mas, mau shalat, ya?”Mas Afnan menoleh. Raut wajahnya sedikit terkejut. Entah karena aku bangun atau karena aku menyapanya. “Iya,” jawabnya pelan. “Kok kamu bangun?”Aku tersenyum tipis dan menjawab, “Aku juga mau shalat. Tungguin, ya.”Dia terdiam sejenak. Tatapan matanya memudar. Ada jarak yang tak kasat mata, tapi terasa sangat nyata. Tapi pada akhirnya dia mengangguk juga.Aku buru-buru menyibak selimut dan melangkah ke kamar mandi. Gemericik air wudhu menyadarkanku sepenuhnya. Rasanya seperti membasuh luka yang sejak beberapa hari ini kupendam. Luka karena rasa canggung yang tak semestinya ada antara s
Pagi ini udara desa terasa lebih sejuk dari biasanya, tapi tidak dengan suasana hati di dalam rumah. Aku yang sedang menyiapkan sarapan di dapur bisa mendengar suara Mas Afnan yang terdengar lebih berat dari ruang tamu. Nada tenangnya tetap terdengar, tapi ada ketegasan yang sulit diabaikan.“Jadi, kenapa kamu harus milih tinggal di sini, Sar?” tanya Mas Afnan.Aku menahan gerakan tanganku sejenak, mencuri dengar tanpa benar-benar berniat menguping. Namun, percakapan itu terlalu dekat untuk diabaikan.“Padahal, nggak jauh dari sini juga ada penginapan kecil yang aman dan cukup dikenal orang,” lanjutnya.Suara Sarah terdengar pelan dan ragu. “Aku nggak nyaman, Kak. Di tempat yang nggak aku kenal siapa-siapa.”Ada jeda. Tak lama kemudian, suara helaan nafas panjang Mas Afnan menyusul. “Papa sama Mama tahu kamu nginep di sini?” tanyanya kali ini lebih tegas.Aku bisa membayangkan Sarah menunduk. S
Mentari siang mulai condong ke barat saat aku menutup lembar hafalan anak-anak, menandai berakhirnya sesi mengajar hari ini. Suasana TPA mulai lengang. Beberapa anak sudah dijemput orang tuanya. Sebagian lagi duduk di pojokan sambil menunggu waktu pulang.Aku menghela nafas panjang dan mengusap keringat tipis di pelipis. Hari ini cukup melelahkan, tapi ada rasa lega yang mengalir saat melihat semangat anak-anak menghafal ayat demi ayat. Belum sempat kubereskan semuanya, ponselku bergetar. Kubuka layar dan sebaris pesan masuk membuat dahiku langsung berkerut. Dari Sarah.“Aku udah di rumah Kakak. Aku tunggu ya.”Aku mematung sejenak. Sarah di rumahku? Kenapa dia bisa ada di sana? Dan buat apa?Perasaan tidak nyaman langsung menyusup ke dada. Ada pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa kutahan, tapi tak juga bisa kutemukan jawabannya.“Safa, mau langsung pulang?” suara Nilam membuyarkan lamunanku.Aku menoleh, buru
Udara pagi di desa memang selalu membawa damai yang aneh. Angin semilir menyapu hijabku saat motornya berhenti di depan gerbang TPA. Aku menoleh dan melihat wajahnya yang masih tampak segar meski pasti kurang tidur.“Kayaknya hari ini Mas bakal pulang telat deh,” ucapnya tiba-tiba.Aku mengerutkan dahi. “Jam berapa, Mas?”“Mungkin agak maleman,” jawabnya sambil menurunkan standar motor. “Soalnya harus ngatur acara juga. Banyak yang belum beres.”Aku mengangguk pelan. “Oh, iya. Paham.”Mas Afnan menoleh padaku lagi. “Nanti kalau lewat Isya Mas belum pulang, kamu langsung tidur aja ya.”“Emang selama itu?” ucapku cepat dan sedikit kaget.Dia tertawa kecil. Nada suaranya genit. “Kenapa? Takut kangen ya?”Aku mendengus dan berpaling ke arah gerbang. “Nggak juga.”Tapi pipiku malah panas. Aku tahu wajahku memerah, dan M
Sudah beberapa hari sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di rumah ini, dan pagi ini suasana terasa jauh lebih ramai. Sarah akhirnya diperbolehkan pulang dari Rumah Sakit.Dengan langkah ringan dan suara yang penuh semangat, ia masuk ke rumah sambil menyerukan satu nama yang langsung membuat dadaku ikut menegang pelan.“Kak Afnan mana?”Tak lama, Mas Afnan muncul dari arah ruang tengah. Ia mengenakan kemeja santai dan celana kain. “Kamu udah pulang? Alhamdulillah,” ucapnya sembari tersenyum.Sarapan pun dimulai dengan formasi yang tak asing lagi. Aku di sebelah Mas Afnan, Mama dan Papa di sisi berseberangan, dan Sarah duduk agak merapat ke sisi lain Afnan. Entah kenapa aku mulai merasa seperti sedang menyaksikan sesuatu yang ganjil tapi belum bisa kupastikan.Di tengah menyuapkan sesendok nasi ke mulutku, Mas Afnan tiba-tiba membuka suara.“Hari ini, aku dan Safa akan kembali ke desa.”Sontak sendo