Share

Chapter 6 Sebuah Rasa

“Ah sial! Aku ingin segera besok, rasanya waktu berputar lama sekali!” Itulah gerutu Avraam saat melihat jam dinding di kamarnya yang berputar terlalu lama baginya, seaakan Avraam ingin memutarnya lebih cepat. 

Sepasang mata Avraam enggan untuk tertutup, rasanya terlalu bersemangat dalam pikirnya. Dengusan kesal selalu berkicau dalam hati Avraam. Seketika dia bangkit dan beralih tempat menuju dapur, melangkah dekat menuju lemari pendingan. Tangannya mengambil sekotak susu siap saji yang bervarian rasa mangga.

Meneguk sedikit demi sedikit, tak terasa Avraam menghabiskannya begitu cepat. Sesaat memandangi nuansa malam didapurnya, terasa begitu sepi dan dingin yang menusuk. Bukan dingin udara namun kesan kehidupan yang seakan mati termakan waktu gelap.

Bagaimana tidak terlihat sunyi, rumah yang begitu besar yang dilengkapi furniture minimalis terkesan elok dipandang. Namun sayang, jarang sekali terdengar tawa disana setelah mendiang Istri Avraam meninggalkannya lebih dulu, saat kecelakaan tiga tahun silam.

Apalagi saat Avraam menyicipi Americano kemarin membuat pikirnya terus  menggali kenangan bersama Almarhumah Isterinya. Kecelakaan tiga tahun silam sangat teringat kental dalam ingatan Avraam. Terkadang Avraam selalu memukul kepalanya sendiri dan meremas gemas rambutnya, menyesali kepergian Isterinya itu. 

“Ini salahku! Kenapa kamu harus pergi, semua ini tidak akan terjadi! Kamu pasti masih ada disini bersama Aku dan Altan!” kata sesal yang selalu keluar dari Avraam, sulit baginya untuk melupakan kejadian kelam itu. 

Awal mula semua itu terjadi saat liburan akhir tahun telah tiba, Altan sangat bersemangat untuk pergi liburan. Mereka sudah merencanakan liburan di Pantai tepat tanggal kelahiran Altan yang akan menginjak usia sepuluh tahun saat itu. Tapi, semua batal akibat pekerjaan Avraam yang mendadak harus pergi keluar negeri untuk kepentingan bisnisnya.

Drama terjadi saat Altan merengek karena pembatalan yang mendadak itu, dia merajuk keras pada sang Ayah. Hingga drama mogok makan pun terjadi, membuat Isteri Avraam sangat khawatir pada anaknya. Maka dari itu, Isteri Avraam berinisiatif untuk pergi liburan duluan biar Avraam yang menyusulnya nanti, lagian Avraam tidak akan lama disana. Saat itulah Avraam memberikan izin, Avraam berangkat ke bandara sedangkan Isterinya dan Altan berangkat untuk liburan.

Baru saja Avraam tiba di negeri ginseng, sesaat dia menerima panggilan yang memberikan kabar kecelakaan Isterinya dan Altan. Menurut kronologis kejadian perkara, jasad isterinya berada didalam parit dengan tangan merangkul Altan, sedangkan supir mati terbakar dalam mobil yang meledak.

Isterinya tidak bisa diselamatkan, lukanya cukup parah dan pendarahan yang begitu hebat. Sedangkan, Altan bisa terselamatkan dengan kondisi lumpuh total, bagaikan mayat hidup. Isak tangis terdengar jelas disudut ruang saat Avraam mengingat kejadian kelam itu. Avraam menyeka air matanya, langkahnya berlanjut menuju kamar Altan. Upaya menengok sang Anak guna menghempiskan rindunya.

Altan yang terbaring lemah dengan mata yang tertidur pulas. Avraam duduk ditepi ranjang, matanya menyorot salah satu foto yang terpampang diatas nakas, iya gambar yang terdapat keluarga utuh dimana Altan yang sedang dipeluk oleh Avraam dan isterinya, terlihat begitu hangat membuat gelincir air mata terjatuh. Lanjut Avraam mengecup kening Altan yang kini beranjak tiga belas tahun, rasanya waktu itu bergulir cepat.

“Maafkan Ayah, Nak...,” 

***

Sinar mentari yang masuk dalam celah jendela membuat ruangan menjadi hangat dan menyisakan keterangan yang perlahan cerah. Mata yang secara paksa terbuka saat sinar cerahnya menusuk, memberikan kode bahwa hari baru sudah dimulai. 

Raganya mulai terbangkit, duduk ditepi ranjang. Menguap sesaat, lalu tangan bersihnya berusaha mengambil Kaki Palsu yang berada dipinggir nakas, segera dia kenakan. Beranjak menyusuri bilik mandi, membasuh dirinya.

“Untung saja hari ini hanya satu matkul saja..,” Linara menghebus napas lega disela air bertejun bebas ditubuhnya, beruntung hanya satu mata pelajaran saja hari ini membuat Linara dapat beristirhat lebih lama.

Rasanya segar merasakan tubuh yang bersih dan harum, terasa raga hidup kembali. Linara berlanjut merias dirinya dan membalut tubuh dengan pakaian. Stylenya cukup ringan hanya mengenakan Maxi skirt pleats peach dan blus cold shoulder hitam yang Linara kenakan hari ini. 

Notifikasi muncul dari layar posel Linara, terdapat pesan singkat Kaivan yang menanyakan perihal kabar Linara, tentu Linara membalas dengan kondisi dia yang sudah membaik juga berencana masuk hari ini. Membuat Kaivan bahagia mendengarnya, lantas Kaivan merencanakan untuk berangkat bersama dengan Linara, jelas Linara menyetujuinya.

Suara ketuk pintu terdengar, Linara tersadar dan segera berlalu mendekati. Ternyata Aathif yang berada dihadapan dengan membawa nampan yang berisi roti gandum dengan selai coklat dan segelas susu hangat.

“Kakek pikir kamu belum siap-siap, ya sudah ini sarapannya dimakan dulu..,” Aathif memberikan nampan itu pada Linara.

“Terima kasih, Kek. Linara akan segera menyusul ke bawah..,” balasnya Linara sembari menerima nampan yang berisi sarapan itu.

Aathif menganggukan kepalanya, dan berlalu meninggalkan Linara. “Baiklah, hati-hati saat berjalan...,” ucapnya sambil menuruni anak tangga.

***

Seperti biasa suasana Kedai mulai ramai dengan beberapa pelanggan yang sedang memenuhi sarapan sebelum memulai hari. Rayhan yang sibuk kesana kemari melayani pelanggan yang berdatangan, juga Aathif yang fokus terhadap sajian pesanan.

Dipojok samping jendela tepatnya meja nomor tiga, sangat terlihat Avraam yang sedang terduduk dengan mengamati seseorang yang dia cari, dimanakah Linara? Pikirnya seperti itu, rasanya dia ingin menyesap Americano buatan Linara lagi.

Dalam waktu lima menit kedepan Avraam membuat tekad untuk bertanya langsung pada Aathif, perihal keberadaan Linara? Di sela detik-detik penantiannya itu. Tak selang lama istilah pucuk dicinta ulam pun tiba, menerap langsung pada Avraam yang telah menemukan Linara sedang memakai celemek.

Avraam menaikan tangannya, simbol dia siap untuk memesan. Linara yang peka akan kode seperti itu, dia langsung melayani Avraam dan bersiap menulis pesanannya. Padahal sebelumnya Avraam sudah disambut baik oleh Rayhan dan sempat ditanya untuk memesan apa, namun Avraam memilih untuk menunggu seseorang dulu, ya mungkin dia orangnya, Linara.

“Seperti biasa ya, tapi aku ingin kamu yang membuatnya.” Pintanya pada Linara, tentu Linara mengingatnya dan segera menulis pesanan biasa yang telah lama menjadi pesanan andalan Avraam.

“Baik, Tuan. Ditunggu pesanannya..,” jawab Linara begitu ramah, dia berlalu dan berpikir dalam batinnya mungkin kopi racikan Linara telah berguna dilidahnya.

Linara mendekati bar dan berdampingan dengan Aathif yang sedang sesama meracik, “Sepertinya, Avraam tidak ingin Americano buatan ku lagi, lidah dia sudah tercuri oleh cucuku..,” pujian Aathif sambil menyenggol pelan lengan Linara.

“Kakek bisa saja ... ini semua berkat ilmu yang kau turunkan juga,” ungkap Linara dengan tersenyum bangga.

“Ya sudah, segera buatkan dan berikan padanya, karena Avraam sedari tadi menunggu mu..,”

“Baiklah, Kek.”

Sedari tadi Avraam menunggu Linara? Padahal ilmu yang Linara dapat dari peracik aslinya langsung dan berbahan dasar sama, tapi kenapa Avraam malah menunggu Linara? Baru lidahnya saja yang tercuri sudah begini apalagi perasaannya? Entahlah...

“Ini pesanannya, Tuan.” 

“Terima kasih, tapi maaf saya tidak memesan susu?” Avraam merasakan aneh saat Linara memberinya pesanan tambahan berupa susu hangat yang telah dikemas dengan PaperCup.

“Ini tambahan untuk mu, Tuan. Soalnya tidak baik meminum Americano setiap hari, kau butuh asupan lainnya. Juga sebagai rasa terima kasih saya yang telah diantar oleh mu kemarin.” Penjelasan Linara yang begitu sopan membuat Avraam menatapnya. Rasanya sikap dan tutur kata Linara sangat mirip sekali dengan Isterinya.

“Tuan?” ucap Linara berhasil merobohkan lamunan Avraam yang sedari tadi menatapnya.

“A-ah Iya, Terima kasih!” jawabnya terbata-bata, Linara tidak memperdulikan sikap Avraam yang terasa canggung itu, Linara langsung pergi meninggalkannya.

Waktu menunjukan pukul sembilan pagi, pintu kedai terbuka melihatkan seorang pria yang masuk dan tertuju arah menuju Bar. Kaivan lah orangnya, dia mendekati Linara untuk segera mengajaknya berangkat, Linara yang sudah berjanji pada Kaivan membuatnya segera untuk berpamitan pada Kakek Aathif.

Dua pandangan menyorot Linara dan Kaivan yang terlihat akrab, pandangan siapa lagi selain Avraam dan Rayhan. Keduanya menimbulkan pertanyaan yang sama setelah Kaivan dan Linara pergi bersamaan meninggalkan Kedai.

“Siapa lelaki itu?” 

Ya itulah pertanyaan yang sama, ada apa diantara Avraam dan Rayhan? Apakah mereka cemburu? Atau hanya rasa penasaran mereka yang sangat tinggi?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status