Share

4. Tak Ada Kesempatan Kedua

Fina kaget mendapati sosok lelaki di depannya. Dia melirik ke arah Suster Reta. Suster Reta hanya bisa meringis sambil memasang mimik meminta maaf karena tidak bisa mencegah kedatangan si pria blasteran berdarah Perancis itu.

"Hai, Fin. Aku sengaja datang mau ngajak kamu makan siang. Ikut aku yuk? Aku mau ngajak kamu ke tempat biasa kita makan bareng Jo."

Fina hanya bersedekap lalu menatap sosok lelaki di depannya.

"Kamu tahu ini hari apa?"

"Senin."

"Kamu tahu kebiasaanku apa setiap hari senin dan kamis?"

"Kebiasaan? Kebiasaan apa?"

Nathan terlihat mengerutkan kening. Dia berusaha mengingat-ingat dengan hari senin. Senin itu kan awal hari setelah libur, anak sekolah biasanya upacara, lalu orang muslim biasanya puasa sunah.

"Kamu puasa?"

"Iyup. Jadi maaf aku gak bisa ikut kamu, lagi pula aku sibuk. Habis ini aku ada janji dengan dosen."

Fina segera meminta Suster Reta mengusir Nathan. Karena mendapat ijin dari Fina, Suster Reta pun tak kalah semangat mendorong tubuh Nathan agar bisa keluar dari ruangan calon spesialis obgyn kesayangannya.

"Udah deh, Dokter Nathan gak usah ganguin Mbak Fina lagi. Kalau mau minta maaf karena menyesal itu dari dulu-dulu, Dok."

"Tapi, Sus. Aku itu —"

"Gak ada tapi-tapian. Udah sana, Dokter pergi aja!"

Entah mendapat kekuatan darimana Suster Reta yang badannya kurus langsung mampu mendorong Nathan yang memiliki perawakan tinggi besar.

Nathan hanya bisa menghela napas pasrah. Sepertinya keinginannya untuk mendapatkan maaf dan kembali merajut hubungan dengan Fina tidaklah mudah.

Hari berikutnya, hanya kekecewaan demi kekecewaan yang menghampiri Nathan. Karena Fina bersama para calon spesialis obgyn yang lain sedang melaksanakan ujian dan tidak datang ke rumah sakit. Ingin menghampiri kost-an Fina, Nathan belum berani. Apalagi jika mengingat di sana ada teman-teman kost Fina yang menjadi saksi bagaimana sikap tidak gentlenya saat meninggalkan Fina begitu saja di hari pernikahan mereka. Belum lagi ibu kost Fina juga sangat membencinya.

"Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Ah, iya. Jo."

Nathan jadi ingat pada Jo. Sosok sahabatnya yang juga berkawan baik dengan Fina.

"Iya, Nathan. What's wrong?" Terdengar suara di seberang telepon menjawab panggilan Nathan.

"Please, help me!"

"What can i do for you?"

"It's about Fina?"

"What's wrong with her?" Tampak suara di seberang sana terdengar panik, itu yang ditangkap oleh telinga Nathan.

"She is ok."

Ada dengkusan lega yang terdengar. Nathan terkekeh. Jo memang selalu saja begitu. Setiap ada sesuatu dengan Fina dia akan khawatir berlebihan. Dasar! Dia saja yang sudah jadi mantan gak sebegitunya.

"Lalu, kenapa kamu telepon aku? Dan ada apa dengan Fina?" Suara seseorang di seberang telepon kembali terdengar.

"Bantu aku buat balikan sama Fina."

Hening. Tidak ada suara untuk waktu yang cukup lama.

"Jo, Jo! Hei, Jo! Are you there? Kamu masih di sana?"

"Yes. I am here."

"Syukurlah. Bisa kamu bantu aku buat dapatin Fina?"

Hening. Tak ada jawaban di sana.

"Jo, Jo. Hei Jo!"

"Kamu sendiri yang melepas dia, jadi jangan berharap bisa dapetin Fina lagi. Kamu paham watak Fina. Bukan sekali dia melakukan hal yang sama. Pernah dulu ada seorang lelaki yang memberinya janji-janji tapi dia bohongi Fina. Dia ingkar. Kamu tahu apa yang Fina lakukan? Dia memberinya maaf tapi bukan kesempatan. Dan, kurasa itu juga berlaku untuk kamu."

"Tapi we are not same. Aku teman Fina, dari dulu. Fina paham baik burukku. Dia selalu pengertian sama aku."

"Bukan pengertian, Nathan. Fina tak peduli dengan kamu. Entah dulu atau sekarang. Please, jangan melihat Fina dari kacamata kamu sendiri. Come on. Lihat fakta di sekelilingmu."

"Aku lihat kok, Fina ada di dekatku dan aku akan mendapatkan Fina kembali seperti dulu."

Suara tawa terdengar di seberang telepon.

"Kenapa kamu tertawa?" Nathan tak suka dengan suara tawa lawan bicaranya.

"Kamu terlalu percaya diri. Sorry, but i must say it. Jangan terlalu sombong untuk sesuatu yang belum tentu benar keadaannya. Sama seperti kasus perasaan Fina. Kamu bisa mengukur dalamnya samudera. Tapi hati? Gak ada yang tahu."

"Kamu ini ngomong apa sih, Jo? Aku gak ngerti."

"Aku cuma mau bilang, belajarlah melihat realita dan jangan lagi menjadi pemaksa. Sorry, my Mom datang. Aku harus mengantarnya belanja."

"Wait wait wait, Jo wait!"

Klik. Sambungan telepon terputus. Nathan sedikit berteriak. Dia tidak tahu lagi harus meminta bantuan pada siapa untuk mendekati Fina.

Sebenarnya ada keinginan bertemu Om Rayyan sekeluarga. Tapi, Nathan terlalu takut. Ancaman para lelaki di keluarga Nara masih terngiang-ngilang di otaknya.

"Kamu sudah menyakiti putriku, maka jangan harap ada kesempatan kedua buat kamu," ucap Rayhan tenang dengan tatapan tajam.

"Kamu pikir kesuksesan diraih dengan menyakiti hati seorang wanita? Justru wanitalah yang menjadi kunci kesuksesanmu!" sinis Reihan.

"Dengar ya Turunan Napoleon Bonaparte, balik sana kau ke asalmu. Jangan pernah berharap aku akan memberimu kesempatan deketin Fina lagi. Mending aku nyariin spesies Napoleon yang lain tapi baik hati, rajin menabung, setia dan bucin setengah mati. Minggat sana!" ancam Royyan.

"Ckckck. Ingat ya Nathan. Kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya itu akan selalu datang tapi tidak semua orang memberi kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya. Maka dari itu selalu ada kata penyesalan di akhir." Elang ikut memberikan wejangan dengan tatapan elangnya yang menghujam.

Nathan mendesah. Entah pada siapa lagi dia harus meminta tolong. Tiba-tiba Nathan teringat sesuatu. Nathan segera meluncur ke sana.

***

Fina tersenyum pada bayi berjenis kelamin perempuan yang baru saja terlahir dengan bantuannya. Kebahagiaan Fina adalah saat bisa membantu melahirkan anak-anak tanpa kendala dan dengan kondisi ibu dan bayi yang sama-sama sehat dan selamat.

Meski tidak semua pasien yang dia bantu selamat karena semua tergantung takdir Tuhan juga.

Beberapa tahun yang lalu, Fina pernah sedikit depresi karena tak bisa menyelamatkan seorang ibu yang dia tolong. Karena mengingat kondisi medan di tempat dia intership sekaligus ketersediaan sarana dan prasarana. Beruntung keluarga korban memahami bahwa semua ini memang sudah takdir dan mereka tak menyalahkan Fina. Mereka justru berterima kasih, karena pertolongan Fina, setidaknya bayi yang dikandung sang ibu selamat.

Perlu waktu seminggu bagi Fina agar keluar dari dalam kamar dan dari rasa bersalahnya. Tentu berkat bujukan sang sahabat yang rela mengarungi lautan dan sungai hingga bisa sampai di tempat Fina.

"Cantik ya, Dok?"

"Iya."

"Pengen gak Dok?"

"Pengenlah."

"Minta dong sama Mas Jo, buat segera bikin macem gini."

"Insya Allah. Doakan ya, Sus."

"Pasti."

Fina kembali menatap sang bayi dengan senyum selalu merekah. Cukup lama Fina berada di ruang rawat si bayi beserta sang ibu. Merasa sudah cukup, Fina pamit dan bersama suster Reta kembali ke ruangan.

Saat melewati lorong-lorong, Fina berpapasan dengan seorang wanita paruh baya. Fina dan sang wanita saling menatap. Wanita yang menjumpai Fina tersenyum ramah sementara Fina menatapnya dengan memasang mimik muka datar.

"Hai, Fin. Apa kabar?"

"Baik," sahut Fina dingin.

Sang wanita yang merasa jika Fina bersikap dingin merasa kikuk. Namun dia berusaha tersenyum dan menekan rasa bersalahnya. Ini demi sang putra yang dia cintai. Fina sendiri memilih bersikap dingin.

"Boleh tante bicara sama kamu?" 

"Boleh Tante, Tante mau ngajak Fina bicara dimana?"

"Kalau ke cafe yang sedikit privasi gimana?"

"Boleh."

"Oke. Kita —?"

"Fina naik mobil sendiri, Tante. Tante tinggal tunjukkin aja alamat cafenya."

"Baiklah."

Kedua wanita beda usia itu akhirnya pergi ke sebuah cafe yang nyaman dan juga sedikit privasi.

Sang wanita paruh baya sesekali meminum kopinya. Sementara Fina hanya diam, dia sedang puasa makanya tidak memesan apapun. Kalau senin kemarin dia puasa sunah kalau sekarang puasa untuk membayar hutang puasa ramadhan.

"Fina sekarang sibuk apa?" tanyanya sekedar basa-basi dan demi memecah kecanggungan.

"Kuliah, Tante."

"Oh, lanjut spesialis?"

Fina mengernyit.

"Bukannya Tante tahu kalau Fina langsung lanjut spesialis ya setelah lulus S1?"

"Eh, oh iya. Tante lupa." Dia benar-benar mati kutu menghadapi Fina. Bukan kenapa-kenapa. Rasa bersalahnya pada Fina terutama Nasha menjadi faktor utama.

"Tante mau ngomong apa?"

"Oh. Emmm, ini mengenai Nathan. Nathan —"

"Kalau itu ada hubungannya dengan keinginan Nathan. Fina minta maaf. Fina gak bisa."

"Fin."

"Sejak awal, hubungan kami terlalu dipaksakan. Tante harusnya tahu. kami hanya sebatas teman. Tapi Tante selalu memaksakan hubungan kami. Dan inilah buktinya."

"Nathan cinta sama kamu Fin? Percaya sama tante."

Fina menggeleng. " Bukan, Tan. Itu obsesi. Obsesi karena Nathan emang gak mau kalah saing dari Fina. Buktinya saat hari pernikahan kami tiba. Tapi Fina bersyukur, dengan kepergian Nathan akhirnya Fina dipertemukan dengan jodoh Fina yang sebenarnya?"

"Maksud kamu?"

Fina tersenyum. "Fina yakin, Tante dan Om pasti memata-matai Fina selama ini, harusnya Tante tahu dong cerita terakhir tentang Fina."

Sang wanita paruh baya menatap Fina tak yakin. Tentu dia mendengar kabar pernikahan Fina sebulan yang lalu tetapi dia tak yakin. Karena tidak ada undangan yang datang ke rumahnya.

"Kamu beneran udah nikah?"

"Iya Tante."

"Tapi tante gak diundang?"

"Memang belum resepsi Tan. Baru akad."

"Be-benarkah? Lalu Nathan gimana?"

"Ya gak gimana-gimana."

"Tapi dia?"

"Kita udah selesai Tante semenjak dia memutuskan sendiri tanpa melibatkan Fina dan keluarga Fina. Bahkan Om dan Tante menyetujui keputusan Nathan tanpa memandang Papah dan Mamah Fina."

"Bukan begitu."

"Tapi akhirnya memang begitu, Tan. Tante sekeluarga santai karena memilih bersembunyi ke Perancis. Sementara Fina sekeluarga memilih menghadapi cemoohan dan gunjingan dengan dada lapang. Sorry Tante, kesempatan selalu ada. Tapi tak semua orang mau memberi kesempatan. Jadi Fina berharap ini terakhir kali Fina diganggu oleh Nathan."

Meski terkesan jahat Fina memilih tegas karena memang seperti itulah dia diajarkan. Ini bukan pertama kali dia didatangi oleh seorang wanita yang mengaku ibu dari lelaki yang mencintainya dan meminta kesempatan yang kedua bagi sang putra. Sayangnya, Fina adalah pribadi yang memang mudah memaafkan tetapi tak mau memberi kesempatan untuk mengulang kenangan. Bagi Fina kenangan adalah kenangan. Cukup diingat sebagai penanda jangan sampai jatuh di jurang yang sama.

"Fina rasa gak perlu ada yang dibicarakan. Fina minta maaf Tante. Tapi sekali lagi. Semua sudah berubah. Fina permisi."

Fina melangkah dengan langkah tegap meninggalkan sang wanita paruh baya yang sudah menitikkan air mata. Dia merasa menyesal karena pernah berbuat keliru. Benar kata Fina, kesempatan selalu ada tapi tak semua orang mau memberi kesempatan atau bahkan menjatuhkan diri pada jurang yang sama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status