Keadaan Tristan baik-baik saja, dia bisa diselamatkan. Rossa masih duduk, mengelus tangan dan menatap wajah Tristan yang membuat hatinya terluka. Dia tidak tahu apa yang membuat lelaki itu tiba-tiba berubah, yang pasti, ada sesuatu yang melukai hatinya. Hendrix dan Ida memilih untuk kembali ke apartemen untuk membawa beberapa baju Tristan karena lelaki itu harus dirawat inap. Pintu terbuka, Rossa langsung berdiri begitu melihat siapa yang sosok itu. “Boleh bicara sebentar, nak?” Tatapan Rossa tertuju ke arah langit-langit malam yang kali ini dipenuhi dengan taburan bintang. Dia sudah memiliki firasat buruk sejak mengetahui bahwa semua kejadian yang menimpa keluarganya dulu memang ada hubungannya dengan keluarga Robinson. Hal itu yang sangat menyakiti hatinya saat ini. “Minumlah, maaf membuatmu menunggu.” “Ahhh…terima kasih, om.” Mereka duduk di coffee shop rumah sakit bagian outdoor yang masih buka. Tapi karena sudah subuh, hanya mereka berdua saja yang ada di sana. Rossa meneg
Rasanya masih sedikit janggal, sejak ditemui oleh dua orang lelaki itu, sikap Mahendra mendadak berubah, membuat Rossa sadar bahwa memang ada yang disembunyikan. Semakin mengamati dan memetakan semuanya, semakin rumit pula. Tidak sesederhana itu. “Jadi, kau percaya jika yang menabrak itu adalah Yuan? Kau tidak salah?” Zaman yang tengah mengetik langsung menghentikan aktivitasnya, dia dikejutkan dengan kedatangan Rossa dan lelaki paling sombong yang kini duduk di sofanya tadi pagi. Jika bukan karena Rossa, Zaman tidak akan pernah mau menerima si sombong sekaligus saingannya itu. Tapi. Dengan ekspresi ragu Tristan, Zaman juga menaruh argumen kuat bahwa dua orang lelaki yang disebutkan Rossa ada sangkut pautnya dengan kasus ini, terlepas dari mereka sudah menjadi targetnya sejak lama. Mendengar informasi dari Ros, Zaman sempat terkejut. Dari informasi yang dia dapatkan, Burhan dan Parlin tidak berada di Indonesia, namun tiba-tiba saja nongol. Kasus yang rumit dan menantang. “Tapi b
Zaman diam, menatap kendaraan lalu lintas di depan lampu merah. Tangannya mengepal keras, mengamati bagaimana orang-orang mementingkan urusan masing-masing. Matanya memerah, wajar, Zaman sedang menangis sejak 30 menit mengendarai mobil. Sisi yang tidak pernah dia tunjukkan pada siapapun. Klakson mobil dari belakang membuat kesadaran Zaman kembali, dia mengaktifkan sen untuk meminta maaf dan segera memijak pedal mobil. Perasaan Zaman sedang campur aduk. Tepatnya 30 menit yang lalu, dia dikabari oleh nomor tidak dikenal. Awalnya dia mengabaikan, namun ternyata dari pihak rumah sakit. Pikiran Zaman langsung kosong saat mendengar kabar dari sang dokter bahwa kakaknya—Sabrina—meninggal dunia. Dia merasa aneh, linglung, dan tidak sadar selama beberapa menit. Bahkan usai Zaman tiba di rumah sakit, dia masih tidak percaya bahwa, sosok yang berada di balik kain putih itu adalah saudaranya. Air matanya menetes lagi. Zaman berjalan mendekat, setiap langkah membuat jantungnya berdebar. Kini d
Parlin menghela nafas, apalagi dengan kelakuan Burhan yang masih tidak kenal efek jera. Dia menatap Mahendra yang dikurung di dalam ruangan kosong, makanan hanya diberikan sekali sehari. Jujur, dia tidak menginginkan hal ini terjadi lagi. Tapi apa ada, dia juga tidak ingin masuk penjara. “Bagaimana jika aku melenyapkan wanita itu saja, paman? Jika dia beres, maka tidak akan ada pihak keluarga korban. Seluruh keluarganya juga akan Sasa hancurkan, itu adalah jalan terbaik. Membunuh semua yang berpotensi membahayakan.” Ide yang sangat buruk. Parlin tidak tahu bagaimana dia membesarkan putrinya. Hingga otak Sasa lebih buruk daripada dia. Bahkan pernikahannya dulu dengan Yuan adalah sebuah keterpaksaan dan juga bisnis. Seharusnya Burhan dulu berdiri di pihak James, dia tidak harus buta harta. Sebab. Harta itu sifatnya sementara. Bahkan tidak ada keluarganya yang ingin tinggal bersamanya. Miris sekali. Burhan merasa arah hidupnya semakin hari semakin tidak ada arah dan juga tujuan. “He
Situasi tidak semakin membaik. Keluarpun dari zona itu Zaman tidak bisa. Rossa dan Hendrix yang tengah sibuk dengan layar di depan mereka mulai membatin. Ada yang salah, beberapa menit lalu koneksi mereka tiba-tiba diputus. Sepertinya ada sesuatu yang mereka lupakan. Rossa menatap Jake yang berdiri tidak jauh dari mereka, lalu menatap sekitarnya. Perasaannya saja atau memang ada seseorang yang mengamati mereka dari tadi? “Ros, apa kau merasakan yang aku rasakan?” “Intimidasi?” Ros mengerutkan kening menatap kembarannya itu. “Benar. Aku merasa ada seseorang yang mengawasi kita dari tadi. Tidak mungkin itu Jake bukan?” bisiknya sangat pelan di akhir kalimat. Jika memang Jake adalah seorang penghianat, maka Tristan sudah terlalu bodoh menjadikan lelaki itu sebagai tangan kanan. Brugh Tubuh Jake terlempar. Rossa dan Hendrix terlompat dari duduk mereka karena terkejut. Kedua menatap Jake dengan seorang lelaki bertopeng. “Sial, siapa dia?” “Sepertinya kalian berdua menyadari kebera
Hampir 30 menit Zaman menunggu di mobil, namun tak kunjung melihat kedatangan Tristan. Satria mengawasi sekitar, mereka berada di posisi awal seperti perjanjian. “Zaman, bagaimana ini. Kita sebaiknya bergerak saja, bagaimana jika nanti ada yang mengikuti kita dan habis sudah. Kita berdua bukan petarung jarang dekat yang handal, tadi saja nyawa kita hampir melayang. Selain itu, langit sudah gelap. Burhan tidak kunjung muncul, bisa jadi mereka sudah merencanakan hal ini dari awal.” “Tidak,” Tolak Zaman dengan tegas, “aku yakin Tristan sebentar lagi akan tiba. Dia cukup tangguh.” “Tapi…” “Lihat, itu mereka. Cepat, putar arah mobilnya.” Satria ikut melihat kebelakang dan melihat dua seseorang berjalan tertatih-tatih. Secepat kilat dia berbalik. Ternyata benar bahwa itu adalah Tristan. Mobil mereka melesat sesuai dengan kontrol Rossa ke titik yang sudah ditentukan. Keadaan Tristan cukup parah, pendarahan di perutnya tidak kunjung berhenti. Untungnya Zaman pernah mengikuti komunitas
Tristan POV Situasi di dalam kapal tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Setelah sekian lama aku hidup, baru ini aku mempertaruhkan nyawaku secara langsung. Terdengar tembakan dari arah belakang, itu dia, Emilio baru saja melepas peluru terakhirnya. Menghabisi nyawa awak kapal yang menyerang kami beberapa saat lalu. Lampu sudah padam, hanya penerangan samar-samar yang membantuku melihat kemana arah kami berjalan. Hampir 30 menit terjebak di dalam lika-liku menuju inti kapal. Dari percakapan Emilio, kami menuju ruang rahasia tempat dimana Burhan bersembunyi. Kedatangan kami sepertinya sudah diketahui oleh mereka. Sebelum sosok itu menembakku, aku menarik leher bagian belakangnya. Mengarahkan senjata ke arah kepalanya. “Sir, kami suruhan Tn.Lio.” Anggukan Emilio membuatku melepas sosok itu. Dia mengenakan simbol yang sama seperti Emilio. Sejak awal hal itu sudah menarik perhatianku. Entah itu simbol apa, tapi cukup menarik perhatian. “Tris, masuk duluan.” Bergegas aku memasuki sa
Kabar bahwa Tristan tidak selamat dalam tragedi itu langsung terdengar di telinga Rossa lewat mikrofon yang baru saja tersambung dengan Zaman beberapa menit lalu. Tubuh Rossa hampir saja ambruk jika Hendrix tidak menahannya. Rasanya seperti tidak nyata. Sekeras apapun usaha Rossa bicara pada Jake dan Hendrix untuk mengantarnya, tidak satupun dari mereka yang bersedia. Keduanya diam, tidak mendengarkannya sama-sekali. Air mata Rossa berjatuhan. Ini adalah kabar yang tidak dia inginkan. Walau Burhan dan antek-anteknya dikabarkan tertangkap dalam keadaan bernyawa dan tidak bernyawa. Dadaa Rossa terasa sesak, tidak bisa membayangkan seperti apa Tristan. “Ros…tidak, jangan melakukan hal bodoh. Pagi akan segera tiba dan media akan meliput berita besar ini. Kita juga harus bergegas pergi dari sini jika tidak ingin kena masalah.” “Tidak, aku harus pergi kesana. Aku mohon, Hen, tolong antar aku kesana.” Hendrix menarik nafas panjang dan menatap Jake yang sama kacaunya. Jake ingin menuju