Share

Drama pagi

Pagi menjelang, Dira terbangun dari tidurnya. Perlahan-lahan mata Dira terbuka sebelum kesadarannya kembali penuh dia merasakan pening di kepalanya. Ingatan tentang vonis dokter membuat Dira menghembuskan napasnya dalam-dalam. 

"Ternyata kamu masih bisa bernapas, Dir." Dira memijit kepalanya agar bisa mengurangi pening yang dia rasakan. Meskipun pening itu gak kunjung menghilang.

Samar-samar Dira mendengar suara wanita di dapur. Dira berpikir itu maling atau pembantu yang baru Abi pekerjaan. Namun, rasanya itu tidak mungkin karena Abi pernah bilang jika dia tidak akan mengundang orang lain untuk menjadi pembantu rumah tangga di apartemennya ini.

Dira bangkit dari tempat duduknya berusaha menghilangkan pening di kepalanya dengan menepuk-nepuk dahinya menggunakan tangan, lalu berjalan terseok-seok menuju dapur. 

"Kakak, kenapa di sini?" tanya Dira sedikit bingung. Sejak tiga bulan lamanya baru kali ini Nadya datang sepagi ini ke apartemen. 

"Kenapa kaget begitu? Semalam aku menginap di sini," ujar Nadya tanpa ada rasa takut. 

Nadya ingin membuat darah Dira mendidih, sebenarnya dia baru saja tiba karena ada berkas yang harus dia serahkan pada Abi. 

Tiga bulan yang lalu, setelah pernikahan Dira dan Abi yang digelar secara sederhana di puncak. Lelaki yang kini memimpin salah satu perusahaan terbesar milik keluarga Sander grup, memilih Nadya Sabit sebagai sekretarisnya. 

Sander, nama keluarga itu cukup terkenal di kalangan keluarga elit. Siapa yang tak tahu nama keluarga itu, keluarga yang tak diragukan lagi kekayaannya. Memiliki bisnis di bidang tekstil dan merambat ke bidang perhotelan membuat keluarga itu termasuk dalam jajaran orang terkaya ke 100 di Indonesia. 

Harusnya Dira beruntung mendapatkan Abi, tapi mendapatkan saja tak cukup jika tidak memilikinya, bukan?

"Oh, jadi Kakakku sekarang sudah berani menaiki ranjang suami orang. Ups ... Salah, suami adiknya." Dira tidak sadar dengan apa yang diucapkan kali ini dan dia juga tidak tahu dari mana keberanian berucap demikian pada sang kakak. Mungkin ini yang disebut naluri seorang istri yang ingin menjaga rumah tangganya. 

"Ralat. Kamu bukan adikku, Andira Sabit. Lagi pula aku tidak memiliki adik, yang aku tahu, aku memiliki musuh yang berkedok sebagai adik. Kamu tahu beberapa bulan yang lalu dia sudah menikam diriku dari belakang," ucap Nadya panjang lebar. 

'Maafkan aku Kak. Aku memang tidak pantas menjadi adikmu, tapi kamu juga belum tentu pantas menjadi kakakku, kamu sudah tega menyembunyikan rahasia besar padaku. Jika kamu jadi aku, apa yang akan kamu lakukan.' Suara batin Dira seperti ingin mengatakan hal itu langsung pada Nadya.

Namun, ia tidak ada kuasa. Dira ingat akan penyakit yang divonis dokter padanya, mungkin sebentar lagi dia akan pergi. Biarlah semua berjalan seperti ini. 

"Lalu, tidakkah Kakak ingin meracuninya? Mungkin dengan dia mati, bisa membuat Kakak senang?" celetuk Dira. Seperti memberikan kesempatan pada Nadya agar dia bisa membunuhnya.

"Ck, aku tidak perlu mengotori tanganku sendiri agar dia mati. Lagi pula lama kelamaan dia sendiri yang akan bunuh diri," ujar Nadya. Dia berkata sedingin mungkin dengan ekspresi seperti mengejek Dira. 

Dira hanya tersenyum kecut melihat dan mendengar ucapan itu, sembari bergumam dalam batinnya. 'Iya benar. Aku akan mati dengan sendirinya, mereka tidak perlu repot-repot membeli racun.'

"Bukannya akan lama jika kamu menunggu kesempatan itu? Harusnya lebih cepat kamu melakukan, kamu juga akan lebih cepat mendapatkan lelaki itu. Jangan sampai lelaki itu nanti berada di dekapan adikmu, Kak," tutur Dira yang sukses membuat darah Nadya mendidih. 

Nadya sangat takut dengan semua kalimat yang diucapkan Dira akan menjadi kenyataan. Meskipun Abi tidak pernah menyukainya, tapi Abi juga tidak menceraikannya. 

"Dasar kamu wanita tidak tahu terima kasih, wanita murahan!" Nadya langsung melayangkan satu tamparan ke wajah Dira.

Dira dengan ikhlas menerima tamparan itu, dia hanya bisa berharap jika Abi melihat apa yang diperbuat Nadya lelaki itu akan membela dirinya. 

Sementara itu, Abi baru saja keluar kamar ia mendengar keributan di dapur. Tak ingin menebak-nebak Abi menghampiri suara itu. Abi melihat Nadya menampar Dira, bekas tamparan itu tercetak jelas di pipi mulus Dira. 

"Sayang apa yang terjadi?" tanya Abi yang langsung memeluk Nadya.

Dira tersenyum kecut harapannya pupus dan kini dia justru melihat drama sepasang kekasih di hadapannya, terlihat dengan jelas Dira seperti tak dianggap sebagai istri. Harusnya lelaki itu membela Dira yang terluka dan memeluknya agar sakit yang Dira rasakan mereda. Namun, ini justru sebaliknya. 

"Kamu tahu Sayang, apa yang dia bilang? Dia akan membawa dirimu dalam dekapannya," ujar Nadya tanpa menambahkan bumbu-bumbu kata sedikitpun. 

"Sayang, tenang. Itu tidak akan mungkin, aku hanya milikmu dan terus menjadi milikmu. Dia hanya bermimpi untuk bisa mendapatkan diriku!" jelas Abi menenangkan Nadya.

Abi sangat tahu jika kondisi mental Nadya tidak akan baik jika sudah membicarakan hal yang menyangkut dirinya, terlebih jika dirinya dimiliki orang lain. Abi memang beruntung mendapatkan cinta yang begitu menggebu dari Nadya.

"Kamu, Dira. Tidakkah kamu berpikir terlebih dahulu jika ingin berbicara? Dasar tidak berguna," kecam Abi, membuat tubuh Dira bergetar saat bola mata berwarna hitam pekat itu menatap tajam ke arahnya.

Tubuh Dira refleks mundur dengan sendirinya entah itu karena kemarahan Abi, atau pemandangan di depannya. Abi sangat mengkhawatirkan Nadya dan mendekap tubuh Nadya dengan penuh kasih sayang. 

"Maaf aku salah," ucap Dira merendah.

Dira tidak ingin melawan Abi. Semalam ia sudah bertekad ingin membuat lelaki itu merasa kehilangan saat dirinya sudah pergi dari dunia ini. 

Bukankah itu impas, sekarang lelaki itu membuatnya seperti terkurung di dalam sangkar emas. Dianggap sebagai istri tidak, diceraikan juga tidak. Apa salahnya jika dia membuat lelaki itu mengurung nama Andira Sabit dalam hatinya. 

"Nyahlah dalam pandanganku sekarang juga. Aku benci dengan kata maaf darimu!" seru Abi dengan nada tinggi dan tegas menandakan jika perintahnya tidak ingin dibantah.

Mendengar suara bentakan Abi yang dilontarkan pada Dira. Nadya tersenyum mengejek padanya. 

Tanpa memberikan perlawanan Dira pergi meninggalkan Abi dan Nadya, tapi sebelum itu Dira membungkuk meminta maaf pada Nadya. 

Bagi Dira tidak masalah ini memang permintaan maaf yang tulus darinya, bukan sekedar berakting. 

Abi dibuat tercengang dengan sikap Dira yang seperti tidak tahu malu. Lelaki itu kini mendudukkan Nadya di sofa dan menenangkannya. 

"Sudah, Sayang. Jangan dipikirkan lagi. Kamu tahu sendiri adikmu itu sekarang sedang bermimpi mendapatkan diriku." 

"Bagaimana aku tidak memikirkannya, kamu sudah tiga bulan hidup satu atap dengannya. Kapan kamu akan menceraikan dia dan hidup bersama denganku?" Nadya memanyunkan bibirnya. 

"Cerai? Sayang kamu tahu aku belum bisa melakukan itu. Aku ingin membuat dia terus terkurung dalam lingkaran hubungan yang tidak menguntungkan. Bukankah itu cara elegan untuk membalasnya?" ujar Abi.

Nadya hanya bisa mengepalkan tangannya, sudah tiga bulan jawaban ini yang terus diucapkan Abi. Dia tidak ingin terus menunggu hingga membuat dia akan kehilangan. Dalam benak Nadya, dia ingin merencanakan sesuatu untuk bisa memiliki Abi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status