Seorang wanita duduk dengan angkuh menyilangkan kakinya, menghisap *shisha dan menghembuskan asapnya ke udara. Aroma manis menyeruak melingkupi udara di sekitarnya. Sudut bibirnya terangkat, tersenyum sinis pada terkaan di kepalanya.
(*shisha = metode merokok asal Timur Tengah menggunakan tabung berisi air, mangkuk, pipa, dan selang.)
Kalau apa yang dicurigainya terbukti benar, ia sudah menyiapkan skenario untuk menghukum orang yang telah merebut apa yang menjadi miliknya. Ia menoleh pada wanita di hadapannya.
“Apa lo bisa dipercaya?”
“Ya! Tentu!” Gadis mungil itu menjawab sambil berlutut.
Wajah cantik itu menyeringai, lipstik merah menghiasi bibir tipisnya yang terbentuk sempurna. Tahi lalat di atas bibir wanita itu membuat wajahnya di saat yang bersamaan semakin cantik dan mengerikan.
“Ini.” Ia melemparkan plastik kecil ke arah gadis yang berlutut.
Gadis itu menangkapnya gelagapan dengan sorot seperti kelapa
Berikan bintang untuk Aneth yaa... :)
Aneth membuka pintu kamarnya hendak berangkat ke kantor saat menemukan sebuah buket bunga tergeletak di depan pintu kamarnya. Ia mengambil buket itu dengan bingung. Siapa yang mengiriminya bunga? Salah kirim kah? Ia lalu melihat kartu yang diselipkan di atas bunga, hanya ada satu kata sapaan, ‘Pagi’. Begitulah tulisan di kartu itu. Tidak ada nama pengirim dan tujuan. Hari ini ia tidak keluar untuk jogging, makanya baru menyadari ada buket di depan pintu kamarnya. Berpikir sejenak, Aneth mengeluarkan ponsel dari tasnya. Sejak kemarin ia belum memeriksa notifikasi pesan yang masuk. Setelah pertemuannya dengan Elden, mood-nya hancur seketika. Ia hanya mandi setelah pulang kemarin dan meminum obat tidurnya agar bisa beristirahat tanpa terbangun tengah malam. Tidak ada tanda-tanda Elden mengiriminya pesan setelah pertemuan mereka. Ia memerhatikan kembali buket bunga itu, buket cantik berwarna kuning cerah. Bungan
Setangkai bunga yang sama dengan buket kemarin, bunga mekar berwarna kuning cerah lagi-lagi ada di depan pintunya. Kali ini pesannya berisi ‘I know what you’ve done’. (Aku tahu apa yang telah kamu lakukan) Seketika Aneth bergidik ngeri. Ia sudah bertanya ke penghuni indekos lain soal bunga itu. Tapi katanya tidak ada yang memesan bunga maupun yang mengirimi mereka. Katanya kalau ada, orang yang memberikan akan memberi tahu mereka dan beberapa orang menjawab, tidak dalam situasi harus menerima bunga. Sebenarnya begitu juga dengan Aneth, ia juga sedang tidak di posisi untuk menerima bunga. Apa lagi Valdi bilang tidak mengiriminya bunga. Tapi melihat pesan di kartu itu, sepertinya bunga itu memang ditujukan untuknya. Tapi, siapa? Siapa yang mengirimnya? Kenapa pesannya seperti itu? Apa yang orang ini tahu? Tunggu dulu—ada. Ada satu orang yang mungkin melakukan ini. Terhalang waktu yang sudah mepet untuk pergi ke kantor,
Ia baru sempat tidur tiga jam pagi itu. Kepalanya terasa berat menahan kantuk. Beberapa kali mengerjap dan menguap, ia menepuk-nepuk pipinya dengan telapak tangan agar tidak mengantuk. “Kenapa Neth? Kamu begadang?” Suara seseorang di depannya mengejutkannya. “Oh? Pagi, Pak,” ia langsung membetulkan posturnya dan mengangguk memberi salam. “Pagi... Kamu keliatan lesu hari ini,” sahut Yuka. Aneth refleks menyentuh kedua pipinya dan menunduk. “Kelihatan banget ya, Pak?” Yuka mengangguk. “Sedikit. Memang habis ngapain?” “Ah, itu ...” Aneth bingung mau menjawab apa, lalu ia berkata jujur. “Semalam habis nonton, Pak.” Sebelah alis Yuka terangkat, “Marathon drakor?” Ia teringat gadis-gadis senang sekali menonton acara itu hingga kadang menangis, teriak histeris, tertawa, ya contohnya Yurika, kakak perempuannya. “E-ee iya, Pak,” jawab Aneth sambil tertawa kaku. Tak lama lift berdenting menunjukan lantai kantor A
Laki-laki ber-sweater ombre keabu-abuan itu sedang duduk mengobrol dengan temannya ketika melihat seseorang yang tak diduga muncul. Dari sana tampak sepupunya datang bersama... Aneth? Dia tidak berhalusinasi, kan? Valdi sedikit tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sewaktu Yuka berkata akan mengajak Aneth, ia kira itu hanya gurauan. Dan lagi, Aneth menerima ajakannya? Sepupunya tampak menyapa beberapa orang yang dia kenal di sana dan memperkenalkan Aneth kepada mereka. Tangannya terkepal erat menyaksikan keakraban mereka. Kenapa Aneth mau pergi dengan Yuka? “Oh, ternyata benar lo udah sampai,” ujar kakak sepupu, menghampirinya. “Aneth! Lo datang sama Yuka?” Sementara Ivy, sang tunangan, memekik girang bercampur kaget. “Hai, iya. Katanya ada kalian, makanya dia ajak gue.” Aneth tersenyum menjawab Ivy, lalu menoleh sekilas ke arahnya. Ia hanya bisa menelan kejengkelannya untuk sekarang, meskipun sebenarnya i
“Kapan ciuman pertama lo?” Orang-orang di ruangan bersorak riuh. Yang pertama kali mendapat pertanyaan adalah perempuan yang sebelumnya menegur temannya ketika membicarakan Yuka. “Baru mulai aja pertanyaannya udah begini. Wah, gimana pertanyaan selanjutnya nih,” celetuk seorang laki-laki yang sebelumnnya bermain dart. “Pokoknya semua harus kena. Nggak mau tau,” perempuan yang mengenakan bodycon mini dress warna peach itu tertawa. “Ciuman pertama ya, apa pipi termasuk?” tanya perempuan yang mendapat giliran. “Ya nggak lah, Bambang.” “Hmm, ngak terlalu ingat. Kalau nggak salah waktu SMP?” Mendengar jawabannya, yang lain berwow-ria dan meledek perempuan itu. Setelahnya permainan kembali berlanjut. Aneth heran, mereka tidak kehabisan pertanyaan sama sekali. Beberapa pertanyaan ada yang masih dalam batas wajar. Tapi tidak sedikit juga pertanyaan ekstrem yang sulit dijawab. Contohnya sepert
“Ternyata hebat juga lo,” Elden mendekati Aneth yang sedang berdiri di dekat meja Bar. Saat itu Aneth sedang memerhatikan sekeliling mencari Yuka. Sepertinya laki-laki itu tidak ada di ruangan. Mungkin ke toilet, pikirnya. Aneth mengabaikan Elden yang berdiri di sebelahnya memegang dua gelas minuman. Sebelah tangannya menyodorkan segelas wine, tetapi Aneth memalingkan wajah. Elden meletakan gelas itu di meja lalu meneguk minumannya sendiri. “Datang sama cowok yang namanya Yuka, TTM-nya sama cowok yang udah punya tunangan. Two-timing, huh?” sindir Elden. Dengan jutek Aneth menoleh ke arahnya. Tatapan tajamnya seperti mampu melubangi kepala Elden. Dari mana dia tau soal Valdi? Jujur saja, ia sangat panik dengan kalimat laki-laki itu barusan. Tapi ia berusaha mengendalikan ekspresi wajahnya. “Siapa ya namanya,” lanjut Elden tanpa peduli. “Val...Valdi. Iya bener Valdi!” Ia menyerukan nama itu cukup keras.
Setelah menutup telepon dari Yuka, Aneth menyisir rambutnya dengan jari, menggenggam sebagian rambutnya menutupi wajah. Sebelah tangan yang lain menopang tangannya yang memegangi rambut. Ia lalu menoleh ke jendela. Kepalanya terasa berputar-putar karena terlalu banyak meneguk alkohol. Sebenarnya dia tidak pulang sendiri.'Maaf ya, saya bohong.' Bisiknya dalam hati.Sewaktu ia keluar dan membuka aplikasi taksi online, dia sudah sempoyongan. Saat itu Elden memergokinya dan meraih pinggangnya.'Sial, dia lagi, dia lagi.' Aneth sempat mengumpat dalam hati.Tapi entah mengapa ia juga merasa sedikit lega karena laki-laki itu yang menemukannya. Gila! Bisa-bisanya dia berpikir lebih aman bersama laki-laki brengsek ini.“Siapa lagi sekarang? Your sugar Daddy?” celetuk Elden mendengar percakapan Aneth di telepon memanggil lawan bicaranya dengan sebutan ‘Pak’.“Berisik,
Setibanya di indekos, ia buru-buru membuka pintu kamarnya. Melempar tas asal, dan mencari benda yang mampu menenangkannya. Pandangannya terkunci pada pisau cutter yang ada di meja. Seperti yang sudah-sudah, ia akan melancarkan ritual penenangan dirinya. Selagi menggenggam cutter, ponselnya berdering tanda telepon masuk. Gerakannya berhenti sesaat, namun tetap mengabaikan panggilan itu hingga dering ponselnya berhenti. Ketika benda tajam itu nyaris menggores kulitnya, ponselnya kembali berdering dengan tidak sabar. Akhirnya ia meraih tasnya. Menatap nama yang tertera di layar. Telepon dari Bosnya. Aneth berdehem sesaat sebelum mengangkat panggilan masuk itu. “Halo,” “Akhirnya kamu respon juga.” Ada nada khawatir pada suaranya. “Semalam kamu nggak hubungin sama sekali.” “Ah, maaf Pak. Saya langsung ketiduran.” “Tapi nggak pa-pa kan kamu pulangnya?” “Iya, nggak apa-apa kok. Maaf ya Pak, saya lupa kabarin.”