"Kak Abi menginginkanku? Kak Abi suka? Kak Abi sudah mencintaiku?" Dira memberondong Abi dengan tiga pertanyaan yang sukses membuat lelaki bermanik hitam pekat itu kini menghentikan aksinya. Seketika itu Abi refleks dan langsung memundurkan langkahnya kebelakang lalu menarik tangannya dan menyimpan ke saku. Sungguh lelaki itu ingin segera pergi saja dari sana. "Jangan percaya diri, aku hanya ingin tahu seberapa cepat detak jantungmu ketika aku melakukan hal seperti ini," ucap Abi mencari alasan yang pas. Ia sama sekali tidak ingin harga dirinya jatuh di hadapan Dira. Berulang kali ia sudah menolak wanita itu dan kini dia hampir saja melecehkannya kembali. "Benarkah? Tapi aku merasa jika detak jantungku sangat normal. Wah, apa ini karena aku tidak menyukai Kakak sama sekali?" ungkap Dira. Lain di bibir lain pula di hati, Dira mengatakan jika detak jantungnya sangat normal, tapi nyatanya jantungnya berdebar kencang. Seandainya saja Abi tadi menyatakan perasaannya mungkin Dira juga a
Senyum terus mengembang di bibir Abi. Ia sama sekali tidak bisa membendung kebahagiaannya. Lelaki itu terus membayangkan saat Dira meraih tangannya lalu mencium punggung tangan itu. "Kakak sepertinya sangat senang sekali. Ada apa?" tanya Nadya saat melihat Abi yang terus mengembangkan senyumnya. Abi yang tadi menyetir melihat lampu merah langsung menginjak rem mobilnya. "Tidak ada apa-apa, pagi ini langit cerah jadi aku sangat bahagia," jawab Abi.Nadya langsung memandang Abi, tak ketinggalan dahinya mengkerut seperti tidak terima dengan jawaban Abi yang seolah mencari alasan. Tidak mungkinkan hanya karena langit cerah lelaki itu bahagia. "Benarkah hanya karena langit cerah?" tanya Nadya memastikan. "Em ... Tentu saja tidak. Aku bahagia karena ada kamu saat ini di sampingku," cetus Abi. Abi seketika itu mengutuki mulutnya alasan klasik apa yang baru saja ia ucapkan. Apa ini salah satu tanda mulut lelaki buaya? Selalu berkata manis dengan penuh kebohongan?"Benarkah?" Nadya langs
"Apa yang terjadi padanya?" tanya Miranda pada Rico yang kini tengah memeriksa Dira.Iya, beberapa saat yang lalu ketika Miranda sedang panik Rico datang untuk membawakan koper Dira yang tertinggal di kafe."Sepertinya kondisi Dira semakin memburuk karena kelelahan. Saya berharap dia mau beristirahat dan melakukan kemoterapi," ucap Rico membuat Miranda tak mampu lagi menampakkan kakinya di lantai. "Kemoterapi?" ulang Miranda.Rico langsung mendekat ke arah Miranda yang kini terduduk di lantai lalu berkata, "Iya, ini bisa menjadi alternatif kedua selain operasi cangkok sumsum tulang belakang." "Tapi saya rasa Dira sama sekali tidak ingin melakukan itu. Mungkin karena efek samping dari kemoterapi, saya sudah pernah berbicara padanya, tapi dengan tegas ia menolak," imbuh Rico sembari menghela napas berat."Apa bisa saya mendonorkan sumsum tulang belakang saya?" tanya Miranda.Wanita paru baya itu akan melakukan apapun untuk bisa membuat Dira sembuh termasuk mengorbankan dirinya sendiri
Nadya mengetuk pintu yang terbuat dari kayu jati di mana pintu itu menjadi pembatas antara dirinya dengan sosok di dalam sana. Perlahan-lahan Nadya memutar gagang pintu itu lalu menyembulkan kepalanya diikuti seluruh tubuh guna bisa masuk ke dalam. "Selamat pagi Pak Abi, hari ini jadwal Anda tidak terlalu padat. Anda hanya memiliki beberapa berkas yang harus di periksa dan ditandatangani, untuk meeting di luar yang sudah dijadwalkan dibatalkan oleh pihak mereka," jelas Nadya yang kini sudah berada tepat di depan Abi hanya ada pembatas meja diantara mereka. Tentu saja ini semua bukan kebetulan semata, karena Nadya yang sudah membatalkan semua jadwal Abi. Ia ingin membuat Abi memiliki banyak waktu agar apa yang ia rencanakan berjalan dengan lancar.Sementara itu, Abi menautkan kedua alisnya, sangat jarang koleganya membatalkan janji terlebih mereka sangat ingin bekerjasama dengan perusahaanya. Namun, jika ia memikirkan lebih jauh tidak ada salahnya para kolega membatalkan janji karen
Abi mendorong kuat tubuh beraroma parfum jasmine yang digunakan Nadya, saat ini Abi sama sekali tidak bisa mengontrol dirinya. Hampir saja jemari lentik miliknya menelusuri setiap jengkal pangkal tubuh Nadya. "Nad, bawa aku pulang," rengek Abi pada Nadya. "Kak, aku ini kekasihmu. Jika Kakak menginginkan aku, ayo, tunggu apa lagi," ucap Nadya mencoba merayu Abi. "Jika kamu tidak mau mengantar aku pulang aku bisa cari taxi," ancam Abi. Sungguh lelaki itu ingin sekali menumpahkan kekesalannya pada Nadya. Bisa-bisanya wanita yang sudah ia percayai membuat ia merasakan hal menjijikkan seperti ini. Jika Abi lelaki bejat mungkin ia akan sangat senang bersentuhan dengan siapa saja, tapi dia memiliki prinsip yang sama sekali sudah tertanam kokoh di benaknya. Selain itu ia juga ingin menjaga kehormatan Nadya, kenapa wanita itu sama sekali tidak paham akan niat baiknya?"Iya, aku akan mengantar Kakak pulang," ucap Nadya. Nadya sebenarnya kesal dalam keadaan seperti ini Abi masih saja menola
Dira sama sekali tidak menyangka jika Abi benar-benar menginginkan dirinya. Namun, ada hal yang mengganjal di indra penciumannya bahwa kini ada bau aneh yang dicium Dira dari napas Abi. Apa ini alkohol? Dira mencoba menebak sebab ia sama sekali tidak familiar dengan bau itu, tapi jika dipikir-pikir Abi tidak akan meracu tidak jelas dengan menginginkan dirinya jika lelaki itu sadar. "Kak, apa Kakak sadar dengan apa yang Kakak katakan barusan? Aku ini wanita murahan yang sama sekali tidak pernah kamu inginkan, lebih baik Kakak bersihkan diri agar Kakak kembali sadar," ungkap Dira yang kini berani menyentuh tangan Abi yang masih berada di atas aset berharga miliknya. "Selama ini aku menuduh dirimu sebagai wanita murahan, harusnya kamu membuktikan jika dirimu bukanlah wanita seperti itu kan? Selain itu aku tetap masih suamimu tidak masalah jika aku menuntut hak sebagai seorang suami," sahut Abi terkesan memaksa ia tidak ingin ada penolakan. Hasratnya kini sudah menggebu, apa di umurnya
Dira tersenyum miris, berulang kali suara Abi yang menyebutkan nama Nadya terus terdengar di gendang telinganya. Wanita yang kini sudah tidak bisa dikatakan sebagai seorang gadis lagi langsung mengubah posisinya memunggungi sang suami. Perlahan tapi pasti kali ini ia tidak sekuat biasanya yang dapat menahan butiran air bening saat bersama dengan Abi. Rasa sesak di dada wanita itu sudah tidak bisa ia tahan hingga menimbulkan suara isak kan. Tentu saja isakan yang dikeluarkan Dira didengar oleh Abi. Lelaki yang kini masih mengatur napasnya mulai sadar mungkin ia sudah salah berbicara. "Dira apa kamu menangis?" tanya Abi yang langsung mengubah posisinya menatap punggung Dira. Dira diam saat mendengar pertanyaan Abi, haruskah disaat menyedihkan seperti ini ia menjawab pertanyaan Abi yang menurutnya sedang mempermainkan dirinya."Dira, kali ini aku benar-benar dalam keadaan sadar. Aku tahu selama ini aku sudah bersikap keterlaluan padamu, aku sudah melimpahkan semua kesalahan padamu. S
"Selamat pagi, Ma," sapa Abi pada Miranda yang kini terduduk di meja makan. Tersirat dengan jelas wajah cemas wanita paru baya itu, tak kala ia tidak melihat Dira. "Abi, mana Dira? Kamu tidak melakukan apapun kan padanya?" cecar Miranda sembari berdiri lalu menggeser Tubun Abi berharap wajah sang menantu berada di balik punggung sang anak. "Ada Ma, Dira di kamar katanya lagi gak enak badan," jawab Abi. "Gak enak badan?" Miranda mengulang kalimat terakhir Abi, setelah wanita itu sadar ia langsung melangkahkan kakinya menuju kamar. "Mama mau kemana?" Abi menarik tangan Miranda guna mencegah wanita paru baya itu tidak melihat keadaan Dira. Abi sedikit menyesali perbuatannya, akibat ia sudah tidak bisa menahan hasratnya saat di kamar mandi, lelaki itu mengulangi kejadian semalam hingga membuat Dira lemas dan seluruh tubuhnya yang putih penuh dengan tanda kemerahan. "Mama ingin melihat Dira, Abi. Mama yakin keadaan Dira semakin memburuk, kita harus ke rumah sakit." Miranda ingat kead