Share

Bertemu Mertua

Siang ini Dira berkunjung ke rumah mertuanya, meskipun kehadirannya akan ditolak, baginya tidak masalah dia akan tetep mencoba. 

Dira memencet bel rumah, seorang pembantu paru baya membuka pintu untuknya. 

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya seperti tidak mengenal Dira.

Dira tersenyum miris, segitu tak berharganya dia sampai tak dikenal sebagai menantu dari keluarga Sander.

Namun, Dira harus tetap bersikap sopan lagi pula sampai meninggal pun mungkin dia hanya akan dikenang di keluarga Sander sebagai wanita perebut kekasih kakaknya. "Siang, Bi. Ibu Miranda ada?" 

"Ada, Non. Tunggu sebentar saya panggilkan, Non—?" 

"Dira, Bi," ucap Dira menyebutkan namanya agar pembantu itu tidak bingung.

"Baik, Non Dira. Saya Minah, Silahkan masuk," perintah Minah. 

"Terima kasih," ucap Dira. 

Bi Minah bergegas memanggil Miranda, ia takut tamu di depan mungkin orang yang penting. Karena dilihat dari penampilannya terlihat anggun dan elegan. 

Sebelum berangkat ke rumah mertua, Dira tadi sempat mampir ke salon. Dia tidak ingin dicaci maki oleh ibu mertuanya, tidak masalah jika dia harus keluar biaya untuk berpenampilan sepadan dengan sang mertua. Toh, untuk apa uang yang tiap bulan diberikan Abi dia tabung. Lagi pula dia juga tidak akan menikmati hingga tua nanti. 

Tidak lama Miranda keluar dari kamarnya. Miranda berjalan dengan anggun, penampilan seperti biasanya yang menunjukkan bahwa dia adalah wanita berkelas. 

"Untuk apa kamu datang ke sini," ucap Miranda dari kejauhan, saat melihat sosok yang dia kenal sedang duduk di bangku tamu. 

"Siang, Ma. Aku hanya ingin mengunjungi Mama. Apa Mama ada waktu, buat kita berbincang. Aku ingin mengenal Mama lebih jauh, agar aku bisa menjadi menantu idaman Mama," tutur Dira tanpa jeda.

"Jangan sok baik. Lebih baik kamu pulang, nikmati saja apa yang sudah kamu dapat, sebelum semuanya berakhir," ujar Miranda seperti memperingati dan mengancam Dira. 

Dira yang sekarang bukanlah Dira yang dulu yang selalu memendam dan menahan rasa sakit itu sendirian. Orang yang akan mengalah demi kepentingan orang lain. 

"Ma, apa yang Mama ucapkan itu benar. Aku akan menikmati apa yang aku dapat dan sekarang bukankah Mama adalah salah satu apa yang aku dapat? Aku akan menikmati itu," ujar Dira. 

"Apa kamu kira aku ini barang yang bisa kamu nikmati?" 

"Tidak. Mama adalah sosok yang akan aku sayangi. Ma, aku lapar ayo, kita makan siang bersama!" ajak Dira dengan beraninya menggandeng tangan Miranda merengek seperti anak kecil sedang meminta sesuatu. 

"Hai, apa-apaan kamu ini. Lepaskan aku!" pekik Miranda, kini tubuhnya sudah dibawa Dira ke dapur.

"Mama belum masak? Aku bantu ya Ma, tapi aku bantu ngupas bawang aja, sama cuci piring atau sayur. Karena aku belum pandai memasak," ujar Dira setelah tubuh mereka sudah sampai dapur. 

Lama kelamaan Miranda menjadi tersentuh dengan Dira, sejujurnya Miranda adalah wanita yang penuh kasih sayang. Hanya saja ia tidak bisa menerima Dira karena sering mendengar hal buruk tentangnya dan ditambah Dira sudah berani membuat Abi anak kesayangannya menikahi dirinya.

Miranda masih diam tak bersuara. Namun, tangannya dengan cekatan mengambil sayuran yang ingin dia masak, lalu menyerahkan pada Dira agar dicuci. Begitupun dengan bumbu-bumbu yang ingin dia pakai, diserahkan pada Dira untuk dikupas. 

Dira tersenyum, ingin rasanya waktu berhenti untuk sekarang. Seumur hidupnya dia tidak pernah merasa sehangat ini, bisa seperti ibu dan anak sungguhan. Inilah mimpi kecilnya sejak dulu, bisa memasak berdua sambil bercerita. Namun, Dira tidak ingin meminta lebih. Begini saja dia sudah senang. 

"Abi suka semua makanan, kecuali yang bikin dia alergi salah satunya adalah kacang," ujar Miranda seperti memberi tahu Dira. 

Dira seperti bermimpi, wanita di sampingnya mau mengajak dia berbicara, dengan cepat Dira menjawab, "Baik, Ma. Jika suatu saat dia mau makan hasil masakanku yang gak seberapa enak. Akan aku hindari bahan itu." 

"Kenapa, kamu tidak bisa memasak? Sebagai seorang istri itu harus pandai memasak." 

"Bukannya Mama sudah tahu alasannya?" jawab Dira membuat Miranda terdiam. 

Miranda sadar jika dia sudah berbuat jahat pada Dira. Bagaimana pun hubungan antara Abi dan Nadya di belakang Dira, dia juga sudah menyetujuinya. 

Acara memasak sudah selesai. Miranda menginstruksikan Bi Minah untuk memanggil Fauzan sang suami, agar bisa makan bersama. 

"Kamu di sini?" tanya Fauzan tanpa ekspresi saat melihat Dira. 

"Iya, aku ingin makan siang bersama kalian. Semoga saja aku tidak diusir dengan perutku yang keroncong ini." Dira sedikit ingin bercanda agar bisa dekat dengan mertua lelaki. 

Fauzan tidak mengindahkan candaan Dira. Dia duduk di bangku pemimpin sedangkan Miranda dengan Dira saling berhadapan. 

"Stop, Ma. Biar aku yang mengambilkan kalian makan," ucap Dira, ia pun menyendok nasi lalu di taruh ke piring Miranda dan Fauzan. 

"Papa, mau lauk apa?" Dira dengan sendok di tangannya bersiap mengambil lauk yang akan diminta Fauzan. 

"Capcai dan udang saja." 

"Mama, mau apa?" 

"Sama," jawab Miranda, dengan senang hati Dira mengambilkan makanan itu. 

"Ma, Pa. Kenapa tidak memakan ayam goreng? Bukannya Mama sudah memasak, sayang loh," ujar Dira, ia pun mengambilkan sepotong ayam untuk Miranda dan Fauzan. 

Kedua orang tua itu dibuat tercengang dengan sikap Dira. Mereka berpikir apakah selama ini sudah salah menilai Dira?

Belum pertanyaan itu terjawab suara dari luar membuat kedua orang tua itu tersadar dan Dira yang ingin menyendokkan makanan untuk masuk ke mulutnya tidak jadi dilaksanakan. 

"Dira, apa yang kamu lakukan?" tanya Nadya yang baru saja datang dengan Abi. 

"Aku sedang makan, Kak. Kakak mau ikut makan juga? Aku bisa mengambilkan untuk Kakak." 

"Dira, berhenti bersikap sok baik di sini. Orang tuaku tidak akan menyukaimu!" seru Abi yang tidak suka jika Dira mendekati orang tuanya. 

"Baik, Kak. Dira akan pulang," jawab Dira.

"Pa, Ma. Dira pamit dulu ya, lain kali kita makan bersama lagi," imbuh Dira berpamitan sembari mengedipkan matanya.

Sebenarnya Dira tidak ingin kehilangan moment langka seperti ini. Selain dirinya yang tidak ingin berdebat dengan Abi, dia kini merasakan ada cairan yang akan segera keluar dari hidungnya. Dia tidak ingin terlihat sangat mengenaskan di mata semua orang. 

Dira bergegas mengambil tas selempang yang dia bawa tadi, lalu dengan langkah cepat dia keluar dari rumah keluarga Sander.

Saat tiba di beranda rumah, benar saja darah segar mengalir dari hidungnya, Dira segera mengambil tisu menyumpal hidung itu agar darah yang keluar tidak berceceran di mana-mana. 

Bi Minah yang melihat itu bergegas menghampiri Dira. "Non Dira tidak apa-apa?" 

"Tidak apa-apa, Bi. Bisakah Bibi membantu Dira ke depan dan memanggil taxi?" pinta Dira. 

Dira merasa matanya sudah berkunang-kunang, tidak mungkin juga bisa berjalan ke depan sendirian. 

Bi Minah membantu Dira sampai ke depan dan sesuai permintaan Dira, ia memanggil taxi. 

"Bi, janji sama Dira. Bibi gak akan bilang ini pada siapa-siapa. Dira yakin bibi orang baik dan terima kasih," ujar Dira yang tidak membutuhkan jawaban dari Bi Minah. Dia langsung menyuruh supir taxi menjalankan kemudiannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status