Masih berada di suasana Festival, Kaivan yang berlalu begitu saja meninggalkan Linara dan Rayhan dalam lingkup canggung saat mendapati scene yang cukup tidak terpikirkan, bagaimana tidak tertuai rona merah saat sikap Rayhan yang sedikit pemalu itu mendadak berubah siasat dalam sekejap. Linara masih tertunduk malu sedangkan Rayhan memalingkan wajahnya berupaya menyembunyikan merah jambu pipinya.
Rasanya Linara geram, ingin sekali mencabik Kaivan yang menyebalkan itu. Dalam situasi kaya gini dia malah kabur saat sepasang Mata genitnya melirik dua wanita cantik yang berbadan sintal, siapa lagi selain Kakak Tingkat dikampus yang memberinya Tiket gratis ke Festival ini.
Seketika ponsel Linara berdering, mendapati notif panggilan masuk dari Kakek Aathif, segera Linara mengangkat panggilan tersebut, batin Linara berpikir bahwa Kakek pasti mengkhawatirkannya. Betul saja, Aathif menelpon Linara untuk segera pulang karna waktu akan semakin larut, rasanya gelisah sang Cucu belum pulang.
Perbincangan berakhir singkat, Linara segera memasukan ponselnya. Melirik sekejap Watches silver yang melingkar dipergelangan tangan Linara. Benar juga dugaan Linara, pantas saja Kakek menelponnya. Karena ini sudah jam setengah sepuluh malam, tidak terasa waktu berputar dengan cepat saat kita berada dalam lingkup yang nyaman.
Secercah napas lega terhembus karena terlepasa dari suasana malu yang berujung canggung, “Kak, Ayo kita pulang, Kakek sudah menelponku untuk segera pulang.” Ajak Linara pada Rayhan yang pura-pura sibuk dengan Ponselnya.“O-oh ya ayo,” jawab Rayhan secepat kilat.
Sepasang mata Linara mengintari suasana yang masih terasa ramai, dia mencari Kaivan si teman yang menyebalkan itu. Meskipun Kaivan menyebalkan tapi rasanya Linara tidak tega kalau meninggalkannya pulang duluan.
“Kayu dimana ya?” gumam Linara yang terdengar oleh Rayhan yang berada tepat belakang Linara.
“Kamu menunggu siapa? Kayu? Siapa dia?” dahi Rayhan sedikit berkerut saat mendapati gumaman Linara menyebut Kayu, panggilan cukup aneh.
“Maksud Linara adalah Kaivan, Kak. Dimana yang manusia itu? Mana mungkin ditinggalkan begitu saja.” Jelas Linara terlihat masih mencari sosok tersebut sembari tangan yang berupaya memanggil Kaivan.
“Tidak akan terjadi apa-apa. Dia sudah besar ini, yuk kita pulang duluan saja,” ajak Rayhan begitu saja pada Linara di tengah gelisahnya.
“Engga bisa gitu dong, Kak! Kaivan teman Linara, mana mungkin Linara meninggalkan dia begitu saja. Mana dia sudah baik mengajak Linara ke Festival ini, engga enak kalau Linara meninggalkan Kaivan begitu saja.” Tukas Linara membuat Rayhan sedikit tertegun saat bibir mungilnya itu sangat lihai saat mengomel.
Akhirnya Rayhan membungkam, tidak berani bersuara lagi. Linara sepertinya sudah bisa menghubungi Kaivan yang sedari tadi sulit untuk dihubungi. Lalu kaki nya mulai melangkah mengikuti panduan letak posisi Kaivan. Begitupun dengan Rayhan yang mengekor Linara dari belakang.
Apa Linara mencemaskan Rayhan? Apa hanya sebuah ungkapan rasa tidak enaknya saja? Rasanya Rayhan bergelut dengan pertanyaan seperti itu dalam otaknya, “Masa iya Aku cemburu?” gumam Rayhan.
“Cemburu dengan siapa, Kak?” Linara langsung menoleh kebelakang saat tidak sengaja mendengar gumam Rayhan, Linara yang tiba-tiba berhenti dan membalikan badannya, saat itu Rayhan tidak menyadari dan lepas rem. Maka terjadi tubrukan kecil diantara mereka.
“Aduh! Maaf...,” ucapnya secara bersamaan.
“A-ah apa ada yang sakit?” tanya Rayhan sesaat yang bertindak ceroboh, lantas Linara memberi kode bahwa dia baik-baik saja.
“Ah itu, Kaivan!” segera mungkin Rayhan menunjuk telunjuknya ke arah Kaivan yang sedang menggoda dua wanita sintal itu, sangat asyik mereka berbincang entah apa yang diperbincangkan.
Linara segera meliriknya dan mendekati Kaivan. Untung saja Rayhan bisa mengalihkan suasana, takutnya Linara menanyakan kembali perihal gumaman Rayhan yang tidak sengaja terdengar oleh Linara.
“Kaivan!” sahut Linara membuat percakapan mereka terhenti dan mengarah kepada sahutan yang terasa tidak asing.
Akhirnya Linara berhasil menemukan Manusia menyebalkan ini, langsung saja Linara mengajak Kaivan untuk segera pulang. Awalnya Kaivan masih ingin berlama-lama dengan dua gadis cantik dan seksi ini, tapi mau tidak mau harus mengakhiri karena temannya sudah merengek untuk pulang.
Sepertinya Kaivan semakin menjadi apabila terlalu lama berbincang dengan wanita seksi itu, bisa-bisa nanti awan gelap menerpa napsunya, bisa gawatkan. Linara mengucapkan salam perpisahan dan tidak lupa berterima kasih pada kakak Tingkat itu yang telah memberi Tiket secara gratis. Linara menarik secarik baju Kaivan agar segera pulang, kalau tidak seperti ini mungkin Kaivan akan lebih lama dan sulit diajak pulang.
Mata Kaivan masih belum berpaling pada dua wanitanya, membuat Linara secara paksa harus menarik Kaivan dengan menggusur kecil. Dasar lelaki genit nan mesum, melihat yang bening rasanya betah.
“Nanti kita lanjut di Call-call ya, Babe!” kedip mata Kaivan dengan genit sembari tangan yang memberikan kode Telpon, yang pastinya tawa centil itu tertuai pada dua wanita seksi itu.
“Bentar guys, kita foto dulu dong sebelum pulang!” Ajak Kaivan sembari mengarahkan kamera ponselnya untuk selfie pose.
Suatu kenangan yang indah, gambar yang melihatkan tawa hangat dalam sebuah kenangan saat Festival kala itu, Linara wajib menulis kenangan indah ini, dia tidak boleh sampai lupa.
‘Terima kasih, Kayu! Terima kasih, Rayhan! Telah mengukir indahnya hidup seorang yang cacat ini.’
***
Senyum lega mengembang Aathif saat Cucu tersayang mulai terlihat dipenghujung jalan, langkah demi langkah memperjelas sosoknya. Aathif memeluk Cucu tersayangnya saat telah pulang dengan selamat. Lantas perpisahan pun terjadi, Kaivan dan Rayhan berpamitan juga pada Aathif.
Kaivan yang sedari tadi sudah tak nampak setelah perpisahan itu, mungkin Kaivan ingin segera merebahkan dirinya yang sudah terlalu lelah. Dia langsung berlalu pulang menuju rumahnya yang tidak jauh jaraknya. Sedangkan Rayhan masih mematung, membuat Linara yang ingin mengikuti Kakeknya kedalam membatalkan sementara saat Rayhan masih ada dihadapannya.
“Kak?” ucap Linara yang memecah lamunan Rayhan.
“Hari sudah semakin larut, Kakak harus istirahat, besok jangan lupa harus masuk kerja ya,” lanjut Linara yang membuat Rayhan tersenyum dan mengangguk yakin.
“Ya sudah, selamat istirahat.” Senyum indahnya terurai membuat sihir pesona terukir pada Rayhan yang menatap.
“Tunggu!” tukas Rayhan menahan Linara. Membuat Linara menoleh kembali ke arahnya.
“Kenapa?” tanya Linara heran. Lantas Rayhan segera mengeluarkan sesuatu di paper bag yang sedari tadi Rayhan bawa.
“Ini ada hadiah kecil untukmu, Terima kasih udah mengajakku ke Festival dan maaf atas kelancangan Aku tadi,”
Rayhan memberinya boneka berbentuk Gimbab, makanan Favorit Linara.Boneka yang sangat lucu, apalagi ditambah dengan emoji tersenyum, membuat boneka Gimbab itu semakin terlihat lucu. Tentu itu membuat Linara senang, mendapati pemberian kecil yang berharga bagi Linara. Boneka Gimbab yang Di beli Rayhan saat Festival tadi. Mungkin ini sebagian kecil kenangan yang Rayhan beri untuk wanita yang dia anggap sempurna.
“Ini sangat lucu sekali, Terima kasih banyak Kak Rayhan!” ungkap Linara dengan hati yang begitu senang.
“Sama-sama, Selamat istirahat!” ungkap akhir Rayhan menutupi percakapan.
Rayhan kembali berjalan menuju habitatnya. Rasanya tubuh Rayhan sudah menagih hak untuk merebahkan diri pada kasur empuk. Berjalan menyusuri trotoar, sesekali menengadah langit yang kian larut, terdapat bintang yang bertabur mengintari gelapnya malam.“Kamu tetap terlihat sempurna, Linara.” –Rayhan
***
Hari yang begitu menakjubkan setelah badai kemarin menerjang, cukup membuat hidup lebih bergelora. Dikala sedih pasti ada sesuatu yang membahagiakan yang akan timbul dikemudian hari. Rasanya begitu lelah melewati hari demi harinya, tapi semua adalah bentuk kebahagian yang Tuhan beri.
Linara membasuh tubuhnya, upaya membersihkan diri setelah seharian penuh bersuka ria. Piyama hangat kini membalut tubuh mungilnya, kini langkah beraha pada meja sejuta impian, melakukan ritual menyimpan memori dengan tulisan. Membuka lembar demi lebar Diary yang meninggalkan tinta ingatan.
Jemari yang sibuk dengan ukiran pena yang timbul disehelai kertas, mendadak terhenti saat dering ponsel Linara berbunyi cukup keras. Siapa yang menelpon tengah malam seperti ini? Ada hal gentingkah?
“Hallo,”
Awal percakapan yang terdengar biasa saja, telinganya sedang sibuk mendengar apa yang dikata dalam sambungan. Sesaat Linara menggigit bibir bawahnya, mengepal bulat tangan, dan mendadak air mata terjatuh bebas membasahi wajahnya. Semakin terdengar kabar yang membuat sesak, membuat tangannya bergetar hebat, wajah kini berubah pucat.
Ponselnya sesaat terjatuh saat genggaman yang tak menguat, membuat ponsel tergelincir dari tangannya. Tangisnya semakin berdentum membuat Aathif yang hendak merebahkan diri mendadak pergi medekati tangis yang membuat terkejut setengah mati. Aathif bergegas langsung pada bilik kamar Linara. Dengan cepat membuka kenop pintu.
Benar saja dugaannya, Linara yang merangkul kaki disudut ruangan sambil bernangis secara histeris, dengan rambut yang tak teratur lagi. Membuat Pria tua seperti Aathif dengan sedikit berlari mendekatinya.
“Kamu kenapa, Linara?” tanya Aathif dengan cemas.
Linara menengadahkan wajahnya yang sedari tadi bersembunyi, “Kakek...,” terdengar getir sahutannya membuat Aathif segera merangkul cucunya itu.
“Kenapa hidup tidak adil! Kenapa Tuhan memberikan Linara ujian seperti ini!” histerisnya yang menjadi dan terus memukul dirinya sendiri, Aathif berupaya menghentikannya dan memeluk erat.
“Kakek ... Linara benci hidup!” teriaknya lagi.
Aathif mengusap puncak kepala Linara, upaya untuk menenangkan tangisnya. Malam yang gelap menyelimuti lara yang tenggelam dalam kesedihan. Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang menelpon Linara hingga membuatnya terpukul? Ada apa sebenarnya?
***
Keesokan harinya kedai di Tutup untuk sementara, Aathif telah memberi kabar pada Rayhan untuk libur dahulu karena ada sesuatu yang genting yang tidak bisa ditinggalkan. Kini Linara dan Kakek Aathif segera bergegas meninggalkan.
Tidak sempat Rayhan bertanya karena Aathif yang terlihat tergesa, rasanya kurang tepat bertanya saat itu.
Padahal hari libur atau weekend adalah hari yang paling ramai saat buka kedai, banyak yang berkunjung. Namun karena adanya musibah pahit, membuat Aathif menutupnya sementara. Hal itu membuat tanya yang besar pada Avraam yang baru saja tiba dikedai dan pintunya masih tertera Close.
“Tumben Tutup?” Avraam yang sedari tadi mematung dengan pertanyaan yang bergelantung, kini terpaksa dia membatalkan sarapan Weekendnya. Mungkin dilain hari, tapi rasanya batin Avraam merasakan keganjalan yang menerpa.
“Ada apa ya? Semoga tidak terjadi apa-apa...,” harap Avraam sedikit cemas, lantas Avraam mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang asisten pribadinya.
“Tolong periksa dan cari alasannya!” perintah Avraam sesaat dalam panggilan sambil melirik Kedai yang tutup disebrang jalan itu.
Karena saking penasarannya, Avraam langsung menyuruh Asisten pribadinya untuk mencari jawabannya. Agar hatinya tidak terus menerus meniggalkan kegelisahan.
‘Semoga Tuhan selalu melindungi.’
Hatinya peluh, seakan ruh hilang sebagian. Andai semua tidak terjadi, andai semua tidak dilaksanakan, mungkin tidak akan seperti ini. Apadaya setelah tanah merah sudah terbuka, terbaring lemah disana, hanya duka yang kini terdengar dan penyesalan tanpa arti.Air matanya masih menggulir deras disamping pria tua yang merangkulnya, melihat kepergian sosok cinta pertama dalam kehidupan kini terbaring dalam tanah merah. Masih ada kebencian yang tertuai, dendam yang belum meredam, dan kehidupan yang masih terlihat cacat.Upacara pemakaman telah usai, semua berjalan sebagaimana mestinya, para pelayat pun perlahan berhambur meninggalkan. Namun seorang gadis rapuh dan pria tua tetap disana, menatapi batu nisan yang tertancap, air matanya masih berlinang.“Waktunya kita pulang, Linara. Ayah sudah tenang di alam sana,” Aathif berupaya mengajak Linara untuk pulang karena matahari akan tak lama lagi akan berubah sen
Sosok tinggi nan tegap itu kini berhadapan dengan Linara, tangannya merangkul bunga sebagai simbol bela sungkawa. Mata Linara seakaan tidak menyangka Avraam si pelanggan kedai itu berada dihadapannya. Dari mana Avraam tahu alamat rumah Linara? dan bagaimana juga Avraam mengetahui berita duka ini? Padahal berita duka ini tidak banyak orang tahu.Langkah kaki perlahan mendekat, keduanya saling berhadapan dengan jarak cukup dekat membuat Linara sedikit melangkah mundur, merasa canggung dengan jarak yang dibuat Avraam.“Saya turut berduka cita atas kepergian beliau, semoga Tuhan selalu menjaganya,” ungkap belasungkawa Avraam sembari menyodorkan bunga kepada Linara.“Aamiin, Terima kasih, Tuan.”“Tapi maaf anda tahu dari mana berita ini?” tanya Linara membuat Avraam diam membisu, rasanya Avraam tidak ingin memberi tahu Linara yang sebenarnya bahwa dia mengulik informasi
Air mata yang mengucur membasahi pipi lembutnya, tak peduli alas kepala yang mulai basah karena tetes demi tetes air haru mengalir deras. Tangannya meremas kuat kain selimut yang membalut diri, dengan bibir bawah yang digigit menahan sakit yang dirasa. Pikirnya membawa alam nostalgia.“Ayah ... kenapa kau tinggalkan Linara secepat ini! Dan Bunda ... kemana Linara harus mencari Bunda? Tuhan kemana Aku harus melangkah? Rasanya berat! Linara tidak sanggup menjalaninya!” itulah sedikit keluh kesah Linara dalam diam, penuh air mata, sesak rasanya menjalani semua. Terasa rumpang kehidupan.Suara ketuk pintu terdengar, seseorang berharap masuk kedalam. Tapi rasanya dalam benak Linara malas untuk membuka pintu tersebut, alih-alih telinga tidak mendengarnya. Mungkin si pengetuk berasumsi Linara sudah tertidur, lantas pintu yang tak terkunci itu dibuka. Kenop yang perlahan ditekan, dan si pengetuk itu masuk, berjalan mendekati Linara.Si peng
Pagi hari yang terasa damai, udaranya hangat-hangat sejuk. Apalagi saat pikiran tenang, membuat tidur lebih nyaman.Sayang sekali, pagi itu telinga mendengar sebuah kebisingan dari mesin kendaraan, sepertinya ada seseorang yang hendak berangkat. Membuat Linara terpaksa membuka mata dan segera beranjak dari ranjangnya yang lebih menggoda untuk tidur kembali, dengan terpaksa semua harus ditinggalkan, karena bising membuat ganggu.Mengumpulkan seluruh nyawa, menguap sementara, dan meregang otot-otot yang terasa pegal. Kakinya mulai menyelipkan kedalam Sandal Rumah berwarna Peach dengan bentuk kelinci. Segera pergi meninggalkan ruangan dengan tubuh yang masih terbalut piyama.Menuruni satu persatu anak tangga, dan mendekati suara bising dari kendaraan itu. Langkahnya mengarah pada garasi rumah, benar saja dugaan Linara. Kakek Aathif yang sudah terlihat segar dan sepertinya Aathif hendak pergi."Kak
Rasanya sulit sekali bagi Linara menjalankan bisnis ini diusianya yang sangat muda, ditambah ilmu bisnis yang Linara garap tidak cukup untuk merajut bisnis turun temurun ini. Otak Linara hampir pecah dengan segala beban yang dipikirkannya. Masalah perusahaan yang membuat Linara tidak berhenti bagaimana caranya untuk memecahkan masalah.Zelline yang begitu kejam tega meninggalkan hutang cukup besar dan gajih karyawan yang entah kemana hilangnya, sungguh kacau keadaan saat itu. membuat Linara terpaksa menjual kembali aset terakhir perusahaan untuk menggaji karyawan sekaligus sebagai sarana pemutihan.Kini Perusahaan Atmaja mau tidak mau harus terjual pada pihak yang mampu mengelola. Hanya itu satu-satunya usaha untuk menyelesaikan masalahnya. Linara terpaksa untuk melakukan itu semua, tapi dia janji akan merebut kembali Perusahaan Atmaja.Hanya ada rumah peninggalan Ayah saja yang tersisa, Bi Inah pun terpaksa Linara berhentikan karena fina
Masih berpacu pada Linara dan Avraam, Leopaard yang melaju cepat membawa mereka ke suatu tempat makanan cepat saji. Restoran yang menyediakan beberapa makanan yang bernuansa negeri sakura ini, sungguh menggugah selera.Avraam mendorong kursi untuk Linara, sedikit canggung atas reaksi yang Avraam beri itu. linara menghargainya dengan mengucapkan terima kasih dan duduk secara perlahan. Avraam memanggil salah satu Waiters dan mulai menyebutkan pesanan yang diminta. Begitupun dengan Linara.Avraam hanya fokus dengan ponselnya sedangkan Linara juga begitu, rasanya suasana saat itu terasa canggung. Tidak biasanya Linara diajak makan bersama oleh pria atau istilahnya adalah nge-Date. Dan rasanya makanan terlalu lama tersaji, apa karena kondisinya saja yang membuat waktu terasa lama.“Sudah berapa semester sekarang?” tanya Avraam memecah hening diantaranya.“Baru masuk semester tiga,”“Seben
“Akhirnya selesai juga...,” hembus napas lega Linara dengan tangan yang berkacak pinggang, lega rasanya setelah membenahi bangku dan meja yang kini telah tertata rapih.Tidak sengaja Linara melirik Rayhan dan Aathif seperti membicarakan hal penting, membuat Linara ingin mendekatinya dan sedikit membenamkan rasa penasarannya. Perlahan membuka celemek yang Linara pakai dan menggantungnya, mulai mendekati antar Aathif dan Rayhan.“Sepertinya Rayhan ingin bertahan lebih lama di Kedai ini Paman.” Ucap Rayhan yang membuat Linara mulai paham inti dari percakapan.“Tapi, sayang sekali dengan gelar mu Rayhan, masih ada pekerjaan yang lebih layak untukmu diluar sana,” balas Aathif.“Tidak apa-apa, Paman. Lagipula ini bukan sembarang pekerjaan, disini Rayhan menemukan keluarga baru juga yang membuat Rayhan betah,” Ucapan Rayhan yang begitu tulus terdengar, membuat
Linara seperti seorang penagih hutang, derap langkahnya kesal apalagi dengan manusia yang terkenal ngaret. Petunjuk arah yang diberi Aathif menjadi langkah terkuatnya untuk menyusul habitat manusia ngaret itu.Kini tujuan Linara telah sampai pada titik penjemputannya, jaraknya tidak terlalu jauh hanya cukup melewati jembatan sederhana setelah mengikuti arah lurus trotoar jalanan, dan berbelok kanan menuju perumahan kasti melati yang tidak jauh setelah melawati jembatan tersebut, desain jembatannya seperti jembatan Altstadt-Hamburg, sungguh menarik bukan? Apalagi suara air mengalir yang memberi rasa damai.Linara mengecek ulang kembali alamat yang diberi Aathif itu, nomor rumah yang tertera sama jelas dengan secarik kertas yang diberi Aathif. Linara yakin betul ini rumah Rayhan, sederhana dan ada beberapa tanaman hias yang menggantung, apalagi warna rumah yang diberi cat monokrom, sungguh terlihat sederhana.