"Dira, ini bukan waktunya kamu bersusah hati atau sekedar meratapi nasib. Mungkin ini cara Yang Kuasa memberikan dirimu kesempatan untuk bisa membuat suamimu menyadari jika kamu nampak, bukan tak kasat mata," batin Dira sembari menahan nyeri di kepala serta di pinggang. Dira mengikuti permintaan Abi untuk ikut ke tempat gym. "Angkat barbel itu, Dira!"Seruan suara Abi kini terdengar kembali di gendang telinga Dira. Baru saja dia diminta untuk menjadi lawan lari ditempat disalah satu alat yang bernama Treadmill. Bisa dibayangkan Abi membuat kecepatan pada alat itu semaksimal mungkin dan hampir saja membuat Dira pingsan. Baru saja kaki Dira selonjor kini diperintah untuk mengangkat barbel. "Kak, aku ini ingin melayani Kakak seperti suami istri bukan menjadi lawan Kakak di tempat seperti ini," protes Dira yang sudah tidak kuat lagi. Dirinya sudah mulai kelelahan akibat lari ditempat tadi."Betul. Harusnya kamu juga tahu sebelum kamu meminta syarat itu kamu harus paham jika melayani sua
"Turun!" Satu kata bernada tinggi membuat Dira ketakutan, apa lagi kini tatapan Abi seperti serigala yang ingin memangsa korbannya. Keberanian yang wanita itu milik kini hanya tinggal kenangan saja. Dira tanpa banyak berdebat kini melepaskan sabuk pengaman lalu membuka pintu mobil itu tanpa membawa barang-barangnya. Bola mata wanita itu melihat mobil Abi meluncur begitu saja tanpa memperdulikan dirinya. Dira melepaskan tawa yang tertahan. Namun, tawa itu perlahan-lahan menjadi buliran air mata yang sudah siap tumpah membasahi pipi mulusnya. Sejenak Dira berdiam diri sembari menekuk lututnya yang bergetar, sebelum dia memikirkan bagaimana caranya dia bisa pulang ke apartemen. Kenangan-kenangan menyakitkan kini seperti roll film yang siap berputar memenuhi benak Dira. Seputar kilas balik kehidupannya yang kini berjalan selama 25 tahun. Mungkin kejadian ini yang paling memilukan terbuang begitu saja di tengah jalan."Takdir apa lagi ini. Apa aku salah jika aku ingin melawan apa yang
Indra sama sekali tidak menyangka jika kedua wanita yang berharga dalam hidupnya kini menipu semua orang."Apa? Jadi kamu hanya bersandiwara saja, Nad?" Indra mengulang kembali kalimatnya saat dua wanita itu hanya terdiam seribu bahasa. "Ayah, sudahlah ini semua demi anak kita agar dia bisa hidup bahagia dengan lelaki yang dia cintai. Dan lagi, ini semua juga bukan sepenuhnya bersandiwara. Nadya benar-benar bunuh diri jika dia tidak bersama dengan Abi," jelas Lita panjang lebar yang langsung mendapatkan gelengan kepala dari Indra."Tapi ini semua salah, Bu. Dan tidak bisa dibenarkan!" ungkap Indra yang kini menyuarakan suaranya. Dia sama sekali tidak setuju dengan perbuatan yang dilakukan oleh dua wanita itu. "Ck, Ibu rasa ucapan itu sama seperti ucapan Dira. Apa kini kamu berada di kubu anak itu!" Lita benar-benar ingat perkataan Dira, kenapa sama persis. Apa kalimat itu kini lagi tranding? Indra terdiam sejenak, apa yang istrinya bilang tadi, dirinya berada di kubu Dira? Bahkan b
Abi buru-buru membuka pintu unit apartemen miliknya saat mengetahui Dira tengah pingsan. Tanpa ia sadari saat ini dia menekan egonya untuk mempersilahkan Rico masuk ke dalam apartemen miliknya dan membiarkan Dira berada di pelukan lelaki itu. Dengan wajah kalut Abi menggiring Rico ke salah satu kamar guna merebahkan tubuh Dira di sana. "Abi, segera hubungi siapapun yang penting jenis kelaminnya wanita agar bisa segera mengganti baju Dira. Jika tidak dia akan mengalami hipotermia." Rico memberikan perintah pada Abi dengan keadaan panik apa lagi lelaki itu merasakan tubuh Dira sedingin es batu. Abi terdiam saat mendengar perintah dari Rico. Bukan apa-apa, dia sama sekali tidak ada pelayan seorang wanita. Tidak mungkin sekarang dia memanggil Mama Miranda atau keluarga Dira kan? Yang ada akan semakin memperburuk situasi. "Abi kenapa kamu diam saja? Kasian Dira!" bentak Rico yang kini menyadarkan Abi. Abi yang tidak ingin terlihat cemas dia bersikap masa bodoh di depan Rico. Lelaki it
Dira tersentak saat mendengar suara Abi. Wanita itu refleks melepaskan pelukannya hingga terjatuh di bawah kasur. "Aduh," teriak Dira sembari mengelus pinggangnya. "Tuh akibat dari otak mesum," seloroh Abi. Lelaki itu ingin menolong Dira, tapi ego menghalanginya dan membuat mulut Abi mengeluarkan ucapan itu. "Kakak yang benar saja, kenapa aku yang dibilang mesum?" tanya Dira tak terima dengan ucapan Abi."Lalu kalau bukan mesum apa namanya? Meraba-raba badan orang lain," celetuk Abi. Dira nampak berpikir sejenak, benar dia yang salah karena tanpa sengaja meraba dada Abi. Lalu yang kini menjadi pertanyaannya, kenapa Abi bisa tidur bersama dengannya tanpa memakai baju? Seketika itu Dira melihat tubuhnya sendiri lalu meraba ke seluruh tubuh, faktanya kini dia menemukan jika ia sama sekali tidak menggunakan dalaman untuk menutupi aset berharga miliknya. "Kak—" Abi yang tahu maksud Dira langsung mendekat dan melayangkan satu sentilan di dahi wanita itu membuat Dira menghentikan ucap
Dira sama sekali tidak menduga jika Mama Miranda datang berkunjung, tidak hanya Mama Miranda di belakangnya juga ada Papa Fauzan. Dalam benak Dira bertanya-tanya apa yang diinginkan mertuanya ini? "Mama, Papa," ucap Dira dengan senyum kakunya. Sementara itu, Miranda dan Fauzan berjalan masuk ke dalam membiarkan Dira berada di depan pintu seperti patung penyambut tamu. "Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?" sentak Miranda, sudah hampir beberapa menit dia menunggu Dira menghampirinya. Namun, Dira masih berdiri di depan. "Maaf, Ma," ucap Dira kaku dan masih tetap di tempatnya berada. Jujur saja Dira sama sekali belum memiliki kekuatan seperti saat dia datang ke rumah Sander waktu itu. Apalagi setalah berpikir beberapa saat Dira kini bisa menebak kedatangan Miranda dan Fauzan seperti ingin menagih janjinya tentang masalah perceraian dengan Abi. "Jadi kamu bisa menjelaskan apa maksudmu membuat janji padaku, tapi kamu tidak menepatinya?" tanya Miranda yang langsung ke titik perma
Kenyataan sebuah kehidupan, saat dirimu terpuruk, saat dirimu hancur bahkan sampai ke dasar pun kehidupan terus berjalan, tidak ada yang namanya mesin waktu berhenti meskipun hanya untuk sesaat. Ya, Dira mencoba untuk bangkit kembali. Meskipun dia menyerah tidak akan ada artinya sebab saat dia menyerah kehidupan masih terus berjalan.Dira ingat jika dirinya mendapatkan penawaran pekerjaan di kafe milik Rico. Hari ini juga dia datang ke sana dan melamar pekerjaan. "Selamat siang, apa benar ini kafe family eat?" tanya Dira pada salah satu pelayan di kafe itu. "Benar dan itu sudah ada di spanduk depan sana. Anda bisa membacanya," jawab pelayan itu dengan ketus.Dira tidak marah dengan jawaban pelayan itu, sebab ini juga salah dia. Sudah tahu kenapa harus tanya, padahal saat ini pengunjung kafe sangat ramai dan dia mengganggu pekerjaan pelayan itu. "Baiklah, terima kasih. Jika boleh apa saya bisa bertemu dengan Rico Hermansyah, saya Dira dan sudah membuat janji padanya," jelas Dira ak
"Dokter Rico," ucap Dira sedikit terkejut dengan kedatangan lelaki itu. Pasalnya tadi dia mendapatkan informasi jika Rico ada operasi. "Kenapa mukamu terkejut seperti itu? Dan kamu Adnan jangan selalu menggoda Dira. Kembalilah bekerja," papar Rico. "Aku tidak menggoda dia. Hanya saja aura dia membuat aku harus bersikap demikian," ungkap Adnan. Rico menggelengkan kepalanya, Adnan memang tipe lelaki ceplas-ceplos dan kadang juga cuek. "Apa pun itu, aku akan meminjam mangsamu ini terlebih dahulu," ucap Rico melirik ke arah Dira. "Mangsa?" Dira membeo tak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Rico. Ini kali pertamanya dirinya bisa berada diantara dua lelaki seperti ini. Sejak dulu dia sama sekali tidak pernah bisa berdekatan dengan siapapun. "Apa kamu tidak paham. Sejak tadi dia menggoda dirimu?" tanya Rico. "Tapi aku bukan mangsa," sahut Dira. "Iya, kamu bukan mangsa. Karena kamu wanita yang aku idamkan Dira," ucap Adnan. "Apa kamu sekarang paham Dira?" tanya Rico saat mendeng