Share

Menghindar

Seperti yang telah diketahui bersama, bahwa hari ini tepatnya hari Jumat, Hazel kembali ke aktivitas semulanya yakni, sekolah di Altair High School. Tempatnya mengemban ilmu selama hampir dua tahun ini.

Sekolah yang memiliki tiga lantai di dua gedungnya yang berseberangan cukup jauh. Gedung MIPA dan gedung Sosial dimana lantai dasar terisi oleh seluruh kelas sepuluh, di lantai dua kelas sebelas dan di lantai tiga ada kelas dua belas. Dengan dilengkapi tangga juga lift. Diantara kedua gedung itu ada masjid dan gereja yang bersebelahan.

Dilengkapi dua lapangan basket, in door dan out door. Satu ruangan luas untuk olahraga dalam ruang, misalnya senam lantai dll. Satu kolam renang in door, serta ada satu ruang khusus gym. Pun ada gedung ekstrakulikuler di sana, berisi beberapa ruangan luas khusus ekstrakurikuler yang biasanya menggunakan ruangan, misalnya vokal dan musik.

Setelah melewati lobi, di ujung sana terlihat satu gedung ruang guru dan di gedung yang sama tepatnya di lantai dua terdapat ruang kepala sekolah dan jajaran staf ataupun ruang meeting. Mengenai lapangan, ada lapangan upacara di belakang gedung ruang guru dan lapangan olahraga di belakang hampir mencapai taman belakang. 

Jangan lupakan pula, aula serbaguna yang rooftop-nya menghadap ke arah lapangan upacara. Di beranda sekolah, sebelum lobi ada empat halaman parkir, satu parkir mobil siswa, satu parkir motor siswa, satu parkir mobil guru, dan satu parkir motor guru, sebenarnya juga ada parkir khusus sepeda sebagai pembatas parkir guru dan siswa.

Benar-benar sekolah yang luar biasa, bukan?

"Pagii!" sapa Hazel riang ketika memasuki kelasnya yang baru ada dua orang.

"Zel, selama lo diskors, ada tugas lo udah belum?" tanya salah satu dari mereka.

"Tugas? Aduh, gue belum." Menarik napas dalam-dalam, ia berseru agar sepupunya yang berada di luar kelas mendengar. "Joshua, gue liat tugas lo! Tega lo gak kasih tau gue! Cowok macam apa lo, hah?!" Biar saja cowok itu malu, malahan kini ia terkikik geli.

Laki-laki yang dipanggilnya itu kini tengah berdiri menjulang di hadapannya, tak lupa ekspresi masamnya yang terlihat jelas. Mengingat reputasi Joshua sebagai cowok dingin di luar rumah berbeda 180° jika dihadapannya, tangan Hazel terulur menutupi sebagian wajah tampan itu.

Oh, tentu saja masih dengan tawa yang belum terhenti. "Ya ampun, gue bengek! Huft, bagi tugas."

Setelah ditunjuk menggunakan dagu, Hazel beralih ke tas hitam milik Joshua di pojok sana, letaknya cukup jauh dari tempat mereka berdiri. Selesai menyalin tugas cowok itu, ia keluar kelas menghiraukan panggilan untuknya dari belakang.

•••

Selama di sekolah, baik di luar kelas maupun di dalamnya ia terus menerus dipantau oleh kedua sepupunya. Siapa yang betah saat selalu dipantau kegiatannya? Tentunya sama sekali tidak!

Pulang sekolah ini, seperti biasa kedua sepupunya akan sibuk dengan ekstrakurikuler masing-masing. Baru saja ia akan mengabarkan supirnya untuk menjemput, pelatih vokalnya memanggil.

"Hazel, jangan pulang dulu, ya. Kita latihan dulu," katanya yang diangguki. Kebetulan juga, Valdo dan Joshua ada kegiatan sore nanti. Jadi, daripada mengeluarkan uang untuk memesan taksi ataupun tenaga untuk meminta supirnya menjemput.

Setelah selesai latihan, pipinya bersemu kemerahan. Bagaimana tidak? Jika baru saja pintu dibuka, terpampang jelas dua cowok dengan gayanya masing-masing. Yang satu bersandar sambil memainkan ponsel disamping pintu dengan kaki kanannya ditekuk di dinding, tasnya hanya disampirkan di salah satu bahu. Sedangkan, yang satunya, tersenyum lebar menampakkan gingsulnya tepat di depan pintu.

Hazel tersadar dari bapernya langsung saja memalingkan wajahnya. Apalagi terdengar suara-suara godaan dari teman satu ekstrakulikulernya. Tak ingin terlarut, Joshua merangkul bahu Hazel disusul Valdo yang menggandeng tangan kirinya. Malu. Itulah Hazelna.

Mereka bertiga berjalan sembari bercanda mengabaikan tatapan mata penghuni sekolah yang tersisa. Kaki mereka serentak melangkah menuju parkiran. Namun, Hazel menghentikan langkahnya. "Gue bareng Valdo, ya. Gue males ikut ke sana jadi gue tunggu di depan aja. Bye!"

Di luar sana, Hazel memainkan ponselnya hingga ada tangan yang melingkari pinggang rampingnya. Dagu itu diletakkan di pundak Hazel. Ia berkata, "Hai, emang ya jodoh itu enggak kemana, buktinya aku udah nunggu kamu di sini, eh kamunya yang dateng ke aku."

Tangan yang semula di pinggang, kini merayap naik, embusan napas di kulit lehernya membuat Hazel menahan napas. Merayap naik hingga mencapai dadanya. Namun, belum sempat cowok itu meremas dada Hazel, pelipisnya dihantam seseorang.

Hazel sedari tadi memang tidak tahu siapa yang memeluknya erat, ia berbalik dan pelupuk mata berisi kristal hampir siap untuk terjun bebas. Tak disangka, laki-laki yang ia kira Valdo atau Joshua ternyata Rei. 

"Hazel!" seru Valdo panik. Barusan ia diberi tahu bahwa Hazel hampir menjadi korban pelecehan. "Lo gak apa-apa? Lo diapain aja?" Hazel menggeleng.

"Siapa, Zel?" tanya Joshua. 

"Rei. Untungnya ada sahabat Valdo yang nolong gue. Wait deh, gue lupa namanya yang pasti bukan yang ganggu gue di kantin."

"Ganggu? Kapan?"

"Hus! Diem deh, lo gak tau apa-apa dan gak perlu tau. Biar gue sama Valdo aja, anak kecil diem."

"Rizal?" tanya Valdo. Hazel diam masih memerhatikan kondisi dua orang tadi, untungnya Rei segera pergi setelah dihadiahi beberapa pukulan keras.

"Thanks ...?" 

"Rizal, Zel. Lo kayaknya lupa ya sama gua?" 

"Sorry, lo tau sendiri gue gimana. Eh, by the way, thanks ya, gue gak tau gimana nasib gue tadi kalau gak ada lo, gu–"

"Iya iya, sama-sama. Gak usah ngerasa bersalah gitu. Dan gak usah terima kasih terus sama gua."

"Bukannya lo udah balik dari tadi? Kok di sini?" tanya Valdo kepo. Emang, Valdo itu ... ah, entahlah, gak bisa diutarakan dengan kata-kata.

"Oh, iya. Gua ke sini cuma mau ke warmiyam depan, kakak gua pengin. Terus liat Hazel digituin, ya udah gua tolongin tapi tumben gak ada yang jagain."

"Ambil motor," jawab Joshua cepat. Sepertinya, cowok itu melihat gelagat aneh di diri Rizal yang entah.

"Udahlah. Sekali lagi thanks ya, Zal. Gue balik." Kemudian, ketiganya meninggalkan sekolah dan seseorang disana yang bergumam.

"Jangan berterima kasih terus sama gua, Zel. Karena bagi gua, itu kewajiban apalagi menyangkut orang yang gua sayang. Tunggu gua siap. Oke?"

•••

Di kamar bernuansa abu itu, ponselnya bergetar menunjukkan pesan dari nomor tak dikenal.

082173****** :

» gua tgg lo di jln merdeka ntr mlem jm 11.

» gua ttng lo sm spp lo itu blp mtr.

» klw gua yg mng gua mw lo biarin gua sama hzl. 

» but, klw lo yg mng gua yg bkl prgi dr hzl.

» dn gua pstiin gua yg mng. tgg keklhan lo.

» — R

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status