Share

43. The Truth Ryota Couldn't Deny

Author: SayaNi
last update Last Updated: 2025-05-20 06:55:22

Elara melangkah masuk perlahan. Pintu tertutup di belakangnya, menghilangkan suara dunia luar seketika. Ruangan itu tenang. Terlalu tenang.

Langit-langit dengan pencahayaan tersembunyi membuat kamar itu tampak lebih luas. Dinding sebelah kanan seluruhnya dari kaca tebal—jendela panorama satu sisi kapal, menghadap laut lepas tanpa batas. Gelombang biru terlihat bergerak lambat di bawah sana, seperti dekorasi digital, bukan nyata.

Di sisi kiri, tempat tidur king-size dengan seprai putih di tengah. Bingkainya dari kayu hitam dengan garis tajam. Tak ada ukiran. Hanya bentuk fungsional yang mahal.

Di sudut ruangan, sebuah meja kerja dari kayu hitam mengilat berdiri diam, lengkap dengan rak kecil dab lemari rahasia. Tertata, steril, tanpa kepribadian. Seperti kantor pribadi yang tak pernah benar-benar digunakan.

Di samping kepala tempat tidur, pintu geser mengarah ke kamar mandi.

Begitu dibuka, cahaya putih lembut menyala otomatis.

Marmer abu terang melapisi lantai dan dinding. Bak mandi me
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (1)
goodnovel comment avatar
lidiana aldiansyah
Bab ini yg sangat menggemaskan dan lucu, authior berhasil membangun karakter dengan sangat kuat, alurnya bagus dan semangat terus berkarya Thor
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   43. The Truth Ryota Couldn't Deny

    Elara melangkah masuk perlahan. Pintu tertutup di belakangnya, menghilangkan suara dunia luar seketika. Ruangan itu tenang. Terlalu tenang.Langit-langit dengan pencahayaan tersembunyi membuat kamar itu tampak lebih luas. Dinding sebelah kanan seluruhnya dari kaca tebal—jendela panorama satu sisi kapal, menghadap laut lepas tanpa batas. Gelombang biru terlihat bergerak lambat di bawah sana, seperti dekorasi digital, bukan nyata.Di sisi kiri, tempat tidur king-size dengan seprai putih di tengah. Bingkainya dari kayu hitam dengan garis tajam. Tak ada ukiran. Hanya bentuk fungsional yang mahal.Di sudut ruangan, sebuah meja kerja dari kayu hitam mengilat berdiri diam, lengkap dengan rak kecil dab lemari rahasia. Tertata, steril, tanpa kepribadian. Seperti kantor pribadi yang tak pernah benar-benar digunakan.Di samping kepala tempat tidur, pintu geser mengarah ke kamar mandi.Begitu dibuka, cahaya putih lembut menyala otomatis.Marmer abu terang melapisi lantai dan dinding. Bak mandi me

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   42. Floating Prison

    Sudah seminggu berlalu.Ryota tidak menyentuh Elara selama itu. Tidak menuntut haknya. Tapi... ia selalu pulang sebelum makan malam. Duduk diam, menghabiskan semua masakan Elara tanpa komentar. Lalu malamnya, tidur di ranjang yang sama—memeluk Elara dalam diam.Dan saat Elara membuka mata di pagi hari, Ryota selalu sudah menghilang.Pagi ini hari libur. Elara tak punya rencana, kecuali menghabiskan waktu bersama Anya di taman belakang seperti minggu lalu.Tapi Ryota sudah punya rencana sendiri.Pergi berkencan dengan kapal pesiar mewah miliknya. Kapal yang hampir tak pernah digunakan kecuali untuk hal-hal penting. Kapal itu bukan sebagai alat transportasi, melainkan wilayah aman. Tempat transaksi politik rahasia dilakukan, jauh dari jangkauan yurisdiksi negara mana pun.Tak bisa dilacak. Tak bisa disadap. Tak bisa diganggu dari luar. Di ruang makan, Ryota menyeruput perlahan kopi yang baru saja diseduh oleh barista pribadinya. Bunyi hak sepatu memantul di sepanjang koridor marmer, m

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   41. Intoxicating Attention

    Pintu kamar terbuka. Langkah kaki Ryota tak bersuara di atas karpet. Elara membuka matanya, pelan. Sudut matanya menangkap sosok Ryota, sudah berpakaian rapi—kemeja putih yang dipadukan dengan celana abu gelap, jam tangan sudah melingkar di pergelangan. Wajahnya seperti biasa, tenang dan dingin, seolah beberapa menit lalu tak ada yang terjadi. Tanpa banyak bicara, Ryota meletakkan sebuah paper bag di atas nakas.“Kau ingin aku membantumu?” tanyanya datar—tapi bukan tawaran manis, hanya sekadar formalitas.Elara menjulurkan tangan dari balik selimut dan menarik tas itu pelan. “Tidak perlu,” ucapnya.Ia mengintip isi tas. Baju baru. Pakaian dalam. Bahkan lotion kecil beraroma lembut.Ryota selalu detail. Tapi entah kenapa, itu justru membuatnya makin tidak nyaman.Elara menunggu Ryota pergi. Tapi pria itu tidak bergerak. Ia hanya berdiri di sana, mengamatinya.“Kamu nggak keluar dulu?” tanya Elara sembari sibuk mencari celana dalam di balik kain halus itu.Ryota hanya menaikkan alis.

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   40. Cleansed by the Monster

    Elara menoleh ke samping, malu. Ia tak bisa membantah, tadi ia memang tidak menolak. Bahkan dalam mimpi, ia menikmati buah pirnya. “Saya… mimpi makan buah pir,” bisiknya pelan. Ryota diam sejenak, lalu mengangkat alis. “Oh ya?” Elara tetap tidak berani melihat ke arah suaminya itu, tapi kali ini ia memberanikan diri untuk bicara. “Kamu nggak seharusnya melakukan itu tanpa izin.” Ryota masih menahan kedua tangannya, tanpa berkata apa-apa. Elara menelan ludah. “Kita harus buat kesepakatan. Supaya kamu nggak semena-mena.” Ryota akhirnya bicara. “Kalau kau merasa aku memperlakukanmu semena-mena, kau bisa berhenti.” Elara lekas menatap suaminya. “Berhenti?” tanyanya semangat. Ryota mengangguk. “Ya berhenti bekerja menjadi istriku dan ibunya Anya. Dan kembalikan sepuluh kali lipat dari semua yang sudah kau terima.” Elara terkesiap. “Itu menjadi semakin tidak adil,” Ryota menatapnya lama, lalu tersenyum miring “Kapan dunia pernah adil?” “Kalau begitu…” bisiknya lirih

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   39. The Choices Elara Can’t Make

    Ryota tahu jika shalat lima waktu adalah kewajiban seorang muslim. Tapi, ia belum mau tobat dalam waktu dekat. Ryota menopang dagunya, dan memikirkan mitigasi risiko. Jika ia mulai shalat, lalu rutin, lalu berubah... kemungkinan ia menjadi orang baik akan bertambah besar. Dan itu... bisa jadi masalah. “Kamu… benaran muslim kan?” Elara kembali bertanya karena melihat Ryota yang kelamaan berpikir hanya pekara shalat. “Tentu,” jawab Ryota cepat, mantap. “Aku punya kamar pribadi di lantai tiga.” Elara tampak ragu sejenak, lalu mengangguk. “Oke.” “Aku biasa melakukan hal-hal pribadi di sana,” lanjut Ryota, nadanya tenang, nyaris diplomatis. “Oh, saya mengerti. Kamu selalu sholat di sana, dan… kadang tidur di sana, kan?” Ryota tersenyum kecil, karena baru saja memenangkan negosiasi. “Ya, seperti itu.” Ia membalikkan badan dan keluar. Pintu kamar ditutup dengan bunyi lembut. Ryota memang naik ke lantai tiga. Tapi bukan untuk sholat di kamar pribadi yang lain. Ada ruang

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   38. Between Worship and Power

    Elara menahan napas. Dia tidak suka? Salah masak? “Kalau kamu tidak suka, saya bisa buatkan yang lain,” katanya cepat. “Tidak.” Ryota menarik kursi dan duduk. Ia mengambil garpu. “Aku akan memakannya," katanya kemudian. Elara memperhatikan Ryota dari sudut meja makan. Gerakan pria itu tenang, tidak agresif, tapi tetap tak bisa dibaca. Apakah itu artinya dia sudah tidak marah, kan? “A-anu...” Elara memberanikan diri bicara. “Saya sudah memutuskan ingin mengambil program studi psikologi.” Garpu di tangan Ryota berhenti setengah jalan. Ia menoleh, menatap Elara. “Kampus?” tanyanya singkat sebelum melanjutkan suapan pastanya. “Kampus X,” jawab Elara mantap. Ryota menatapnya beberapa detik. Datar. Tanpa senyum. Lalu akhirnya ia bertanya—datar pula. “Di antara banyak kampus, kenapa kau memilih kampus itu?” Elara menunduk. “Di antara semua pilihan, kampus itu yang biaya kuliahnya paling murah…” Klentang! Garpu di tangan Ryota jatuh ke piring, menghantam porselen de

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   37. Nanny vs Mrs. Kenneth

    Dua pengasuh Anya makan malam di dapur sambil berkeluh kesah. "Sop, kamu ngerasa nggak ... kalau kita sekarang kayak makan gaji buta?" tanya Rena salah satu pengasuh Anya. Sophie menelan potongan melon yang dikunyahnya sebelum menjawab, "Iya juga. kayaknya semua kerjaan kita udah diambil alih." "Apa kita resign aja ya?" Usul Rena, "Nggak enak rasanya terima gaji tanpa kerja.” "Eh, jangan! Sayang, Gaji di sini gede!" "Iya sih." Shopie berpikir sejenak. "Kok bisa ya pejabat duduk manis makan gaji buta? Aku kok kek ngerasa nggak enak terima gaji dari Bu Rowena." Sophie mendesah, lalu menyandarkan punggung ke sandaran kursi kayu di dapur itu. “Masalahnya, yang ambil alih kerjaan kita itu bukan orang sembarangan,” kata Rena pelan. “Istri baru nya tuan Ryota." "Kira kira tuan Ryota nemu di mana ya? udah cantik, baik pula. Aku kira dulu pengasuh baru untuk non Anya. Nggak tahunya calon istri," sahut Shopie. “Anya juga lengket banget. Biasanya dia susah banget buat tidur,"

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   36. Kebosanan Daris

    Elara segera menangkap momen itu sebagai celah untuk kabur. “Ayo, Anya. Kita pergi sekarang. Nanti terlambat.”Tanpa menoleh lagi, Elara menggandeng Anya pergi—meninggalkan Ryota yang masih diam menahan nyeri. Mata pria itu menyipit menatap punggung dua perempuan yang kini menjauh—yang satu mungil dan penuh energi, yang satu lagi… terlalu banyak kejutan dalam tubuh lemahnya."Kualat?" gumamnya, mengulang kata yang tadi dilontarkan Anya dengan tawa polosnya.Alis Ryota terangkat.Dari mana putrinya tahu kosa kata seperti itu?Sementara di sudut ruang makan, Rowena masih tetap berdiri tenang. Diam. Tapi bukan tanpa peran.Tanpa suara, hanya dengan tatapan singkat dan isyarat halus, ia telah mengirim perintah kepada para pelayan dan pengasuh Anya untuk segera pergi meninggalkan ruangan sebelum tangan Ryota menahan kepala Anya, bahkan sebelum tuannya itu mendekati Elara.Instingnya sebagai kepala pelayan terlalu terlatih untuk mengabaikan gelagat tuannya. Lima belas tahun ia mengabdi p

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   35. Ryota Kualat

    Elara yang terkejut mendorong dadanya, tapi Ryota segera menangkap pergelangan tangannya, menguncinya di atas kepala. Ciumannya menjadi semakin dalam, dan menuntut. Napas Elara terputus-putus, lidah mereka berpaut dalam tarikan emosi yang tak terbendung. Tangan Ryota mulai menjelajahi tubuhnya, lalu dengan sengaja menuntun tangan kirinya turun… menyentuh sesuatu di balik selimut yang menyelimuti mereka.Ryota terus menciumnya, mengaburkan kesadarannya. Tapi dari apa yang dirasakan tangannya… itu keras, dan berdenyut, seolah hidup dalam genggamannya. Benda sebesar ini? Pantas saja… rasanya begitu menyakitkan. Mati! "Kalau kau sudah selesai menyapanya… dia akan masuk," bisik Ryota di sela ciumannya, napasnya membakar kulit Elara.“T-tidak… tunggu. Itu…” suara Elara bergetar.“Berdoa dulu?” bisik Ryota, lalu melafalkan doa pendek itu dengan lancar. Suaranya tenang, kontras dengan gejolak yang bergemuruh di antara mereka.Sebelum Elara sempat merespons, Ryota membalik tubuhnya dengan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status