Sepertinya ada yang salah persepsi, Rayhan yang berpenampilan rapih dan wangi mendadak ciut saat Kaivan yang tidak diharapkannya hadir. Ekspektasi yang jauh dari realita, mungkin itu yang Rayhan rasakan sekarang. Apalagi saat Kaivan lebih dekat dengan Linara, dirinya merasa jadi kambing conge berada diantara mereka.
Muka Rayhan yang berubah kecut dengan tatapan datarnya masih menatap Linara yang berbincang sembari bersenda gurau dengan Kaivan saat masih didepan Kedai Kopi, mereka masih menunggu Kakek Aathif untuk berpamitan.
“Kalau gini jadinya gue engga akan ikut, sayangkan waktu istirahat gue! Shit!” gerutu Rayhan dengan menggigit bibir bawahnya.
Tak selang lama Aathif muncul, Linara mulai berpamitan. Aathif memberikan kepercayaan penuh pada Kaivan dan Rayhan untuk menjaga Linara. Semoga Cucunya itu terus mengurai bahagia, harap Aathif saat Linara, Kaivan, dan Rayhan mulai perlahan meninggalkannya.
Tak perlu waktu lama, kini Festival yang sudah diharapkan sudah ada didepan mata. Mata Linara berbinar melihat manusia ramai memenuhi acara tersebut, wangi masakan pun sangat berbau harum, membuat mulut tak tahan untuk melahap satu persatu sajian.
Kaivan segera menyodorkan tiga tiket gratis kepada salah satu penjaga pintu masuk, siapa yang tidak senang mendapati tiket makan gratis, sungguh nikmat bukan. Tak perlu lama lagi, mereka langsung masuk setelah diberi tanda sah dalam sebuah ID Card unik dalam sebuah Festival, yang dikalungkan pada leher.
“Selamat datang di Festival Korean Food! Akhirnya bisa makan gratis...,” ucap Kaivan dengan tangan yang terlentang, semangatnya sangat bergairah saat melihat masakan itu.
Telinga Rayhan mendadak heboh saat mendengar pernyataan Kaivan bahwa makanan dalam acara itu gratis, rasanya Rayhan ingin memastikan kembali namun lagi dan lagi rasa gengsinya hadir. Membuat Rayhan mengurung niatnya.
Kaivan yang memulai duluan, dia tidak sabar untuk mencicipi sajian Khas negeri ginseng itu. Linara pun ikut bertisipasi dalam semangat gelora kuliner. Akan tetapi, Rayhan hanya diam mematung seperti tak bersemangat, Linara menyadari sikap Rayhan.
“Ayo, Kak.” Linara menggenggam tangan Rayhan, membuat Rayhan terkejut setengah mati.
Saking canggungnya, membuat Rayhan masih mematung dia bingung apa yang harus dia lakukan, ketika tangan halusnya menyentuh tangan Rayhan. Astaga jantungku!
“Kak Rayhan kenapa? Kakak tidak suka Korean Food?” tanya Linara yang membuat lamunan Rayhan pecah.
“A-ah Aku suka...,” jawabnya kikuk.
“Yaudah ayo!” tukas Linara, lalu kembali menggengam tangan Rayhan, akhirnya Rayhan mampu melangkah mendekati beberapa sajian.
"Suka Kamu!” Lanjut Rayhan dalam lubuk hatinya, yang spontan mengungkap seperti itu. Tapi sayang, hanya sekedar angan. Real sad boy! Suatu pengakuan yang tidak tersampaikan.
Banyak sekali sajian disana, ada beberapa sajian yang sangat menarik perhatian sepasang mata pada beberapa Stand. Linara dan Rayhan masih bingung dengan makanan apa yang akan mereka pilih untuk disantap.
Berbeda dengan Kaivan yang sudah kesana kemari mencicipi macam sajian, pergerakannya sangat cepat saat melihat makanan, itulah Kaivan.
“Kalian sudah memakan apa saja?” tanya Kaivan yang tiba-tiba muncul kembali dengan tangan memegang sajian yang memakai tusukan lidi cukup panjang, dikenal dengan nama Odeng. Mulut Kaivan penuh dengan Odeng.
“Aku masih bingung dengan semua makanan ini..,” jawab Linara yang terlihat memandang kesana kemari mengintari beberapa Stand.
“Astaga! Selama ini kalian hanya kesana kemari gitu?” Kaivan yang sangat menyayangkan melihat kedua temannya yang dilanda kebingungan. Rayhan dan Linara menganggukan kepala membenarkan apa yang ditebak oleh Kaivan.
“Sayang sekali ... Baiklah biar aku antar ke beberapa Stand yang enak-enak, ayo ikuti aku!” ajak Kaivan yang bersemangat menjadi pemandu kuliner Rayhan dan Linara.
“Ini dia yang pertama kalian harus coba, Gimbab.” Tunjuk Kaivan pada Stand yang menyajikan cukup banyak Gimbab. Lalu Kaivan memesan dua porsi untuk Linara dan Rayhan. Dan tidak perlu waktu lama, makanan telah tersaji.
“Ini ambilah Linara dan Rayhan, mari kita cari lagi!” Kaivan yang memberi pada Rayhan dan Linara. Lalu kembali memandu mereka ke Stand selanjutnya
“Ini seperti Sushi ya?” tanya Rayhan disela perjalanan mereka yang masih berburu makanan.
“Iya, namun ini berbeda rasa.” Jawab Linara sedikit menjelaskan, Rayhan mengangguk paham. Rasanya ingin segera menikmati sajian ini.
“Dan yang paling wajib adalah Tteokbokki! Tadaaa...,” Kaivan sangat bersemangat sekali saat mengenalkan Stand makanan favoritnya.
“Wah ... terlihat enak, sepertinya itu pedas,” air liur Rayhan terjatuh dalam tenggorokannya saat melihat kuah merah kental yang membara. Linara membalas dengan anggukan, membetulkan apa yang Rayhan ungkap.
Kaivan lanjut mengajak pelancong kulinernya pada Stand-stand selanjutnya, banyak sekali Stand yang mereka kunjungi, hingga nampan yang dibawa sudah cukup penuh. Sepertinya ini waktu untuk menyantap sajian ini.
“Ayo kita lanjutkan perjalanannya...,” Kaivan menunjuk tangan kedepan Stand selanjutnya.
“Tunggu Kayu! Sepertinya ini sudah cukup deh, udah terlalu penuh nampan kami.” Tukas Linara disela Kaivan mengajaknya lagi. Lantas Kaivan menyetujuinya untuk berhenti mencari Stand dan lanjut langkah menuju meja.
Mereka bertiga sudah menemukan tempat yang cukup nyaman untuk menyantap sajian yang telah diburu. Linara dan Rayhan duduk bersebelahan sedangkan Kaivan duduk berhadapan dengan Linara. Posisi yang cukup enak memandang Linara dari arah samping celetuk Rayhan.
“Selamat Makan!” seru Kaivan mulai menyantap kembali hidangan yang telah dia bawa.
Linara yang melahap awal Gimbab dan yang kedua Linara melahap Twigim yang dicelupkan pada saus Tteokbokki, sangat nikmat sekali.
“Wah ini panjang sekali ya! Tapi ... rasanya tidak asing, ini seperti kentang.” Tebak Rayhan disela menikmati sajian tersebut.
“Itu namanya Hweori Gamja, itu memang kentang. Cuma dibentuk seperti Tornado,” jawab Kaivan.
“Oh ya, kalian harus mencoba ini...,” lantas Kaivan menyodorkan sajiannya pada Rayhan dan Linara, memperlihatkan sajian mentah yang terlihat menggeliat, saat Rayhan melihatnya membuat dia bergidik.
“Apakah ini Sannakji?” jawab Linari sambil memainkan daging lembut yang sedikit menggeliat itu.
“Betul sekali! Ini nikmat loh!” Kaivan membenarkan.
Melihat reaksi Rayhan yang sedikit bergidik, layaknya jijik melihat hidangan hidup itu. Membuat Kaivan ingin sekali mengusilkan dirinya, “Ayo, Rayhan! Kau harus mencobanya, ini banyak kandungan yang baik,” nada Kaivan sedikit memaksa.
“A-ah aku tidak ingin memakannya! Aku tidak suka makanan mentah,” tolak Rayhan yang semakin membuat Kaivan ingin mengerjainya lagi.
“Ayolah, Boy! Kamu harus bisa memakan ini,” Kaivan semakin menjadi.
“Tidak ... Tidak ... aku tidak mau!” tolak Rayhan seperti anak kecil, membuat Linara tertawa kecil melihatnya.
“Hmm ... Bagaimana kalau ini kita buat jadi tantangan, siapa yang sudah memakan Sannakji akan mendapat hadiah yang ada diselembar kertas gulungan ini. Bagaimana berani?” Kaivan menunjuk sebuah box kecil yang sudah tersedia disetiap meja untuk membuat permainan kecil, sungguh Festival yang sempurna.
“Aku setuju!” jawab Linara yang bersemangat membuat Rayhan menoleh kearah Linara seakan ingin memberi kode untuk menolak tantangan itu.
“Bagus! kalau Linara setuju berarti Rayhan juga!” simpul Kaivan membuat Rayhan ingin sekali mencabiknya.
“Hei! Aku tidak berbicara setuju lho!”
“Sudahlah ... ikuti saja permainannya, toh Cuma makan saja,” rayu Kaivan pada Rayhan yang masih berkerut dahi.
“Iya, Kak! Ikut saja kakak pasti bisa memakannya.” Linara mencoba meyakinkan Rayhan, yang pasti mata Rayhan dan pikirannya langsung tersihir saat sepasang Mata Linara seperti memohon.
“Baiklah yang pertama adalah aku sendiri yang akan makan Sannakji ini,” Kaivan mulai melahap santapan pertama, lalu mengambil gulungan kertas sebagai bentuk hadiahnya. Tak sabar untuk segera membuka hadiah misteri yang dia dapat.
“Memakan lima sendok Saus Tteokbokki tanpa minum!” itulah tantangan bagi Kaivan, meskipun Kaivan menyukai makanan tersebut, tapi dia tidak terlalu suka dengan pedas yang berlebihan.
Sepertinya Rayhan ingin membalaskan dendamnya, dia langsung beranjak membawa kertas hadiah dan meminta saus Tteokbokki yang paling pedas pada salah satu Stand.
Kaivan tertegun melihat merahnya saus yang dibawa oleh Rayhan itu. Mau tidak mau Kaivan mulai meneguknya, lidah dia terasa terbakar dan wajahnya memerah. Melihat reaksi konyol Kaivan yang kepedasan membuat Rayhan tertawa puas.
“Baiklah yang kedua kamu, Linara.” Lanjut Kaivan dengan mulut yang bergetar kepedasan.
Linara segera melahap Sannakji dan dia segera mengambil gulungan kertas, saat dibuka Linara mendapati sebuah hadiah memakan tujuh Gimbab dalam satu lahap. Astaga! Mulut mungilnya mana bisa melahap tujuh Gimbab sekaligus? Tidak ada yang tidak mungkin, Linara mencobanya dan ya dia berhasil, membuat Rayhan dan Kaivan melongo melihat mulut Linara yang penuh.
“Hebat kamu, Linara! Sekarang giliran kamu, Rayhan.” Tunjuk Kaivan tidak sabar melihat reaksi Rayhan saat memakan Sannakji.
Mau tidak mau akhirnya Rayhan memakan sajian yang menggeliat, saat pertama masuk dalam mulutnya, rasanya tentakelnya terus berupaya menggeliat membuat Rayhan ingin memuntahkannya. Tapi itu semua tertahan saat Kaivan segera membekam mulut Rayhan untuk tetap mengunyah dan menelannya.
“Kunyah ... Kunyah ... Telan,” itulah kata yang berulang kali Kaivan ucapkan saat membekam Rayhan, Linara tidak berhenti menertawakan kelakuan mereka berdua.
Akhirnya Rayhan berhasil memakan Sannakji meskipun meninggalkan wajah pucatnya. Lalu, Rayhan mengambil hadiah gulungan kertas, berharap jangan memakan Sannakji lagi.
“Mencium orang yang berada disebelahmu!” seketika Rayhan menoleh ke arah Linara dan jantungnya begitu hebat bergetar, astaga! Apa ini hadiah terindah dari Tuhan?
Awalnya Linara enggan, karena malu begitu menerjang dirinya. Namun, lagi dan lagi Kaivan malah mengompori situasi dengan terus memaksa Linara agar mau. Saat Linara banyak berbicara untuk mengalihkan malunya sesaat Rayhan segera mengecup pipi Linara, serangan yang mendadak itu meninggalkan rona dipipinya.
“Mantap! Serangan dadakan, kerja bagus sob!” ujar mantap Kaivan memuji Rayhan sambil mengacungkan jempol.
“Gue tinggal bentar ya, ada Kating ngelewat tadi,” Kaivan meleos begitu saja saat melihat Kakak tingkat yang memberi Tiket gratis padanya, mungkin dia ingin menggodanya lagi. Entahlah.
Meninggalkan begitu saja, Linara hanya tertunduk malu. Namun Rayhan bersorak gembira, keberuntungan memihak dirinya, sepertinya...
Masih berada di suasana Festival, Kaivan yang berlalu begitu saja meninggalkan Linara dan Rayhan dalam lingkup canggung saat mendapati scene yang cukup tidak terpikirkan, bagaimana tidak tertuai rona merah saat sikap Rayhan yang sedikit pemalu itu mendadak berubah siasat dalam sekejap. Linara masih tertunduk malu sedangkan Rayhan memalingkan wajahnya berupaya menyembunyikan merah jambu pipinya.Rasanya Linara geram, ingin sekali mencabik Kaivan yang menyebalkan itu. Dalam situasi kaya gini dia malah kabur saat sepasang Mata genitnya melirik dua wanita cantik yang berbadan sintal, siapa lagi selain Kakak Tingkat dikampus yang memberinya Tiket gratis ke Festival ini.Seketika ponsel Linara berdering, mendapati notif panggilan masuk dari Kakek Aathif, segera Linara mengangkat panggilan tersebut, batin Linara berpikir bahwa Kakek pasti mengkhawatirkannya. Betul saja, Aathif menelpon Linara untuk segera pulang karna waktu akan semakin larut
Hatinya peluh, seakan ruh hilang sebagian. Andai semua tidak terjadi, andai semua tidak dilaksanakan, mungkin tidak akan seperti ini. Apadaya setelah tanah merah sudah terbuka, terbaring lemah disana, hanya duka yang kini terdengar dan penyesalan tanpa arti.Air matanya masih menggulir deras disamping pria tua yang merangkulnya, melihat kepergian sosok cinta pertama dalam kehidupan kini terbaring dalam tanah merah. Masih ada kebencian yang tertuai, dendam yang belum meredam, dan kehidupan yang masih terlihat cacat.Upacara pemakaman telah usai, semua berjalan sebagaimana mestinya, para pelayat pun perlahan berhambur meninggalkan. Namun seorang gadis rapuh dan pria tua tetap disana, menatapi batu nisan yang tertancap, air matanya masih berlinang.“Waktunya kita pulang, Linara. Ayah sudah tenang di alam sana,” Aathif berupaya mengajak Linara untuk pulang karena matahari akan tak lama lagi akan berubah sen
Sosok tinggi nan tegap itu kini berhadapan dengan Linara, tangannya merangkul bunga sebagai simbol bela sungkawa. Mata Linara seakaan tidak menyangka Avraam si pelanggan kedai itu berada dihadapannya. Dari mana Avraam tahu alamat rumah Linara? dan bagaimana juga Avraam mengetahui berita duka ini? Padahal berita duka ini tidak banyak orang tahu.Langkah kaki perlahan mendekat, keduanya saling berhadapan dengan jarak cukup dekat membuat Linara sedikit melangkah mundur, merasa canggung dengan jarak yang dibuat Avraam.“Saya turut berduka cita atas kepergian beliau, semoga Tuhan selalu menjaganya,” ungkap belasungkawa Avraam sembari menyodorkan bunga kepada Linara.“Aamiin, Terima kasih, Tuan.”“Tapi maaf anda tahu dari mana berita ini?” tanya Linara membuat Avraam diam membisu, rasanya Avraam tidak ingin memberi tahu Linara yang sebenarnya bahwa dia mengulik informasi
Air mata yang mengucur membasahi pipi lembutnya, tak peduli alas kepala yang mulai basah karena tetes demi tetes air haru mengalir deras. Tangannya meremas kuat kain selimut yang membalut diri, dengan bibir bawah yang digigit menahan sakit yang dirasa. Pikirnya membawa alam nostalgia.“Ayah ... kenapa kau tinggalkan Linara secepat ini! Dan Bunda ... kemana Linara harus mencari Bunda? Tuhan kemana Aku harus melangkah? Rasanya berat! Linara tidak sanggup menjalaninya!” itulah sedikit keluh kesah Linara dalam diam, penuh air mata, sesak rasanya menjalani semua. Terasa rumpang kehidupan.Suara ketuk pintu terdengar, seseorang berharap masuk kedalam. Tapi rasanya dalam benak Linara malas untuk membuka pintu tersebut, alih-alih telinga tidak mendengarnya. Mungkin si pengetuk berasumsi Linara sudah tertidur, lantas pintu yang tak terkunci itu dibuka. Kenop yang perlahan ditekan, dan si pengetuk itu masuk, berjalan mendekati Linara.Si peng
Pagi hari yang terasa damai, udaranya hangat-hangat sejuk. Apalagi saat pikiran tenang, membuat tidur lebih nyaman.Sayang sekali, pagi itu telinga mendengar sebuah kebisingan dari mesin kendaraan, sepertinya ada seseorang yang hendak berangkat. Membuat Linara terpaksa membuka mata dan segera beranjak dari ranjangnya yang lebih menggoda untuk tidur kembali, dengan terpaksa semua harus ditinggalkan, karena bising membuat ganggu.Mengumpulkan seluruh nyawa, menguap sementara, dan meregang otot-otot yang terasa pegal. Kakinya mulai menyelipkan kedalam Sandal Rumah berwarna Peach dengan bentuk kelinci. Segera pergi meninggalkan ruangan dengan tubuh yang masih terbalut piyama.Menuruni satu persatu anak tangga, dan mendekati suara bising dari kendaraan itu. Langkahnya mengarah pada garasi rumah, benar saja dugaan Linara. Kakek Aathif yang sudah terlihat segar dan sepertinya Aathif hendak pergi."Kak
Rasanya sulit sekali bagi Linara menjalankan bisnis ini diusianya yang sangat muda, ditambah ilmu bisnis yang Linara garap tidak cukup untuk merajut bisnis turun temurun ini. Otak Linara hampir pecah dengan segala beban yang dipikirkannya. Masalah perusahaan yang membuat Linara tidak berhenti bagaimana caranya untuk memecahkan masalah.Zelline yang begitu kejam tega meninggalkan hutang cukup besar dan gajih karyawan yang entah kemana hilangnya, sungguh kacau keadaan saat itu. membuat Linara terpaksa menjual kembali aset terakhir perusahaan untuk menggaji karyawan sekaligus sebagai sarana pemutihan.Kini Perusahaan Atmaja mau tidak mau harus terjual pada pihak yang mampu mengelola. Hanya itu satu-satunya usaha untuk menyelesaikan masalahnya. Linara terpaksa untuk melakukan itu semua, tapi dia janji akan merebut kembali Perusahaan Atmaja.Hanya ada rumah peninggalan Ayah saja yang tersisa, Bi Inah pun terpaksa Linara berhentikan karena fina
Masih berpacu pada Linara dan Avraam, Leopaard yang melaju cepat membawa mereka ke suatu tempat makanan cepat saji. Restoran yang menyediakan beberapa makanan yang bernuansa negeri sakura ini, sungguh menggugah selera.Avraam mendorong kursi untuk Linara, sedikit canggung atas reaksi yang Avraam beri itu. linara menghargainya dengan mengucapkan terima kasih dan duduk secara perlahan. Avraam memanggil salah satu Waiters dan mulai menyebutkan pesanan yang diminta. Begitupun dengan Linara.Avraam hanya fokus dengan ponselnya sedangkan Linara juga begitu, rasanya suasana saat itu terasa canggung. Tidak biasanya Linara diajak makan bersama oleh pria atau istilahnya adalah nge-Date. Dan rasanya makanan terlalu lama tersaji, apa karena kondisinya saja yang membuat waktu terasa lama.“Sudah berapa semester sekarang?” tanya Avraam memecah hening diantaranya.“Baru masuk semester tiga,”“Seben
“Akhirnya selesai juga...,” hembus napas lega Linara dengan tangan yang berkacak pinggang, lega rasanya setelah membenahi bangku dan meja yang kini telah tertata rapih.Tidak sengaja Linara melirik Rayhan dan Aathif seperti membicarakan hal penting, membuat Linara ingin mendekatinya dan sedikit membenamkan rasa penasarannya. Perlahan membuka celemek yang Linara pakai dan menggantungnya, mulai mendekati antar Aathif dan Rayhan.“Sepertinya Rayhan ingin bertahan lebih lama di Kedai ini Paman.” Ucap Rayhan yang membuat Linara mulai paham inti dari percakapan.“Tapi, sayang sekali dengan gelar mu Rayhan, masih ada pekerjaan yang lebih layak untukmu diluar sana,” balas Aathif.“Tidak apa-apa, Paman. Lagipula ini bukan sembarang pekerjaan, disini Rayhan menemukan keluarga baru juga yang membuat Rayhan betah,” Ucapan Rayhan yang begitu tulus terdengar, membuat