Share

Bukan Seorang Pengganti
Bukan Seorang Pengganti
Author: Anisa_Ra

Kenyataan Pahit

Wanita berambut sepinggang itu meninggalkan rumah sakit dengan keadaan lemah.

Dalam langkah lunglai dia masih mengingat dengan jelas, tiga kata yang baru saja masuk ke dalam gendang telinganya.

"Anda terkena leukemia."

Andira Sabit, wanita berusia 25 tahun ini sama sekali tidak menyangka, di usianya yang masih terbilang sangat muda harus menerima kenyataan pahit dengan mengidap penyakit yang mematikan.

Takdir seolah mempermainkan dirinya, dia sudah tidak memiliki kebahagiaan dalam dunia fana ini. Cepat atau lambat dia akan pergi, tapi siapa yang akan menangisi kepergiannya kelak?

Dira menahan air mata dan isak tangis, lalu menghadap ke atas agar air matanya tak banyak jatuh di pipi. Kejadian demi kejadian terus menimpa dirinya.

"Kenapa semua terjadi padaku? Kenapa Engkau memberikan takdir seperti ini?" tanya Dira sembari menatap tajam ke arah langit yang menghitam. Langit itu tanpa ada rembulan atau pun bintang yang menghiasinya.

Jika dipikir-pikir langit di atas sangat menggambarkan suasana hatinya yang kian sepi. Dira memiliki segalanya, tapi apa yang dia peluk dan genggam semuanya berduri, hingga dia sudah tak sanggup untuk memeluk apa yang dia miliki.

Keluarga yang lengkap? Tentu Dira memilikinya. Namun, kenyataan pahit yang beberapa bulan lalu dia ketahui adalah dia hanyalah seorang anak yang tak diharapkan oleh ibunya. Hal itu yang mengantarkan Dira pada sebuah pernikahan guna untuk membalas dendam.

Demi membalaskan sakit hatinya yang selalu diperlakukan seperti upik abu. Dira menikah dengan lelaki yang cukup tampan, Sander Abidin. Lelaki itu adalah kekasih sang kakak, Nadya Sabit.

Dira kembali berjalan saat teringat dia memiliki seorang suami, meskipun dalam kehidupan rumah tangganya dia hanya dianggap sebagai orang asing. Tidak hanya itu, Dira juga tahu jika sang suami kini masih menjalin kasih dengan sang kakak, bukankah itu sangat konyol?

Dira berusaha tegar menghadapi kenyataan yang ada. Kini dia memanggil taxi yang masih wara-wiri di jalanan. Dira berharap jika dia sampai di rumah perasaannya akan lebih tenang, sembari melihat sang suami yang pasti sudah tertidur sekarang ini.

Tetapi saat Dira membuka pintu, harapannya pupus.

"Lihatlah, Kak. Sepertinya istrimu sedang mencari kesenangan di luar sana!"

Celetukkan dengan nada tinggi itu berasal dari mulut Nadya, yang kini terlihat sedang nyaman tidur di pangkuan lelaki yang sering disapa Abi.

Seharusnya dengan keadaan yang baru saja Dira alami, dia yang tertidur di sana. Mencari sebuah kenyamanan dan motivasi hidup, sayangnya itu hanya mimpi bagi Andira Sabit.

"Masih ingat pulang?" tanya Abi menatap sengit ke arah Dira yang masih mematung di depan pintu masuk.

"Maaf, Kak Abi. Tadi aku ...."

Dira menghentikan kalimatnya, dia tidak mungkin mengatakan jika baru saja dia dirawat di rumah sakit dan mendapatkan vonis penyakit yang mematikan. Bisa saja jika Abi dan Nadya mendengar kabar itu mereka akan bersujud syukur.

"Tadi apa?" cecar Abi masih dengan tatapan tajam.

"Tadi aku tertidur di taman, Kak." Dira berbohong, karena dengan cara itu dia bisa mengelabui dua orang di hadapannya ini.

"Dasar tidak bertanggung jawab, aku menyuruhmu untuk membeli cemilan. Kamu malah tidur? Benar kata ibumu, jika kamu tidak berguna!" seru Abi seakan memojokkan Dira.

Ini pertama kalinya Abi berbicara panjang lebar setelah tiga bulan lamanya. Biasanya lelaki itu akan mengangguk atau melempar barang ketika dia suka atau tidak suka dengan tingkah Dira.

Kekaguman Dira seakan melupakan ucapan Abi yang kini tengah memojokkan dirinya.

"Heh, malah bengong! Kamu kira Kak Abi tukang sayur? Saat berbicara tidak ditanggapi. Istri macam apa kamu? Menyesal aku menyerahkan Abi padamu!" Nadya ikut melontarkan kata untuk memojokkan Dira. 

Dira hanya bisa menunduk sembari membatin, "Kakak bilang sudah menyerahkan Kak Abi, tapi apa yang Kakak lakukan sekarang? Menjadi orang ketiga dalam pernikahanku!"

Prang!

Satu guci pecah akibat perbuatan Abi dan hal itu sukses membuat Dira tersadar lalu berucap, "Maaf, Kak."

Beberapa jam yang lalu Dira diminta oleh Abi untuk membeli cemilan. Namun, sayangnya sebelum selesai berbelanja Dira sudah pingsan duluan.

"Maaf, maaf, maaf. Kata itu yang selalu kamu ucapkan, apa kamu tidak bosan? Aku bahkan muak saat kamu bilang kata itu!" kecam Abi tidak terima.

"Lalu aku harus berbicara apa? Apa aku harus bilang, sayang dan mencium Kakak agar Kakak mau memaafkan semua kesalahanku?" tanya Dira, untuk sesaat ia berani menatap mata Abi yang memancarkan api kemarahan. Namun, sedetik kemudian ia pun menundukkan kepalanya lagi.

"Dasar murahan," kecam Abi lalu ia bergegas untuk pergi membawa Nadya keluar dari apartemen.

Dira menghembuskan napasnya sejenak. Dia bisa merasakan oksigen yang masuk ke rongga tubuhnya meskipun sedikit sesak.

Jika dia memiliki kekuatan untuk melawan Abi, mungkin saja kata murahan bahkan umpatan pun akan dia lontarkan untuk sang suami. Namun, apa dayanya? Dia masih takut jika nanti diusir dari tepat dia berteduh. Jika itu terjadi ke mana tujuannya? Saat dunia yang diciptakan Tuhannya begitu luas, kenapa dia harus berada di tengah keluarga yang tak pernah menyayanginya.

Dira memasuki kamar yang sudah dia tempati tiga bulan lamanya. Tubuhnya langsung luruh ke lantai dengan punggung tersandar ke pintu.

Dira berandai-andai, jika dulu dia tidak mengikuti ego mungkin nasibnya tidak akan seperti ini. Terperangkap dalam pernikahan yang seharusnya menjadi tempat balas dendam, tapi justru kini ia terperangkap dalam sangkar emas yang diciptakan Abi.

"Neng, pernikahan itu sekali seumur hidup. Kamu harus memikirkan ulang." Kata yang keluar dari mulut Pak Lurah yang dulu menjadi saksi pernikahan selalu diingat Dira.

Tiga bulan yang lalu, Dira menikah dengan Abi karena sebuah kesalahpahaman. Di mana saat dia dan keluarga sedang melakukan liburan bersama dengan keluarga Abi dan karena dia sama sekali tidak dianggap, akhirnya Dira pergi meninggalkan vila tempat di mana semua keluarga berkumpul.

Namun, setelah tengah malam menjelang Abi menghampiri Dira dan Dira sama sekali tidak menyangka jika akibat dari berduaan di dalam mobil bersama dengan Abi justru dia digerebek oleh warga.

Awalnya Dira tidak ingin menikah, tapi karena mendengar jika dia anak tak diinginkan oleh sang ibu akhirnya Dira menyetujui pernikahan itu.

Kembali di kehidupan Dira yang sekarang, wanita itu masih terisak di dalam kamar sendirian. Jika waktu bisa diputar dia tidak masalah menjadi upik abu, dibandingkan menjadi istri yang tak dianggap dan diduakan.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku menunggu ajal tanpa melakukan apa pun?" gumam Dira.

"Tidak Dira, kamu harus bangkit. Buat orang yang tak mengharapkan dirimu, suatu saat ia akan kehilangan dirimu!" Dira menghapus sisa-sisa air bening yang membasahi pipinya. Wanita itu kini meyakinkan hatinya jika sekarang ini bukanlah waktunya dia bersedih.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Na_Vya
fighting! Dira!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status