“Hei, gadis bodoh!” suara yang terdengar lantang dari sisi belakang , Linara tidak memperdulikannya, dia beranggapan mungkin seseorang itu sedang menyahut orang lain.
“Hei, apa kau tuli?” teriaknya kembali semakin terasa dekat. Linara menambah kecepatan dia berjalan, dia tidak mau berhadapan dengan orang aneh lagi.
Cepat Linara!
Semakin Linara mempercepat langkahnya, semakin terdengar jelas sahutan itu. Seakan dia mengikuti Linara, ada apa dengan manusia ini? Apa yang dia mau dari seorang Linara?
“Aku bilang tunggu!” dari arah belakang dia menarik Linara, membuat langkah Linara berhenti. Tertahan dengan tangannya yang mengepal blazer Linara. Mau tidak mau Linara menoleh kearah sahutannya itu. Linara memperhatikan orang tersebut, rasanya dia orang asing. Tidak ada kata sepatahpun yang keluar dari Linara saat bertemu dengan orang asing baginya, Linara hanya menatap aneh padanya.
“Kalau orang nyahut itu, jawab! Bukannya pura-pura budeg. Ayo, ke kelas bareng!” ajaknya sembari menarik lengan Linara, tiba-tiba muncul ditambah omongannya pedas eh malah ngajak bareng ke kelas, sadarkah siapa dia? Dalam batinnya Linara merasa kesal, Linara melepaskan genggaman tangan Pria aneh itu.
“Siapa kamu?” tukasnya Linara yang mulai terasa kesal dengan sikap yang semena-mena itu. Pria tersebut hanya memasang wajah kebingungan dengan sikap Linara, seolah hilang ingatan.
“Apa kamu tidak ingat? Kita satu kampus dan juga satu kelas, dan juga kemarin aku yang melempar kerikil kecil padamu, dan jangan bilang kamu lupa dengan ku?” intograsinya membuat Linara memijat pelipisnya dengan gemas, Linara semakin kesal dengan dirinya yang sangat lemah dalam ingatan.
“Kenapa? Apa kau sakit?”
“Tidak, tapi Aku benar-benar tidak mengenalmu.” Seutas jawaban Linara yang membuat Pria itu tercengang. Bagaimana tidak, Pria itu baru saja menemukan jelmaan manusia yang begitu pelupa. Membuat Pria itu menarik napas dalam-dalam, guna meredamkan kesalnya.
“Oke, kalau begitu kita mulai perkenalan kembali.” Ide nya agar Linara mengingat kembali padanya, meskipun dia sudah berulang kali memperkenalkan dirinya sewaktu dikelas dan juga saat masa orientasi.
“Kenalkan Namaku Kaivan Listu Mallory yang artinya seorang yang tampan, selalu ceria dan bahagia wujud dalam sebuah keberuntungan. Itulah yang orang tua ku sampaikan padaku, makanya lahirlah manusia tampan seperti aku, baguskan!” jelasnya penuh dengan percaya diri, apalagi saat sinar mentari menyorot dirinya semakin kental penghayatan dia dalam berkenalan.
“Iya, nama yang bagus!” Sungguh lelaki yang terlalu percaya diri, begitulah lintasan benak Linara saat mengenalnya.
“Ku harap kita bisa berteman baik,” Kaivan mengulurkan tangan untuk berjabat sebuah kesepakatan pertemanan, Linara tersenyum sesaat setalah mendapati teman baru di kampusnya, ternyata tidak semua manusia disini menyebalkan ungkap batin Linara. Linara menyetujui pertemanan itu, mereka berjalan bersama dengan arah tujuan yang sama.
Di Mata Linara memang betul Kaivan tampan dengan kulit bersihnya dia berseri, juga sikapnya yang sedikit menyebalkan itu. Meskipun Kaivan begitu percaya diri dengan ketampanannya yang timbul menyebalkan tapi, dia seorang yang baik.“Tapi kamu tidak akan lupa nama aku kan?” Kaivan memastikan teman barunya itu tidak lagi lupa.
“Aku akui, itu sulit bagi aku untuk mengingatnya. Nama kamu terlalu sulit,” jawab Linara denga nada malas.
“Selemah itu ya ingatan mu, aku ingin lihat berapa persen otak mu itu, hal kecil aja kamu mudah lupa!” ejeknya Kaivan sembari menjitak kecil kening Linara.
“Tapi memang betul aku tidak mudah dalam ingatan, bukan aku mengada-ada. Tapi, memang itu yang sebenarnya. Bahkan banyak orang yang men-judge aku sombong.” Jelas Linara membuat Kaivan mulai sedikit demi sedikit paham akan kekurangnnya itu.
“Yasudah, panggil aku, Kai. Tiga huruf yang mudah diingat bukan?” solusi Kaivan untuk mempermudah Linara dalam mengingatnya. Seakan Kaivan ingin sekali berteman dengan Linara, entah ada angin apa.
Linara mengerutkan dahinya, sedikit berpikir dari solusi yang Kaivan beri,
“Kai ... Kaiu, ya Kayu!”
“Astaga! Engga gitu juga Linara...,” Kaivan menggelengkan kepalanya, tidak setuju dengan sebutan yang diberi temannya itu. Eksperi Kaivan sedikit meninggalkan gelak tawa, membuat Linara tertawa kecil.
“Tapi itu membuatku mudah dalam mengingat namamu, Kayu! Haha...,” tawa Linara semakin mengembang indah, membuat Kaivan juga tertular tawa.
“Baiklah, terserah kamu. Meskipun hal itu sedikit menyimpang nama tampan ku, Huhu..,” akhirnya Kaivan kalah dalam pemanggilan nama. Canda tawa mereka berjalan hingga tiba dikelas, Kaivan dan Linara masih saja berbincang dengan selingan tawa.
***
Tidak terasa senja mulai terurai, menunjukan jati dirinya yang candu. Kemilau jingganya terlihat indah sekali, Linara berhasil menyelesaikan pelajaran ini. Napasnya berhembus lega, kaki mulai melankah meninggalkan kelas. Sesekali Linara memandang langit yang menyuguhkan keindahannya. Sungguh membuat hati tenang.
“Nih..,” Kaivan memberi sekotak susu siap saji kepada Linara, tanpa sungkan lagi Linara menerimanya, tak lupa selalu mengucap terima kasih. Tatakrama yang selalu diajarkan sang Ibunda pada Linara yang melekat hingga sekarang.
Kaivan mulai beranjak dari duduknya,“Yuk kita pulang.” Ajaknya Kaivan pada Linara yang sedari tadi masih menikmati langit jingga dengan menyesap sekotak susu.
“Kau duluan saja, Aku masih ingin disini.” Tolak Linara secara halus. Kaivan tidak berhak memaksanya untuk pulang, maka dari itu Kaivan hsnys bisa menghargai suatu penolakan Linara, dia pergi pulang duluan. Membiarkan Linara dengan ketenangannya.
“Yasudah ... Aku duluan ya, Bye..,”
Linara membalas dengan anggukan sambil tersenyum kepada Kaivan, sosok Kaivan semakin ditelan jalan, semakin jauh dan tak terlihat lagi. Seperti biasa Linara mengeluarkan note kecil yang dia bawa, sedikit kenangan indah dia ukir dalam sebuah note.‘Teman baru ‘Kayu’’
Ya begitulah yang Linara tulis agar selalu mengingat temannya Kaivan. Rasanya hari semakin tertelan gelap, membuat Linara harus segera meninggal tempat itu. Langkahnya mulai menyusuri lorong, dia berjalan dengan santai. Akan tetapi, langkah Linara terhenti saat melihat tiga wanita berada dijalan akhir lorong.
Batinnya merasakan tidak enak, namun pikirannya tidak merespon perkara batinnya. Dalam benak Linara merasakan janggal untuk melewati mereka bertiga, rasanya Linara pernah tersakiti hingga dadanya sesak. Namun sayang, dia tidak mengingatnya. Linara menlanjutkan langkahnya memberanikan diri untuk melewati tiga wanita itu.
“Hei, ada si Aneh lagi datang.” Sepertinya salah satu dari mereka memergok Linara, namun Linara tidak menggubrisnya. Dengan sigap salah satu dari mereka menahan Linara, degup jantung Linara menjadi lebih cepat dari sebelumnya.
“Mau kemana kamu?” ucapnya dengan nada menyeramkan.
“Siapa kalian?” tanya Linara begitu lugu, membuat tiga wanita itu tertawa sindir.
“Belagu juga ya!” Linara sedikit diseret oleh mereka.
Linara didorong keras hingga terjatuh oleh wanita yang berambut ikal, salah satu dari tim itu. Mata Linara berkaca, tubuhnya bergetar tapi sayang Linara tidak mampu membalas. Mereka bertiga terus menerus menindas Linara, bahkan kaki Linara ditinjak oleh salah atu dari mereka yang berbadan gempal.
Hingga salah satu kaki Linara yang ditimpa sigempal itu mengeluarkan suara retakan yang lumayan keras, membuat mereka bertiga langsung menghentikan penindasannya. Ya kaki palsu yang Linara kenakan rusak, mereka bertiga merasa terkejut dengan kondisi kecacatan Linara. Selama ini Linara menutupi cacatnya.
“Puaskah kalian?” teriak Linara dengan tangisnya yang membuat tiga wanita itu diam membisu.
Beruntungnya Kaivan hadir kembali dan memberi gertakan pada ketiga wanita tersebut, bahkan Kaivan mempunyai bukti untuk dilaporkan kepada yang berwajib sebagai kasus penindasan. Membuat ketiga itu berlari pergi meninggalkannya. Awalnya Kaivan hanya ingin mengambil barangnya yang tertinggal dikelas, namun saat diperjalanan dia melihat Linara yang sedang ditindas oleh kakak tingkatnya dikampus.
“Are you oke?” Kaivan berjongkok dan mulai membantu Linara untu tertatih, namun saat melihat dengan jelas bahwa salah satu kaki Linara cacat. Jujur itu membuat Kaivan semakin terkejut. Kaki palsu Linara lepas membuat air mata gadis itu semakin meledak.
Kaivan mulai membopong Linara untuk beralih tempat yang lebih nyaman, kini Linara mulai terduduk dan juga Kaivan tidak lupa memungut Kaki palsunya Linara yang kini telah rusak. Hati Kaivan seakan tertusuk melihat keadaan temannya yang sedang hancur, sekuat tenaga Kaivan menenangkan Linara.
“Apa kau tidak malu mempunyai teman cacat sepertiku?” tanya Linara kepada Kaivan yang mungkin terkejut bukan main melihat keadaan yang sebenarnya. Belum sempat Kaivan jawab pertanyaan Linara, dia langsung membopong kembali Linara untuk segera meinggalkan kampus.
“Aku sama sekali tidak malu, aku salut pada mu! Sudah jangan bersedih lagi, sekarang tunjukan arah rumah mu, Linara.” Balasnya begitu membuat Linara terenyuh, bagaimana tidak selama dia mempunyai teman selalu ditinggalkan karena kecacatan yang Linara miliki. Dibilang cacat sudah pasti, namun lebih sakitnya selalu dikatakan pembawa sial.
“Terima kasih, Kayu!”
Pintu Kedai terbuka, seperti biasa dentingan selalu terdengar, yang pastinya Rayhan menyambut dengan kalimat Selamat datang! Akan tetapi, bukanlah pelanggan yang datang, melainkan Linara yang dibopong di punggung seorang pria asing. Tentu membuat Kakek Aathif dan Rayhan terkejut.Terutama sang Kakek, dia sedikit berlari melihat Linara dalam keadaan payah itu. Wajah Aathif terlukis begitu cemas, mata yang membulat sempurna dan tangan yang sedikit bergetar. Pasti hal utama yang ditanya seorang Kakek itu perihal kondisi Cucunya.Perlahan Kaivan menaruh Linara untuk duduk disalah satu sofa yang telah diarahkan Rayhan, guna untuk Linara duduk ditempat yang nyaman. Lalu Kakek Aathif duduk disebelah Linara, mengusap genangan air mata yang tersisa diwajah manis Linara. Tak lupa Aathif menyuruh Rayhan untuk memberinya segelas air hangat untuk menenangkan Linara.“Kamu kenapa Cucuku, Linara?” Hal yang berulang Aa
“Ah sial! Aku ingin segera besok, rasanya waktu berputar lama sekali!” Itulah gerutu Avraam saat melihat jam dinding di kamarnya yang berputar terlalu lama baginya, seaakan Avraam ingin memutarnya lebih cepat.Sepasang mata Avraam enggan untuk tertutup, rasanya terlalu bersemangat dalam pikirnya. Dengusan kesal selalu berkicau dalam hati Avraam. Seketika dia bangkit dan beralih tempat menuju dapur, melangkah dekat menuju lemari pendingan. Tangannya mengambil sekotak susu siap saji yang bervarian rasa mangga.Meneguk sedikit demi sedikit, tak terasa Avraam menghabiskannya begitu cepat. Sesaat memandangi nuansa malam didapurnya, terasa begitu sepi dan dingin yang menusuk. Bukan dingin udara namun kesan kehidupan yang seakan mati termakan waktu gelap.Bagaimana tidak terlihat sunyi, rumah yang begitu besar yang dilengkapi furniture minimalis terkesan elok dipandang. Namun sayang, jarang sekali terdengar tawa disana sete
Suara perut keroncongan terdengar jelas disaat pejalanan menuju kampus, membuat suasana hening seketika.Linara menoleh kearah temannya Kayu, siapa lagi selain Kaivan dengan panggilan istimewanya Kayu. Membuat Linara sedikit menahan tawa.“Kamu lapar, Kayu?” tanya Linara membuat Kaivan tersipu malu dan menggaruk kepalanya yang tak teras gatal itu, Kaivan hanya mengangguk pelan, membenarkan apa yang Linara ucapkan.Linara segera merogoh isi tas bekal yang telah Kakek siapkan sebelum Linara berangkat, beruntung ada sepotong Sandwich telur yang begitu nikmat. Linara segera memberinya kepada Kaivan, yang jelas Kaivan menerimanya tanpa sungkan.“Terima kasih! Kenapa engga dari tadi sih..,” candanya Kaivan dengan tangan yang segera merampas Sandwich Telur dari Linara.Linara hanya tertawa kecil melihat gelagat Kaivan, diberi hati minta jantung mungkin itulah ist
Sepertinya ada yang salah persepsi, Rayhan yang berpenampilan rapih dan wangi mendadak ciut saat Kaivan yang tidak diharapkannya hadir. Ekspektasi yang jauh dari realita, mungkin itu yang Rayhan rasakan sekarang. Apalagi saat Kaivan lebih dekat dengan Linara, dirinya merasa jadi kambing conge berada diantara mereka.Muka Rayhan yang berubah kecut dengan tatapan datarnya masih menatap Linara yang berbincang sembari bersenda gurau dengan Kaivan saat masih didepan Kedai Kopi, mereka masih menunggu Kakek Aathif untuk berpamitan.“Kalau gini jadinya gue engga akan ikut, sayangkan waktu istirahat gue! Shit!” gerutu Rayhan dengan menggigit bibir bawahnya.Tak selang lama Aathif muncul, Linara mulai berpamitan. Aathif memberikan kepercayaan penuh pada Kaivan dan Rayhan untuk menjaga Linara. Semoga Cucunya itu terus mengurai bahagia, harap Aathif saat Linara, Kaivan, dan Rayhan mulai perlahan meninggalkannya.
Masih berada di suasana Festival, Kaivan yang berlalu begitu saja meninggalkan Linara dan Rayhan dalam lingkup canggung saat mendapati scene yang cukup tidak terpikirkan, bagaimana tidak tertuai rona merah saat sikap Rayhan yang sedikit pemalu itu mendadak berubah siasat dalam sekejap. Linara masih tertunduk malu sedangkan Rayhan memalingkan wajahnya berupaya menyembunyikan merah jambu pipinya.Rasanya Linara geram, ingin sekali mencabik Kaivan yang menyebalkan itu. Dalam situasi kaya gini dia malah kabur saat sepasang Mata genitnya melirik dua wanita cantik yang berbadan sintal, siapa lagi selain Kakak Tingkat dikampus yang memberinya Tiket gratis ke Festival ini.Seketika ponsel Linara berdering, mendapati notif panggilan masuk dari Kakek Aathif, segera Linara mengangkat panggilan tersebut, batin Linara berpikir bahwa Kakek pasti mengkhawatirkannya. Betul saja, Aathif menelpon Linara untuk segera pulang karna waktu akan semakin larut
Hatinya peluh, seakan ruh hilang sebagian. Andai semua tidak terjadi, andai semua tidak dilaksanakan, mungkin tidak akan seperti ini. Apadaya setelah tanah merah sudah terbuka, terbaring lemah disana, hanya duka yang kini terdengar dan penyesalan tanpa arti.Air matanya masih menggulir deras disamping pria tua yang merangkulnya, melihat kepergian sosok cinta pertama dalam kehidupan kini terbaring dalam tanah merah. Masih ada kebencian yang tertuai, dendam yang belum meredam, dan kehidupan yang masih terlihat cacat.Upacara pemakaman telah usai, semua berjalan sebagaimana mestinya, para pelayat pun perlahan berhambur meninggalkan. Namun seorang gadis rapuh dan pria tua tetap disana, menatapi batu nisan yang tertancap, air matanya masih berlinang.“Waktunya kita pulang, Linara. Ayah sudah tenang di alam sana,” Aathif berupaya mengajak Linara untuk pulang karena matahari akan tak lama lagi akan berubah sen
Sosok tinggi nan tegap itu kini berhadapan dengan Linara, tangannya merangkul bunga sebagai simbol bela sungkawa. Mata Linara seakaan tidak menyangka Avraam si pelanggan kedai itu berada dihadapannya. Dari mana Avraam tahu alamat rumah Linara? dan bagaimana juga Avraam mengetahui berita duka ini? Padahal berita duka ini tidak banyak orang tahu.Langkah kaki perlahan mendekat, keduanya saling berhadapan dengan jarak cukup dekat membuat Linara sedikit melangkah mundur, merasa canggung dengan jarak yang dibuat Avraam.“Saya turut berduka cita atas kepergian beliau, semoga Tuhan selalu menjaganya,” ungkap belasungkawa Avraam sembari menyodorkan bunga kepada Linara.“Aamiin, Terima kasih, Tuan.”“Tapi maaf anda tahu dari mana berita ini?” tanya Linara membuat Avraam diam membisu, rasanya Avraam tidak ingin memberi tahu Linara yang sebenarnya bahwa dia mengulik informasi
Air mata yang mengucur membasahi pipi lembutnya, tak peduli alas kepala yang mulai basah karena tetes demi tetes air haru mengalir deras. Tangannya meremas kuat kain selimut yang membalut diri, dengan bibir bawah yang digigit menahan sakit yang dirasa. Pikirnya membawa alam nostalgia.“Ayah ... kenapa kau tinggalkan Linara secepat ini! Dan Bunda ... kemana Linara harus mencari Bunda? Tuhan kemana Aku harus melangkah? Rasanya berat! Linara tidak sanggup menjalaninya!” itulah sedikit keluh kesah Linara dalam diam, penuh air mata, sesak rasanya menjalani semua. Terasa rumpang kehidupan.Suara ketuk pintu terdengar, seseorang berharap masuk kedalam. Tapi rasanya dalam benak Linara malas untuk membuka pintu tersebut, alih-alih telinga tidak mendengarnya. Mungkin si pengetuk berasumsi Linara sudah tertidur, lantas pintu yang tak terkunci itu dibuka. Kenop yang perlahan ditekan, dan si pengetuk itu masuk, berjalan mendekati Linara.Si peng