Share

Chapter 12 Jati diri sebuah Balasan

Air mata yang mengucur membasahi pipi lembutnya, tak peduli alas kepala yang mulai basah karena tetes demi tetes air haru mengalir deras. Tangannya meremas kuat kain selimut yang membalut diri, dengan bibir bawah yang digigit menahan sakit yang dirasa. Pikirnya membawa alam nostalgia.

“Ayah ... kenapa kau tinggalkan Linara secepat ini! Dan Bunda ... kemana Linara harus mencari Bunda? Tuhan kemana Aku harus melangkah? Rasanya berat! Linara tidak sanggup menjalaninya!” itulah sedikit keluh kesah Linara dalam diam, penuh air mata, sesak rasanya menjalani semua. Terasa rumpang kehidupan.

Suara ketuk pintu terdengar, seseorang berharap masuk kedalam. Tapi rasanya dalam benak Linara malas untuk membuka pintu tersebut, alih-alih telinga tidak mendengarnya. Mungkin si pengetuk berasumsi Linara sudah tertidur, lantas pintu yang tak terkunci itu dibuka. Kenop yang perlahan ditekan, dan si pengetuk itu masuk, berjalan mendekati Linara.

Si pengetuk itu adalah Kakek Aathif, setelah mengetahui si pengetuk adalah Kakek, Linara segera memejamkan mata, sekedar membodohi saja agar terlihat sudah pulas. Aathif kini duduk ditepi ranjang, mengusap pelan pangkal rambut sang cucu.

“Kamu adalah Cucuku yang tangguh, Aku yakin kamu bisa menjalani masa rapuh mu, Linara.” itulah sepatah semangat dari Kakek Aathif.

“Selamat tidur, Linara.” lanjut Aathif sembari mengecup kening Linara dengan merapihkan selimbut untuk memberi rasa nyaman.

Tidak lama kemudian Aathif beranjak pergi meninggalkan dengan jejak semangat yang beliau taruh pada Cucunya, menutup pintu kembali. Tangisnya perlahan berlinang kembali setelah sang Kakek pergi, rasa sayangnya sangat terasa meninggalkan jejak perhatian yang begitu dalam, haru dan bahagia tercampur sesaat.

“Terima kasih, Kakek! Tetaplah hidup dan bahagia, tunggu Linara meraih sukses menjalani rapuh ku ini, Linara kuat karena Kakek. I love you, Kakek!” harapnya dalam batin dengan mata yang memejam perlahan, bersiap mengintari dunia mimpi.

***

“Apa itu Bunda?” sepasang mata Linara menyorot pada wanita yang ada berada dalam kerumunan Toko sayur dan buah, saat itu kondisinya agak sedikit ramai.

Linara mencoba mendekati wanita yang sekilas sangat mirip dengan Bundanya dari arah belakang dan bentuk tubuhnya sangat menyakinkan itu adalah Bunda, “Itu pasti Bunda!” ucapnya penuh yakin saat jarak mereka hampir mendekat.

Jarak yang makin terasa dekat diantaranya, mengatar degup jantung berdetak kencang saat itu, tak sabar untuk bertemu Bunda yang telah lama berpisah dengan Linara. Akhirnya Linara tepat berada dibelakang wanita itu, tangannya langsung menepuk pelan bahu wanita yang Linara anggap mirip dengan Bundanya.

Ketika tepukan bahu itu terasa, seketika wanita itu menoleh ke arah belakang. Melihat siapa yang menepuk bahunya. Wanita tersebut hanya mengerutkan alisnya, terlihat aneh melihat sosok Linara tepat dihadapannya.

“Maaf ada apa ya, Nak?” tanya wanita itu penasaran dengan maksud Linara menepuk bahunya.

“Bunda ... ini Linara, Anak Bunda.” Jelas Linara spontan memberi pengakuan.

“Maaf ... tapi saya tidak mengenali Anda, saya juga belum memiliki Anak,” jawabnya membuat hati Linara kecewa bukan main.

“Ini Linara! Masa Bunda lupa dengan Linara?” Linara memegang lengan wanita yang dia anggap sebagai Bunda, namun sayang wanita itu hanya menatap aneh Linara yang mengakui dia sebagai Bundanya.

“Maaf, Nak. Tapi saya memang betul tidak mengenali Anda, Permisi...,” ucapnya sembari melepaskan genggaman Linara dan berjalan pergi meninggalkannya.

“Bunda ... ini Linara ... Anak bunda!” teriak Linara dengan lari tergopoh-gopoh berupaya mengejar Bunda, namun sayang kerumunan orang membuat langkah Linara sulit untuk mengejar Bunda.

Desakan para manusia membuat Linara terhimpit diantaranya. Langkahnya sulit untuk mengejar Bunda yang telah hilang ditelan kerumunan itu. Asa yang semakin terasa, dan sesaknya tidak diakui membuat Linara sakit dalam hatinya bukan main.

Bunda, ada apa dengan Bunda? Kenapa Bunda tidak mengenali Linara? jangan tinggalkan Linara, Linara mohon pada Bunda ...

Batinnya berkecamuk mengungkap keluhnya, Linara masih berpacu dalam desakan itu hingga seseorang menyenggolnya hingga tersungkur jatuh.

Bruk...

“Aww...,” nada sakit terdengar jelas saat tubuhnya terjatuh diatas ranjang, tak menyangka tubuhnya sudah berada didasar lantai.

Linara segera membangkitkan dirinya, sempat terasa linglung saat itu. Linara menarik selimbutnya yang tergeletak bebas dibawah lantai dan menaruhnya diatas ranjang. Kini Linara duduk ditepi ranjang dengan memijat pelipisnya yang terasa pening.

“Hanya sebuah mimpi...,” ucap Linara dengan menghembus napas lega, beruntung kejadian tadi hanyalah bunga tidur.

Sebuah bunga tidur yang cukup meniggalkan jejak hitam, terasa sesak. Apakah Linara menangis saat bermimpi itu? Linara menyeka pipi yang terasa basah, sepertinya Linara menangis. Tak diragukan lagi mimpi itu membuat air matanya mengucur secara otomatis. Dalam hatinya hanya berharap semoga itu hanya sekedar mimpi saja. 

Linara yakin suatu saat nanti dia menemukan Bunda. Memeluk dengan hangat, melampiaskan sebuah arti rindu. Liontin amanat dari Ayah sesaat digenggam dan dikecup tepat simbol berbentuk hati. Dengan mengucap harapan yang berharap terkabul.

”Ayah ... Linara akan terus mencari Bunda, hingga bisa memberikan benda sejuta cerita ini pada Bunda.”

Linara yang sedang mengikat rambutnya tak sengaja mendengar suatu keributan diluar, membuat Linara cepat beranjak dan pergi melihat situasi. Berjalan sedikit cepat, dan sepasang mata melihat Zelline yang sedang bermurka, Linara hanya menggeleng kepala dengan tersenyum malas.

Linara segera menuruni anak tangga. Mendekati Zelline yang sedari tadi meledak-ledak kepada Kakek Aathif yang sedang menyesap Teh dengan santai, terlihat Kakek Aathif sangat tidak mempedulikan celoteh Zelline, namun bagi Linara geram melihat sikap Zelline seperti itu, membuat Linara ingin mengusirnya.

“Mana Linara? dimana Anak kurang ajar itu?!” ungkapnya meledak dengan nada sedikit melengking.

Aathif tidak menggubrisnya, tangannya sibuk membuka lembaran koran pagi hari yang sesekali menyesap Teh hangat dengan santai.

“Mau apa kamu? Datang-datang teriak seperti ini sungguh tidak tahu malu!” ucap Linara yang kini hadir dihadapan Zelline yang tampak suram itu.

“Jangan kau ladeni orang seperti dia, dia hanya seekor tungau,” tukas Aathif dengan santai pada Linara, sungguh sindiran yang cukup pedas untuk seorang Zelline.

Zelline mengepal tangannya penuh rasa kesal dan emosi berpadu satu, rasanya ingin memotong kecil-kecil bibir pria tua itu yang berani menghina Zelline dengan sebutan tungau. Namun Zelline berusaha menghempas emosinya, karena tujuan dia adalah Linara.

“Hei Linara, apa yang kamu lakukan dengan semua berkas ini?!” tanya Zelline yang langsung to the point pada Linara dengan menghempaskan beberapa berkas tepat wajah Linara.

“Ada apa dengan berkasnya?” tanya balik Linara dengan nada santai.

“Jangan kau berlagak polos! Semua berkas itu palsu!” 

Linara memungut berkas yang sudah berserakan dilantai, sambil tertawa kecil yang terdengar sedikit menakutkan, “Kalau bertamu harus tahu batasan, jangan buang sampah sembarangan. Memang betul berkas ini palsu! Kenapa, tidak senang? Harta yang kau incar tidak kau dapatkan?” 

Pernyataan Linara membuat Zelline melongo, tidak percaya akan sosok Linara yang terlihat lembut dan polos kini terasa begitu menyeramkan. Linara perlahan mendekati Zelline, “Kamu salah dalam menilai keluarga ku, kamu ingin menjerat tapi kamu sendiri yang terseret. Bukan kah itu definisi senjata makan tuan?” Linara berucap sambil berlalu dengan bahu yang menyinggung Zelline, membuat Zelline hampir saja tersungkur.

Linara sangat berjalan santai, sedangkan Zelline terlihat begitu kikuk dengan sorot mata yang terus mengintari langkah Linara menuju sofa, hingga Linara terduduk dengan menumpangkan kaki palsunya diatas kaki yang satunya.

“Asal kau tahu sejak dulu kamu pertama datang dengan embel-embel kemanisan, Aku sudah muak dengan kehadiranmu. Dan bersyukur, Tuhan membuka mata Ayahku dan melihatkan keburukan mu, Zelline! Dan akhirnya Ayah ku menyuruh anaknya yang cacat ini untuk memanipulasi kembali data yang telah kau manipulasi sebelumnya,” Linara menunjukan kecacatan yang dia miliki pada Kakinya, kekurangan yang menjadi sebuah kebanggaan.

“Dari awal aku sudah tahu akal bulusmu itu untuk merengut semua harta ini, dan sayangnya kamu salah menilai. Aku tahu apa yang kau pikirkan pada orang cacat sepertiku adalah orang yang tidak berguna, yang tidak bisa diandalkan dan hanya jadi beban keluarga. Itukan yang kau asumsi? Tapi sayang, semuanya salah! Aku, Linara Putri Atmaja adalah seorang yang lebih pintar memanipulasi kembali semua data dari pada dirimu, Zelline!” 

“Sial Aku sangat lalai dalam hal ini!” gerutu Zelline dalam batinnya. Matanya masih menatap Linara yang kini beranjak dan kembali mendekati Zelline. Pikirnya kini getir melihat Linara.

Linara mendorong Zelline dengan sengaja hingga dia tersungkur, Zelline tak mampu melawan karena seluruh tubuhnya yang bergetar hebat melihat reaksi Linara yang begitu berani, Linara mendongakan dagu Zelline.

“Tidak ada satu harta pun yang berhasil kau renggut, semua kembali pada pemiliknya! Ingat harta warisan Ayah ku hanya Aku yang berhak menerimanya bukan Zelline sang pelakor!” tegas Linara dengan mata yang bertatap tajam.

Zelline menepis tangan Linara, “Tidak mungkin! Perusahaan Ayah kamu tetap menjadi hak milikku karena aku yang mengelola selama Ayah kamu sakit, dan itu semua sudah diberikan Ayahmu untukku!” lawan Zelline, membuat Linara tersenyum sarkastik.

“Zelline ... Zelline ... ternyata kamu memang benar-benar bodoh ya, maksud dari semua harta warisan itu adalah semua aset yang dimiliki Ayah berupa Rumah ini dan perusahaan, tetap menjadi hak milik Anak kandung, bukan pelakor seperti mu! Paham?”

“Tidak! Tetap saja ada sangkut pautnya dengan diriku, Aku masih ada hubungan dengan Ayah mu, Aku masih jadi Isteri Ayah mu!” tukas Zelline dengan membara.

“Astaga! Sungguh tidak tahu malu ya kau, Zelline. Bukan kah kau telah menggugat cerai Ayah dua hari sebelum Ayah meninggal? Untung Ayahku pintar, sebenarnya yang diberi Ayah hanya berkas kepemilikan perusahaan yang palsu, yang asli hanya tertera namaku, Linara Putri Atmaja!”

“Dan langkahmu selanjutnya adalah menjual perusahaan Ayah dan mencicipi sebagian harta warisan Ayah yang lainnya. Karena kau menutupi gugatan cerai itu supaya warisan lainnya bisa terciprat padamu. Tapi sayang semuanya palsu ya, haha ... Benar-benar permainan yang mudah ditebak, membuatku mual bermain dengan manusia benalu ini. Sekarang cepat kau pergi dari sini!” titah Linara begitu tegas.

“Tidak! Semuanya salah! Aku tidak mau pergi...,” berontak Zelline.

Aathif segera memanggil Satpam rumah untuk menyeret keluar Zelline, akhirnya manusia yang paling dibenci Linara kini telah angkat kaki dari rumahnya, seluruh pakaian yang masih menempati sebagian lemari, segera Linara kemas dan melemparkannya pada Zelline.

“Selamat tinggal, Zelline!” 

“Dasar biadab! Awas kau Linara, Aku akan membalas semua ini! Arrghh...,” itulah teriakan Zelline yang penuh kesal, semua rencananya gagal dibabat habis oleh Linara.

"Ku tunggu pembalasannya, jangan lupa bermain dengan otak bukan dengkul!" Ledek Linara yang benar-benar membuat jengkel Zelline.

Zelline pergi dengan langkah penuh kekesalan, rambutnya sedikit berantakan akibat drama pengusiran tadi. Linara sangat bahagia dengan menertawakan nasib Zelline yang berbalik malang.

"Semua akan kembali pada pemiliknya, begitupun Hidup." -Linara

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status