Share

Chapter 11 Rasa dan Asa

Sosok tinggi nan tegap itu kini berhadapan dengan Linara, tangannya merangkul bunga sebagai simbol bela sungkawa. Mata Linara seakaan tidak menyangka Avraam si pelanggan kedai itu berada dihadapannya. Dari mana Avraam tahu alamat rumah Linara? dan bagaimana juga Avraam mengetahui berita duka ini? Padahal berita duka ini tidak banyak orang tahu.

Langkah kaki perlahan mendekat, keduanya saling berhadapan dengan jarak cukup dekat membuat Linara sedikit melangkah mundur, merasa canggung dengan jarak yang dibuat Avraam.

“Saya turut berduka cita atas kepergian beliau, semoga Tuhan selalu menjaganya,” ungkap belasungkawa Avraam sembari menyodorkan bunga kepada Linara.

“Aamiin, Terima kasih, Tuan.”

“Tapi maaf anda tahu dari mana berita ini?” tanya Linara membuat Avraam diam membisu, rasanya Avraam tidak ingin memberi tahu Linara yang sebenarnya bahwa dia mengulik informasi dari Asisten pribadinya.

“Saya melihat itu,” Avraam menunjuk papan ucapan belasungkawa tepat depan gerbang rumah Linara, hanya itu alasan yang tepat menurut Avraam. Namun, itu jawaban itu semua rasanya kurang pas bagi Linara.

“A-ah dan saya kebetulan tinggal di daerah sini, dan mendengar berita duka dari tetangga. Maka saya datang kesini untuk bela sungkawa, kebetulan kamu salah satu keluarganya.” Jelas Avraam membuat Linara kini merasa yakin dengan alasannya itu. 

Meskipun sejujurnya Avraam tidak tinggal didaerah itu, hanya sebagai dalih suatu alasan agar Linara yakin, “Kamu mau kemana, Linara?” tanya Avraam yang sejenak melihat penampilan Linara cukup rapih dengan sedikit tergesa.

“Kebetulan saya sedang ada urusan penting, maaf Tuan saya tinggal sebentar, kebetulan Kakek sedang ada didalam,” Lanjut Linara sambil berlalu langkah meninggalkannya.

Avraam tidak berhasil menahannya, rasanya terlalu cepat Linara pergi begitu saja. Hingga tak sempat untuk bertanya kepentingan apa, mungkin Linara sedang mengurus data kematian Ayahnya pikir Avraam seperti itu.

“Mata elok mu kini sembab, terlihat jelas beban yang kamu pikul terasa berat. Bisakah aku sedikit menjadi bahu sandaranmu, Linara?” ungkap Avraam dalam batin kecilnya.

Sepertinya benih rasa mulai tumbuh, apakah ini yang dinamakan dari lidah jatuh ke hati? Rasanya pikiran Avraam sedang tidak karuan, sungguh sulit untuk dia jernihkan. Apalagi rasa penasarannya tentang Linara yang lambat laun terlihat seperti Isterinya.

Rasa apa yang hadir saat ini, apa sebuah penasaran saja? Atau bahkan lebih? Biarkan waktu yang menjawab benih rasa itu.

***

Kini giliran Rayhan yang berkecamuk dengan pikirannya, selalu dihantui dengan beban pikiran yang lagi dan lagi Linara, bisakah wanita lain selain Linara?

Agaknya Rayhan sudah geram dengan pikirannya yang bergelayut perihal Linara. Apa yang terjadi pada Linara? Sudah dua hari tidak ada kabar, apa dia baik-baik saja? Itulah pikiran Rayhan terhadapnya, sungguh menyebalkan pertanyaan yang berulang kabar tanpa jawaban.

Kini kesabarannya diambang batas, akhirnya Rayhan memberanikan diri untuk bertanya langsung pada majikannya sendiri. Mungkin sebaiknya Rayhan mengirim pesan singkat saja ya pada Linara langsung. Sialnya Rayhan tidak memiliki nomor Linara, sungguh lelaki malang. Rayhan sedikit mendengus kesal karena tidak memiliki nomor Linara.

“Masa iya Gue harus minta nomornya ke Paman Aathif? Ya kali ke majikan gue sendiri, Shit!” itulah sedikit gerutu yang terlontar dari bibir Rayhan. Kini otaknya berupaya untuk berpikir agar bisa mencari celah informasi.

“Aha! Gue ingat! Gue kan punya nomor temennya Linara kemarin, siapa sih itu ... oh ya Kayu!” lanjut Rayhan memberikan sebuah ide, segera jarinya menggulir percakapan diponselnya.

Yups! Akhirnya ketemu nomor Kaivan, kebetulan Kaivan mengirimkan foto dari festival kemarin lewat watsap pribadinya.

Tanpa basa basi lagi Rayhan segera menghubungi Kaivan, hanya beberapa detik panggilan terjawab. Dengan to the point Rayhan meminta kontak Linara langsung pada Kaivan.

“Buat apa? Masa iya Lu engga punya nomor Linara sih?” ejek Kaivan dalam panggilan.

“Iya gue lupa nomornya engga ke save, cepatan kirim napa.” Alasan Rayhan menutupi bohongnya, ya bagaimana

Rayhan memiliki nomor Linara? mau meminta secara langsung pun tak sempat, yang pertama jarang ketemu sekalinya ketemu kerja.

“Udah Gue kirim, oh ya kedai udah buka lagi belum?” tanya balik Kaivan sebelum menutup panggilan.

“Ya belumlah, toh Linara sama Paman Aathif saja belum pulang, emang kenapa?” Rayhan sedikit berkerut dahi setelah mendapati pertanyaan Kaivan.

“Emm ... udah dua hari Linara engga masuk kuliah, selama itu ya proses pemakamannya?” celetuk Kaivan yang sangat terdengar jelas oleh telinga Rayhan, seketika Rayhan mematung.

“Maksud Lu apa? Pemakaman siapa?” seketika Rayhan langsung bertanya untuk memastikan.

“Hah! Jangan bilang Lu engga tahu kabar duka Linara? Paman Aathif engga kasih tahu Lu?” Kaivan sedikit heran dengan Rayhan yang tidak mengetahui informasi duka tersebut.

“Bawel banget sih Lu, Kai! Mereka kemarin buru-buru pergi jadi Gue engga keburu nanya. Siapa sih yang meninggal?” desak Rayhan tak sabar menerima jawaban Kaivan.

“Ayahnya Linara. Kemarin Linara minta tolong ke gue buat surat izin—“ belum sempat Kaivan menuntaskan percakapnya, seketika Rayhan menutup panggilan dengan ucapan Terima Kasih pada Kaivan, sedikit menjengkelkan juga ya.

“Hidih ... engga sopan banget ni anak!” gerutu Kaivan dengan memandangi ponselnya. Tapi itu hanya kekesalan sementara, Kaivan melanjutkan aktifitasnya mengerjakan beberapa tugas kuliahnya.

Benar saja rasa tidak enak Rayhan selama ini, pasti ada sesuatu hal yang terjadi pada Linara. Rayhan harus segera mengungkapkan perasaanya, eh maksudnya belasungkawa. Pesan singkat Rayhan tulis dan segera ia kirim. Berharap balasan Linara datang secepat mungkin.

Perasaan Rayhan sudah tidak sabar mendapati balasan dari Linara. Layar ponsel yang berulang kali Rayhan buka guna untuk mengecek kabar Linara. Apakah perlu Rayhan langsung memanggilnya? Ah rasanya itu tidak sopan, Rayhan harus extra sabar menunggu. Meskipun berulang kali menyesap ibu jarinya.

Waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam, mata Rayhan rasanya sudah tak sanggup untuk membuka lagi, apalagi setelah beres Skripsi rasanya mata selalu menagih untuk tertidur. Tak menyangka Rayhan tertidur di kursi belajarnya. Menunggu balasan yang tak kunjung datang, sepertinya mata Rayhan sudah mengibarkan bendera putih untuk terlelap sementara.

“Linara...,” 

Sepertinya Rayhan mengigau.

***

“Ternyata mengurus berkas seperti ini cukup rumit juga ya,” Linara menghela napas dengan lega sembari memandang berkas penting itu, Linara segera mengamankan dalam tas nya. Kemudian menyantap makanan cepat saji disalah satu restoran.

Ditengah makan malamnya, dering ponsel menghentikan tangannya untuk mengambil kentang goreng yang mau dilahap. Siapa lagi yang menelpon selain Aathif sang kakek yang mulai khawatir dengan Linara yang belum saja pulang.

“Iya, Kek. Linara akan segera pulang setelah beres makan.” Percakapan singkat terjadi, Linara mematikan ponselnya dan tidak sengaja ada pesan singkat dari Rayhan, pesan yang tertimbun membuat Linara lupa untuk membalasnya.

Balasan pesan sudah terkirim pada Rayhan, meskipun agak lama saat merespon. Sesaat Linara memakan lagi sembari memainkan ponselnya. Tiba-tiba datang seorang yang duduk bersamaan dengan Linara. Tentu hal itu membuat Linara menoleh kearahnya.

“Tuan?” cakap Linara yang menemukan Avraam tepat dihadapannya dengan nampan yang dia bawa.

“Boleh gabung?” tanya Avraam dengan santai, Linara mengangguk sebagai simbol setuju. Kemudian Avraam menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Linara.

“Panggil saja Aku Avraam, rasanya terlalu formal.” Lanjut Avraam sembari menyesap Milk Tea.

“Kenapa Tuan, eh maksudku Avraam. Aah rasanya terlalu tidak sopan memanggil nama langsung, panggil Kak Avraam saja tidak apa-apa kan?”

“No Problem, yang penting jangan panggil Om.” Canda ringan Avraam membuat Linara tertawa kecil. Mana mungkin Linara memanggil Avraam dengan sebutan Om, namun berwajah layaknya remaja. Rasanya kurang pas, meskipun umurnya sudah seperempat abad.

“Kenapa Kak Avraam ada disini?” tanya Linara yang mampu ditebak oleh Avraam pasti melontarkan tanya seperti itu.

“Pasti kau bertanya seperti itu, hanya sebuah kebetulan saja saya mampir kesini terus tak sengaja melihat kamu ada disini,” itulah jawaban Avraam padahal sebenarnya tidak seperti itu, Avraam membuntutinya. 

Linara hanya mengangguk dan percaya akan hal itu. Saat prosesi makan tidak terlalu banyak percakapan, mungkin canggung. Akhirnya makan malam telah usai, awalnya Linara ingin pulang lebih dulu, namun Avraam mengajaknya untuk pulang bersama. Apa daya Linara tidak bisa menolak karena pada kamus kehidupan Avraam tidak ada kata penolakan itu yang Avraam ucapkan dulu.

Saat perjalanan pulang pun terasa dingin. Avraam yang ingin membuka mulut seakaan sulit rasanya. Yang akhirnya hanya ada suasana bisu disana. 

“Rumah Kak Avraam sebelah mana?” lontar pertanyaan Linara yang memecah hening.

“Aku di jalan, eh maksudku di Blok H.” Jawab Avraam yang hampir saja terpeleset dengan kebohongannya sendiri.

“Blok H? Perasaan engga ada blok H deh di perumahan sini,” Linara membenarkan jawaban Avraam yang terasa janggal.

“Maksudku A, Kamu salah dengar kali,” tukas Avraam membenarkan ucapannya.

“Sudah terlewat dong?”

“Tidak apa-apa, sekalian main saja. Toh deket ini,” 

Astaga! Hampir saja Avraam ucap bohongnya terbongkar. Untungnya Avraam pintar bersandiwara. Perjalanan kini telah sampai, lambai tangan dan ucap Terima kasih pun terjadi saat Avraam hendak kembali ke habitatnya. Mobilnya perlahan mulai melaju meninggalkan Linara.

Senyum Avraam terlukis saat mengingat kejadian manis dengan Linara, tak terasa akhirnya dia sudah sampai tujuanna. Saat membuka Seltbelt, sepasang mata Avraam melihat gelang tangan yang tergeletak dibawah jok yang diduduki Linara tadi.

“Apakah ini punya Linara?” tanya Avraam sembari memungut gelang tersebut.

Gelang tangan yang terbuat dari Rattail cord ditambah pernak pernik yang berbentuk huruf L sebagai pemanis, apalagi dengan warna Peach kesan feminim sangat mencolok. Avraam menatap gelang itu sekejap, sambil memainkannya pelan. Lagi dan lagi pikirnya bergelayut pada kenangan bersama Isternya. Warna Peach sangat sama sekali dengan warna kesukaan Isterinya itu.

“L untuk Linara, indah sekali...,”

***

Tangannya terasa berat, seperti memikul perasaan yang tak kunjung terlontar. Matanya berusaha membuka dengan paksa, “Sial Gue ketiduran!” umpat Rayhan yang menyadari posisi tidur yang tidak enak itu.

Tangan yang terasa kesemutan, lantas Rayhan menelentangkan tangannya perlahan, melirik arah jam dinding yang menunjukan pukul satu pagi. Matanya membelalak dan langsung menyambar ponselnya untuk melihat balasan Linara.

Satu pesan dari Linara, langsung Rayhan buka dan perlahan membacanya.

‘Aamiin, terima kasih kak atas Doanya. Linara disini baik, Kak. Mungkin lusa juga sudah bisa kembali buka kedai lagi.’

Sepucuk balasan singkat dari Linara, membuat degup jantung Rayhan terasa begitu cepat. Rasanya Rayhan ingin sekali bertemu dengan Linara.

“Sial aku jadi tidak bisa tidur!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status