Rossa pagi ini tersenyum riang membayangkan sesuatu yang melintas di otaknya. Dia tidak bisa menjelaskan perasaannya setelah otaknya memberi perintah untuk memberi kesempatan. Ya. Rossa memutuskan untuk memberi kesempatan pada Tristan. Siapa tahu, lelaki itu adalah jawaban dari doanya selama ini. “Senyum aja dari tadi, Ros. Sampai-sampai kopinya mau penuh itu.” Refleks Rossa berjalan mundur saat sebuah tangan melintas dekat perutnya. Itu terlalu dekat. Dan lelaki itu adalah Rudi. Mereka bertemu lagi di pantry, sebab Rossa memang sedang menyiapkan segelas kopi untuk dirinya sendiri. “Rudi?” “Astaga, beneran melamun ternyata. Tadi gue malah nyapa, tapi gak disapa balik. Gue pikir lo emang lagi kesel.” Rudi terkekeh, “ini, awas loh. Lain kali hati-hari, kalo kena air panas tangan lo bisa memar.” Situasinya cukup canggung. Apalagi fakta yang baru Rossa dapat. Sebisa mungkin Rossa menjaga jarak. Dia tidak ingin merusak hubungan pertemanannya dengan Lisa. Wanita yang banyak membantun
Sayangnya, tim dari divisi utama tidak mendapatkan informasi apapun dari Rossa yang keukeuh menutup mulutnya. Sampai-sampai di sogok nasi padang Pagi Sore pun, Rossa tetap menolak. Bagaimana mungkin Rossa mengatakan apa yang terjadi di dalam? Bisa jadi satu kantor heboh dengan apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi tahu dia ada hubungan dengan Tristan. Belum juga terjadi, tapi membayangkan apa yang akan dia dapatkan, Rossa sudah ngeri sendiri. “What the? Demi apa?” Suara heboh Superstar membuat perhatian Rossa yang sedang tertuju pada layar di depannya teralihkan. Lelaki itu langsung membuat kerumunan. “Apa-apa, lo kenapa heboh banget?” “Please, ini pak bos gak sih?” sekali lagi Super Star menunjukkan ponselnya, “ini pak bos kan?” “Demi?” Mbak Lis ikutan nimbrung dan memperhatikan dengan seksama, “ini emang pak bos, dilihat dari sudut pluto-pun ya emang dia. Tapi pertanyaannya, siapa cewek ini?” Mata Rossa membulat. Gambar itu? “Wahh…pak bos ada cewek baru lagi?” Hana memberi o
Tristan bolak balik di depan mobil sambil menatap pergelangan tangannya. Sudah lebih dari beberapa jam Rossa tidak kunjung membalas pesannya. Dia takut jika terjadi hal yang sama dengan wanita itu. Sudah polos, lugu lagi. Tristan tidak bisa membayangkan apa yang ada dipikirannya saat ini. “Jake, lo temenin gue sekarang.” “Eh…huh?” Jake yang sudah hampir masuk ke dalam mimpi langsung terbangun karena suara Tristan, “kenapa bos? Sudah pagi kah?” wajah Jake seperti hilang arah, dia baru saja kehilangan jejak mimpinya. “Gue potong gaji lo.” “SIAP. Ada apa, bos?” Jake langsung sigap bangkit berdiri. Nasib…nasib. Tadi dia sudah hampir tidur tapi Tristan mendadak berdiri di depan pintu apartemennya. Bahkan tanpa mengatakan apapun, lelaki itu langsung menyeretnya pergi. Keduanya sudah masuk ke dalam club. Untungnya klubnya tidak terlalu ramai, mata Tristan langsung tertuju ke arah tengah. Tepatnya dimana Rossa sedang berada. “Bos, gue harus apa?” “Kita ke sana.” “Tapi….” Jake menghel
Seperti memang malam ini mereka tidak diberi kedamaian. Baru saja tiba di depan apartemen, seseorang tengah berdiri didepan apartemen dengan wajah pucat. Refleks Rossa memutar bola mata malas, apalagi melihat Tristan yang melepas rangkulan mereka dan lekas menuju Sasa. Rossa berdiri cukup jauh. Sengaja memberi jarak untuk mereka berdua. “Sa? Yaampun, kenapa malam-malam begini ada disini.” Sasa bangkit dan menatap Tristan ketakutan. Dia hampir saja menangis, namun sekuat tenaga dia tahan. “Something happened?” “Aku ditipu, semuanya ludes. Mereka ambil semua yang aku punya.” “Mereka? Maksudnya siapa, Sa? Berapa yang habis?” “Aku gak sengaja ngeklik file dari ponsel, trus tiba-tiba semua yang ada di rekening aku udah ludes. Sekitar 600 juta, aku gak…gak tau mau ngomong apa sekarang. Padahal besok ada acara meeting dengan para pemegang saham di resto.” “Okey sekarang tenang dulu, kita bicara di dalam. Sudah ratusan kali Tristan bilang, kalo aplikasi rekening kayak m-bangking, jan
TERNYATA rumor masih terus berlangsung. Tadi pagi, foto Tristan mencium seorang wanita kembali disebar. Tidak usah bertanya apakah sudah dilihat orang satu kantornya. Bahkan media pun langsung merilis berita tersebut sebagai salah satu top berita utama mereka. PEWARIS ROBINSON CROP TENGAH BERKENCAN? SIAPA KIRA-KIRA WANITA YANG BERHASIL MELULUHKAN HATI LELAKI DINGIN ITU. Begitu juga dengan isi koran yang baru saja Rossa baca. Kakinya masih berhenti di lobby, mengamati gambar yang sepertinya sengaja di ambil, tapi tidak memperlihatkan wajahnya. Itu adalah foto mereka ketika di Bali juga. Rossa jadi yakin, bahwa yang mengambil gambar itu adalah orang yang kini tengah mengawasi mereka. “Ros? Eh lo juga udah tau?” Rudi berhenti begitu melihat sosok Rossa yang masih di lobby. “Kelihatannya pak bos memang tengah berkencan.” “Rud? Hahaha…iya, bisa jadi kan? Lagian wajar aja kalo pak bos punya pacar, dia juga kan manusia.” “Ya emang benar sih. Tapi sumpah gue penasaran sama siapa cewekny
Rossa diam, ternyata kenalan yang dimaksud oleh Zaman adalah saudara perempuan lelaki itu. Awalnya Rossa merasa awkward dan segan, namun itu tidak berlangsung lama. Sabrina—nama kakak Zaman—adalah perempuan yang mudah akrab dengan semua orang. Bahkan kini percakapan mereka sudah tidak sekedar basa-basi lagi. Sabrina 5 tahun lebih tua dari Zaman, bekerja sebagai tenaga pengajar di kampus tidak jauh dari lokasi mereka. Juga seorang psikolog. Hampir semua yang melekat di tubuh Sabrina bisa dikatakan sempurna. Namun, wanita kepala tiga itu sudah lama bercerai karena mandul. Suaminya selalu menuntut ingin punya anak, dan memilih berpisah karena Sabrina tidak sanggup memberikan hal itu. Mendengar ceritanya, membuat perasaan Rossa sakit. Selalu saja, yang bersangkut paut dengan pernikahan itu sangat sensitif di telinganya. Padahal, tidak punya anak, asal satu sama lain saling mencintai juga tidak apa. “Bajumu tidak kebesaran kan, Ros?” “Ahh, tidak mbak. Pas kok.” “Syukurlah. Ini kali p
“Kenapa pulang lama sekali dan tidak membalas pesanku sama-sekali? Kau tau…aku sangat khawatir terjadi sesuatu padamu.” JELAS SEKALI bahwa ada yang tidak beres di sini. Rossa sampai mengerutkan kening, tidak percaya dengan Tristan yang mendadak kalem? Tidak biasanya bukan? “Trist, kamu kenapa?” “Emangnya aku kenapa?” “Tumben banget kalem.” “Ya kan sama calon istri, apa aku harus barbarly dulu?” Sudah mulai. Rossa melepas pelukan Tristan dan menatap lelaki itu penuh selidik. Jika sudah begini, dia harus mewanti-wanti bahwa ada sesuatu yang baru saja Tristan lakukan. “Oh ya, semalam kamu ngirim aku duit? Sudah berulang kali aku bilang, Tris. Aku gak mau di kasih duit, kecuali aku jadi istri kamu. Mana banyak lagi, kamu pikir 20 juta itu bukan uang?” “Itu cuman buat jajan doang.” Tristan tersenyum lebar, dia tidak salah mendengarkan kalo Rossa tadi menyebutkan istri? “Dan kamu itu calon nyonya Robinson, calon istri aku. Aku akan berusaha buat kamu yakin kalo aku adalah lelaki ya
Walau kota Malang tidak terlalu besar, selalu ada saja kenangan yang membuat Zaman rindu dengannya. Meskipun memang sudah menjadi masa lalu, tetap saja membuatnya terbayang-bayang. Sambil menunggu kedatangan Rossa, mata Zaman mulai memindai file yang ada di layar laptopnya. Dia masih duduk, mengamati dengan seksama. Kasus Rossa sepertinya sedikit familiar. Jika tidak salah ingat, dulu, salah satu law firm seniornya pernah bercerita tentang kasus yang ditutup karena pelakunya salah satu keluarga berpengaruh. Sering terjadi memang. Tapi Zaman juga ditugaskan untuk menelusuri hingga akhir. “Maaf, kamu sudah lama ya?” Suara itu terlalu dekat. Zaman memundurkan tubuhnya dan menatap Rossa yang mengenakan pakaian casual. Jarak mereka terlalu dekat, membuat jantungnya mendadak berdetak lebih cepat. “Eh, maaf. Tadi kamu tidak mendengarku, fokus sekali.” Rossa mundur memberi mereka jarak dan mengambil duduk di sebelah Zaman. “Tadi kau bilang mendapatkan clue tentang kecelakaan itu?” Rossa