Abi melihat jam dinding. Jarum pendek jam itu menunjukkan angka sepuluh. Dia berpikir mungkin saja kini Dira sudah terlelap di ranjang miliknya untuk itu Abi memutuskan untuk segera masuk ke dalam kamar. Dengan ragu-ragu seperti pengantin baru Abi membuka pintu kamarnya. Saat kepalanya menyembul ke dalam kamar diikuti seluruh tubuhnya, dia melihat Dira yang kini duduk di sofa sembari menyalakan televisi, tak lama kemudian Dira langsung mematikan televisi itu dan menatap ke arah Abi. "Kakak sudah mau tidur?" tanya Dira. "Tentu saja, kamu pikir aku akan menemanimu hanya untuk sekedar berbicara atau menonton televisi gitu?" sahut Abi dengan nada cepat. "Tidak juga. Aku kira Kakak akan mengerjakan berkas-berkas yang sudah menumpuk di meja itu. Kalau iya aku temenin," ucap Dira. Rasanya Abi ingin segera memejamkan mata saja saat Dira memberikan jawaban seperti itu. Apakah dirinya terlalu percaya diri? "Tidak. Aku sudah ngantuk," ucap Abi beralasan. Lelaki itu kini merebahkan tubuhnya
Di kediaman Indra. Nadya masih setia berjalan mondar-mandir di ruang tengah. Wanita muda itu sedang menunggu sang ayah yang tak kunjung kembali."Ayah kenapa jam segini belum pulang?" gumamnya sembari melirik ke arah jam dinding yang kini menunjukkan jam sebelas malam. Nadya sudah tidak sabar lagi ingin membahas rencananya pada sang ayah. Seandainya telepon gudang dan telepon sang ayah bisa ia hubungi mungkin saja ia tak akan gelisah seperti ini. Saat Nadya terfokus pada jam dinding, ia tak menyadari jika Lita berjalan ke arahnya. Tangan tua Lita kini terulur memegang pundak Nadya. Nadya yang terkejut langsung menoleh pada orang yang kini tengah memegang pundaknya. "Ibu belum tidur?" tanya Nadya guna mengalihkan keterkejutannya. "Kamu kenapa seperti sedang gelisah? Kamu menunggu Ayah Indra?" tanya Lita.Nadya tersenyum tipis sembari memegang tangan yang sejak tadi berada di pundaknya. "Iya, Bu. Aku menunggu Ayah, aku rasa Ayah belakangan ini terlalu bekerja keras. Dan sekarang
Dira tersentak saat mendengar suara Abi, masih dalam keadaan bingung ia langsung berkata, "Ma—maksud apa Kak?"Abi ikut bangun ia langsung meregangkan otot-ototnya terutama di bagian tangan yang digunakan bantalan oleh Dira. "Sisa umur," ucap Abi simpel. Dira langsung memutar otaknya cepat, penjelasan apa yang akan ia berikan pada Abi? "Kak, kita sebagai manusia kan tidak pernah tahu yang namanya umur. Maka dari itu aku selalu menganggap esok bisa saja mata ini sudah tak bisa terbuka lagi," jelas Dira. Jujur saat mengatakan hal itu, kini Dira menjadi ketakutan. Ia baru saja bisa merasakan kebahagiaan bagaimana rasanya saat membuka mata ada seseorang di sampingnya. Selama kehidupannya ini gadis itu tidak pernah merasakan ada orang di sisinya. Dira ingat saat ia masih berusia lima tahun di mana dirinya sudah tidur di kamar sendiri dan melakukan apa pun sendiri tanpa ada yang menemani. "Ucapanmu seperti orang yang akan cepat pergi saja," sahut Abi dibuat tercengah dengan penjelasan
"Kak Abi menginginkanku? Kak Abi suka? Kak Abi sudah mencintaiku?" Dira memberondong Abi dengan tiga pertanyaan yang sukses membuat lelaki bermanik hitam pekat itu kini menghentikan aksinya. Seketika itu Abi refleks dan langsung memundurkan langkahnya kebelakang lalu menarik tangannya dan menyimpan ke saku. Sungguh lelaki itu ingin segera pergi saja dari sana. "Jangan percaya diri, aku hanya ingin tahu seberapa cepat detak jantungmu ketika aku melakukan hal seperti ini," ucap Abi mencari alasan yang pas. Ia sama sekali tidak ingin harga dirinya jatuh di hadapan Dira. Berulang kali ia sudah menolak wanita itu dan kini dia hampir saja melecehkannya kembali. "Benarkah? Tapi aku merasa jika detak jantungku sangat normal. Wah, apa ini karena aku tidak menyukai Kakak sama sekali?" ungkap Dira. Lain di bibir lain pula di hati, Dira mengatakan jika detak jantungnya sangat normal, tapi nyatanya jantungnya berdebar kencang. Seandainya saja Abi tadi menyatakan perasaannya mungkin Dira juga a
Senyum terus mengembang di bibir Abi. Ia sama sekali tidak bisa membendung kebahagiaannya. Lelaki itu terus membayangkan saat Dira meraih tangannya lalu mencium punggung tangan itu. "Kakak sepertinya sangat senang sekali. Ada apa?" tanya Nadya saat melihat Abi yang terus mengembangkan senyumnya. Abi yang tadi menyetir melihat lampu merah langsung menginjak rem mobilnya. "Tidak ada apa-apa, pagi ini langit cerah jadi aku sangat bahagia," jawab Abi.Nadya langsung memandang Abi, tak ketinggalan dahinya mengkerut seperti tidak terima dengan jawaban Abi yang seolah mencari alasan. Tidak mungkinkan hanya karena langit cerah lelaki itu bahagia. "Benarkah hanya karena langit cerah?" tanya Nadya memastikan. "Em ... Tentu saja tidak. Aku bahagia karena ada kamu saat ini di sampingku," cetus Abi. Abi seketika itu mengutuki mulutnya alasan klasik apa yang baru saja ia ucapkan. Apa ini salah satu tanda mulut lelaki buaya? Selalu berkata manis dengan penuh kebohongan?"Benarkah?" Nadya langs
"Apa yang terjadi padanya?" tanya Miranda pada Rico yang kini tengah memeriksa Dira.Iya, beberapa saat yang lalu ketika Miranda sedang panik Rico datang untuk membawakan koper Dira yang tertinggal di kafe."Sepertinya kondisi Dira semakin memburuk karena kelelahan. Saya berharap dia mau beristirahat dan melakukan kemoterapi," ucap Rico membuat Miranda tak mampu lagi menampakkan kakinya di lantai. "Kemoterapi?" ulang Miranda.Rico langsung mendekat ke arah Miranda yang kini terduduk di lantai lalu berkata, "Iya, ini bisa menjadi alternatif kedua selain operasi cangkok sumsum tulang belakang." "Tapi saya rasa Dira sama sekali tidak ingin melakukan itu. Mungkin karena efek samping dari kemoterapi, saya sudah pernah berbicara padanya, tapi dengan tegas ia menolak," imbuh Rico sembari menghela napas berat."Apa bisa saya mendonorkan sumsum tulang belakang saya?" tanya Miranda.Wanita paru baya itu akan melakukan apapun untuk bisa membuat Dira sembuh termasuk mengorbankan dirinya sendiri
Nadya mengetuk pintu yang terbuat dari kayu jati di mana pintu itu menjadi pembatas antara dirinya dengan sosok di dalam sana. Perlahan-lahan Nadya memutar gagang pintu itu lalu menyembulkan kepalanya diikuti seluruh tubuh guna bisa masuk ke dalam. "Selamat pagi Pak Abi, hari ini jadwal Anda tidak terlalu padat. Anda hanya memiliki beberapa berkas yang harus di periksa dan ditandatangani, untuk meeting di luar yang sudah dijadwalkan dibatalkan oleh pihak mereka," jelas Nadya yang kini sudah berada tepat di depan Abi hanya ada pembatas meja diantara mereka. Tentu saja ini semua bukan kebetulan semata, karena Nadya yang sudah membatalkan semua jadwal Abi. Ia ingin membuat Abi memiliki banyak waktu agar apa yang ia rencanakan berjalan dengan lancar.Sementara itu, Abi menautkan kedua alisnya, sangat jarang koleganya membatalkan janji terlebih mereka sangat ingin bekerjasama dengan perusahaanya. Namun, jika ia memikirkan lebih jauh tidak ada salahnya para kolega membatalkan janji karen
Abi mendorong kuat tubuh beraroma parfum jasmine yang digunakan Nadya, saat ini Abi sama sekali tidak bisa mengontrol dirinya. Hampir saja jemari lentik miliknya menelusuri setiap jengkal pangkal tubuh Nadya. "Nad, bawa aku pulang," rengek Abi pada Nadya. "Kak, aku ini kekasihmu. Jika Kakak menginginkan aku, ayo, tunggu apa lagi," ucap Nadya mencoba merayu Abi. "Jika kamu tidak mau mengantar aku pulang aku bisa cari taxi," ancam Abi. Sungguh lelaki itu ingin sekali menumpahkan kekesalannya pada Nadya. Bisa-bisanya wanita yang sudah ia percayai membuat ia merasakan hal menjijikkan seperti ini. Jika Abi lelaki bejat mungkin ia akan sangat senang bersentuhan dengan siapa saja, tapi dia memiliki prinsip yang sama sekali sudah tertanam kokoh di benaknya. Selain itu ia juga ingin menjaga kehormatan Nadya, kenapa wanita itu sama sekali tidak paham akan niat baiknya?"Iya, aku akan mengantar Kakak pulang," ucap Nadya. Nadya sebenarnya kesal dalam keadaan seperti ini Abi masih saja menola