Zio sampai di rumahnya pukul dua belas malam. Terlalu asyik mengobrol dengan Kahfi, Zio sampai lupa waktu. Padahal biasanya jam sembilan Zio sudah berada di rumahnya.
"Kamu sudah pulang, Nathan?"
Suara Sri dari dalam kegelapan sedikit mengagetkan Zio. Sri menyalakan lampu ruang tengah, dia tersenyum kepada Zio sementara Zio hanya memasang wajah datar malah terkesan dingin.
"Kamu dari mana? Sudah makan? Eyang tadi bawa gudeg sama sate usus. Eyang minta Narti angetin ya? Kita makan."
"Gak usah. Nathan udah makan."
Sri mencoba tersenyum. "Ya sudah, sana ke kamar. Istirahat. Jangan lupa cuci tangan dan kaki dulu, Nat-"
Brak!
Suara pintu kamar yang ditutup menghentikan ucapan Sri. Sri memegang jantungnya. Belakangan ini, dia sering merasa jantungnya mudah sekali merasa sakit. Lebih tepatnya, setelah dia mengetahui fakta kalau kedua cucu kebanggaannya ternyata bukan darah daging Pandu. Belum lagi kenyataan lainnya kalau Pandu didiagnosa man
Fina menatap rumah Zio dengan ragu. Dia masih berdiri di halaman rumah Zio sementara teman-teman satu kelompoknya sudah mulai memasuki rumah. Jujur, berkunjung ke rumah Zio sekarang ini rasanya aneh, tidak seperti dulu sebelum keduanya memiliki orang lain di hati masing-masing.Fina berbalik dan kaget mendapati Zio berada dua langkah di belakangnya. Zio pun sedang menatap rumahnya dengan ekspresi yang terlihat enggan. Padahal biasanya Zio semangat sekali kalau dikunjungi teman-temannya."Zi ....""Cari tempat lain aja yuk, Fin. Cafe, mall, lapangan, sungai, gunung atau laut juga boleh."Fina mengernyit. "Kenapa?""Rumahku ada Voldemort sama Cruella.""Hah?"Fina melongo mendengar penjelasan Zio sementara Zio sama sekali tak menoleh pada Fina."Woi, Zi. Tuan rumah kok malah bengong di depan. Buruan, kita dijamu. Keluarin apa kek, bakso, mie ayam, opor, bahkan cilok juga gak masalah." Yudho melongok dari dalam rumah.Zio t
Fina menatap ponselnya. Ada beberapa chat yang berasal dari para sahabatnya, salah satunya Kahfi. Seperti biasa, ucapan selamat pagi, jangan lupa makan, jangan lupa sholat, selamat belajar menjadi bahasan sehari-hari antara Kahfi dan Fina. Fina yang sedang terkena efek virus merah jambu tentu merasa berbunga-bunga."Fina! Ayok berangkat.""Iya Mas."Fina segera menaruh ponselnya dan segera keluar setelah mengambil jaketnya."Ngambil apa sih, Fin? Lama banget. Gak boleh bawa HP loh!" Reihan menatap tajam sang adik lewat pantulan cermin tengah."Iya Mas Rei. Kan tadi Fina cuma ngambil makalah yang ketinggalan sama jaket. Ish, lagian temen-temen Fina juga banyak yang bawa masa Fina gak boleh," gerutu Fina.Zaza yang mendengar sedikit perdebatan pendapat antara adik dan kakak hanya tersenyum."Kamu sudah bawa surat ijin cutinya, Dek?""Sudah, Mas.""Oke."Reihan segera melajukan mobilnya menuju ke sekolah.
Azizah terdiam. Dia hanya bisa menunduk, pasrah dengan keputusan abi dan uminya."Besok kamu langsung berangkat ke Madiun. Abi dan Umi sudah meminta ijin pada pihak sekolah, kamu tidak bisa mengikuti perpisahan sekolah.""Tapi Abi, Zizah ingin melepas kangen dulu sama teman-teman.""Buat apa? Mereka pasti paham, kok.""Tapi ....""Gak ada tapi-tapian, Zizah. Sejak kapan kamu menjadi pembangkang? Abi mendidik kamu agar menjadi anak penurut bukan pembangkang!" Manaf berkata dengan keras membuat Azizah ketakutan dan hanya bisa diam. Zaenab sendiri menatap sang anak dengan kesedihan, sejak kecil Azizah selalu dididik dengan keras. Terkadang Zaenab merasa kalau suaminya terlalu memaksakan kehendak, tapi Zaenab sendiri tidak berani mengucapkan pendapatnya. Sehingga Zaenab hanya bisa membantu sang putri dengan cara menghiburnya.Sementara di tempat lain
Semua mata menatap tiga sosok yang baru keluar dari sebuah mobil. Decak kagum memenuhi bibir orang-orang yang menatap tiga keluarga Evrard yang sedang berjalan menuju ke dalam gedung SMADA.Zio selalu tersenyum ke arah orang-orang yang menyapanya. Pun dengan Emma dan Raphael."Aku suka orang Indonesia, mereka ramah." Raphael berbisik diantara aktivitasnya membalas senyuman orang-orang yang dia jumpai."Really?""Yes, karena itu aku jatuh cinta sama kamu, Emma. Ingat itu."Emma tersipu malu, sementara Zio hanya terkekeh melihat sang ayah yang tengah menggoda sang ibu."Zizi!" Sebuah teriakan yang dia sangat kenal mampir di telinganya.Zio menoleh ke arah kiri. Terlihatlah Fina yang memakai kebaya warna peach dengan rambut disanggul gaya modern menghampirinya. Mau tak mau Zio terpana.'Ck. Ini cewe
Walau sudah dinyatakan lulus, Fina masih berjuang keras agar bisa masuk ke kampus incarannya. Dia rajin mengikuti les, privat dengan kedua orang tuanya. Dan kakak-kakaknya."Istirahat dulu, Fin. Punya keinginan boleh tetapi jangan lupa membahagiakan diri. Hasil akan sesuai usaha kita. Tapi kalau gagal, itu artinya kita sedang diuji kesabarannya sama mau diganti dengan yang lebih baik.""Iya, Pah."Fina memilih menyandar di bahu Rayyan, Rayyan terkekeh menyadari jika suatu hari nanti Fina akan seperti Fiqa. Dulu sebelum menikah dengan Elang, Fiqa pun suka bermanja-manja padanya. Tetapi setelah punya Elang, boro-boro dah."Kenapa Papah ketawa?""Oh, papah lagi membayangkan. Mungkin suatu hari nanti kamu gak bakalan manja-manja sama papah lagi, soalnya udah ada mamas ketemu gede yang jadi tempat bermanja kamu.""Hehehe. Tapi papah tetap papah terbaik.""Ya iyalah.""Gak akan tergantikan, Pah.""Tentu.""Kolak pisang
Berulang kali Azizah melafalkan zikirnya. Sudah satu minggu dia di salah satu ponpes yang ada di Madiun. Selama satu minggu juga ia jalani hari-harinya dengan kesedihan. Tak jarang, Azizah sering menangis di malam hari, entah saat sedang tiduran, di kamar mandi bahkan saat sujud malam."Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah."Azizah terus menerus melafalkan zikirnya. Dia berharap dengan terus mengingat Allah, segala kesedihan dan kegundahan di hatinya segera hilang."Zah." Azizah menghentikan zikirnya lalu menoleh. Terlihat Muslimah, salah satu rekan kamarnya sekaligus seniornya datang dan membawakan makanan."Berhenti dulu, lalu makan. Jangan sakiti tubuhmu dengan tidak makan. Percuma kamu berzikir terus tetapi mengabaikan kesehatan. Allah jelas gak suka."Azizah menghentikan zikirnya, menaruh tasbih di tempatnya dan melepas mukena, melipat dan menaruhnya di atas nakas. Dia segera beralih ke samping muslimah."Maaf ya Mbak Im
Sri duduk dengan tenang sambil mendengar penjelasan dari dokter spesialis jantung di depannya. Sesekali Sri tersenyum menatap sang dokter muda. Dia jadi teringat pada cucunya."Ini hasil CT scan sekaligus stress test yang sudah kami lakukan pada jantung Ibu, menurut kami lebih baik Ibu segera melakukan pemasangan ring demi keselamatan ibu."Hening. Dokter berperawakan tinggi menjulang dengan wajah blasteran itu kembali bersuara setelah menjeda kalimatnya."Saya sarankan Ibu segera memberitahu keadaan Ibu kepada keluarga. Karena jika terlambat, itu bisa berakibat fatal. Ibu bisa mencoba berobat di sini atau di Jogja. Ada banyak rumah sakit rujukan bagus yang bisa saya rekomendasikan untuk Ibu jika Ibu memilih berobat di Jogja.""Terima kasih atas sarannya, Dok. Akan saya pertimbangkan.""Saya harap Ibu mau melakukan usul saya.""Saya belum tahu dokter. Ya sudah terima kasih Dokter Reihan, saya pamit dulu."Reihan mengangguk. Sete
Emma menatap dari kejauhan kamar rawat sang ibu. Tadi pagi, Pandu mengabarkan jika Sri sudah sadar. Dan Sri mencari-cari Emma dan Zio. Namun baik Emma maupun Zio sama sekali tidak menggubris permintaan Sri.Zio malah memilih jalan dengan Zaky dan Yudho. Sementara Emma beralasan dia sibuk mau bertemu dengan temannya. Bukannya bertemu dengan teman, Emma malah mengawasi keadaan Sri dari kejauhan. Dia sama sekali tak mau mendekat. Sakit hati Emma lebih besar dari pada rasa sayangnya pada sang ibu.Gerakan mencurigakan Emma terlihat sekali oleh Fina yang baru saja datang."Tante."Panggilan Fina membuat Emma kaget. Dia merasa malu karena terpergok melakukan tingkah absurd. Emma tersenyum pada Fina dan dibalas oleh Fina dengan tak kalah manis."Fina.""Halo, Tante." Fina mengambil tangan Emma dan menciumnya takdim membuat Emma terpukau. Entah kenapa sejak pertama berjumpa, Emma sudah menyukai Fina. Bagi Emma, Fina ini seperti cerminan