Share

#5 Awal Mula Masalah

Laki-laki itu terus memerhatikan orang yang berlalu lalang keluar saat jam pulang kantor. Tapi perempuan yang dicarinya sama sekali tidak tampak. Ia menghela napas. Sepuluh menit, ia paling tidak suka menunggu dan membuang-buang waktu. Akhirnya ia putuskan untuk naik ke kantor Direksi.

“Eh, Aneth lembur apa gimana sih?” tanya Valdi tanpa basa-basi ke kakak sepupunya.

“Mana gue tahu, gue nggak urusin satu persatu karyawan lah.”

“Ya kali aja lo tau. “

“Telepon aja sih.”

“Masalahnya gue nggak punya nomor Hp-nya.”

Yuka yang sedang membaca berkasnya berhenti sejenak dan mengernyit. “Aneh, padahal kalian pergi bareng melulu. Lagian lo ngapain sih, udah mau nikah masih pergi berduaan sama cewek lain. Mantan pula,”

“Bukan mantan, cuma pernah dekat,” koreksi Valdi. “Gue bosan aja, dia bisa gue ajak makan di tempat yang gue pingin. Lo aja nggak mau gue ajak ke tempat makan yang gue mau,”

“Sama aja, intinya lo pernah kepincut dia. Hati-hati lo jangan main api,” cibir Yuka.

“Nggak lah. Apaan sih, gue malah diceramahin sama Cassanova kayak lo,”

Yuka berdecak sebal, “Awas lo ya, nggak gue kasih nomornya Ranetha,”

“E-eh! Lo punya nomor Aneth?” kontan Valdi menghampiri meja kerja sepupunya.

“Punya lah, kan waktu itu kontekan buat konfirmasi tawaran kerja.”

“Ampun wahai Paduka! Ampuni hambamu ini. Minta nomornya dong!” ia mendekap kedua telapak tangannya memohon ampun.

“Ck,” dengan malas Yuka akhirnya meraih ponselnya dan memijat layar itu. Tak lama dering ponsel Valdi terdengar. “Tuh,” katanya.

“Wah! Thank you! Arigatou!” Valdi mengucapkan terima kasih dalam bahasa Jepang—mengingat sepupunya berdarah Indonesia-Jepang—sambil menepuk-nepuk pundak Yuka.

“Udah sana, sana, jangan ganggu gue,”

“Ok, gue cabut dulu bro!”

***

Belum lama Aneth tiba di rumah. Badannya rasanya lemas sekali karena kemarin ia kehujanan. Sejak pagi di kantor rasanya ia tidak bisa konsentrasi bekerja. Ia menyentuh keningnya dengan punggung tangan, lebih hangat dari biasanya. Sepertinya ia demam. Ia baru saja akan mandi ketika ponselnya tiba-tiba berdering. Panggilan masuk dari nomor tak dikenal.

“Halo?”

“Neth, lo di mana?”

Aneth terdiam sejenak, lalu sadar akan suara di ujung telepon. “Valdi?”

“Yup. Gue tadi nungguin lo di lobby, tapi nggak lihat lo sama sekali. Lo udah pulang?”

“Iya, gue udah pulang duluan. Tadi nggak enak badan.”

Mendengar suara Aneth yang agak sumbang Valdi sadar, sepertinya wanita itu memang sedang sakit. “Lo lagi sakit ya Neth?”

“Mm, kayaknya begitu.”

“Yah, gue baru mau ajak lo pergi makan.”

Sorry ya, hari ini nggak bisa dulu nih.”

“Ya udah lo istirahat aja Neth, jangan lupa minum obat.” Valdi lalu teringat sesuatu. “Eh, lo udah makan belum Neth?”

“Belum, nanti gue delivery.”

“Gimana kalau gue ke tempat lo bawain makanan? Lo udah lapar belum Neth?”

“Huh? Mm… Belum sih, kepala gue sakit.”

“Ok, kalau gitu gue ke sana ya. Tunggu gue, bye.”

Telepon terputus sebelum Aneth berkata apa-apa lagi. Kalau tidak salah dengar, Valdi mau ke kostnya.

Valdi mau ke kostnya?

Mendadak ia sadar dan langsung mengedarkan pandang ke sekeliling kamarnya. Pakaian tidurnya masih berantakan di kasur. Ia buru-buru membereskan sedikit kamarnya. Meskipun badannya lemas, hidungnya pilek dan kepalanya pusing, ia tidak bisa membiarkan orang lain melihat kamarnya dalam keadaan berantakan.

Eh, tapi memangnya dia akan masuk?

Sudahlah.

Ia berbaring sambil menunggu Valdi. Rasanya mengantuk, tapi ia juga lapar. Kakinya yang menyentuh lantai berayun pelan. Sebelah tangannya diletakan di dahinya memastikan suhu tubuhnya sendiri. Tidak berapa lama telepon berdering, sepertinya Valdi hampir sampai.

“Neth gue di depan nih.”

Cepat juga dia sudah sampai. Dengan susah payah Aneth beranjak dari posisi rebahannya. Kepalanya terasa berat sekali. Badannya tidak nyaman. Ia lalu berjalan keluar kamar ke gerbang kostnya.

“Hei,” sapa Valdi dari mobilnya.

“Hai. Lo mau masuk atau ... ?”

“Ayo kita makan bareng dulu Neth.”

“Kalau gitu parkir di halaman aja.”

Lagi-lagi mereka bertemu berdua, kali ini malah di kost Aneth. Bagaimana dengan niatnya kemarin yang tidak mau menemui Valdi lagi? Sekarang mungkin bukan waktu yang tepat, Aneth takut karena tidak enak badan, ia malah akan meracau hal yang tidak penting. Baiklah, dia akan bicara saat pertemuan mereka berikutnya saja. Hari ini setelah mereka selesai makan, Aneth akan bilang ia ingin beristirahat supaya Valdi cepat pulang.

Valdi turun dari mobilnya setelah selesai memarkir. Sebelah tangannya menjinjing sekantong besar kertas dan sekantong plastik berukuran sedang.

“Hmm, kamar lo rapi banget Neth,” kata Valdi mengamati ketika mereka memasuki kamar kost Aneth. Samar-samar ia mencium wangi khas Aneth di kamar itu. Sepertinya jarang ada yang berkunjung ke sana.

“Tadi baru gue beresin. Silahkan duduk di sebelah mana aja senyaman lo, di bangku atau lantai, terserah,”

“Ok! Nih gue bawa makanan sama obat. Ayo kita makan,” seru Valdi yang sepertinya juga lapar.

Aneth meraih kantong yang ditawarkan Valdi sambil mengucapkan terima kasih. Lalu mengambil peralatan makan untuk mereka dan menarik meja kecil di sudut karena Valdi memilih duduk di lantai.

“Kok tiba-tiba bisa sakit Neth? Kurang istirahat?”

Mana mungkin Aneth kurang istirahat, sejak bekerja di kantor kegiatan Aneth sepulang kerja saja hanya makan, tiba di kost menonton drama atau animasi, habis itu tidur. Kalau masalah sulit tidurnya, sudah sejak lama ia alami. Pagi-pagi juga biasanya dia jogging. Ini kan karena menunggunya kemarin. Tapi tentu saja Aneth tidak bisa bilang.

“Kemarin pulang kehujanan.”

“Oh? Pantas langsung sakit gitu.”

Valdi mencondongkan tubuhnya menatap Aneth. Ia mengangkat tangannya dan menempelkan telapak tangan dan punggung tangannya ke dahi Aneth bergantian. Sementara perempuan itu kaget dan menahan napas sejenak. Perlakuan Valdi membuat wajahnya tambah memanas.

“Ternyata panas juga. Mau gue antar ke dokter aja nggak Neth?”

Ya iyalah gimana nggak panas kalau lo tiba-tiba mendekat gitu.

Ia lalu menggeleng cepat. “Nggak perlu, istirahat sama minum obat juga sembuh sebentaran.”

“Cepat sembuh ya, nanti kita kulineran lagi.”

Ah, itu dia masalah utama yang ingin Aneth tuntaskan sejak kemarin. Demi membicarakan hal itu ia menunggu Valdi kemarin selama satu setengah jam. Alhasil ia kehujanan dan sekarang demam. Karena Aneth tidak menjawab, Valdi bertanya lagi.

“Kenapa Neth?”

“Nggak pa-pa.”

Begini nih…

Kalau perempuan sudah mengeluarkan kalimat ajaibnya seperti ‘terserah’, ‘nggak pa-pa’, atau jawab singkat, tandanya ada sesuatu yang salah. Apa Aneth sekarang merasa benar-benar tidak enak badan?

“Nggak enak banget ya Neth? Mau istirahat?”

Semakin ditanya-tanya entah mengapa Aneth jadi kesal sendiri. Mungkin karena ia sedang demam, ia jadi sulit menyembunyikan kekesalannya.

“Iya,” jawabnya singkat.

Valdi mulai bingung. Jawaban Aneth terlalu singkat. Apa karena sedang sakit makanya jadi sensitif seperti itu, atau dia yang melakukan kesalahan? Ia menatap wanita itu yang beranjak membereskan peralatan makan mereka. Tiba-tiba ia teringat masa lalu. Ia jadi penasaran, bagaimana sebenarnya perasaan Aneth waktu itu? Apa Aneth tidak sadar waktu ia tertarik padanya? Atau Aneth memang berniat menolaknya saat itu?

“Udah istirahat aja Neth,” ujarnya saat melihat Aneth sibuk sendiri.

Wanita itu tidak merespon. Ia menghela napas, lalu beranjak mendekati Aneth meraih pergelangan tangannya.

“Beres-beres masih bisa besok kan? Apa mau gue gendong ke ranjang lo?”

Ucapan Valdi sukses membuat gerakan Aneth terhenti. Kenapa cowok itu harus berkata se-eksotis itu. Jantungnya malah jadi melompat-melompat ria kan. Pikirannya malah ke mana-mana mendengar kata ‘ranjang’.

“Val, tolong jangan temui gue lagi,” ujarnya tiba-tiba tanpa menatap pria itu.

Valdi terkejut mendengarnya. Masih sambil memegang pergelangan tangannya, ia berusaha menatap Aneth.

“Kenapa? Ada masalah apa Neth?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya.

Tentu saja mendadak kekesalan Aneth memuncak. Mulai dari ajakan Valdi saat itu, pertemuan mereka berdua yang terus menerus, kejadian kemarin saat ia menunggu pria itu, semua tentang Valdi yang mengganggu pikirannya, juga perlakuan Valdi saat ini, semuanya adalah masalah untuknya.

Bagaimana bisa seseorang yang sudah bertunangan terus-terusan menemui perempuan lain meskipun itu temannya? Hal itu malah membuat Aneth tenggelam kembali ke masa lalu mereka. Sedikit celah itu malah membuatnya jadi berharap yang tidak seharusnya.

“Masalah apa? Lo pikir ini bukan masalah?” nada suara Aneth meninggi. “Apa Ivy tau lo ke sini? Kalau pun tau, gimana tanggapan dia tentang tunangannya yang datang ke kost teman ceweknya?”

Valdi terdiam tidak menjawabnya.

“Lo pikir kalau kita ketemu terus juga nggak akan ada masalah?” Aneth memejamkan matanya sejenak merasa frustasi. “Dari kemarin gue nunggu pingin bilang ini ke lo, sebaiknya lo jangan sering-sering pergi sama gue. Tapi kalau dipikir lagi, rasanya better nggak usah pergi berdua sama sekali.”

Valdi mengeratkan cengkramannya di pergelangan tangan Aneth, membuat perempuan itu sedikit merintih sakit.

“Apa kemarin lo nunggu gue di kantor?”

Aneth mengangguk.

“Apa lo kehujanan karena nunggu gue?”

Kali ini Aneth tidak menjawab.

“Berapa lama lo nunggu gue?”

Aneth masih diam lalu memalingkan wajahnya. Melihatnya bungkam, Valdi mendekat memangkas jarak di antara mereka. Tanpa aba-aba ia memeluk wanita di hadapannya. Mungkin dalam situasi ini ia bisa memastikan sesuatu.

Sementara bola mata Aneth melebar terkejut saat laki-laki itu mendekapnya. Ini jelas salah. Bahkan ia sendiri bisa mendengar degup jantungnya yang berdendang tidak karuan. Tubuhnya yang lemas serasa bergetar seperti seirama dengan jantungnya. Sesuatu yang berpusat di dalam dadanya seperti berputar-putar.

“Berapa lama lo nunggu?” tanya laki-laki itu lagi.

Seperti bisa menghipnotisnya, ia akkhirnya menjawab. “Satu setengah jam mungkin,” ucapnya lirih.

Ia sulit bernapas karena didekap erat seperti itu. Ia berusaha melonggarkan pelukan Valdi, tapi terdiam sebentar seperti itu malah membuatnya nyaman dan hangat. Meskipun jantungnya masih tidak bisa berhenti marathon.

Sorry Neth, gue nggak bisa hubungi lo karena nggak tau kontak lo. Gue baru aja dapat dari Yuka tadi. Gue kira lo nggak nunggu gue kemarin,” katanya sungguh-sungguh.

“Tapi... sejak dulu gue penasaran. Apa lo tau kalau ‘waktu itu’ gue tertarik sama lo?”

Setelah jeda sejenak Aneth menjawab, “Mungkin.”

Ia tidak mau menjawab secara terang-terangan karena takut disangka kepede-an atau semacamnya. Ia merasa ia bukan wanita yang sangat cantik ataupun wanita yang cukup luar biasa sehingga bisa mengakui bahwa orang lain menyukainya.

“Kenapa waktu itu lo nggak merespon?”

Story by @lunetha_lu

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Donna Simarmata
Valdi yg penasaran akan rasa Aneth untuknya di masa lalu
goodnovel comment avatar
Herni
berasa gimana ya klo sama mantan trs tetiba jadi Deket gini lagi hahahahaa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status