Abi buru-buru membuka pintu unit apartemen miliknya saat mengetahui Dira tengah pingsan. Tanpa ia sadari saat ini dia menekan egonya untuk mempersilahkan Rico masuk ke dalam apartemen miliknya dan membiarkan Dira berada di pelukan lelaki itu. Dengan wajah kalut Abi menggiring Rico ke salah satu kamar guna merebahkan tubuh Dira di sana. "Abi, segera hubungi siapapun yang penting jenis kelaminnya wanita agar bisa segera mengganti baju Dira. Jika tidak dia akan mengalami hipotermia." Rico memberikan perintah pada Abi dengan keadaan panik apa lagi lelaki itu merasakan tubuh Dira sedingin es batu. Abi terdiam saat mendengar perintah dari Rico. Bukan apa-apa, dia sama sekali tidak ada pelayan seorang wanita. Tidak mungkin sekarang dia memanggil Mama Miranda atau keluarga Dira kan? Yang ada akan semakin memperburuk situasi. "Abi kenapa kamu diam saja? Kasian Dira!" bentak Rico yang kini menyadarkan Abi. Abi yang tidak ingin terlihat cemas dia bersikap masa bodoh di depan Rico. Lelaki it
Dira tersentak saat mendengar suara Abi. Wanita itu refleks melepaskan pelukannya hingga terjatuh di bawah kasur. "Aduh," teriak Dira sembari mengelus pinggangnya. "Tuh akibat dari otak mesum," seloroh Abi. Lelaki itu ingin menolong Dira, tapi ego menghalanginya dan membuat mulut Abi mengeluarkan ucapan itu. "Kakak yang benar saja, kenapa aku yang dibilang mesum?" tanya Dira tak terima dengan ucapan Abi."Lalu kalau bukan mesum apa namanya? Meraba-raba badan orang lain," celetuk Abi. Dira nampak berpikir sejenak, benar dia yang salah karena tanpa sengaja meraba dada Abi. Lalu yang kini menjadi pertanyaannya, kenapa Abi bisa tidur bersama dengannya tanpa memakai baju? Seketika itu Dira melihat tubuhnya sendiri lalu meraba ke seluruh tubuh, faktanya kini dia menemukan jika ia sama sekali tidak menggunakan dalaman untuk menutupi aset berharga miliknya. "Kak—" Abi yang tahu maksud Dira langsung mendekat dan melayangkan satu sentilan di dahi wanita itu membuat Dira menghentikan ucap
Dira sama sekali tidak menduga jika Mama Miranda datang berkunjung, tidak hanya Mama Miranda di belakangnya juga ada Papa Fauzan. Dalam benak Dira bertanya-tanya apa yang diinginkan mertuanya ini? "Mama, Papa," ucap Dira dengan senyum kakunya. Sementara itu, Miranda dan Fauzan berjalan masuk ke dalam membiarkan Dira berada di depan pintu seperti patung penyambut tamu. "Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?" sentak Miranda, sudah hampir beberapa menit dia menunggu Dira menghampirinya. Namun, Dira masih berdiri di depan. "Maaf, Ma," ucap Dira kaku dan masih tetap di tempatnya berada. Jujur saja Dira sama sekali belum memiliki kekuatan seperti saat dia datang ke rumah Sander waktu itu. Apalagi setalah berpikir beberapa saat Dira kini bisa menebak kedatangan Miranda dan Fauzan seperti ingin menagih janjinya tentang masalah perceraian dengan Abi. "Jadi kamu bisa menjelaskan apa maksudmu membuat janji padaku, tapi kamu tidak menepatinya?" tanya Miranda yang langsung ke titik perma
Kenyataan sebuah kehidupan, saat dirimu terpuruk, saat dirimu hancur bahkan sampai ke dasar pun kehidupan terus berjalan, tidak ada yang namanya mesin waktu berhenti meskipun hanya untuk sesaat. Ya, Dira mencoba untuk bangkit kembali. Meskipun dia menyerah tidak akan ada artinya sebab saat dia menyerah kehidupan masih terus berjalan.Dira ingat jika dirinya mendapatkan penawaran pekerjaan di kafe milik Rico. Hari ini juga dia datang ke sana dan melamar pekerjaan. "Selamat siang, apa benar ini kafe family eat?" tanya Dira pada salah satu pelayan di kafe itu. "Benar dan itu sudah ada di spanduk depan sana. Anda bisa membacanya," jawab pelayan itu dengan ketus.Dira tidak marah dengan jawaban pelayan itu, sebab ini juga salah dia. Sudah tahu kenapa harus tanya, padahal saat ini pengunjung kafe sangat ramai dan dia mengganggu pekerjaan pelayan itu. "Baiklah, terima kasih. Jika boleh apa saya bisa bertemu dengan Rico Hermansyah, saya Dira dan sudah membuat janji padanya," jelas Dira ak
"Dokter Rico," ucap Dira sedikit terkejut dengan kedatangan lelaki itu. Pasalnya tadi dia mendapatkan informasi jika Rico ada operasi. "Kenapa mukamu terkejut seperti itu? Dan kamu Adnan jangan selalu menggoda Dira. Kembalilah bekerja," papar Rico. "Aku tidak menggoda dia. Hanya saja aura dia membuat aku harus bersikap demikian," ungkap Adnan. Rico menggelengkan kepalanya, Adnan memang tipe lelaki ceplas-ceplos dan kadang juga cuek. "Apa pun itu, aku akan meminjam mangsamu ini terlebih dahulu," ucap Rico melirik ke arah Dira. "Mangsa?" Dira membeo tak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Rico. Ini kali pertamanya dirinya bisa berada diantara dua lelaki seperti ini. Sejak dulu dia sama sekali tidak pernah bisa berdekatan dengan siapapun. "Apa kamu tidak paham. Sejak tadi dia menggoda dirimu?" tanya Rico. "Tapi aku bukan mangsa," sahut Dira. "Iya, kamu bukan mangsa. Karena kamu wanita yang aku idamkan Dira," ucap Adnan. "Apa kamu sekarang paham Dira?" tanya Rico saat mendeng
"Minum, obat ini." Rico menyodorkan beberapa obat pereda nyeri untuk Dira. "Terima kasih," ucap Dira yang langsung mengambil obat tersebut lalu meminumnya. Di menit selanjutnya, Rico menatap Dira yang kini tengah menyenderkan tubuhnya di bangku taman. Iya, setelah kejadian di kafe di mana Nadya yang menyatakan tentang status Dira. Wanita itu langsung mengajak Rico pergi karena merasakan sakit di pinggang dan hidungnya terasa mulai mengeluarkan cairan berwarna merah. "Aku tahu apa yang Pak Rico pikiran. Maaf telah menyembunyikan banyak fakta yang mengejutkan Anda," ucap Dira sembari mendongakkan kepalanya ke atas agar cairan berwarna merah itu tak banyak terjatuh."Jadi benar kamu istri Abi?" tanya Rico. "Iya, tapi pernikahan kami tidak seperti pernikahan pada umumnya. Hidup ini rasanya sangat lucu, seperti panggung sandiwara," cetus Dira. Rico mencerna ucapan Dira. Apa arti dari pernikahan tak seperti pada umumnya? Apa pernikahan Abi dan Dira seperti cerita dalam novel dengan per
Hawa dingin benar-benar dirasakan oleh Dira. Banyak tanda tanya muncul di benaknya, apa arti kata yang barusan diucapkan Abi. "Kak Abi apa maksud Kakak barusan?" tanya Dira saat Abi tak bergeming. "Apa kamu pura-pura tidak paham? Apa begini cara kamu merayu para mangsamu?" tanya Abi yang semakin membuat Dira kebingungan. "Kakak bicara apa? Aku sama sekali tidak paham," ulang Dira yang benar-benar tidak mengerti akan maksud ucapan Abi. Abi bangkit menghampiri Dira yang masih setia berada di depan pintu masuk. Pelan-pelan tapi pasti langkah itu hampir saja sampai di dekat Dira. Gadis cantik yang sudah sah menjadi istri dari Sander Abidin itu, merasakan tubuhnya panas dingin saat bola mata berwarna hitam pekat itu seperti menghunus jantungnya. Bukan apa-apa terakhir kali pandangan itu Dira dapatkan saat di rumah sakit yang berakibat dirinya mendapatkan kekerasan. Apakah kali ini dia akan mendapatkan perlakuan seperti itu lagi, terpental ke dinding? Semakin lama langka Abi semaki
Malam semakin larut, seharusnya menjadi waktu yang bagus untuk mengistirahatkan tubuh. Namun, tidak dengan Abi. Lelaki itu masih berjalan mondar-mandir di kamarnya memikirkan ucapan Dira terakhir kali sebelum wanita itu masuk ke dalam kamar. "Pikirkan apa saja yang Kakak mau, karena dengan begitu Kakak akan mengingatku seumur hidup Kakak." Potongan ucapan itu seperti kutukan yang membebani benak Abi."Dump it! Pergi!" Teriak Abi meminta suara itu tidak lagi mengganggu dirinya. Namun, sekuat dia mengusir suara Dira terus menerus yang dia dengar. "Sudah cukup Abi. Tiga bulan kamu bisa menganggap dia layaknya orang asing. Kali ini hanya butuh satu setengah bulan, berhenti memikirkan apa yang terjadi pada wanita itu. Lagi pula sebentar lagi kamu akan hidup bersama orang yang kamu cintai, Nadya Sabit. Tidak akan ada nama Andira Sabit lagi!" ucap Abi untuk bisa menenangkan dirinya sendiri.Abi menghentikan kakinya. Dia langsung mendudukkan pantatnya di pinggir ranjang. Bola matanya sekil