Helaan nafasku menggantung ketika kecupan hangat terasa begitu lama di keningku. Sentuhan itu membangunkanku dari tidur yang tak benar-benar nyenyak. Kelopak mataku mengerjap perlahan dan berusaha menyesuaikan pandangan pada cahaya temaram kamar.Begitu aku membuka mata, sosok Mas Afnan yang begitu kukenal ada di hadapanku. Wajahnya lelah, tapi tatapannya penuh sayang.“Eh, kamu kok bangun? Maaf, aku bangunin ya?” bisiknya lembut.Aku menggeleng kecil, lalu bangkit duduk dan segera menyalim tangannya dengan takzim. Kehangatan kulitnya membuatku terdiam sesaat.“Mas, baru pulang?” tanyaku pelan dan menahan agar suara tak bergetar karena berbagai rasa yang membuncah.Mas Afnan mengangguk. Senyum tipis menghias wajahnya yang tampak penat. Satu tangannya terulur. Jari-jarinya mengusap rambutku perlahan. Seolah ingin menyalurkan seluruh rindu yang ia bawa pulang.“Maaf, kemarin aku nggak sempat nemuin kamu,” bi
Pelan-pelan aku membuka mata dan menyadari bahwa aku tertidur dalam posisi bersujud di atas sajadah. Tubuhku terasa kaku, leherku pegal, dan mataku masih terasa berat karena tangis semalam.Aku menegakkan tubuh dan menatap sekitar kamar. Pandanganku langsung tertuju pada tempat tidur yang masih rapi, selimut yang tak terusik sedikit pun, dan bantal yang masih dalam posisi sama seperti semalam.Deg.Dada ini seperti tertimpa batu besar. Mas Afnan, tidak kembali ke kamar ini semalam.Dan itu artinya, Mas Afnan tidur di kamar Sarah.Aku menunduk. Dada ini sakit. Sangat sakit. Tapi aku tahu, aku tak boleh berburuk sangka. Aku tak boleh menghakimi.Air mataku mulai menggenang lagi. Tangan ini refleks mengusap kedua pipiku. Ya Allah, kuatkan aku hari ini.Aku menarik nafas dalam dan berusaha menenangkan diri. Lalu perlahan aku bangkit, membereskan sajadah dan mukena dan mencoba menyibukkan diri agar hati ini tak larut dalam ge
Tak terasa sudah satu minggu aku berada di Jakarta. Dan sudah satu minggu juga Mas Afnan menjadi suaminya Sarah. Pagi itu udara sejuk seharusnya membawa damai, tapi hatiku justru dipenuhi kegundahan. Aku memberanikan diri membuka pembicaraan setelah menyiapkan sarapan untuk Mas Afnan.“Mas, aku minta izin. Aku mau ke desa. Mau nenangin diri sebentar aja.” Suaraku lirih dan nyaris seperti bisikan.Mas Afnan yang tengah merapikan dasinya berhenti sejenak. Tatapannya menancap ke mataku. Dalam, dan entah kenapa justru membuat dadaku makin sesak.“Nggak,” jawabnya tegas. “Aku nggak akan biarin kamu pergi dengan membawa luka ini, Sayang. Nggak akan.”Aku menggigit bibir bawahku menahan perih yang menyeruak. “Tapi, Mas—”“Jangan pergi, Safa.” Kali ini suaranya mengeras, bukan marah, tapi sarat dengan rasa takut kehilangan. “Aku melarang kamu!”Hatiku seperti diremas. Nafa
Suasana kamar sunyi. Hanya suara angin malam yang sesekali menyusup lewat sela jendela. Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari ketika aku merasa tubuhku seperti tertahan sesuatu saat hendak berbalik. Rasa penasaran membuatku perlahan membuka mata.Dan saat itu juga mataku terbelalak sempurna.“Astaghfirullah, Mas! Mas ngapain di sini?” suaraku bergetar. Panik, aku langsung duduk tegak. “Harusnya kan Mas sama Sarah? Harusnya—“Kalimatku terhenti ketika Mas Afnan lebih dulu menarik tanganku dengan lembut dan menuntunku kembali rebah di ranjang. Tubuhnya mendekapku erat dan hangat. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang berpacu cepat. Seirama dengan kepalaku yang bersandar di dadanya.Dengan suara rendah dan sarat emosi, Mas Afnan berbisik di telingaku, “Tugasku memberikan dia status udah selesai, ya. Jangan harap aku akan berikan yang lain.”Aku menggigit bibir bawahku. Aku ingin memprotes, ingin mengi
Suasana di ruang utama rumah Mama Diana dipenuhi kesunyian yang berat. Aku duduk di ruangan terpisah. Hanya bisa mendengar samar lantunan doa dan ijab kabul yang diucapkan Mas Afnan dengan suara lirih namun tegas.Hatiku serasa diremas. Setiap kata yang terucap di ruangan itu, meski tidak kudengar jelas, seperti menampar perasaanku. Ya Allah, ini bukan yang aku inginkan. Tapi aku harus ikhlas, aku harus kuat.Tak lama, suara itu berhenti. Tanda prosesi telah selesai. Hening menggantung beberapa saat. Kemudian, langkah kaki terdengar mendekat. Pintu ruangan terbuka perlahan. Dan di sanalah Mas Afnan berdiri. Wajahnya pucat, matanya sembab. Seperti menahan perih yang tak terucapkan.Tanpa berkata apa-apa, Mas Afnan langsung menghampiriku. Tangan dan lengannya merengkuh tubuhku seerat mungkin. Kepalanya menunduk menyembunyikan wajahnya di bahuku.“Maafkan aku, Safa. Maaf …,” suaranya pecah, bergetar, dan penuh luka.Aku membeku. Air mataku luruh begitu saja tanpa bisa kutahan. Tubuhku te
Aku duduk di samping Mas Afnan dengan tangan kami yang saling menggenggam erat. Seolah saling menyalurkan kekuatan satu sama lain. Ruang tamu itu terasa panas meski pendingin ruangan menyala. Mama Diana, Papa Himawan, dan Azzam duduk di hadapan kami, menunggu jawaban yang selama ini ditunggu-tunggu.Dengan suara berat, Mas Afnan akhirnya bicara. “Baik, aku ... aku akan menikahi Sarah.”Suara itu, meski sudah kudengar langsung, masih terasa asing di telingaku. Tubuhku bergetar.Mas Afnan menoleh padaku sekilas, lalu menghela nafas panjang sebelum melanjutkan, tatapannya lurus pada Mama, Papa, dan Azzam. “Aku lakukan ini hanya untuk membuktikan cinta aku pada Safa. Untuk menunaikan permintaan terakhir Sarah. Tapi sebelum itu, aku ingin kalian tahu sesuatu.”Aku bisa merasakan ketegangan memenuhi ruangan. Mama Diana menatap Mas Afnan dengan mata berkaca, Papa Himawan diam membisu, Azzam menatap Mas Afnan tajam.Mas Afnan melanj