Share

Perhatian

Author: Catatan_Sajak
last update Last Updated: 2025-04-27 13:00:24

“Kenapa itu sepedanya, Neng?” tanya Bapak itu lagi.

Aku melirik Mas Afnan sekilas. “Bannya kempes, kurang angin,” jawabku disertai senyuman canggung.

Kulihat suamiku itu menghela nafas pelan, kemudian menggelengkan kepala. “Langsung bawa saja ke belakang Masjid, di sana ada pompaannya,” ucap lelaki yang hari ini memakai koko putih itu.

Aku mengangguk saja dan menuruti apa yang diperintahkan suamiku tadi. Namun, sesampainya di belakang Masjid, aku mulai kebingungan sendiri. Memang benar ada pompaan itu untuk mengisi angin, tapi masalahnya ... aku tidak tahu bagaimana cara menggunakan pompaan itu.

Ditambah lagi, adzan Zuhur sudah berkumandang. Yasudahlah, sebaiknya sekarang aku shalat dulu, baru setelah itu kufikirkan bagaimana memompa ban sepedaku lagi.

Langsung saja aku bergegas mengambil wudhu di toilet wanita dan bersiap menunaikan shalat Zuhur.

Ternyata, yang menjadi Imam dalam shalat kami

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Bukan Pernikahan impian   Memilih Tetap Bungkam

    Usai menunaikan shalat Zuhur, aku baru saja melipat sajadah ketika suara ketukan lembut terdengar dari arah pintu utama.Aku bangkit dan melangkah cepat ke depan seraya mencoba menenangkan hatiku yang entah kenapa malah jadi deg-degan. Saat membuka pintu, aku tertegun.“Mas.”Dia berdiri di sana. Wajahnya terlihat lelah tapi senyumnya tetap hangat. Tangan besarnya terulur mengusap puncak kepalaku dengan gerakan yang lembut. Aku berusaha tetap tenang dan menjaga rautku tetap netral. Jangan sampai air mata yang sempat hampir pecah tadi pagi bocor di hadapannya sekarang.Aku mencium punggung tangannya seperti biasa dan berucap, “Kamu mau makan? Nanti aku siap—”“Enggak perlu ya, Saf,” potongnya dengan suara rendah. “Aku mau tidur dulu sebentar aja. Ngantuk banget semalaman jaga Sarah.”“Oh, iya, Mas,” jawabku singkat dan seperlunya. Tapi di baliknya, ada gelombang kecewa yang men

  • Bukan Pernikahan impian   Butuh Diyakinkan

    Pagi itu begitu membuka mata, hal pertama yang kulakukan adalah meraih ponsel di nakas. Aku mengecek layar. Tidak ada pesan masuk. Tidak ada panggilan tak terjawab.Dengan jari yang masih agak kaku karena dingin pagi, aku menekan ikon telepon dan menghubungi Mas Afnan. Sekali. Tidak diangkat.Kutahan nafasku sejenak dan mencoba menahan rasa khawatir yang tiba-tiba menyelusup. Mungkin dia sedang shalat. Atau baru tertidur setelah semalaman jaga Sarah.Kuputuskan untuk mencoba lagi. Dua kali. Masih sama, sunyi. Kucoba lagi untuk ketiga kalinya. Kali ini sambungan langsung terputus. Entah karena ditolak atau memang sinyal buruk.Aku menarik nafas panjang, mencoba menenangkan hatiku yang mulai tidak karuan. “Safa, jangan mikir yang aneh-aneh,” gumamku lirih. “Mas Afnan bukan tipe orang yang ninggalin tanpa kabar.”Kutepis semua fikiran negatif yang mulai merayap, lalu bangkit dari tempat tidur. Setelah mencuci muka dan merapikan

  • Bukan Pernikahan impian   Antara Rasa Dan Kenyataan

    Sentuhan lembut Mas Afnan di pipiku membuat nafasku tertahan. Bibirnya mendarat sempurna pada wajahku. Dalam, tenang, tapi menghanyutkan. Seolah waktu ikut diam hanya menyisakan detak jantung kami yang saling menjawab.Tanpa sadar, tanganku melingkar di lehernya dan menariknya lebih dekat. Ada rasa nyaman yang tak bisa didefinisikan dengan kata. Rasa dimiliki dan rasa dicintai.Ketika ciuman itu dilepaskan, Mas Afnan menatapku dalam. Seakan dari tatapan itu ia ingin menyampaikan sesuatu yang tak bisa ia ucapkan. Mas Afnan lalu melepas mukena yang masih membungkus tubuhku dengan hati-hati. Tak ada tergesa-gesa. Tak ada nafsu yang memburu. Semua dilakukan dengan kelembutan yang membuat dadaku sesak karena haru.Tubuhku diangkat dan digendong perlahan menuju tempat tidur. Aku masih menatapnya dengan tak percaya bahwa semua ini nyata. Namun, saat Mas Afnan kembali menundukkan wajahnya untuk menciumku lagi, suara dering ponsel di atas nakas memecah kehe

  • Bukan Pernikahan impian   Dalam Ayat-Ayat Cinta

    Langit malam membentang tenang di luar jendela. Aku dan Mas Afnan baru saja selesai menunaikan shalat Maghrib berjamaah. Sejadah kami masih terbentang di atas permadani ruang tengah. Suasana rumah seketika hening dan penuh ketenangan.Mas Afnan masih duduk bersila dan menunduk membuka mushaf kecil yang selalu ia simpan di rak dekat sajadah. Aku tahu ini waktu rutinnya untuk murajaah hafalan Qur’an. Tatapannya khusyuk. Bibirnya bergerak lirih melafalkan ayat demi ayat.Aku menatapnya lama dengan kagum, lalu dengan spontan aku berucap, “Mas.”“Hm?” Mas Afnan menoleh dengan lembut.“Ajarin aku menghafal juga dong,” ucapku sambil tersenyum malu.Mata Mas Afnan langsung berbinar. Senyumnya merekah hangat dan penuh antusias. “Boleh banget. Yuk, kita mulai sekarang!”Aku mengangguk cepat dengan ekspresi wajah girang bukan main. “Boleh. Tapi dari awal ya?”Mas Afnan mengangguk,

  • Bukan Pernikahan impian   Nyebelin Tapi Cinta

    “Mas, jawab ih! Kata Mas tadi aku korban novel?”Mas Afnan menahan tawa. Sudut bibirnya terangkat dalam senyum jahil yang sangat khas. “Iya,” katanya ringan.Aku menyipitkan mata. “Terus Mas tahu dari mana aku suka baca novel?”Mas Afnan melirikku sebentar, lalu kembali menatap ke jalan. “Kamu lupa ya pertemuan pertama kita?”Aku mengernyit. “Pertemuan pertama?”Mas Afnan terkekeh. “Di depan ruang sidang. Yang kamu nabrak aku sampai minuman kamu tumpah ke jas aku. Yang kamu buru-buru minta maaf dan langsung nyerocos nggak karuan?”Mataku terbelalak.Mas Afnan melanjutkan, “Padahal aku cuma mau bilang ‘makanya hati-hati’, tapi kamu salah paham duluan dan malah panik. Terus bilang, ‘maka apa? maka aku akan nikahi kamu’ persis kayak di adegan novel-n0vel yang kamu baca itu.”Mukaku langsung panas. “Astaghfirullah!&rdqu

  • Bukan Pernikahan impian   Ibu Direktur

    Aku menggenggam tangan Mas Afnan erat, saat dia membawaku berjalan keluar dari ruangan besar yang tak lain ruangan miliknya itu. Tanganku masih sedikit berkeringat, bukan karena udara yang panas, tapi karena jantungku tak kunjung tenang sejak tahu siapa sebenarnya suamiku.Langkah Mas Afnan mantap menuju lift. Aku masih sedikit melambat. Rasanya benar-benar masih gugup tak karuan.“Mas, kita mau ke mana lagi?” tanyaku hati-hati.Mas Afnan menoleh sekilas sambil tersenyum. “Ke aula. Aku mau kenalin kamu sama semua karyawan.”Aku terbelalak. Langkahku sontak berhenti. “Apa? Mas, aku malu,” ujarku lirih dan refleks menarik lenganku yang berada dalam genggamannya.Mas Afnan mengernyit. “Kenapa harus malu?” tanyanya sambil menatapku lekat.Aku menunduk. Pipiku memanas. “Aku cuma nggak biasa aja dilihat banyak orang.”Mas Afnan mendekat satu langkah. Tangannya meraih daguku lembut,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status