Kepala Aneth masih terasa sedikit pusing sewaktu tiba di kantor pagi ini. Ia benar-benar tidak percaya dengan kejadian semalam. Mengingatnya saja membuat detak jantungnya marathon nyaris melompat. Seharusnya ia ekstra hati-hati saat kakak perempuan Bosnya memperingatkannya. Bisa-bisanya Valdi menariknya dan hampir saja...
Arghhh!
Ia tidak ingin mengingatnya. Ingin marah, tapi anak itu sedang mabuk. Ia sedang memijat pelipisnya saat Yuka masuk ke lift yang sama dengannya.
“Eh, Neth.”
“Pagi Pak,” sapa Aneth sopan.
Hari ini pun sepupu temannya sekaligus Bosnya itu tampak tampan dan cerah. Padahal semalam dia juga habis minum banyak. Tapi pagi ini tetap terlihat segar. Orang ganteng mah beda, ya. Gaya berpakaiannya selalu terlihat rapi dan modis, selera para wanita seperti di drama-drama yang sering ditontonnya atau komik-komik yang sering dibacanya.
Ia jadi teringat, kalau saja kemarin bukan karena Yuka yang membantunya, sepertinya ‘kecelakaan’ itu akan terjadi. Ketika jarak mereka sangat dekat, Yuka buru-buru menarik lengan Aneth dan memukul kepala Valdi. Hal itu membuat Valdi sedikit tersadar.
Jujur saja sebenarnya Aneth juga sulit menolak pesona kedua lelaki tampan itu. Tapi yang satu kan temannya, sudah tunangan pula. Yang satu lagi Bosnya, kemungkinan sudah punya pacar. Memang siapa dirinya sampai salah satu dari mereka bisa tertarik padanya. Jelas hal yang mustahil kan.
Aneth bertanya-tanya dalam hati. Andaikan–andaikan saja nih–keadaannya Valdi masih single, dan terjadi hal seperti semalam, apa yang akan dia lakukan? Apakah ia tidak akan menolak laki-laki itu mendekat?
Duh! Pagi-pagi sudah mikir apa sih?
Ayo bangun Aneth!
Ia menggeleng pelan menyingkirkan jauh-jauh pikiran aneh dari kepalanya.
“Semalam gimana pulangnya? Aman kan?”
Yuka tidak bisa mengantar Aneth karena sibuk mengurus sepupunya yang hangover, oleh karena itu ia memanggil taksi untuk Aneth semalam. Dari pada sepupunya berulah, lebih baik dia menyeretnya keluar.
Melihat sekelilingnya ramai Aneth menjawab dengan anggukan. Setelah itu ponsel Yuka berdering, ia menjawab teleponnya. Kedengarannya dia akan meeting. Sebelum Aneth keluar dari lift, Yuka meminta Aneth menunggu sebentar saat dia masih menelepon.
“Neth,” panggilnya setelah selesai menelepon.
“Ya?”
“Kamu bisa pasang dasi?”
Aneth diam sejenak, lalu mengangguk. “Mmm, ya. Ada apa Pak?”
***
“Aneetth, sorry ya semalam...” Kedua telapak tangannya saling ditempelkan di depan kepalanya sambil menunduk menghadap Aneth. Siapa lagi kalau bukan yang berulah semalam.
Di mana mereka bertemu? Tentu saja di ruangan Yuka. Dia memanggil Aneth ke ruangan Yuka seusai jam kerja. Aneth sudah merasa tidak nyaman saja. Lagi-lagi masuk ruang Direksi. Kalau kelihatan pegawai lain bisa dicurigai.
“Ya boleh sih minta maaf, tapi jangan sering-sering panggil gue ke sini juga. Nanti kalau kelihatan yang lain malah jadi pembicaraan.” Ia menoleh ke Yuka, merasa tidak enak.
“Kalau gitu ayo gue traktir buat menebus yang kemarin!”
Sebelah alis Aneth terangkat tidak percaya. Lalu ia menggeleng cepat. “Nggak, nggak. Nanti malah rusuh lagi lo,”
“Nggak usah aneh-aneh deh lo,” nyinyir Yuka.
“Kok kalian gitu? Emang gue semalam ngapain? Cuma nggak sadar aja kan? Ayolahh, hari ini kita makan di tempat makan biasa aja. Yang non alkohol.”
Aneth maupun Yuka menatap Valdi tidak percaya. Jadi anak itu tidak ingat kejadian semalam? Wahh, keterlaluan sekali anak ini.
“Gue belum bisa pulang, masih ada yang diurus. Lagi pula lo kayak banyak waktu luang banget sih, kerjaan di kantor lo gimana?”
“Aman itu sihh,” sahut Valdi bangga. Lalu ia menoleh ke Aneth, “Kalau gitu kita aja gimana Neth, nggak lama-lama, makan dekat sini aja janji deh.”
Aneth melirik Yuka bingung, apa bisa dipercaya makhluk satu ini. Tapi Yuka hanya mengendikan bahu. Tidak terlalu peduli pada kekonyolan sepupunya. Akhirnya ia menghela napas. Kali ini saja ia beri kesempatan. Kalau ternyata Valdi membawanya ke Restoran & Bar lagi, Aneth bertekad akan langsung pulang.
“Ok, no alcohol ya.”
Mendengar respon Aneth, Valdi tersenyum lebar. Ia mengajak Aneth pergi sekarang sebelum terlalu gelap. Mereka lalu meninggalkan Yuka yang masih sibuk di ruangannya.
“Gue jadi merasa nggak enak,” ucap Aneth ketika mereka tiba di salah satu tempat makan kaki lima. Yah, untungnya Valdi menapati janji.
“Nggak enak kenapa?”
“Kita pergi ninggalin sepupu lo, padahal ketemunya di ruangan dia. Apa kita bawain makan aja?”
“Biar aja, dia sih bisa pesan. Lagian dia nggak bisa makan di tempat begini.”
“Ohh gitu?”
Valdi menggangguk. “Udah lama gue pingin makan pecel, baru kesampean. Nggak ada yang temenin sih. Ivy juga nggak suka.”
“By the way, lo nggak gerah Val masih pakai jas?” sejak tadi Aneth merasa orang-orang yang makan di sekitar situ memerhatikan mereka. Sepertinya di sana yang memakai stelan rapi cuma Valdi, makanya sangat menarik perhatian. Ditambah lagi wajahnya.
“Nggak, biar ganteng aja gitu,” canda Valdi sambil tertawa.
Aneth berdecak, “Udah ganteng juga.”
“Oh? Wa—“ mendengar perkataan Aneth, ia sempat grogi. Tapi lalu dia tersenyum usil dan mencondongkan badannya ke sebelah Aneth, “Waaahhh, jadi menurut lo, gue ganteng?”
Duh, kenapa tadi dia asal ceplos aja sih. Awalnya Aneth hanya bermaksud jujur tanpa maksud apa-apa, tapi karena sikap Valdi dan godaannya, sekarang Aneth malah malu dengan perkataannya sendiri.
“Udah nggak usah pura-pura nggak nyadar deh, nyebelin tau.”
Valdi tambah terbahak melihat sikap Aneth yang salah tingkah. Lalu ia bertanya lagi, “Kalau Yuka menurut lo gimana Neth?”
“Baik kok,” jawab Aneth asal.
“Bukan itu, menurut lo dia ganteng?”
Sambil mendorong Valdi yang masih mencondongkan badan ke sebelahnya, ia menjawab “Kenapa obrolannya jadi gini sih?”
“Penasaran aja kalau menurut lo gimana, jawab dong. Beneran penasaran nih, gue nggak bakal bilang orangnya kok.”
Aneth terdiam sejenak. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya sejak awal Aneth tahu Yuka. Karena pernah melihat Valdi beberapa kali mengajak Yuka sewaktu acara pameran masa kuliah, dan juga sewaktu wisuda mereka. Pertama kali melihat Yuka, Aneth sempat pangling karena sangat mirip dengan Valdi, hampir saja dia memanggilnya Valdi. Tapi kali berikutnya melihat Yuka, ia sudah bisa membedakan.
“Menurut gue kalian mirip.”
“Ah, iya banyak yang bilang sih dari dulu.”
Setidaknya setelah itu mereka lanjut mengobrol hal yang normal. Jadi nggak bikin jantung Aneth olahraga lagi. Ada di sebelahnya saja Aneth sudah grogi, apa lagi kalau cowok itu usil. Tolong jangan buat ia baper.
“Neth, besok temanin gue cari makan sekitar sini lagi ya.”
“Huh? Apa?”
“Makan sore bareng lagi.”
“Memang lo nggak makan di rumah sama Ivy?”
Valdi menggeleng. “Ivy lagi ke Bali. Kesempatan gue makan makanan pinggiran gini tuh jarang banget. Ayolah Neth, kita kan teman.”
Aneth menghela napas. Salah satu kelemahannya adalah tidak bisa menolak pria tampan yang memelas, terlebih saat mendengar kata ‘teman’ keluar dari mulutnya.
“Cuma makan kan?”
“Yes!” seru Valdi tersenyum lebar.
***
Sore itu cuaca tampak mendung. Aneth berkali-kali melirik jam tangannya. Sebenarnya ia sudah pulang sejak tadi. Tapi karena janjinya dengan Valdi, ia harus menunggu laki-laki itu. Sudah seminggu berturut-turut ia pergi makan sore dengan Valdi sepulang kantor. Sekali waktu pernah Yuka juga ikut dengan mereka karena ia ingin kabur sesaat dari pekerjaannya. Awalnya Valdi hanya mengantar sampai halte bus terdekat, tapi belakangan ia mengantar Aneth sampai kostnya. Sebenarnya kegiatan ini sedikit membebani Aneth.
Pertama, Valdi memang temannya tapi sudah bertunangan. Rasanya kurang pantas saja kalau dia sering makan berdua dengannya.
Kedua, ia sebenarnya sadar kalau dulu Valdi sempat mendekatinya. Ia tidak terlalu merespon bukan karena tidak menyukainya, malah ia akui kalau saat itu Aneth juga tertarik padanya.
Tetapi berada di dekat laki-laki itu selalu membuatnya salah tingkah, dan ketidakpercayaan dirinya atas apa yang pernah menimpanya. Ditambah Valdi terang-terangan mendekatinya dan membuat Ivy sadar waktu itu. Meskipun mereka sudah putus, Ivy bertanya langsung pada Aneth apakah Aneth sedang pendekatan dengan Valdi. Karena merasa tidak enak, akhirnya Aneth menjadikan kegiatan organisasi sebagai alasan mengapa mereka sering bertemu.
Sekarang mereka sudah tidak kuliah lagi, Aneth tidak tahu apakah Valdi memberitahu Ivy tiap mereka pergi makan bersama atau tidak. Tapi ia jadi makin kepikiran, apakah yang dilakukannya ini salah. Sudah pergi makan berdua, diantar pulang pula. Ia sendiri bingung, apa wajar saja bersikap seperti itu ke teman?
Ketiga, yang membuat Aneth semakin terbebani adalah perasaannya waktu itu. Ia takut perasaan lamanya muncul kembali jika mereka terlalu sering bertemu seperti ini. Meskipun ia sudah mencoba, sangat berusaha bersikap biasa saja, tapi masalahnya Valdi adalah jenis laki-laki yang pesonanya sulit ditolak.
Oleh karena itu, hari ini Aneth memutuskan untuk mengatakan pada Valdi kalau sebaiknya mereka tidak pergi berdua lagi. Tapi ia tidak akan bilang kalau alasannya adalah karena ia takut terpikat. Tidak akan.
Tapi entah kenapa, sudah lewat satu jam ia tidak melihat Valdi. Biasanya pria itu datang ke kantornya setiap jam pulang. Rasanya seperti mereka bekerja di gedung yang sama. Padahal kantornya adalah gedung sebelah yang kurang lebih butuh waktu lima belas menit dari tempatnya menuju gedung kantor Aneth.
Langit sudah sangat gelap, Aneth bingung apa dia harus pulang atau menunggu sebentar lagi. Dia juga tidak punya nomor kontak Valdi yang sekarang. Tadinya dia menunggu di lobby lantai dasar, tapi sudah beberapa menit yang lalu ia keluar dan menunggu di depan. Padahal hari ini ia ingin menegaskan pada Valdi soal pertemuan mereka yang terlalu sering.
Apa Aneth saja yang merasa kepedean begitu? Atau mungkin kemarin-kemarin kebetulan saja Valdi tidak sibuk dan mengajaknya makan bersama. Bisa saja hari ini dia memang tidak berniat datang lagi ke kantor. Lagi pula sebetulnya mereka juga tidak benar-benar pasti janjian hari ini. Hanya karena kebiasaan saja dan waktu itu Valdi pernah bilang padanya kalau tunggu dia untuk makan sore.
Lima belas menit lagi.
Ia akan menunggu lima belas menit lagi saja.
Story by @lunetha_lu
Laki-laki itu terus memerhatikan orang yang berlalu lalang keluar saat jam pulang kantor. Tapi perempuan yang dicarinya sama sekali tidak tampak. Ia menghela napas. Sepuluh menit, ia paling tidak suka menunggu dan membuang-buang waktu. Akhirnya ia putuskan untuk naik ke kantor Direksi.“Eh, Aneth lembur apa gimana sih?” tanya Valdi tanpa basa-basi ke kakak sepupunya.“Mana gue tahu, gue nggak urusin satu persatu karyawan lah.”“Ya kali aja lo tau. ““Telepon aja sih.”“Masalahnya gue nggak punya nomor Hp-nya.”Yuka yang sedang membaca berkasnya berhenti sejenak dan mengernyit. “Aneh, padahal kalian pergi bareng melulu. Lagian lo ngapain sih, udah mau nikah masih pergi berduaan sama cewek lain. Mantan pula,”“Bukan mantan, cuma pernah dekat,” koreksi Valdi. “Gue bosan aja, dia bisa gue ajak makan di tempat yang gue pingin. Lo aja nggak mau gue aja
Setelah bicara soal masa lalu mereka, Valdi menyuruh Aneth meminum obatnya. Karena Valdi tidak begitu tahu gejala yang dialami Aneth, ia membelikan beragam obat-obatan. Biar Aneth yang memilih, pikirnya.Mudah baginya untuk menginterogasi orang yang mabuk dan orang yang sedang sakit. Keduanya tidak begitu berbeda. Mereka akan mengalami masa-masa di mana emosi mereka sulit dikontrol dan akan bicara begitu saja tentang apa yang mereka pikirkan.Di saat Aneth merasa tambah lemas dan mengantuk, Valdi terus melayangkan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya ingin dia dengar langsung dari Aneth.“Apa waktu itu lo memang nggak ada rasa sama sekali ke gue?” tanyanya sambil membantu Aneth berbaring.“Bukan begitu. Mana mungkin gue bisa merespon sementara lo belum lama putus dari teman gue.” Aneth mengalihkan pandangannya dengan sebelah tangan menutupi wajahnya. Ia tidak ingin Valdi membaca ekspresinya saat ini.“Jadi lo juga suk
Yuka menatap wanita di hadapannya yang sedang memakaikan dasi untuknya. Sungguh, ia masih penasaran dan mencari tahu sampai saat ini. Bagian mana yang menarik darinya? Tidak terlalu cantik, bertubuh seksi pun sepertinya tidak. Lihat pakaian yang sehari-hari dikenakannya, blus lengan panjang, kemeja lengan panjang, sweater, kaus dan outwear, blazer, semuanya cenderung tertutup dan tidak begitu feminim.Mungkin karena ruang kerjanya dingin.Tunggu, tapi gaunnya saat acara waktu itu juga berlengan panjang meskipun potongan kerahnya sedikit rendah. Entahlah, mungkin itu seleranya. Sepertinya saat ke kantor juga wanita itu lebih sering memakai boots dan kets. Ya pokoknya bukan bergaya feminim. Tapi kenapa sepupunya bisa sempat tertarik padanya?“Eh? Ada apa Pak?” tanya wanita itu menatapnya bingung.Ah, kalau diperhatikan seperti itu jelas saja dia sadar. Siapa suruh terang-terangan menatap orang yang ada dihadapannya. De
“Wahh, Aneth udah sembuh.”“Iya nih, mukanya kelihatan lebih cerah. Kayaknya lagi bahagia juga ya.”“Apa sih kalian.” Aneth tertawa membalas kata-kata teman seruangannya.“Istirahat seharian bikin cepat sembuh kan? Apa gue bilang,” sergah Alex sambil menjentikkan jarinya.“Eh, eh, besok mau ikut nggak Neth?” Tanya Ivanka mendekat ke meja Aneth.“Ngapain tuh?”“Biasanya kantor kita adain makan-makan sebelum libur Natal dan Tahun Baru. Rencananya sih besok.”“Oh? Mendadak ya?”“Nggak sih, cuma gue lupa bilang ke lo,” sahut Alex.“Kapan itu? Pulang kantor?”Ivanka yang ada di sebelahnya mengangguk. “Biasanya para cewek pasti dandan sebelum pergi, karena itu tuh kesempatan buat kenalan sama cowok dari divisi lain. Lo jomblo kan Neth?”“Eh ingat, lo udah punya pacar!” Al
Dari mejanya, ia dapat melihat seseorang yang sepertinya bukan dari divisi yang sama menghampiri Aneth. Tadinya dia berniat pulang lebih awal, tapi beberapa orang mengajaknya berdiskusi tentang penjualan akhir tahun. Karena ia memiliki tangung jawab dan peranan besar pada perusahaan ini, tentu saja ia tidak mungkin mengabaikannya. Tapi kemudian matanya tertuju pada tim kreatif dan secara tidak sengaja melihat pemandangan itu. Di meja sana, jajaran botol dan kaleng-kaleng bir juga tidak kalah dengan meja lain. Penampilan mereka sudah cukup kusut. Karena hal itu sudah biasa terjadi, ia tidak ambil pusing selama tidak ada yang menimbulkan kekacauan. Ia lalu mengalihkan pandangan kembali mengobrol. Tapi tak lama kemudian dari sudut matanya ia melihat Aneth beranjak dari kursinya dan sepetinya berjalan ke arah toilet. Ia lalu berpamitan sebentar dan mengikuti wanita itu. “Astaga!” pekik Aneth terkejut ketika keluar dari toilet wanita dan mendongakan wajahnya. “Kam
Ia hendak berteriak melihat seluruh kancing seragamnya yang telah terbuka dan menampakan pakaian dalamnya. Roknya tengah tersingkap dengan tangan yang terselip dibaliknya. Tetapi sebuah tangan yang membungkamnya membuat suaranya tak keluar. Dia berusaha berontak sekuat tenaga yang tubuh kecil itu bisa. Percuma. Tenaganya kalah besar dengan pria yang membungkamnya. Tak kuasa air mata membanjiri pipinya ketika Pria itu menimpanya. Di saat yang bersamaan sepasang matanya membuka kaget. Keringat membanjiri kening dan pelipisnya. Napasnya memburu seperti habis berlari jarak jauh. Mimpi. Mimpi buruk itu lagi. Tangannya bergetar hebat, sekujur tubuhnya ngilu. Jijik, takut, marah, putus asa. Semua emosi itu bercampur dengan sangat mengerikan. Ia meraba meja nakas dan berusaha membuka lacinya. Jarinya mencari dan meraba tanpa menoleh. Matanya penuh kilat keyakinan saat benda yang ia cari berhasil digenggamnya. Ia menarik benda
Setelah diperiksa, ada luka yang harus dijahit. Yuka terkejut karena ternyata luka Aneth sebegitu parahnya. Pantas saja darahnya tidak berhenti mengalir tadi. Dokter menanyakan penyebab luka Aneth, ia hanya menjawab kalau kakinya robek sewaktu terpeleset. Tapi tentu saja dokter curiga karena luka itu tidak seperti luka gores, melainkan sayatan. Dokter itu terus saja menanyainya.Aneth menghela napas akhirnya berkata, “Saya sudah berkonsultasi kemarin dan diberi obat.”Ia menyebutkan salah satu resep obat antidepresan yang pernah diterimanya dulu. Lalu akhirnya dokter itu percaya dan tidak berkata apa-apa lagi.Yuka masuk ke ruangannya menggendong Aylin setelah menyelesaikan administrasi. Untung saja ia tidak mengijinkan wanita itu pulang tadi. Kalau tidak Aneth bisa kehabisan darah di jalan.Dalam perjalanan menuju ke rumah sakit saja ia sendiri ngeri melihat pendarahan Aneth. Kata dokter lukanya juga cukup dalam. Ia menatap Aneth sekilas. Waj
Setiap kali ke kantor Direksi rasanya seperti déjà vu. Dari yang awalnya Aneth merasa was-was takut disalahpahami karyawan lain, hingga sekarang rasanya biasa saja. Ia jadi merasa lucu sendiri, mereka berkumpul di ruangan Yuka seolah ruang CEO adalah taman bermain.Siang itu entah ada urusan apa, Yuka memanggilnya ke ruangan. Ia menuruti saja, mungkin soal Aylin. Setiap kali Aneth menginjakkan kaki di lantai ruang Direksi, sekretarisnya pasti langsung mempersilakannya lewat karena sudah dikabari lebih dulu.“Permisi,” ia mengetuk pintu ketika tiba di depan ruangan Yuka.Pintu mendadak terbuka tapi yang muncul di sana bukanlah Yuka ataupun Aylin, melainkan sosok wanita cantik yang pernah dilihatnya. Mamanya Aylin, atau sebut saja kakak perempuan Bosnya. Hari ini pun dia tampak anggun dan mempesona. Aneth yang perempuan saja mengagumi kecantikannya yang tiada cela itu.“Oh! Kamu Ranetha kan?” tanya wan