Share

3. Sang Masa Lalu

Sebagai calon spesialis obgyn kegiatan Fina di semester-semester terakhir banyak sekali berhubungan dengan praktek langsung di rumah sakit yang ditunjuk oleh pihak kampus. Bahkan tak jarang dia juga harus menjalani piket malam.

"Dok."

"Hai Sus Reta."

"Jaga ya Dok."

"Iyups."

"Moga-moga gak ada keadaan darurat ya Dok. Malam ini, saya pengen sedikit santai. Hehehe."

Fina hanya tersenyum saja. Lalu di dan Suster Reta memilih mengobrol. Obrolan bersifat random dan cukup membuat keduanya bisa mengalahkan kantuk.

Pukul sepuluh malam, tiba-tiba perawat dari bagian IGD yang meminta bantuan Fina. Karena di IGD ada keadaan gawat darurat. Pasien mereka adalah ibu hamil. 

Fina segera berlari menuju ke ruang IGD. Sampai di sana, dia segera melihat kondisi sang ibu hamil. Setelah melakukan pemeriksaan, Fina segera meminta sang ibu dipindahkan ke ruang operasi. Dia sendiri menghubungi dokter-dokter senior.

Satu jam kemudian terdengar suara bayi dari ruang operasi. Fina mengucapkan syukur karena sekali lagi dia berhasil menyelamatkan ibu hamil dan bayinya. Meski masih dipantau oleh dokter senior.

"Selamat ya Fina, semoga kelak kamu menjadi dokter yang hebat dan amanah. Terus belajar ya."

"Terima kasih Bu, mohon bimbingannya selalu."

"Tentu."

Dokter Eri, menepuk bahu Fina lalu segera berlalu. Fina sendiri masih melanjutkan tugasnya. Setelah selesai dia segera kembali ke ruangannya. Sementara si ibu hamil dan putranya dibawa menuju ruang perawatan.

"Alhamdulillah."

Fina segera mengambil ponselnya, dia bermaksud mengabarkan pada Mas Jo kalau hari ini dia berhasil lagi membantu orang melahirkan.

Senyum Fina terkembang begitu mendapat balasan dari Mas Jo. Mereka pun asik berkirim pesan sampai pagi.

Selesai menjalani tugas piketnya, Fina bermaksud kembali ke kostan. Saat melalui lorong rumah sakit, dia hampir saja menabrak sosok lelaki yang sedang berjalan terburu-buru. Untung Fina bisa mengerem tubuhnya sehingga keduanya tak bersentuhan.

"Maaf, saya tidak se— Fina?" lirihnya.

Sosok lelaki itu menatap Fina kaget pun dengan Fina. Dia pun tak kalah kaget melihat lelaki blasteran di depannya. 

Cukup lama keduanya bertatapan hingga Fina kemudian berdehem dan memilih melanjutkan jalannya. Namun sebuah cekalan di lengan kirinya menghentikan langkah Fina.

Fina menatap tak suka kepada lelaki yang dengan kurang ajarnya menyentuhnya.

"Lepas! Kita bukan muhrim!" hardik Fina tegas.

Lelaki blasteran itu melepas cekalannya pada lengan Fina lalu tersenyum sedih.

"I'm sorry. But Please Fin, ijinkan aku ngomong sebentar sama kamu. Sebentar aja. Please."

Ada nada memohon dari suara sang lelaki, Fina sedikit dilema. Namun akhirnya dia mengangguk. Ya, memang banyak hal yang perlu mereka selesaikan. Dan harus segera diselesaikan.

"Kita bicara di taman aja gimana, Fin? Atau —"

"Oke."

Tanpa banyak kata, Fina langsung melangkah menuju ke taman rumah sakit. Lelaki itu pun mengekori langkah Fina.

Sang pria menatap punggung Fina dengan penuh damba. Andai saja dia dulu tak melakukan kesalahan, pasti sosok di depannya sudah menjadi istrinya.

'Bodoh! Kamu terlalu berharap. Dasar bodoh!' Si pria merutuki dirinya terus menerus dalam hati.

Fina duduk di salah satu kursi pajang, sengaja dia duduk di posisi paling ujung. Sang pria pun duduk di ujung yang lain.

Setelah keduanya duduk, tak ada satu pun yang berbicara. Mereka bersyukur, suasana rumah sakit yang masih sepi menghindarkan keduanya dari aksi tontonan para pengunjung yang lain.

"Kamu apa kabar, Fin?"

"Alhamdulilah baik."

"Syukurlah."

Hening. Keduanya sama-sama diam. Fina sibuk menatap ke depan sementara sang pria sesekali melirik ke arah Fina. Mau tak mau sang pria merasa kagum dan jatuh cinta kembali kepada Fina. Wanita cantik yang selalu membuatnya terpesona tetapi harus dia lepaskan gara-gara kesalahan yang menurutnya sepele namun fatal bagi Fina.

"Gak nyangka ya Fin, udah hampir tiga tahun gak ketemu. Keluarga kamu gimana kabarnya?"

"Keluargaku baik."

"Oh. Ehmmm ... kamu lanjut spesialis?"

"Iya."

"Oh, hebat. Ternyata lanjut. Aku pikir ...."

"Kamu pikir hanya karena aku gagal nikah aku gak lanjut gitu?"

Sang pria terhenyak. Dia yang tadinya menatap Fina intens memilih memalingkan muka ke arah lain. 

Hatinya merasa bersalah lagi. Hanya demi sebuah ego dan kesempatan yang dia pikir tidak akan datang untuk kedua kalinya dia sampai meninggalkan Fina. Dan bodohnya dia hanya memberi tahu Fina dengan sebuah kalimat lewat pesan yang mengatakan dia menunda pernikahan mereka.

Bukannya mendapat apa yang dia inginkan, sang pria malah kehilangan semua kesempatan. Gagal dan gagal. Bahkan dia tak berani mendatangi Fina meski dia tahu, mereka berada di daerah yang sama yaitu Jogja.

"Maafkan aku Fin. Aku benar-benar minta maaf. Tiga tahun ini, aku gak berani ketemu sama kamu. Meski Mom dan Dad selalu memintaku untuk menemui kamu, tetapi aku malu. Aku gagal Fin. Aku gak punya muka buat ketemu kamu lagi."

Fina hanya tersenyum sinis. Tentu dia sangat ingat bunyi pesan chat dari mantan calon suaminya waktu itu.

'Fina. I'm sorry. Tapi aku harus mengambil kesempatan ini, ini sekali seumur hidup. Aku harap kamu ngerti, kita tunda dulu pernikahan kita. Aku janji aku akan segera kembali ke kamu. I love you.'

Fina tertawa sambil menangis saat itu, mana mungkin prianya mengatakan cinta tapi malah meninggalkan dia di hari seharusnya mereka menikah.

Fina bersyukur dia memiliki keluarga dan para sahabat yang selalu mendampingi dan memberinya semangat. Bahkan keluarganya lah yang memberi dorongan pada Fina untuk melanjutkan spesialisnya yang sempat tertunda gara-gara cuti mau menikah.

Lama keduanya terdiam. Hingga sang pria kembali bersuara.

"Fin. Masih adakah kesempatan untukku? Aku ingin membayar semua perbuatanku dulu padamu."

Sang pria tersenyum lalu menatap Fina dengan tatapan permohonan.

"Mom dan Dad sudah membuatkan rumah sakit untukku. Aku ingin mengembangkannya bersama kamu. Aku gak akan kembali ke Perancis. Aku mau menatap di sini bersama kamu. Kamu mau, 'kan? Kamu mau ngasih aku kesempatan?"

Fina hanya tersenyum sinis, lalu dia menatap sang lelaki dengan tatapan tajamnya.

"Kamu tahu gak, ada hal yang bisa diperbaiki tapi ada juga yang gak bisa diperbaiki. Dan untuk kita, aku minta maaf. Gak akan ada lagi kita di masa depan."

"Maksudmu? Kamu udah gak cinta sama aku?"

Fina tersenyum. "Bukankah sejak awal kita hanya teman. Aku sudah berkali-kali mengatakan kalau aku hanya menganggap kamu teman. Tapi kamu memintaku untuk menjadi istrimu. Kamu bilang, dari pertemanan bisa kok menuju pernikahan yang bahagia. Kamu meyakinkanku terus padahal saat itu aku gak yakin. Karena kamu tahu, saat itu hatiku masih gamang dengan perasaanku sendiri. Tapi kamu terus menyemangatiku hingga aku mau. Dan ketika aku mencoba yakin. Kamu banting aku dengan ego kamu."

"Fin," ucapnya sedih.

"Aku minta maaf, aku gak bisa kembali lagi sama kamu."

Fina berdiri lalu menoleh ke arah sang pria.

"Udah siang, aku harus pulang. Nanti jam sembilan aku ada janji sama dosen. Aku butuh istirahat dulu. Assalamu'alaikum."

Fina berlalu meninggalkan sang pria yang hanya bisa diam. Dia ingin mengejar Fina tetapi dia yakin percuma. Karena Fina adalah sosok keras kepala dan teguh pendirian. 

Sang pria memilih memberi waktu pada Fina. Tapi dia berjanji, lain kali dia akan kembali menemui Fina dan mencoba mengambil kembali hati Fina.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status