Share

Chapter 4 Patah

“Hei, gadis bodoh!” suara yang terdengar lantang dari sisi belakang , Linara tidak memperdulikannya, dia beranggapan mungkin seseorang itu sedang menyahut orang lain. 

“Hei, apa kau tuli?” teriaknya kembali semakin terasa dekat. Linara menambah kecepatan dia berjalan, dia tidak mau berhadapan dengan orang aneh lagi.

Cepat Linara!

Semakin Linara mempercepat langkahnya, semakin terdengar jelas sahutan itu. Seakan dia mengikuti Linara, ada apa dengan manusia ini? Apa yang dia mau dari seorang Linara? 

“Aku bilang tunggu!” dari arah belakang dia menarik Linara, membuat langkah Linara berhenti. Tertahan dengan tangannya yang mengepal blazer Linara. Mau tidak mau Linara menoleh kearah sahutannya itu. Linara memperhatikan orang tersebut, rasanya dia orang asing. Tidak ada kata sepatahpun yang keluar dari Linara saat bertemu dengan orang asing baginya, Linara hanya menatap aneh padanya.

“Kalau orang nyahut itu, jawab! Bukannya pura-pura budeg. Ayo, ke kelas bareng!” ajaknya sembari menarik lengan Linara, tiba-tiba muncul ditambah omongannya pedas eh malah ngajak bareng ke kelas, sadarkah siapa dia? Dalam batinnya Linara merasa kesal, Linara melepaskan genggaman tangan Pria aneh itu.

“Siapa kamu?” tukasnya Linara yang mulai terasa kesal dengan sikap yang semena-mena itu. Pria tersebut hanya memasang wajah kebingungan dengan sikap Linara, seolah hilang ingatan.

“Apa kamu tidak ingat? Kita satu kampus dan juga satu kelas, dan juga kemarin aku yang melempar kerikil kecil padamu, dan jangan bilang kamu lupa dengan ku?” intograsinya membuat Linara memijat pelipisnya dengan gemas, Linara semakin kesal dengan dirinya yang sangat lemah dalam ingatan.

“Kenapa? Apa kau sakit?” 

“Tidak, tapi Aku benar-benar tidak mengenalmu.” Seutas jawaban Linara yang membuat Pria itu tercengang. Bagaimana tidak, Pria itu baru saja menemukan jelmaan manusia yang begitu pelupa. Membuat Pria itu menarik napas dalam-dalam, guna meredamkan kesalnya.

“Oke, kalau begitu kita mulai perkenalan kembali.” Ide nya agar Linara mengingat kembali padanya, meskipun dia sudah berulang kali memperkenalkan dirinya sewaktu dikelas dan juga saat masa orientasi.

“Kenalkan Namaku Kaivan Listu Mallory yang artinya seorang yang tampan, selalu ceria dan bahagia wujud dalam sebuah keberuntungan. Itulah yang orang tua ku sampaikan padaku, makanya lahirlah manusia tampan seperti aku, baguskan!” jelasnya penuh dengan percaya diri, apalagi saat sinar mentari menyorot dirinya semakin kental penghayatan dia dalam berkenalan.

“Iya, nama yang bagus!” Sungguh lelaki yang terlalu percaya diri, begitulah lintasan benak Linara saat mengenalnya.

“Ku harap kita bisa berteman baik,” Kaivan mengulurkan tangan untuk berjabat sebuah kesepakatan pertemanan, Linara tersenyum sesaat setalah mendapati teman baru di kampusnya, ternyata tidak semua manusia disini menyebalkan ungkap batin Linara. Linara menyetujui pertemanan itu, mereka berjalan bersama dengan arah tujuan yang sama.

Di Mata Linara memang betul Kaivan tampan dengan kulit bersihnya dia berseri, juga sikapnya yang sedikit menyebalkan itu. Meskipun Kaivan begitu percaya diri dengan ketampanannya yang timbul menyebalkan tapi, dia seorang yang baik.

“Tapi kamu tidak akan lupa nama aku kan?” Kaivan memastikan teman barunya itu tidak lagi lupa.

“Aku akui, itu sulit bagi aku untuk mengingatnya. Nama kamu terlalu sulit,” jawab Linara denga nada malas.

“Selemah itu ya ingatan mu, aku ingin lihat berapa persen otak mu itu, hal kecil aja kamu mudah lupa!” ejeknya Kaivan sembari menjitak kecil kening Linara.

“Tapi memang betul aku tidak mudah dalam ingatan, bukan aku mengada-ada. Tapi, memang itu yang sebenarnya. Bahkan banyak orang yang men-judge aku sombong.” Jelas Linara membuat Kaivan mulai sedikit demi sedikit paham akan kekurangnnya itu.

“Yasudah, panggil aku, Kai. Tiga huruf yang mudah diingat bukan?” solusi Kaivan untuk mempermudah Linara dalam mengingatnya. Seakan Kaivan ingin sekali berteman dengan Linara, entah ada angin apa.

Linara mengerutkan dahinya, sedikit berpikir dari solusi yang Kaivan beri,

“Kai ... Kaiu, ya Kayu!”

“Astaga! Engga gitu juga Linara...,” Kaivan menggelengkan kepalanya, tidak setuju dengan sebutan yang diberi temannya itu. Eksperi Kaivan sedikit meninggalkan gelak tawa, membuat Linara tertawa kecil.

“Tapi itu membuatku mudah dalam mengingat namamu, Kayu! Haha...,” tawa Linara semakin mengembang indah, membuat Kaivan juga tertular tawa.

“Baiklah, terserah kamu. Meskipun hal itu sedikit menyimpang nama tampan ku, Huhu..,” akhirnya Kaivan kalah dalam pemanggilan nama. Canda tawa mereka berjalan hingga tiba dikelas, Kaivan dan Linara masih saja berbincang dengan selingan tawa.

***

Tidak terasa senja mulai terurai, menunjukan jati dirinya yang candu. Kemilau jingganya terlihat indah sekali, Linara berhasil menyelesaikan pelajaran ini. Napasnya berhembus lega, kaki mulai melankah meninggalkan kelas. Sesekali Linara memandang langit yang menyuguhkan keindahannya. Sungguh membuat hati tenang.

“Nih..,” Kaivan memberi sekotak susu siap saji kepada Linara, tanpa sungkan lagi Linara menerimanya, tak lupa selalu mengucap terima kasih. Tatakrama yang selalu diajarkan sang Ibunda pada Linara yang melekat hingga sekarang.

Kaivan mulai beranjak dari duduknya,

“Yuk kita pulang.” Ajaknya Kaivan pada Linara yang sedari tadi masih menikmati langit jingga dengan menyesap sekotak susu.

“Kau duluan saja, Aku masih ingin disini.” Tolak Linara secara halus. Kaivan tidak berhak memaksanya untuk pulang, maka dari itu Kaivan hsnys bisa menghargai suatu penolakan Linara, dia pergi pulang duluan. Membiarkan Linara dengan ketenangannya.

“Yasudah ... Aku duluan ya, Bye..,” 

Linara membalas dengan anggukan sambil tersenyum kepada Kaivan, sosok Kaivan semakin ditelan jalan, semakin jauh dan tak terlihat lagi. Seperti biasa Linara mengeluarkan note kecil yang dia bawa, sedikit kenangan indah dia ukir dalam sebuah note.

‘Teman baru ‘Kayu’’

Ya begitulah yang Linara tulis agar selalu mengingat temannya Kaivan. Rasanya hari semakin tertelan gelap, membuat Linara harus segera meninggal tempat itu. Langkahnya mulai menyusuri lorong, dia berjalan dengan santai. Akan tetapi, langkah Linara terhenti saat melihat tiga wanita berada dijalan akhir lorong.

Batinnya merasakan tidak enak, namun pikirannya tidak merespon perkara batinnya. Dalam benak Linara merasakan janggal untuk melewati mereka bertiga, rasanya Linara pernah tersakiti hingga dadanya sesak. Namun sayang, dia tidak mengingatnya. Linara menlanjutkan langkahnya memberanikan diri untuk melewati tiga wanita itu.

“Hei, ada si Aneh lagi datang.” Sepertinya salah satu dari mereka memergok Linara, namun Linara tidak menggubrisnya. Dengan sigap salah satu dari mereka menahan Linara, degup jantung Linara menjadi lebih cepat dari sebelumnya.

“Mau kemana kamu?” ucapnya dengan nada menyeramkan.

“Siapa kalian?” tanya Linara begitu lugu, membuat tiga wanita itu tertawa sindir.

“Belagu juga ya!” Linara sedikit diseret oleh mereka.

Linara didorong keras hingga terjatuh oleh wanita yang berambut ikal, salah satu dari tim itu. Mata Linara berkaca, tubuhnya bergetar tapi sayang Linara tidak mampu membalas. Mereka bertiga terus menerus menindas Linara, bahkan kaki Linara ditinjak oleh salah atu dari mereka yang berbadan gempal. 

Hingga salah satu kaki Linara yang ditimpa sigempal itu mengeluarkan suara retakan yang lumayan keras, membuat mereka bertiga langsung menghentikan penindasannya. Ya kaki palsu yang Linara kenakan rusak, mereka bertiga merasa terkejut dengan kondisi kecacatan Linara. Selama ini Linara menutupi cacatnya.

“Puaskah kalian?” teriak Linara dengan tangisnya yang membuat tiga wanita itu diam membisu.

Beruntungnya Kaivan hadir kembali dan memberi gertakan pada ketiga wanita tersebut, bahkan Kaivan mempunyai bukti untuk dilaporkan kepada yang berwajib sebagai kasus penindasan. Membuat ketiga itu berlari pergi meninggalkannya. Awalnya Kaivan hanya ingin mengambil barangnya yang tertinggal dikelas, namun saat diperjalanan dia melihat Linara yang sedang ditindas oleh kakak tingkatnya dikampus.

“Are you oke?” Kaivan berjongkok dan mulai membantu Linara untu tertatih, namun saat melihat dengan jelas bahwa salah satu kaki Linara cacat. Jujur itu membuat Kaivan semakin terkejut. Kaki palsu Linara lepas membuat air mata gadis itu semakin meledak.

Kaivan mulai membopong Linara untuk beralih tempat yang lebih nyaman, kini Linara mulai terduduk dan juga Kaivan tidak lupa memungut Kaki palsunya Linara yang kini telah rusak. Hati Kaivan seakan tertusuk melihat keadaan temannya yang sedang hancur, sekuat tenaga Kaivan menenangkan Linara.

“Apa kau tidak malu mempunyai teman cacat sepertiku?” tanya Linara kepada Kaivan yang mungkin terkejut bukan main melihat keadaan yang sebenarnya. Belum sempat Kaivan jawab pertanyaan Linara, dia langsung membopong kembali Linara untuk segera meinggalkan kampus.

“Aku sama sekali tidak malu, aku salut pada mu! Sudah jangan bersedih lagi, sekarang tunjukan arah rumah mu, Linara.” Balasnya begitu membuat Linara terenyuh, bagaimana tidak selama dia mempunyai teman selalu ditinggalkan karena kecacatan yang Linara miliki. Dibilang cacat sudah pasti, namun lebih sakitnya selalu dikatakan pembawa sial.

“Terima kasih, Kayu!” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status