“Paman Aathif, ada yang ingin Rayhan tanyakan, boleh?” secuil pertanyaan Rayhan yang sedari tadi ingin ia tanyakan, baru sempat diwaktu sekarang. Karena, keadaan kedai sangatlah ramai, membuat Rayhan menunda pertanyaannya itu hingga masa lenggang hadir.
“Tentu boleh, apa yang kau ingin tanyakan?” balasnya Aathif dengan tangan yang sedang asik memijat pundaknya yang terasa pegal itu, membuat Rayhan merasa ingin membantu memijat pria tua tersebut.
“Sambil Rayhan bertanya, bagaimana kalau Rayhan bantu Paman untuk memijatmu. Sepertinya anda terlihat sangat lelah.”
“Ah ... Ide yang sangat bagus!” wajahnya terlihat sumringah mendapati bantuan dari anak buahnya itu, bagaimana tidak lelah dengan kunjungan pelanggan yang cukup ramai hari ini, tidak seperti biasanya. Perlahan Rayhan mulai memijit pangkal pundak Aathif, terasa nyaman dan sedikit meringankan pegalnya Aathif, dia sangat menikmatinya.
“Paman maaf kalau Rayhan boleh tanya, Linara tadi kenapa ya menatap Rayhan seperti yang tidak suka?” seutas tanyanya terselip saat tangannya masih sibuk memijat, Aathif memejamkan matanya menikmati pijatan itu, dengan ringan membalas sambil menutup matanya.
“Linara seperti itu sikapnya, dia sangat tidak suka dengan manusia yang tidak tepat waktu. Terutama pada lelaki, dia teramat geram. Maka kamu jangan aneh dengan sikapnya yang cepat berubah itu. Tapi tetap Linara adalah cucuku yang teramat baik.”
Rayhan termangut, menyadari semua sikap perbedaan pada Linara. Meskipun sangat signifikan dia berubah tapi tetap terlihat menawan bagi Rayhan. Tunggu! Apa yang sebenarnya Rayhan pikirkan terhadap Linara? Apa dia menyukainya? Atau hanya sebuah rasa penasarannya saja?
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
“Ah, tidak apa-apa paman. Hanya penasaran saja, takutnya ada kesalahan dari Rayhan.”
“Memang kamu salah, kenapa kamu terlambat?” tukas Aathif pada karyawannya itu yang hampir telat satu jam lamanya, untung saja dia memiliki majikan yang baik. Coba kalau tidak, mungkin Rayhan sudah dipecat.
“Ah iya, Paman. Kenapa Linara tinggal bersamamu?” sedikit demi sedikit Rayhan mulai mencokel pertanyaan untuk memuaskan hasrat penasaran dia terhadap Linara.
“Sudah ku bilang kemarin, dia sedang kuliah disini. Sebentar sepertinya kamu sedang intograsi saya!” canda Aathif membuat gelak tawa Rayhan timbul, begitupun sebaliknya terhadap Aathif.
“Haha ... Paman bisa saja! Oh iya, Linara pulang jam berapa? Biar Rayhan jemput,” tawar Rayhan mulai tercium bau-bau kedustaan ingin berdekatan dengan Linara.
Sayang sekali Aathif tidak mengetahui kapan cucunya itu pulang, karena jadwal yang berubah-ubah. Rayhan hanya bisa menarik napas jenuh medengar bahwa rencana pendekatan dia mungkin gagal hari ini. Tapi harapannya tidak padam karena mungkin esok ataupun lusa dia bisa mengenal Linara lebih dalam.
***
“Sejak kapan kamu pandai dalam meracik kopi?” tanya Avraam disela perjalanan, ya lagi dan lagi berkaitan dengan kopi. Rasanya Linara sudah bosan membahas perihal kopi ini.
“Sejak saya masih kelas satu SMA, selama liburan sekolah pasti tujuan Linara hanyalah kedai Kakek. Entah mengapa Linara sangat menyukai saat Kakek sedang meracik dan wangi aroma kopi itu begitu memikat. Terasa ada kandungan damai didalamnya, membuat candu. Maka dari itu, Linara sering membantu Kakek dalam meracik kopi.”
“Pantas saja. Tapi saya akui memang enak kopi buatan mu. Apalagi Americano tadi, membuatku teringat isteri saya.” Mata Linara membulat, seakan tidak percaya bahwa Avraam sudah menikah. Wajahnya begitu muda bahkan semua bentuk tubuhnya terlihat bugar dan segar, layaknya perjaka yang matang sedang mencari calon pinangan.
“A-ah terima kasih atas pujiannya. Isteri anda pandai membuat kopi, tapi kenapa anda setiap hari berada di Kedai.
"Memang isteri anda dimana, Tuan?” tanya Linara kembali menanyakan sosok spesial dimata Avraam itu.
“Isteri saya sudah meninggal.” Sapatah kata haru, membuat Linara tak enak hati setelah bertanya yang layaknya tidak perlu ditanyakan.
“A-ah maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud..,”
“Tidak apa-apa, lagian kamu tidak salah. Tidak terasa sudah tiga tahun berlalu dia meninggalkan saya dan anak saya...,”
Linara lagi-lagi semakin tidak percaya bahwa Avraam juga telah menjadi seorang Ayah. Wajahnya mampu menipu daya siapapun yang melihatnya. Di Mata Linara saja Avraam layaknya lelaki berumur 25 Tahun, nyatanya tebakan Linara salah. Kini Avram berusia 35 Tahun, sepuluh tahun lebih tua dari pikir Linara. Hingga Linara gila memikirkan perawatan apa yang Avraam pakai hingga semuda ini.
Rasa-rasanya Linara Insecure dengan perawakan Avraam yang 30cm lebih tinggi darinya, begitu tinggi tegap dan tentunya berdada bidang, sepertinya nyaman untuk bersandar. Sedangkan, Linara gadis berumur dua puluh tahun, tapi merasa diri paling terlihat tua.
“Dimana kampusmu?” pertanyaan Avraam membuat lamunan Linara pecah, telunjuknya mulai menunjuk arah kampusnya yang tak lagi jauh.
Pikir Avraam mulai bergelayut kembali dalam kenangan, jalanan yang tidak terasa asing bagi Avraam. Rasanya sosok isterinya seperti kembali hadir dalam hidup Avraam. Yang pastinya membuat denyut jantung Avraam berdetak begitu kencang. Apa ini cara Tuhan untuk memulihkan hati yang telah lama mati? Pikir Avraam selalu begitu.Avraam melirik Linara kembali, dia ingin menatap sekali lagi gadis itu. Apabila dia betul jelmaan yang dikirim Tuhan untuk mengisi relung hati yang sudah lama hampa? Apabila iya, mengapa Tuhan mengirimnya gadis belia kepada dia? Kenapa tidak yang lebih tua sedikit. Seakan Avraam menawar sebuah arti kata takdir.
Linara melambai tangan pada pandangan Avraam yang sedari tadi menatapnya, apalagi dalam kondisi sedang mengendarai bukankah itu mambahayakan? Namun tatapan Avraam masih tertegun dengan sepasang bola mata Linara yang berwarna coklat itu.“TUAN AWAS!” dengan sigap Linara mengalih kendali kemudi dan membantingkan setir kearah tepi jalan, kemudi yang mulai melawan arus dan hampir saja bertabrakan dengan mobil lain yang berlawanan arah.
Kejadian yang sedikit klasik bukan? Dengan posisi Linara tepat dalam pangkuannya Avraam, dengan detak jantung yang hampir saja putus akibat kejadian itu. Avraam dengan bebas melihat tengkuk Linara yang sungguh mempesona dan juga lekuk punggungnya juga. Begitu terasa semakin berdebar dalam batinnya.
“Anda tidak apa-apa, Tuan?” tanya Linara yang sesaat langsung berada dalam posisi awal. Seketika Avraam sadar akan keteledorannya itu.
“Saya baik. Harusnya saya yang bertanya perihal kondisi kamu, maafkan atas ketelodoran saya..,”
“Tidak apa-apa, Tuan. Yang penting selamat dan saya bersyukur terhindar dari kecelakaan tadi. Saya turun disini saja ya, terima kasih atas tumpangannya!” Linara segera membuka kenop pintu mobil, segera berlalu meinggalkan Avraam.
Avraam menepuk-nepuk pipinya, guna menyadari dirinya yang hampir saja membuat masalah besar terhadap anak orang. Kenapa menjadi gila seperti ini, Avraam? Ada apa dengan dirimu ini? Dalam benaknya selalu seperti itu.
Bagaimana tidak Avraam tersihir dengan sosok Linara yang seakan reinkarnasi dari isterinya itu. Semua sikap dan mimik Linara sangat mencerminkan Almarhum isterinya yang sangat Avraam sayang.“Akankah kita bertemu lagi?”
“Hei, gadis bodoh!” suara yang terdengar lantang dari sisi belakang , Linara tidak memperdulikannya, dia beranggapan mungkin seseorang itu sedang menyahut orang lain.“Hei, apa kau tuli?” teriaknya kembali semakin terasa dekat. Linara menambah kecepatan dia berjalan, dia tidak mau berhadapan dengan orang aneh lagi.Cepat Linara!Semakin Linara mempercepat langkahnya, semakin terdengar jelas sahutan itu. Seakan dia mengikuti Linara, ada apa dengan manusia ini? Apa yang dia mau dari seorang Linara?“Aku bilang tunggu!” dari arah belakang dia menarik Linara, membuat langkah Linara berhenti. Tertahan dengan tangannya yang mengepal blazer Linara. Mau tidak mau Linara menoleh kearah sahutannya itu. Linara memperhatikan orang tersebut, rasanya dia orang asing. Tidak ada kata sepatahpun yang keluar dari Linara saat bertemu dengan orang asing baginya, Linara hanya menatap aneh padanya.
Pintu Kedai terbuka, seperti biasa dentingan selalu terdengar, yang pastinya Rayhan menyambut dengan kalimat Selamat datang! Akan tetapi, bukanlah pelanggan yang datang, melainkan Linara yang dibopong di punggung seorang pria asing. Tentu membuat Kakek Aathif dan Rayhan terkejut.Terutama sang Kakek, dia sedikit berlari melihat Linara dalam keadaan payah itu. Wajah Aathif terlukis begitu cemas, mata yang membulat sempurna dan tangan yang sedikit bergetar. Pasti hal utama yang ditanya seorang Kakek itu perihal kondisi Cucunya.Perlahan Kaivan menaruh Linara untuk duduk disalah satu sofa yang telah diarahkan Rayhan, guna untuk Linara duduk ditempat yang nyaman. Lalu Kakek Aathif duduk disebelah Linara, mengusap genangan air mata yang tersisa diwajah manis Linara. Tak lupa Aathif menyuruh Rayhan untuk memberinya segelas air hangat untuk menenangkan Linara.“Kamu kenapa Cucuku, Linara?” Hal yang berulang Aa
“Ah sial! Aku ingin segera besok, rasanya waktu berputar lama sekali!” Itulah gerutu Avraam saat melihat jam dinding di kamarnya yang berputar terlalu lama baginya, seaakan Avraam ingin memutarnya lebih cepat.Sepasang mata Avraam enggan untuk tertutup, rasanya terlalu bersemangat dalam pikirnya. Dengusan kesal selalu berkicau dalam hati Avraam. Seketika dia bangkit dan beralih tempat menuju dapur, melangkah dekat menuju lemari pendingan. Tangannya mengambil sekotak susu siap saji yang bervarian rasa mangga.Meneguk sedikit demi sedikit, tak terasa Avraam menghabiskannya begitu cepat. Sesaat memandangi nuansa malam didapurnya, terasa begitu sepi dan dingin yang menusuk. Bukan dingin udara namun kesan kehidupan yang seakan mati termakan waktu gelap.Bagaimana tidak terlihat sunyi, rumah yang begitu besar yang dilengkapi furniture minimalis terkesan elok dipandang. Namun sayang, jarang sekali terdengar tawa disana sete
Suara perut keroncongan terdengar jelas disaat pejalanan menuju kampus, membuat suasana hening seketika.Linara menoleh kearah temannya Kayu, siapa lagi selain Kaivan dengan panggilan istimewanya Kayu. Membuat Linara sedikit menahan tawa.“Kamu lapar, Kayu?” tanya Linara membuat Kaivan tersipu malu dan menggaruk kepalanya yang tak teras gatal itu, Kaivan hanya mengangguk pelan, membenarkan apa yang Linara ucapkan.Linara segera merogoh isi tas bekal yang telah Kakek siapkan sebelum Linara berangkat, beruntung ada sepotong Sandwich telur yang begitu nikmat. Linara segera memberinya kepada Kaivan, yang jelas Kaivan menerimanya tanpa sungkan.“Terima kasih! Kenapa engga dari tadi sih..,” candanya Kaivan dengan tangan yang segera merampas Sandwich Telur dari Linara.Linara hanya tertawa kecil melihat gelagat Kaivan, diberi hati minta jantung mungkin itulah ist
Sepertinya ada yang salah persepsi, Rayhan yang berpenampilan rapih dan wangi mendadak ciut saat Kaivan yang tidak diharapkannya hadir. Ekspektasi yang jauh dari realita, mungkin itu yang Rayhan rasakan sekarang. Apalagi saat Kaivan lebih dekat dengan Linara, dirinya merasa jadi kambing conge berada diantara mereka.Muka Rayhan yang berubah kecut dengan tatapan datarnya masih menatap Linara yang berbincang sembari bersenda gurau dengan Kaivan saat masih didepan Kedai Kopi, mereka masih menunggu Kakek Aathif untuk berpamitan.“Kalau gini jadinya gue engga akan ikut, sayangkan waktu istirahat gue! Shit!” gerutu Rayhan dengan menggigit bibir bawahnya.Tak selang lama Aathif muncul, Linara mulai berpamitan. Aathif memberikan kepercayaan penuh pada Kaivan dan Rayhan untuk menjaga Linara. Semoga Cucunya itu terus mengurai bahagia, harap Aathif saat Linara, Kaivan, dan Rayhan mulai perlahan meninggalkannya.
Masih berada di suasana Festival, Kaivan yang berlalu begitu saja meninggalkan Linara dan Rayhan dalam lingkup canggung saat mendapati scene yang cukup tidak terpikirkan, bagaimana tidak tertuai rona merah saat sikap Rayhan yang sedikit pemalu itu mendadak berubah siasat dalam sekejap. Linara masih tertunduk malu sedangkan Rayhan memalingkan wajahnya berupaya menyembunyikan merah jambu pipinya.Rasanya Linara geram, ingin sekali mencabik Kaivan yang menyebalkan itu. Dalam situasi kaya gini dia malah kabur saat sepasang Mata genitnya melirik dua wanita cantik yang berbadan sintal, siapa lagi selain Kakak Tingkat dikampus yang memberinya Tiket gratis ke Festival ini.Seketika ponsel Linara berdering, mendapati notif panggilan masuk dari Kakek Aathif, segera Linara mengangkat panggilan tersebut, batin Linara berpikir bahwa Kakek pasti mengkhawatirkannya. Betul saja, Aathif menelpon Linara untuk segera pulang karna waktu akan semakin larut
Hatinya peluh, seakan ruh hilang sebagian. Andai semua tidak terjadi, andai semua tidak dilaksanakan, mungkin tidak akan seperti ini. Apadaya setelah tanah merah sudah terbuka, terbaring lemah disana, hanya duka yang kini terdengar dan penyesalan tanpa arti.Air matanya masih menggulir deras disamping pria tua yang merangkulnya, melihat kepergian sosok cinta pertama dalam kehidupan kini terbaring dalam tanah merah. Masih ada kebencian yang tertuai, dendam yang belum meredam, dan kehidupan yang masih terlihat cacat.Upacara pemakaman telah usai, semua berjalan sebagaimana mestinya, para pelayat pun perlahan berhambur meninggalkan. Namun seorang gadis rapuh dan pria tua tetap disana, menatapi batu nisan yang tertancap, air matanya masih berlinang.“Waktunya kita pulang, Linara. Ayah sudah tenang di alam sana,” Aathif berupaya mengajak Linara untuk pulang karena matahari akan tak lama lagi akan berubah sen
Sosok tinggi nan tegap itu kini berhadapan dengan Linara, tangannya merangkul bunga sebagai simbol bela sungkawa. Mata Linara seakaan tidak menyangka Avraam si pelanggan kedai itu berada dihadapannya. Dari mana Avraam tahu alamat rumah Linara? dan bagaimana juga Avraam mengetahui berita duka ini? Padahal berita duka ini tidak banyak orang tahu.Langkah kaki perlahan mendekat, keduanya saling berhadapan dengan jarak cukup dekat membuat Linara sedikit melangkah mundur, merasa canggung dengan jarak yang dibuat Avraam.“Saya turut berduka cita atas kepergian beliau, semoga Tuhan selalu menjaganya,” ungkap belasungkawa Avraam sembari menyodorkan bunga kepada Linara.“Aamiin, Terima kasih, Tuan.”“Tapi maaf anda tahu dari mana berita ini?” tanya Linara membuat Avraam diam membisu, rasanya Avraam tidak ingin memberi tahu Linara yang sebenarnya bahwa dia mengulik informasi