Share

Pasrah

Abi tiba di apartemen. Dia bergegas mencari Dira. Dia ingin memastikan satu hal. Apa yang direncanakan wanita itu?

Gedoran demi gedoran pintu, Abi layangkan di kamar Dira. Namun, hasilnya nihil tidak ada jawaban dari dalam sana. 

Abi memutar kenop pintu, menyapu pandangan ke seluruh penjuru kamar. Sepi seperti tidak ada kehidupan yang artinya Dira belum pulang. 

"Kemana wanita itu pergi!" ucap Abi. 

Lelaki itu kesal saat emosinya sudah memuncak justru dia tidak menemukan seseorang yang dicari. 

"Kakak mencariku?" Suara Dira terdengar dari arah belakang membuat Abi terkejut. 

"Kamu! Bisakah tidak mengejutkanku? Dari mana saja kamu?" tanya Abi.

Ekspresi Abi yang terkejut membuat Dira terkesima. Bagaimana tidak, Abi memiliki ketampanan yang bisa dibilang cukup sempurna, dengan alis tebal yang hampir menyatu, bulu mata yang lentik hingga bola mata yang hitam pekat membuat tatapannya bisa melelehkan hati. Belum hidungnya yang mancung dan ditambah bibir yang sedikit tebal, tapi terlihat sangat seksi. Dira kini hanya bisa menelan air liurnya saat menatap Abi.

"Kenapa kamu bengong, apa sekarang sudah menjadi tabiatmu ketika ditanya hanya bengong?" ucap Abi membuat Dira tersadar. 

"Aku membeli makanan," jawab Dira seadanya dia juga menunjukkan barang-barang yang dibeli. Dua kantong plastik yang berisikan cemilan, dan sayuran. Khas ala belanja bulanan. 

"Kakak sudah makan, aku masakin mau?" tanya Dira lagi saat Abi tidak memberikan tanggapan. 

"Aku sudah bilang kita hidup layaknya orang asing. Jangan jadi sok baik, aku tidak akan pernah bisa menerima masakan yang kamu buat," kecam Abi. 

Dulu perkataan seperti itu tidak Dira hiraukan, demi menjaga hatinya. Namun, untuk saat ini tidak mungkin bisa Dira biarkan begitu saja. Dia akan terus maju untuk mendapatkan hati Abi.

"Kak Abi tidak boleh bicara seperti itu. Apa Kak Abi tidak capek? Hidup bersama satu atap dan bersikap seperti orang asing?" tanya Dira. Merasa tangannya sudah kesemutan memegang dua kantong belanjaan. Dira melangkahkan kakinya untuk menuju dapur. 

"Hai kamu mau kemana?" tanya Abi.

"Aku lelah memegang dua kantong plastik ini. Aku hanya ingin menaruhnya," jawab Dira menghentikan langkahnya sebentar lalu melanjutkan lagi. 

Dira memiliki firasat buruk, sepertinya Abi akan melepaskan kata hinaan untuknya. Untuk itu dia akan menyibukkan dirinya membereskan belanjaan, agar setiap bait kata yang keluar dari mulut Abi tidak terlalu dia masuk ke dalam hatinya. 

"Aku lebih suka hidup seperti orang asing. Lagi pula kamu hanya wanita yang tidak tahu diri. Merebut diriku dari kakakmu, apa kamu tidak menyesali semua itu," ucap Abi mengikuti langkah Dira menuju dapur.

"Kenapa Kakak berbicara seperti itu. Dulu aku sudah meminta Kakak agar kita berpisah, tapi Kakak yang menolaknya, kan? Kalau sekarang Kakak ingin melakukan itu, sudah terlambat. Aku tidak akan mau berpisah," ujar Dira.

Abi tidak terima dengan jawaban yang diberikan Dira. Dengan refleks Abi menarik tubuh Dira, memojokkan tubuh itu dekat meja kompor lalu mengunci dengan kedua tangannya. Tak lupa tatapan penuh kebencian ia layangkan pada Dira. 

Dira merasakan aura mencengkeram yang dikeluarkan Abi, lelaki itu terlalu mendominasi. Namun, Dira tidak boleh kalah dan tidak boleh takut. Bahkan sebentar lagi dia akan mengahadapi malaikat maut. Kenapa dengan lelaki setampan Abi ia harus takut. Dira pun menatap balik mata penuh kebencian itu. 

"Kamu dengar Dira, cepat atau lambat kita akan berpisah. Aku akan hidup bersama dengan Nadya," ujar Abi.

Dira dengan tidak tahu malu justru mengalungkan tangannya ke leher Abi. Mendekatkan wajahnya dan mengikis jarak diantara mereka. Bibir Dira seakan mendekat ke bibir Abi. 

"Itu tidak akan terjadi. Akulah wanita yang akan terus mendampingi dirimu sampai aku menemui malaikat maut." Dira berucap setelah bibir itu sampai di telinga Abi. 

Sementara itu, Abi sebagai seorang lelaki normal sudah berfantasi, ia mengira Dira akan tidak tahu malu menciumnya. Namun, setelah sadar dengan ucapan Dira. Abi berusaha melepaskan tangan Dira dari lehernya, lalu bergegas pergi meninggalkan Dira. Tanpa menyahuti ucapannya. 

"Kak Abi mau ke mana? Kakak gak mau lanjutin yang tadi," goda Dira yang melihat Abi mulai kesal.

Setelah kepergian Abi. Dira menarik napasnya dalam-dalam. Lalu melupakan kejadian tadi dan melanjutkan pekerjaannya membereskan belanjaan. Setelah itu dia masuk ke dalam kamar. 

***

Dira melihat kertas hasil pemeriksaan yang tadi sempat ia lakukan. Iya, setelah pulang dari rumah orang tua Abi. Dira memerintah supir taxi untuk menuju rumah sakit. 

Dira mengingat pemeriksaan yang telah ia lakukan tadi saat di rumah sakit.

Dokter yang menangani Dira semalam terkejut saat melihat Dira menemui dirinya di ruang pemeriksaan. Pasalnya Dira pulang begitu saja tanpa ingin mendapatkan perawatan yang lebih.

"Jadi Ibu Dira sudah berubah pikiran?" tanya Rico, ia tahu nama Dira karena melihat dari data pendaftaran. 

"Aku hanya ingin tahu sejauh mana perkembangan penyakit itu dalam tubuhku," ujar Dira tanpa ekspresi saat menanyakan masalah hidup dan matinya. Biasanya orang akan ketakutan, tapi Dira justru seperti orang yang tidak peduli dan tidak ada rasa takut. 

"Jika Ibu ingin tahu, kita harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut," sahut Dokter Rico. 

"Baik lakukan. Apa hasilnya bisa keluar hari ini juga?" tanya Dira yang mendapatkan anggukan dari Rico. 

Dokter Rico dibantu dengan perawat lainnya melakukan tes darah kembali, dilanjutkan dengan test biopsi sumsum tulang, tujuannya agar bisa mengetahui jenis leukemia apa yang diderita pasien. Selain itu, hasil pemeriksaan nantinya digunakan untuk memilih pengobatan yang tepat.

"Berdasarkan hasil pemeriksaan. Saya sarankan untuk operasi dan mencari donor sumsum tulang," ucap Dokter Rico setelah membaca hasil pemeriksaan Dira. 

"Jika tidak melakukan operasi apa yang akan terjadi, Dok?" tanya Dira, meskipun dia sudah tahu jawaban dari pertanyaan itu tidak ada salahnya jika memastikan kembali. 

"Umur Anda mungkin tidak akan lama lagi," jawab dokter Rico.

Dira tersadar kembali dari ingatannya. Dia tersenyum sinis, operasi? donor sumsum tulang? Hah, bahkan tidak ada yang peduli dengannya. Bagaimana mendapatkan pendonor? Bahkan dia saja tidak bisa mendapatkan motivasi dari orang terdekat. Satu-satunya hal yang bisa Dira lakukan hanyalah pasrah, menunggu hari itu akan tiba dan dia akan membuat semua orang menangis atas kepergiannya.

Belum Dira selesai meratapi nasibnya, kini dia mendengar Abi berbicara dengan nada keras. Hal yang membuat ia khawatir iyalah saat Abi menyebutkan jika Nadya masuk rumah sakit. 

"Kak, apa yang terjadi dengan kak Nadya?" tanya Dira setelah berhasil menemukan Abi yang kini sudah rapi dan masih meletakkan ponselnya di telinga. 

Abi langsung mematikan sambungan, lalu berkata dengan sarkas pada Dira, "Ini semua karena dirimu, Dira. Nadya bunuh diri dan dirawat di rumah sakit."

Dira masih mematung setelah mendengarkan kabar itu. Tanpa Dira sadari Abi sudah meninggalkan dirinya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status