Share

Luka Dan Pergi

Author: Catatan_Sajak
last update Last Updated: 2025-05-22 10:00:11

Aku membuka pintu perlahan dengan hati yang rasanya seperti diguncang gelombang. Nafas terasa pendek, jantungku nyaris meloncat dari tempatnya. Kutahan sebisa mungkin agar langkahku tetap tenang.

“Assalamu’alaikum,” sapaku.

“Wa’alaikumussalam,” jawabnya datar tanpa menoleh sedikit pun.

Tubuh Mas Afnan duduk tegap di sofa ruang tamu dengan tangan terlipat di dada, dan pandangan lurus ke depan.

“Gimana kegiatannya?” tanyanya tanpa ekspresi. “Lancar? Puas?”

Aku tertegun sejenak. Tersentak oleh nada suaranya yang terdengar berbeda. Bukan marah, bukan lembut, tapi kosong. Seperti menahan sesuatu.

Aku menelan ludah. “A-aku ganti pakaian dulu ya. Habis itu aku buatin Mas minum, ucapku yang terdengar gugup, Bahkan, dari telingaku sendiri.

“Tidak usah!”

Langkahku yang belum benar-benar jauh, sontak terhenti. Perlahan, aku menoleh dan melihatnya kini berdiri da

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Bukan Pernikahan impian   Hadiah Setelah Badai

    Malam itu udara terasa lebih sejuk dari biasanya. Angin malam yang pelan menyusup lewat jendela terbuka membawa aroma dedaunan basah. Aku baru saja selesai mencuci gelas di dapur ketika mendengar suara pelan dari teras rumah. Langkah kakiku terhenti saat mengenali suara Mas Afnan. Ia sedang berbicara lewat telepon.Aku menahan nafas dan berdiri di balik tirai. Aku tak berniat menguping, tapi kalimatnya terlalu jelas untuk diabaikan.“Berhenti ikut campur urusan rumah tanggaku, Zam. Jangan sampai aku melakukan sesuatu dan melupakan kalau kamu masih saudaraku.”Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Hati ini mencelos. Ada rasa sesak dan bersalah yang tiba-tiba membungkus dadaku rapat-rapat. Aku buru-buru melangkah kembali ke kamar.Aku berpura-pura sibuk. Merapikan bantal yang sudah rapi. Melipat selimut yang tidak perlu dilipat. Mengelap meja kecil di sisi tempat tidur padahal tak ada debu. Apa saja, asalkan aku tak perlu terlihat geli

  • Bukan Pernikahan impian   Jangan Ulangi Lagi

    Pelukannya masih erat ketika aku bisa merasakan degup jantungnya menyatu dengan degup jantungku. Rasanya seperti pulang. Seperti menemukan kembali tempat yang sempat hilang di tengah kabut keraguan.Selang seperkian menit dalam hening, perlahan Mas Afnan melepaskan pelukannya. Tangannya naik dan menangkup wajahku lembut. Telapak tangannya hangat. Jempolnya menghapus sisa-sisa air mata di pipiku. Tatapannya dalam, lelah, tapi juga penuh ketulusan yang selama ini mungkin belum sepenuhnya kupahami.“Aku akui,” ucapnya perlahan dengan suara yang serak, “Masih ada hal yang belum siap aku bagi sama kamu, Saf.”Aku menahan nafas. Tapi tak berani menyela.“Tapi ini bukan karena aku memiliki perempuan lain di luar sana. Bukan karena Sarah. Bukan karena wanita manapun.” Matanya tajam menatapku, tapi bukan karena marah. Karena ingin meyakinkanku. “Tolong kamu percaya, Safa .…”Aku terpaku. Tak bisa menjaw

  • Bukan Pernikahan impian   Kembali Ke Pelukanmu

    Malam ini sunyi terasa lebih menusuk dari biasanya.Aku terduduk di ujung ranjang. Tubuhku lunglai. Mataku sembab, dan hatiku ... remuk. Rasa sesal membalut setiap detik yang kulewati. Tanganku menggenggam ponsel yang sejak tadi hanya kusorot tanpa keberanian untuk menekan satu pun nama yang bisa kuhubungi. Bahkan, sekadar mengetik pesan pun aku tak sanggup.Aku ingin menyusul Mas Afnan. Ingin mengejarnya. Ingin meminta maaf dan mengatakan bahwa aku salah, bahwa aku hanya perempuan bodoh yang dikuasai prasangka. Tapi ke mana? Dengan apa? Malam-malam begini? Aku bahkan tak tahu apakah dia masih di desa atau sudah benar-benar kembali ke Jakarta.Tangis kembali pecah. Tapi kali ini terasa lain. Bukan lagi karena amarah atau curiga, tapi karena penyesalan yang dalam. Teramat dalam.Kakiku melangkah lemah ke kamar mandi dan mengambil wudhu dengan tangan yang gemetar, lalu kubentangkan sajadah. Dalam sujud yang panjang, semua yang kusimpan dalam diam akhirnya t

  • Bukan Pernikahan impian   Luka Dan Pergi

    Aku membuka pintu perlahan dengan hati yang rasanya seperti diguncang gelombang. Nafas terasa pendek, jantungku nyaris meloncat dari tempatnya. Kutahan sebisa mungkin agar langkahku tetap tenang.“Assalamu’alaikum,” sapaku.“Wa’alaikumussalam,” jawabnya datar tanpa menoleh sedikit pun.Tubuh Mas Afnan duduk tegap di sofa ruang tamu dengan tangan terlipat di dada, dan pandangan lurus ke depan.“Gimana kegiatannya?” tanyanya tanpa ekspresi. “Lancar? Puas?”Aku tertegun sejenak. Tersentak oleh nada suaranya yang terdengar berbeda. Bukan marah, bukan lembut, tapi kosong. Seperti menahan sesuatu.Aku menelan ludah. “A-aku ganti pakaian dulu ya. Habis itu aku buatin Mas minum, ucapku yang terdengar gugup, Bahkan, dari telingaku sendiri.“Tidak usah!”Langkahku yang belum benar-benar jauh, sontak terhenti. Perlahan, aku menoleh dan melihatnya kini berdiri da

  • Bukan Pernikahan impian   Datang Tiba-Tiba

    Suara riuh anak-anak yang bersorak menyambut perjalanan ini menggema di dalam bus mini yang kami tumpangi. Beberapa dari mereka bernyanyi. Sebagian lagi sibuk berceloteh tentang kegiatan yang akan dilakukan. Aku duduk di barisan tengah, di sisi jendela, membiarkan angin pagi dan pemandangan yang berlalu cepat menjadi pengalih dari benakku yang masih tak tenang.Aku tersenyum pada Nilam yang duduk di sebelahku, lalu melambaikan tangan sebentar ke arah dua anak kecil yang menyapaku dari kursi belakang.Tapi senyum itu bukan dari hatiku.Ada ruang kosong di dadaku yang tak bisa kuisi dengan canda tawa anak-anak ini. Ada ragu yang terus mengganggu meski aku berusaha menepisnya.Sudah seminggu aku tak menyentuh ponselku. Tak membuka pesan apapun dari Mas Afnan. Tak mencoba mencari tahu apakah dia mencariku, menyesal, atau justru tak peduli sama sekali.Aku menggigit bibir bawahku.“Mas, kamu kirim bunga waktu itu. Kamu bilang aku rumahmu.

  • Bukan Pernikahan impian   Menciptakan Jarak

    Pagi harinya, setelah selesai membereskan tempat tidur dan menyiapkan sarapan sederhana, aku duduk di teras rumah dengan secangkir teh hangat. Udara desa yang sejuk selalu jadi penenang, meskipun hati ini masih belum benar-benar tenang.Aku membuka ponsel dan berniat menghubungi Nilam untuk menanyakan soal tugas anak-anak TPA yang belum sempat dikumpulkan. Tetapi, belum sempat jari-jariku mengetik apa-apa, satu notifikasi masuk. Sebuah pesan dari Azzam.Jantungku langsung berdetak lebih cepat. Dengan hati-hati, aku mengetuk pesan itu. Keningku bertaut karena ia mengirimkanku sebuah video.Pesan singkat yang menyertainya cuma satu kalimat:“Masih yakin mau percaya buta sama dia?”Tangan ini sempat ragu. Tetapi akhirnya, dengan nafas tertahan, aku menekan tombol putar.Video itu dimulai di halaman parkir sebuah gedung kantor. Kamera tampaknya diambil diam-diam. Terlihat Mas Afnan berdiri di samping Sarah. Gadis itu tertawa

  • Bukan Pernikahan impian   Kembali ke TPA

    Mentari pagi menelusup lembut lewat celah pepohonan desa. Udara segar menyapa kulitku saat langkahku menapaki jalan setapak menuju TPA. Rasanya sudah lama sekali aku tak berjalan di sini. Padahal, baru beberapa minggu.Taman kecil di depan bangunan itu masih sama. Ayunan yang sering digunakan anak-anak, suara burung yang bersahutan, dan bangunan sederhana yang menyimpan banyak kenangan manis bersama anak-anak.Begitu aku melangkah masuk, suara ceria langsung menyambut.“Saf!” suara itu memecah pagi yang tenang. Aku menoleh cepat dan melihat Nilam berlari kecil ke arahku dengan senyum lebar.Aku langsung tersenyum dan nyaris menitikkan air mata saat pelukan hangatnya menyergapku.“Kangen banget aku sama kamu, Saf. Kemana aja sih?” katanya sambil melepaskan pelukannya dan menatapku dengan mata penuh tanya.Aku tersenyum tipis dan membalas lembut, “Aku juga kangen kamu, Nil. Maaf ya, ada beberapa hal yang harus aku

  • Bukan Pernikahan impian   Menjauh Sementara

    Aku menatap mata Mas Afnan sekali lagi. Dalam tatapan itu, aku tahu ada ketulusan. Tetapi, ada juga rahasia yang belum dia bagi. Dan itu cukup membuat hatiku lelah menebak-nebak.Aku menarik nafas dalam, mencoba menenangkan gejolak yang mengguncang dadaku. “Mas, aku butuh waktu.”Dahi Mas Afnan mengerut. “Waktu?”Aku mengangguk pelan dan mengambil satu langkah mundur. “Buat menenangkan diri. Buat mempertimbangkan semuanya.”“Saf—” Mas Afnan ingin melangkah maju, tapi aku langsung mengangkat tanganku dan menahannya.“Jangan dulu.” Suaraku lirih dan hampir tak terdengar. “Aku sayang sama kamu. Tapi aku juga manusia, Mas. Aku butuh ruang buat memastikan perasaanku tetap utuh, nggak hancur karena prasangka yang kamu biarkan tumbuh.”Mas Afnan terdiam. Matanya tak berkedip. Mungkin, ia tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Aku tahu, aku baru saja menancapkan

  • Bukan Pernikahan impian   Keraguan Yang Mengakar

    Beberapa hari ini, suasana rumah terasa berbeda. Tidak ramai, tapi juga tidak benar-benar sepi. Ada keheningan yang menggantung. Seperti awan gelap yang belum juga menurunkan hujannya. Mas Afnan mulai jarang ada di rumah. Kalau pun pulang, selalu larut malam, kadang lewat tengah malam. Alasannya selalu sama. Lembur di kantor.Awalnya aku memaklumi. Aku tahu tanggung jawab Mas Afnan cukup besar. Tetapi, yang membuatku mulai bertanya-tanya adalah ketika papa juga tidak seintens itu pulang telatnya. Bahkan Azzam, kepala keuangan sekaligus tangan kanan papa, juga masih bisa makan malam bersama keluarga.Hanya Mas Afnan. Seolah kesibukannya di sana jauh lebih banyak ketimbang Papa dan Azzam.Malam ini, ketika akhirnya Mas Afnan pulang dan membuka pintu kamar dengan senyum lelah, aku tak kuasa menahan tanya yang sudah lama kutahan.“Mas,” panggilku pelan sambil bangkit dari duduk di sisi ranjang.Mas Afnan tersenyum. Dia menggantung jaketnya sejenak, lalu menghampiriku. “Iya, Sayang?”“Kerj

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status